Kamis, 31 Desember 2015

Solo Travelling (4) : Purworejo, dari Benda Pusaka hingga Bukit Nan Hijau

Sewaktu kecil, agenda wajibku setiap pergantian tahun adalah berlibur. Pokoknya tiap mendekati 1 Januari, pasti deh aku mengajak orang tuaku (sambil sedikit merengek) buat pergi ke suatu tempat. Ya, memang, kami sekeluarga beberapa kali mengadakan liburan pada 1 Januari, entah itu ke Pantai Parangtritis, Kaliurang, bahkan pernah sampai ke Guci di Tegal. Mungkin karena itulah, aku yang waktu itu belum ngerti apa-apa menganggap itu adalah tradisi. Seiring berjalannya waktu, kebiasaanku itu hilang dengan sendirinya.
Tapi, akhir tahun ini, sindrom itu kembali menyengatku. Bedanya, sekarang aku nggak mau ngrepotin ortu, soalnya aku udah besar, face dan bodyku sekarang udah pantas jadi bapak (ngomong opo…). Di samping itu, aku kan penggemar solo travelling.

Udah deh basa-basinya. Yang pasti, sekarang kemana tujuanku? Sempat terpikir mau naik kereta api Kalijaga dari Semarang ke Solo. Setelah kuperhitungkan, duitku cukup sih sebenarnya, tapi di awal tahun nanti aku ada rencana lain  yang bakal makan budget besar (apa itu, kujelaskan di postingan selanjutnya). Di samping itu, jalan-jalan di Solo udah pernah. Maka aku putar haluan. Dan, kota Purworejo jadi pilihanku. Jadi, dengan menumpang bus Magelang-Purworejo, berangkatlah aku ke kota yang berjarak 44 km dari Magelang ini.

Tugu identitas kota Purworejo
Satu setengah jam, barulah aku sampai di Purworejo. Sesuai petunjuk kernet bus, aku turun di Plaza Purworejo untuk kemudian jalan kaki ke alun-alun. Berbekal peta yang aku print screen dari Google Maps, aku jalan. Jaraknya 1 km lebih, wah lumayan juga.
Sebetulnya tujuan pertamaku adalah Museum Tosan Aji. Tapi di tengah jalan, aku lihat bangunan eks Stasiun Purworejo. Dari papan namanya, ternyata bangunan ini termasuk bangunan cagar budaya yang dilindungi. Sesuai sloganku kalau travelling “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”, aku pun tergoda untuk masuk. Siang itu, tidak banyak pengunjung, hanya ada beberapa anak muda asyik berfoto. Tak ada penjual tiket, mungkin bangunan ini dibuka untuk umum, tentunya dengan syarat tidak merusak.

Eks-Stasiun Purworejo yang kini bangunan cagar budaya.
Bangunan stasiun ini tidak terlalu besar. Kondisinya sangat bersih dan terawat dengan mempertahankan arsitektur tempo dulu. Di dalamnya ada beberapa papan dokumentasi berbentuk bilik layaknya museum. Yang tertulis di situ tidak hanya sejarah perkereta apian, tapi juga sejarah kota Purworejo sejak masa prasejarah. Ada juga dokumentasi renovasi stasiun seperti perbaikan atap dan pintu.

Papan dokumentasi
Menurut penjelasan di situ, konon Purworejo bernama Pangalihan, bekas bagian Kerajaan Galuh yang kemudian berubah nama menjadi Bagelen. Pada zaman kolonial, Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian menjadikannya kota tangsi militer. Kondisi Purworejo yang subur sempat pula menjadi target tanam paksa pada tahun 1830.
Stasiun Purworejo ini dibangun pada abad ke-19 oleh Pemerintah Hindia Belanda lewat perusahaan bernama Staats Sporwegen. Stasiun ini sudah ditutup sekitar tahun 2010 dengan KA Feeder Purworejo (jurusan Purworejo-Kutoarjo) sebagai kereta terakhirnya. Karena sangat lekat dengan sejarah perkeretaapian di Indonesia, PT KAI menetapkan bangunan ini sebagai bangunan cagar budaya.
Puas membaca, aku beranjak ke bagian belakang stasiun. Di bagian belakang ini pun terdapat halaman luas, yang adalah peron. Rel kereta api masih utuh. Bahkan, jam besar untuk mengatur keberangkatan kereta masih tergantung di dinding.
 
Peron stasiun
Aku keluar dari stasiun, meneruskan perjalanan ke Museum Tosan Aji. Museum ini letaknya nggak jauh dari Alun-alun Purworejo. Di museum ini tersimpan benda-benda pusaka seperti tombak dan keris, yang konon dianggap bertuah menurut kepercayaan dinamisme. Memang, sebagai umat Kristen yang taat,  haram bagiku buat mempercayai benda itu. Tapi kalau sekedar melihat warisan sejarah dan budaya, apa salahnya.
 
Museum Tosan Aji
Begitu masuk museum, aku agak bingung dengan suasana yang sepi. Bahkan, meja receptionist yang sekaligus berfungsi sebagai loket nggak ada orang sama sekali. Untuk mengatasi kebingungan, aku melihat-lihat papan petunjuk di ruangan itu. Tercantum di situ mengenai pengertian tosan aji, sejarah pembuatan keris di pulau Jawa mulai dari zaman Kerajaan Kahuripan sampai Indonesia yang sekarang beserta nama empu (pembuat keris) yang terkenal. Ada juga tata cara pembuatan keris hingga upacara jamasan yaitu pembersihan benda pusaka.
Tak lama, seorang wanita masuk. Ia adalah petugas di sini. Dengan ramah, ia bertanya “Mau masuk mas?”. Aku menjawab “Ya mbak”. Aku pun membayar tiket seharga 1000 rupiah. Jujur saja, aku agak tak enak hati. Biaya yang murah sangat kontras dengan museum yang sepi di masa liburan seperti sekarang.
Aku pun melanjutkan membaca papan petunjuk. Tiba-tiba, aku tertarik melihat seperangkat peralatan di dekat pintu masuk “Itu peralatannya ya mbak?” tanyaku. “Ya, itu buat bikin keris, alat buat menempa besi”. Mbak petugas itu memencet sebuah tombol dan bara api di situ menyala. “Ini bara api buat melebur logamnya”. Aku memperhatikan sambil mengarahkan kamera HPku.
 
Alat menempa besi dan melebur logam
Selanjutnya, aku ditunjukkan bahan pembuatan keris. Ada besi, baja, pamor (hiasan pada keris), hingga bakal keris. Dalam pembuatan keris tidak boleh sembarangan. Harus memilih logam khusus. Prosesnya pun tidak mudah, karena ukuran dan bentuk harus disesuaikan berdasarkan tujuannya. Bahkan, perlu disediakan sesaji dalam pembuatannya. 
Masuk ke dalam, aku melihat beraneka macam keris. Dipajang pula di situ, bagian-bagian dari keris seperti wrangka (sarungan keris) dan mendak (pelengkap ukiran). Juga keris dalam beberapa gaya seperti gaya Cirebon, Surakarta dan Yogyakarta. Mengingat benda pusaka, sebagian besar benda di situ disimpan dalam lemari kaca agar tidak dipegang sembarangan. Tidak cuma keris yang disimpan di sini. Ada juga senjata lain seperti tombak, belati bahkan samurai yang konon berasal dari Jepang. Benda-benda di sini selain dari penemuan arkeolog, ada juga yang berasal dari keraton atau masyarakat yang sengaja dititipkan di museum untuk dilestarikan. Pernah ada yang menitipkan jenglot di sini, tapi kata mbak petugas, sudah diambil lagi oleh yang punya. 

Beberapa bentuk keris

 
Aneka macam keris beserta sarungnya.

Tombak besar
Saat aku asyik melihat-lihat, ada seorang bapak bersama anak kecil datang. Menariknya, si anak kelihatan antusias memperhatikan benda warisan budaya di sini. Ya, seperti kata mbak petugas, museum ini cukup baik untuk belajar sejarah. Tidak jarang, anak-anak sekolah study tour ke sini. Makanya, kalau ada yang menganggap museum membosankan adalah salah besar.
Mbak petugas mengantar kami ke ruang yang lain. Di sana terdapat benda-benda lain hasil temuan arkeolog, khususnya yang ditemukan di sekitar Purworejo. Ada arca Dewa Siwa dan Dewa Ganesha, ada juga lingga dan yoni, yaitu batuan candi yang menggambarkan (maaf) alat kelamin pria dan wanita.
Masuk semakin dalam, aku lihat seperangkat gamelan yang kata mbak petugas adalah peninggalan Bupati Purworejo pertama. Tak cuma itu, ada juga batu andesit, guci kuno, alat serpih, fosil kayu, sampai menhir (tugu pemujaan leluhur dari zaman batu)
 
Seperangkat gamelan peninggalan masa lalu
Tiba-tiba aku lihat sesuatu yang aneh, ada batu berbentuk tangan di lemari kaca.  Hmm.. apa ini fosil tangan manusia purba? “Mbak, ini apa?” tanyaku. “Itu patahan arca. Kadang ada arca yang ditemukan tidak utuh” jawabnya. Aku ketawa geli “Oh, saya kira ini fosil’.

Ini nih, patahan arca yang kukira fosil.
Tak lama, bapak dan anak tadi keluar dari museum. Aku pun sesudah puas lihat-lihat dan jepret sana sini, segera pamit pada mbak petugas. Tidak lupa kuucapkan terima kasih.
Di seberang museum, angkot jurusan Purworejo-Kutoarjo lewat. Aku langsung menyetop dan naik. Bukan berarti aku mau ke Kutoarjo lho… aku mau balik lagi ke Plaza Purworejo.
Udara panas banget, bikin aku haus berat, biarpun di tas ada air minum. Aku langsung teringat dawet ireng (hitam) khas Purworejo. Siang begini minum es dawet pasti nikmat. Sayangnya, aku nggak temukan di daerah pertokoan ini.  Terpaksa aku langsung jalan kaki ke arah Jalan Magelang-Purworejo, menuju destinasi terakhir : Bukit Geger Menjangan.
Tapi hei… di pinggir jalan aku lihat penjual dawet ireng. Dengan segera, aku pesan ke mas penjualnya, es dawet semangkuk, minum di sini. Dan nggak pakai lama, terhidang di depanku. Hmmm… dawet dengan kuah santan dan gula merah, manis dan segarrrr…. Berbeda dengan dawet ayu Banjarnegara, dawet di sini cendolnya berwarna hitam karena dicampur air abu merang, dicetak tipis-tipis seperti bihun. Harganya cukup 2500 rupiah saja.
Sesudah itu, aku jalan lagi menuju bukit Geger Menjangan. Bukit ini letaknya di belakang kolam renang Artha Tirta. Tepat di tepi jalan Magelang-Purworejo. Kenapa aku ke sini? Berdasarkan info dari mbah google, di puncak bukit ini ada gardu pandang, dimana kita bisa lihat kota Purworejo dari atas
Aku sempat salah masuk, karena di situ ada juga taman kota yang juga dinamai Geger Menjangan. Biarpun begitu, taman ini juga cukup menarik karena tertata rapi. Orang-orang memanfaatkan taman ini untuk bersantai atau mengajak anak-anak bermain. Aku sempat istirahat sebentar di bangku taman.
 
Taman kota dengan latar belakang perbukitan
Jalan beberapa puluh meter kemudian, sampailah aku ke kaki bukit. Suasana tampak sepi. Hanya beberapa orang di warung makan dekat situ. Aku pun membayar 2000 rupiah buat mendaki ke puncak. Sempat tanya ke bapak-bapak di situ “Jauh nggak pak?”. Dia jawab “Nggak”. Ya, aku pun pede buat masuk dan mendaki.
Perjalanan diawali dengan jalan setapak lewat rumah-rumah warga. Begitu masuk jalan menuju puncak, aku disambut puluhan anak tangga. Aku segera naik, berharap cepat sampai. Ternyata perkiraanku salah. Habis anak tangga tadi langsung disambung tangga lainnya. Untungnya, jalan di sini sudah dicor semen, jadi lebih aman. Biarpun begitu, kita tetap harus hati-hati karena ada anak tangga yang tertutup rerumputan atau daun kering.

Anak tangga yang panjaaaaaang. 
Sudah naik dan naik, anak tangga tiada habisnya, seakan mendaki gunung tertinggi di dunia. Aku sudah ngos-ngosan dan berkeringat, tapi gardu pandang nggak kunjung nampak, hanya hutan bambu dan rumput yang lumayan lebat. Sempat terpikir untuk turun, tapi karena semangat 45 ku masih ada, aku putuskan lanjut biarpun beberapa kali istirahat.
Sampai akhirnya aku lihat sebuah bangunan terbuka di atasku, mirip pendopo. Itu dia gardu pandangnya. Aku pun cepat-cepat naik dan menyelonjorkan kaki. Udara panas pun berubah jadi angin sepoi-sepoi. Ada sepasang suami istri duduk-duduk di situ, dengan ramah mereka mengajakku mengobrol.
Hal yang menarik di situ, kita bisa lihat pemukiman kota Purworejo dari kejauhan. Pemukiman yang membentang di jalur selatan Jawa terlihat di depan mata. Di bagian lain,  pemandangannya tak kalah bagus, perbukitan hijau dengan Pegunungan Menoreh di kejauhan.
Sayangnya, gardu pandang ini kurang terawat. Tanah di sekitarnya juga banyak sampah berserakan. Kalau saja tempat ini dibuat lebih menarik, mungkin bisa menarik wisatawan dari luar daerah.

Oh....indah pemandangan....
Hingga aku turun setengah jam kemudian, cuma ada tiga pasang muda mudi atau suami istri yang naik. Ya, mereka berpasangan, cuma aku sendirian yang jomblo. Mungkinkah mereka terinspirasi lagu Bukit Hijau-nya Jayanti Mandasari?. Ah biarlah, bukan urusanku kok.
Yang penting buatku, tempat ini bisa jadi potensi wisata kalau dirawat lebih baik. Cocok buat penggemar hiking, atau yang pengin latihan mendaki gunung.

Dan… saatnya pulang. Hal yang bisa aku pelajari dari  hari ini : Jangan pernah menganggap suatu daerah tidak ada apa-apa. Seperti halnya manusia, semua daerah punya potensi masing-masing. Entah itu dari bidang sejarah, kuliner atau alam, bisa jadi daya tarik asal kita mau menggali lebih lanjut dan tak lupa melestarikannya. Karena semua adalah wujud kekayaan negeri ini. Setuju? 

Senin, 14 Desember 2015

Refreshing Sejenak : Air Terjun Sekar Langit

Suatu hari, David ajak aku pergi ke air terjun. Kata dia sih di daerah Kopeng. Aku tanya, Umbul Songo atau Kalipancur? Sesudah ingat-ingat, dia jawab Sekar Langit. Lho, itu sih di Grabag bukan Kopeng, bro! Dia jawab dengan kalem “Ya, berangkatnya lewat Ngablak”
Dan siang itu, kami berangkat boncengan naik motor dari Salatiga. Sesudah SD Negeri Kopeng 01, belok kiri ke arah Grabag. Jalan yang kami lewati diapit 2 gunung : Gunung Andong dan Telomoyo dengan pemandangan beraneka ragam. Kadang-kadang kami lewat kebun sayur yang menebarkan aroma kubis, kadang juga hutan bambu, atau juga perbukitan dengan jurang di sekitarnya. Baru pertama kali aku lewat jalan ini, jadi nama daerah di situ agak asing buatku, seperti Keditan, Pagergunung dan sebagainya.
Masuk ke daerah Grabag, jalan lumayan ekstrim. Beberapa kali motor kami serasa lewat di sirkuitnya Valentino Rossi, saking banyaknya belokan dan turunan. Aku yang pengidap acrophobia akut berusaha tetap tenang, kalau panik bisa gawat.
Sekitar 1 jam, akhirnya sampailah kami di gapura selamat datang kawasan wisata Sekar Langit. Nggak pakai lama langsung parkir motor lalu beli tiket 5000 per orang. Oke, masuk!
Perjalanan menuju air terjun mirip dengan hiking di kaki gunung. Tebing di sisi kanan, jurang di sisi kiri, dikelilingi pepohonan, salah satunya pohon nangka. Tapi nggak perlu kuatir, jalannya lumayan landai kok. Kami semangat banget pokoknya. Terutama David. Ya, refreshing sejenak buat dia, buat melupakan skripsi dia yang nggak kunjung usai. Melupakan sejenak, bukan seterusnya. Haha..



Karena bukan hari libur, tempat ini lumayan sepi. Cuma ada beberapa anak muda lalu lalang di sekitar kami. Setelah berjalan sekitar 10 menit, kami sampai di jembatan bambu di tengah sungai. Dan seperti biasa, aku deg-degan. Tapi ternyata jembatannya dibuat dengan rapi sehingga aman banget buat dilewati.
Dan nggak jauh dari situ, kami langsung disambut gemuruh air terjun. Air terjunnya menurutku biasa, tidak setinggi Grojogan Sewu, apalagi Niagara (maksa banget)  tapi lumayan menantang juga. Kami langsung menuruni batu ke dekat air terjun. Melangkah di antara batu harus ekstra hati-hati karena licin dan banyak batu yang runcing. Aku sendiri berusaha jaga semaksimal mungkin jangan sampai terjerembab karena pasti sakit dan basah kuyup. My trip my adventure banget deh.


Kami berdua bergantian ambil foto. Apalagi aku, yang punya semboyan “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”. Aliran air terjun lumayan deras, mengalir dari atas tebing ke bawah, menyusup di antara batu lalu berlanjut ke sungai di bawahnya.




Sekitar satu jam, David mengajakku pulang. Olala, ternyata cuaca udah mendung. Hujan deras di air terjun sangat berbahaya! Aku buru-buru naik ke atas lagi, cepetan pulang!
Dengan cepat, David memacu motornya. Aku tahu dia phobia sama hujan. Penyebabnya bukan karena takut masuk angin tapi karena malas mencuci motornya! Tapi rupanya, langit betul-betul nggak bersahabat sama kami. Baru jalan 1 km hujan udah turun dan makin lama makin nggak terkendali, pakai bonus petir dan angin juga. Dan akhirnya, kami harus rela basah kuyup. Ibarat kena karma, nggak mau basah di air terjun akhirnya basah di jalan.
Rupanya alam betul-betul ngerjain kami. Sampai kecamatan Ngablak, malah di sana nggak hujan sama sekali. Oh… no… 

Sabtu, 28 November 2015

Lagu Masa Lalu (2) : Nobody's Child





As I was slowly passing 
An orphan's home one day, 
I stopped for just a moment 
Just to watch the children play. 
Alone a boy was standing 
And when I asked him why, 
He turned with eyes that could not see 
And he began to cry. 


I'm nobody's child
I'm nobody's child
Just like a flower I’m growing wild.
No mommy's kisses and no daddy's smile
Nobody wants me
I'm nobody's child.


People come for children
And take them for their own.
But they all seem to pass me
And I’m left here all alone.
I know they'd like to take me
But when they see I'm blind
They always take some other child
And I am left behind.

No mummy's arms to hold me 
Or sooth me when I cry, 
Sometimes I’ve got so lonely 
I wish that I could die. 
I'll walk the streets of heaven 
Where all the blinds can see. 
And just like for the other kids 
There’ll be a home for me. 



Lagu berirama slow ini dibawakan oleh Karen Young pada tahun 1969. Sebenarnya, lagu ciptaan Cy Coben dan Mel Foree ini sudah lebih dulu dibawakan oleh Hank Snow pada tahun 1949, bahkan sempat dicover oleh banyak penyanyi, termasuk The Beatles. Namun, lagu versi Karen Young lebih populer dibanding lainnya. Di radio maupun kaset yang beredar di Indonesia pun, lagu Nobody’s Child lebih identik dengan penyanyi wanita asal Inggris ini.
Lirik lagu ini banyak menggunakan bahasa sehari-hari. Menceritakan tentang nasib malang anak penyandang tuna netra di panti asuhan. Kisah diawali oleh penyanyi lagu tersebut yang sedang lewat di depan panti asuhan. Sedang asyik-asyiknya nonton anak-anak bermain, tiba-tiba dia lihat seorang anak berdiri sendirian. Ketika ditanya, si anak yang ternyata buta ini bercerita sambil menangis. Dia adalah anak yang tidak jelas siapa orang tuanya. Dia tumbuh besar tanpa ayah maupun ibu. Sebenarnya banyak orang datang ke panti untuk mengadopsi anak, tapi dia selalu disisihkan karena kebutaannya.
Mungkin lagu ini akan jauh lebih bermakna andai di bagian akhir, si penyanyi memberikan kata-kata penghiburan bagi si anak. Tapi tidak demikian, bait terakhir malah berisi keputusasaan si anak. Dia kadang merasa ingin mati saja, kan nanti di surga dia bahagia seperti anak-anak lain.
Meski si penyanyi seolah-olah hanya menjadi pendengar atas curhat si anak, tapi ia mampu menceritakan sebuah kisah pilu sebagai bahan pembelajaran. Yatim piatu dan tuna netra, menunjukkan betapa menderitanya si anak. Jadi, lagu ini mengajarkan kita untuk memperhatikan orang lain yang memiliki kekurangan. Tak lupa bersyukur bahwa kita punya fisik sempurna dan orang tua yang penuh kasih sayang. 

Rabu, 14 Oktober 2015

Alun-alun Kidul Keraton di Waktu Malam

Pengalaman ini terjadi pertengahan tahun 2014, di mana saat itu aku dan David sedang menjalani Kerja Praktek di Jogja. 
Malam itu, teman kost kami, Adit (anak Sumbawa) dan Rafi (anak Kendari)  mengajak kami muter-muter kota Jogja. Oh ya, mereka itu siswa bimbingan belajar Ganesha Operation yang baru aja lulus SMA. Khusus buat ngerayain kelulusan itulah, mereka mau mengajak kami berdua jalan-jalan ke Malioboro alun-alun keraton. Sementara teman kost lain ke Monjali alias Monumen Jogja Kembali, kami berempat punya acara sendiri.
Sebelum berangkat, mereka lebih dulu mentraktir aku dan David makan di Sop Ayam Pak Min. Jujur, aku nggak terlalu suka makan daging, tapi demi menghargai, aku pesan aja sup ayam yang dagingnya dipotong kecil-kecil. Lumayan enak sih, biarpun terpaksa. 
Habis makan pulang sebentar ke kost buat siap-siap. Dengan mengendarai dua motor, kami berangkat dari kost di Jalan Magelang. Aku dibonceng sama Rafi sedangkan David boncengin Adit. Perlahan menembus keramaian kota Jogja. Ya, namanya kota besar, mau siang mau malam tetap aja rame. 
Tapi aku menikmati banget malam itu. Lewat Tugu, muter stasiun, memasuki Malioboro, kami jalan terus sampai ke depan Benteng Vredeburg yang di depannya daerah yang biasa disebut “titik nol”. Kami berhenti dulu di situ. David langsung mendekati penjual aksesoris di situ (tertarik sama aksesorisnya, bukan penjualnya!). Gantungan kunci di sini bagus-bagus dan murah. Ada yang berbentuk kendaraan dari kayu, ada juga yang berbentuk domba atau sapi dari kulit kerang. Lima ribu bisa dapat tiga atau empat, tergantung ukuran dan berapa kita nawarnya. Tahu harganya, aku ikut-ikutan beli biarpun cuma tiga biji.


Nongkrong di warung kopi… eh salah… di titik nol rasanya luar biasa. Banyaknya anak muda di situ bikin kami serasa jadi mahasiswa Jogja. Di depan kami, lampu kota dan kendaraan menerangi malam itu. Di seberang ada gedung BNI 46 dan Kantor Pos. Indahnya kota pelajar….



Setengah jam berlalu, kami lanjut perjalanan ke alun-alun keraton. Jalan yang ditempuh Rafi lumayan ribet, belok sana belok sini di kompleks keraton. Andai aku pergi ke sana sendiri bakalan celingukan di jalan saking jauhnya.
Setelah muter-muter sampai kepalaku pusing, akhirnya kami sampai di depan lapangan besar, dengan dua pohon beringin di tengahnya. Ratusan orang masih memadati lapangan biarpun sudah jam 9 malam. Ada penyewaan mobil kayuh di situ yang bisa disewa (aku lupa harganya) untuk mengitari alun-alun.


Kami ke tengah lapangan dulu. Di sini ada permainan unik namanya masangin. Seseorang ditutup matanya, lalu berjalan ke pohon beringin itu. Mitosnya, kalau bisa lewat di antara dua pohon itu, cita-cita kita bakal tercapai. Kalau gagal, katanya sih, berarti orang itu pikirannya jorok.
Kami berembuk, siapa yang mau coba. Karena kepalaku agak pusing, aku malas mencoba. Dan.. David yang jadi sasaran.
Dengan ditutup matanya, David berusaha berjalan ke arah pohon beringin. Aku dan lainnya memberitahu arah, kanan atau kiri. Sesekali kami sengaja ngerjain David ke arah yang salah dan ini yang bikin ketawa. Sementara, banyak orang lain yang juga jadi “pemain” di situ hingga kata “permisi” berbalas-balasan, malah beberapa kali kami nggak sengaja tubrukan sama orang lain. Lumayan, "bermesraan" sesaat.... haha... Dan karena dikerjain atau memang karena pikiran dia yang “kotor”, David salah arah, dia malah sampai ke samping pohon yang kanan… wkwkwkwk…
Puas bermain, kami menyewa mobil kayuh. Mobil ini kapasitas 4 orang. David bertindak sebagai sopir. Adit di sampingnya, aku dan Rafi di belakang. Biarpun sebagai penumpang, bukan berarti bisa duduk manis lho… kami semua tetap harus mengayuh biar mobil bisa jalan sempurna. Mobil dilengkapi lampu warna-warni, juga ada pemutar MP3 jadi selama jalan kami bisa diiringi musik. Aku berharap David muter lagunya Shaggy Dog atau Kla Project biar sesuai suasana Jogja, eh yang diputer malah lagu barat... ya udahlah.


Mobil ini berputar 3 kali mengelilingi alun-alun. Alun-alun di sini mengingatkanku pada Lapangan Pancasila Salatiga, bedanya di sini lebih ramai. Nggak jarang, David ngebut, bikin aku harus lebih kuat menggenjot pedal. Beberapa kali aku protes karena sandalku tersangkut atau hampir jatuh.
Saatnya pulang! Tapi sebelum pulang, aku harus bikin kenang-kenangan dong. Aku minta tolong Rafi buat foto aku. Aku ajak sekalian David dan Adit.


Di perjalanan, David mengingatkanku tentang gantungan kunci yang kubawa tadi. Ya ampuuuuun… di mana ya tadi? Aku rogoh kantong celana dan jaket, nggak ada! Tadi di parkiran, aku merasa ada plastik yang jatuh. Berarti itu! Sial deh… tapi mau gimana lagi? Balik juga percuma, udah dekat kost. Akhirnya beberapa hari kemudian, pas aku jalan-jalan sendirian, aku beliin lagi.


Sampai sekarang, aku nggak bisa lupain kebersamaan malam itu.
Salam buat Adit dan Rafi, semoga kelak kita bisa bertemu lagi… 

Minggu, 11 Oktober 2015

Lagu Masa Lalu (1) : Streets of London





Have you seen the old man 
In the closed-down market 
Kicking up the paper, 
with his worn out shoes? 
In his eyes you see no pride 
Hand held loosely at his side
Yesterday's paper telling yesterday's news 

Refrain:
So how can you tell me you're lonely, 

And say for you that the sun don't shine? 
Let me take you by the hand and lead you through the streets of London 
I'll show you something to make you change your mind 

Have you seen the old girl 
Who walks the streets of London 
Dirt in her hair and her clothes in rags? 
She's no time for talking, 
She just keeps right on walking 
Carrying her home in two carrier bags. 

In the all night cafe
At a quarter past eleven, 
Same old man is sitting there on his own 
Looking at the world 
Over the rim of his tea-cup, 
Each tea last an hour 
Then he wanders home alone 

And have you seen the old man 
Outside the seaman's mission 
Memory fading with 
The medal ribbons that he wears. 
In our winter city, 
The rain cries a little pity 
For one more forgotten hero 
And a world that doesn't care 


Menurut Wikipedia, lagu ini diciptakan oleh Ralph McTell sekitar tahun 1969. Lirik lagu ini menceritakan kehidupan di London pada masa itu dengan mengamati tema realita yang ada. Lagu ini meraih peringkat kedua di UK Singles Chart (Tangga Lagu Inggris) pada masa itu dan terjual hingga 90.000 copy. Dalam perkembangannya, selain oleh Ralph sendiri, lagu ini dibawakan oleh beberapa penyanyi, salah satunya Roger Whittaker. Versi Roger lebih easy listening. 
Makna yang terkandung dalam lagu ini adalah jangan mengeluh bila kita sedang dirundung masalah. Karena ada banyak orang di luar sana yang lebih menderita dari kita. Ada tuna wisma yang hidup tak menentu, orang yang hidup sendirian, hingga pahlawan yang terlupakan. Pada bagian refrain, jelas sekali teguran yang disampaikan. Kalau diterjemahkan secara bebas, kira-kira seperti ini : “Kamu kok ngeluh terus, ayo kita lihat di jalanan, biar kamu tahu kalau kamu nggak sendirian”
Dan pada bait terakhir ada satu cerita miris. Seorang mantan pelaut yang dulu pernah berjuang (mungkin seperti TNI Angkatan Laut di Indonesia), di masa tuanya dia hidup terabaikan, tidak ada yang mengingat jasanya. Itu di Inggris, bagaimana di Indonesia? Semoga jangan sampai terjadi.

Rabu, 16 September 2015

Djeladjah Djaloer Spoor Bedono-Ambarawa (with Kota Toea Magelang)

Minggu pagi itu, 13 September 2015 aku pergi ke depan Alfamart di Jalan Pahlawan, Magelang. Bukan mau belanja, tapi ikut acara bertajuk Djeladjah Djaloer Spoor atau kalau dibahasakan sekarang Jelajah Jalur Kereta Api. Event ini diadakan oleh komunitas Kota Toea Magelang, sebuah komunitas pemerhati sejarah dan cagar budaya di Magelang.
Tanpa sengaja, aku termasuk datang paling awal. Baru 3 orang yang datang, termasuk aku. Lewat dari jam 06.10 barulah satu persatu peserta lain datang. Total sekitar 140 orang. Tidak hanya dari Magelang, tapi juga dari Jogja, Purworejo, Parakan, bahkan Solo. Rupanya banyak yang antusias ikut acara ini, bahkan Mas Bagus, sang koordinator mengatakan ini rekor peserta jelajah terbanyak. Memang "menggali sejarah" itu menyenangkan. Selama ini aku cuma dengar cerita orang tua tentang kereta api zaman dulu, termasuk jalur kereta api di Ambarawa yang sudah dinonaktifkan sejak tahun 1976. Biarpun nggak naik keretanya, jalan-jalan di jalurnya aja udah menarik buatku.





Rencananya jelajah kali ini akan melewati rute Bedono-Ambarawa. Start di Stasiun Bedono, trekking. jalan kaki hingga Stasiun Ambarawa. Jaraknya sih kurang lebih 9 km. Untuk jelajah ini, aku nggak bisa ikut sampai selesai karena sorenya ada tugas khusus di gereja. Nanti sampai di Ambarawa aku langsung pulang.
Pukul 07.50 dengan menumpang angkudes (aku gak sempat lihat, jurusan mana), kami berangkat ke Stasiun Bedono. Sepanjang perjalanan, aku dan beberapa peserta asyik bercerita tentang jalur kereta api di Magelang. Rencananya sih jalur itu bakal dihidupkan kembali. Tapi masalahnya, sebagian besar jalur sudah berubah jadi pemukiman. Entah apa yang harus dilakukan PJKA. Membuat jalur baru atau menggusur dengan resiko harus kasih ganti rugi ke warga. Kalau dibuat jalur baru, mungkin lokasinya di Tegalrejo atau sekitar Sungai Elo. Daripada nantinya daerah itu dibuat jalan lingkar seperti di Salatiga, mungkin lebih baik dibuat jalur KA. Selain memajukan transportasi, juga meminimalisir kendaraan pribadi.

Kurang dari satu jam, sampailah kami di stasiun tersebut. Stasiun yang usianya nggak muda lagi tapi masih terawat dan biasa digunakan sebagai pemberhentian terakhir kereta wisata dari Ambarawa. Namun, kabarnya saat ini kereta tersebut sedang "absen" karena renovasi Stasiun Ambarawa. Ada sebuah joke yang mengatakan, stasiun ini punya hubungan dengan grup Warkop, karena mengandung nama “Dono”… hihihihi…
KTM sendiri pernah mengunjungi stasiun ini tahun lalu waktu jelajah jalur Bedono-Candi Umbul sejauh 15 km., sayangnya waktu itu aku nggak ikut.
Di Stasiun Bedono, tidak banyak yang kami lakukan. Malahan sebagian besar dari kami, termasuk aku, sibuk mengantri di toilet. Penjelasan dari Mas Bagus pun tidak banyak yang aku tangkap karena harus menuntaskan “masalah” yang aku tahan sejak tadi …wkwkwkwkwk..

Sesudah foto bersama, kami mulai jalan. Tak jauh dari stasiun, Mas Bagus menunjukkan beberapa hal menarik. Salah satunya rel bergerigi yang fungsinya untuk memperkuat jalan kereta saat menanjak. Rel bergerigi ini membentang dari Stasiun Bedono ke Stasiun Jambu sejauh 5 km. Konon, hanya ada dua daerah pemilik rel bergerigi di Indonesia, yaitu Bedono dan Sawahlunto, Sumatra Barat. Di pinggiran rel juga tercantum tahun pembuatan rel tersebut.

Kami terus berjalan. Udara panas menyengat. Sesekali kami bertemu dengan warga sekitar yang mengangkut kayu atau menjemur biji kopi. Ya, daerah Bedono dan sekitarnya memang daerah perkebunan kopi. Jalan sedikit menurun dengan tebing dan jurang di sisinya. Tapi masih cukup aman karena terdapat rel yang posisinya tepat di atas tanah. Di bawah, terlihat jalan raya Bedono-Jambu. Setiap kali aku naik bus ke Bawen, pasti lewat jalan itu. Jalan yang agak membosankan karena berbelok-belok dan rawan kemacetan.

Menariknya, jelajah kali ini diikuti oleh dua orang turis asal Jerman. Namanya Peter dan Erisa. Mereka dikawal oleh Mbak Ayu dan seorang kawannya sebagai penerjemah. Peter adalah orang asli Jerman, sementara Erisa orang Vietnam, tapi sudah menjadi warga negara Jerman. Sebagai pasangan, tak jarang mereka terlihat bergandengan mesra. Hal unik lainnya, kalau sebagian besar peserta memakai jaket atau kaos lengan panjang karena takut item, mereka dengan pedenya pakai kaos tanpa lengan. Ya, mungkin begitulah pakaian musim panas di negara mereka. Aku sendiri memilih melepas jaketku, bukan karena mau ikut-ikutan mereka, tapi karena gerah.



Lewat dari Bedono, masuklah kami ke area persawahan. Ada kejadian lucu saat tiba-tiba Erisa memanggilku, minta tolong difotokan “Can you help me to take a picture?”. Mbak Ayu pun menegaskan “Nyuwun tulung foto nggih mas”. Penggunaan dua bahasa ini bikin aku senyum-senyum. Mungkin kalau aku bisa bahasa Mandarin seperti papaku, aku bakal jawab “Hao ba, wo lai bang ni”...hihihi.. Dengan sedikit gugup, aku menyanggupi permintaa mereka. Begitu selesai, kembali ada dua bahasa terima kasih “Thank you” dan “Matur nuwun”. Bingung mau jawab apa, aku hanya berkata “Ya” sambil tertawa. Mau tahu kenapa aku gugup? Takut salah ngomong! Kemampuanku berbahasa kromo inggil itu sama dengan kemampuanku berbahasa Inggris, bisa tapi tidak lancar ngomongnya.
Tak jauh dari situ, ada jembatan bernama Kethekan, entah bagaimana sejarahnya bisa dinamai begitu. Kami istirahat sebentar di “kolong jembatan” sambil menunggu rombongan di belakang kami. Aku pun menyempatkan diri makan roti dan gorengan yang kubawa. Peter menawariku kue. “Thank you”, aku mengambil satu. Dan dia tertawa, mungkin menertawakan kegugupanku.
Tak lama, kami jalan lagi. Rel kereta mulai melintasi sungai, tapi beruntung ada jembatan batu dan bambu yang siap mengamankan, biarpun agak deg-degan juga lewatnya. Sampai di Stasiun Jambu, tempat kami istirahat berikutnya. Stasiun ini lebih kecil dari Stasiun Bedono tapi kondisinya juga masih terawat. Bahkan ada teras yang cukup luas, yang kata Mas Bagus bisa jadi tempat catwalk.. hahahaha..


Sambil menikmati semangka yang disajikan, aku melihat-lihat sekitar. Pemandangan di sini luar biasa indahnya. Sawah yang hijau membentang. Di kejauhan nampak Gunung Andong dan Merbabu. Seperti moto hidupku kalau lagi wisata, “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”, aku pun berusaha memotret pemandangan dengan kamera HPku biarpun batere udah low bat.

“Can you help me to take a picture?” kembali Erisa memanggilku. “Yes”, aku mendekat. “Press this button” dia menunjukkan tombol kameranya. Okay, one..two…three.. kali ini aku sukses memotret mereka tanpa rasa gugup. Biar sepele, cukup jadi pelajaran biar nggak grogi ketemu bule..
Karena sudah siang, kami nggak lama di situ. Jalan lagi 4 km. ke Stasiun atau disebut juga Museum Kereta Api Ambarawa. Kali ini aku berusaha jalan lebih cepat dari yang lain, tapi tentunya nggak secepat lokomotif. Jalannya lebih datar karena dekat pemukiman. Tapi inilah dunia, yang datar nggak selalu aman. Terhitung tiga kali kami harus meniti rel yang posisinya tepat di atas sungai atau jalan. Minta ampun ngerinya. Apalagi kami harus lompat-lompat karena jarak antara titian satu dan berikutnya agak jauh. Salah langkah bisa goodbye. Dan seperti biasa, acrophobiaku kumat. Baru dua tiga titian aku udah nggak berani. Untungnya, ada mas-mas di belakangku yang bersedia menggandengku… ahahahaha… Tapi nggak cuma aku yang takut, mbak-mbak di depanku juga jalannya hampir merangkak karena takut jatuh…
Mendekati Stasiun Ambarawa, angin sejuk bertiup di persawahan, bikin moodku yang sempat gemetar jadi segar lagi….fiuuuuh…. jadi ingat pengalaman mendaki Gunung Ungaran beberapa waktu lalu.

The last, jam 13.00 tiba di Stasiun Ambarawa. Lumayan ramai karena hari Minggu. Dan, seperti kukatakan di awal, aku nggak bisa lanjut masuk ke museum. Aku hanya sempat memotret gerbong yang di depan. Tapi nggak terlihat gerbong kayu yang dulu ada di Stasiun Kebonpolo, mungkin ada di dalam. Memang sayang, aku nggak sempat menyaksikan “koleksi” gerbong kereta dari zaman ortu dan kakek nenekku, mungkin lain kali aku bisa solo travelling ke sini.

Aku pamitan pada Mas Bagus dan beberapa kawan lain, termasuk mas-mas dan mbak-mbak yang bersamaku sejak lewat titian rel tadi. Tak lupa kuucapkan terima kasih karena telah menolongku. Sampai jumpa kawan-kawan!

NB : Terima kasih buat Pak Widoyoko atas beberapa fotonya.