Senin, 22 Juni 2015

Penyanyi Masa Lalu : Alfian


Kan kuingat s'lalu, kan kukenang s'lalu
Senja indah, senja di Kaimana
Seiring surya meredupkan sinar
Dikau datang ke hati berdebar
............................................




Alfian, atau nama lengkapnya Alfian Harahap, ada juga yang menyebutnya Alfian Nasution . Itulah nama penyanyi pria yang tenar pada tahun 1960-an ini. Mungkin bagi generasi zaman sekarang, nyaris tak mengenal siapa beliau. Bahkan, saat aku share nama beliau di sebuah grup Facebook, seorang teman bertanya-tanya. Tapi cobalah tanya ke ayah ibu atau kakek nenek kita, mereka pasti kenal penyanyi yang satu ini.
Alfian lahir di Binjai, Sumatra Utara pada 27 April 1943 dan meninggal di Jakarta pada 11 Januari 1992. Memulai karir bermusik sekitar tahun 1964 lewat album Senja di Kaimana, disusul album-album selanjutnya, termasuk Semalam di Cianjur yang lagunya beliau ciptakan sendiri, semakin melambungkan namanya di jagat musik Indonesia saat itu.  Sayang, namanya meredup pada tahun 1970-an, ketika bermunculan grup musik seperti Koes Plus dan Panbers.
Lagu-lagunya kebanyakan menggambarkan hidup dan cinta di tengah kesederhanaan namun sangat mengena di hati seperti Kasih Ibu, Kisah di Bulan April, Sahlawati, Anak Desa, Suling Bambu, Relakan, Hadiah Ulang Tahun hingga Gadis Pujaan.
Ada juga yang mengangkat kisah cinta dengan mengambil setting beberapa tempat di Indonesia seperti Senja di Kaimana, Semalam di Cianjur, Sebiduk di Sungai Musi, Semalam di Kota Bogor dan Sungai Kahayan. Semua beliau nyanyikan dengan irama pop-country nan apik, mengingatkan pada Pat Boone, penyanyi Amerika yang terkenal pada masa itu.
Satu lagu yang bikin aku terkesan adalah Anak Desa. Sampai-sampai lagu ini aku bawakan saat ikut audisi X Factor Indonesia. Lagu ini menceritakan seseorang yang mengembara di perantauan. Di tengah hidupnya yang sulit, ia tetap tabah. Dan ia berjanji, kelak akan berkumpul kembali dengan sanak keluarga. Mengharukan banget......
Lagu lainnya, Senja di Kaimana, menceritakan kenangan akan kisah cinta di Kaimana, Papua dalam suasana sunset yang sangat mungkin lokasinya di pantai. Kedatangan seorang kekasih yang memberi usapan lembut bagi pribadi yang terluka. Sungguh romantis. Apalagi ternyata, lagu ini diciptakan oleh prajurit Trikora yang saat itu berjuang dalam Pembebasan Irian Barat. Cinta kasih tak lekang walau di tengah gejolak konflik yang memanas.

Nah, itulah sepenggal ceritaku tentang Om Alfian. Adakah penyanyi masa kini yang mau membawakan lagunya? 

Kamis, 18 Juni 2015

Solo Travelling (2) : Puri Maerokoco


Aku pernah baca di sebuah majalah tentang Puri Maerokoco, letaknya dekat PRPP, kawasan Puri Anjasmoro, Semarang. Kabarnya di sini adalah “Taman Mini” nya Jawa Tengah.
Kamis, 30 April 2015 sepulang dari kampus di Salatiga, aku berangkat ke Semarang. Sebenarnya tujuanku kali ini adalah Pantai Marina Semarang, tapi karena aku sampai di Semarang sudah kesorean, juga masih perlu jalan kaki lagi, aku ubah haluan aja ke Puri Maerokoco.
Naik bus Salatiga-Semarang, turun di Tugu Muda, lanjut angkot ke Karangayu. Nah, di sini aku sempat bingung mau ngalor atau ngidul. Tanya sana sini, akhirnya aku naik bus jurusan PRPP-Klipang. Lumayan cepat jalannya, tapi nunggunya minta ampun lamanya.

Turun di depan PRPP, lagi-lagi aku kayak orang hilang, nggak tahu musti jalan ke mana. Ke kanan salah, ke kiri malah tambah salah. Apalagi udara panas di tengah kendaraan lalu lalang plus aroma sungai yang jauh dari harum bikin konsentrasi terbelah.  Tambahan lagi jalanan yang sempit tanpa trotoar bikin aku harus ekstra hati-hati. Tubuhku terguncang dihempas debu jalanan, begitu kata Ebiet G. Ade. 
Untunglah aku temukan plang Puri Maerokoco. Aku langsung ikuti arah, sampai di sebuah gerbang. Langsung menuju tempat penjualan tiket. Harganya 7000 untuk hari biasa. Kalau hari libur, aku agak lupa, 9000 kalau nggak salah.
Masuk ke Puri Maerokoco, terdapat denah lokasi. Urutan anjungan sengaja dibuat berdasarkan peta Jawa Tengah yang sebenarnya. Jadi misalkan kita ada di Kabupaten Semarang, sebelah baratnya adalah Kabupaten Kendal, begitu seterusnya.


Setiap anjungan terdiri dari rumah adat dan symbol dari masing-masing kabupaten. Aku masuk mulai dari anjungan Kabupaten Wonogiri. Tak jauh dari situ ada anjungan Kabupaten Sragen dengan replika manusia purba dan gajah purba Sangiran. Disusul anjungan Kota Solo dengan bangunan gaya keraton.




Memutar terus, ke anjungan Kabupaten Boyolali dengan patung orang memerah susu sapi. Di utaranya ada anjungan Kabupaten Purwodadi dengan replika Bledug Kuwu dan petani garam. Kabupaten Jepara dengan patung Ibu Kartini, Kabupaten Kudus dengan replika Masjid Menara Kudus, Kabupaten Demak yang terkenal sebagai penghasil belimbing dan seterusnya.




Yang sangat kusayangkan, tempat ini sepi dari pengunjung. Mungkin karena bukan hari libur. Hanya beberapa anak muda lalu lalang.  Ada yang memegang catatan. Kalau aku perhatikan, sepertinya mereka mahasiswa yang sedang kerjakan tugas atau skripsi.
Beberapa rumah adat dimanfaatkan sebagai warung kelontong atau kantor. Tapi ada juga yang menyimpan benda-benda khas. Sayang, aku nggak sempat masuk, agak sungkan karena keadaan sepi banget.
Aku sempat heran dengan anjungan Kabupaten Temanggung, bangunannya rusak tinggal kerangka. Belakangan aku cari tahu dari om google, anjungan ini terbakar beberapa bulan lalu. Aduh…




Kuakhiri perjalananku di anjungan Kabupaten Brebes, yang di depannya ada patung telur asin. Sebenarnya aku mau segera pulang, tapi tiba-tiba rasa haus menyerangku. Panasnya kota Semarang bikin aku dehidrasi akut. Air minum di tas tinggal sedikit lagi.
Akhirnya aku balik lagi ke anjungan Kabupaten Pekalongan. Di depannya ada penjual jus. Aku beli Pop Ice rasa leci dengan taburan chochochip dan sukade. 5000 harganya. Segarnya tiada terkira……



Aku kembali berjalan keluar. Tapi kuputuskan duduk sejenak di anjungan kotaku, Kota Magelang sambil menghabiskan minumanku. Kupandangi anjungan Kabupaten Temanggung tadi dengan heran, sudah berbulan-bulan kenapa masih dibiarkan mangkrak?
Oke cukuplah perjalanan hari ini… aku keluar dari Puri Maerokoco, naik bus ke Karangayu lalu lanjut ke Terboyo. Aku pun pulang ke Magelang dengan gembira. 

Rabu, 10 Juni 2015

Solo Travelling (1) : Pemandian Air Panas Diwak




Berawal dari membaca artikel dan blog tentang backpacker dan solo traveller, aku tertarik untuk melakukannya. Tapi karena biaya dan waktu yang terbatas, akhirnya aku cari tujuan yang dekat saja.

Setelah searching di google, aku temukan Pemandian Air Panas Diwak. Letaknya di daerah Bergas, Kabupaten Semarang. Jadi kalau dari arah selatan, sebelum Karangjati, Ungaran, di sebelah kiri ada pabrik Teh Sosro, nah di seberang pabrik itulah lokasi Desa Diwak.



Mungkin tujuanku ini bisa dibilang nekat, karena jujur saja aku nggak bisa berenang. Tapi karena mbah google mengatakan kedalaman kolam di sana nggak terlalu dalam, ya okelah. Dasarnya aku memang suka main air.
Hari Senin, 13 April 2015, sepulang dari kampus di Salatiga akhirnya aku berangkat ke Bergas. Sampai ke seberang pabrik the Sosro, ada papan penunjuk jalan ke pemandian air panas Diwak. Dari situ, aku jalan kaki sejauh 2 km. 

Sempat tanya sana sini, ternyata tempat ini mudah dicapai. Dari jalan di seberang pabrik Sosro itu, kita bisa jalan terus memasuki Desa Diwak sampai menemukan penunjuk jalan ke Pemandian Air Panas Diwak di sebelah kiri. Beloklah ke kiri , jalan sekitar 500 meter sampai ketemu gapura bertuliskan Selamat Datang di Pemandian Air Panas Diwak. Tapi belum cukup, kita lewat gapura, jalan lagi sampai kita temukan jalan menurun di sebelah kiri. Di bawah jalan menurun itulah tempatnya.


Aku yang punya penyakit takut ketinggian pun terpaksa melepas sepatu dan berjalan pelan untuk menuruni jalan tersebut. Habis mau gimana lagi, mau perosotan malu, mau lari takut jatuh. Butuh perjuangan buat aku sampai di bawah.

Sampai di bawah, kulihat ada warung kelontong dengan tempat lesehan. Sedangkan ticket box di sebelah kiri, aku pun langsung mendekat.
“Mau mandi ya mas?” tanya seorang bapak
“Ya pak” aku menjawab
“Tiga ribu mas, mau pakai loker?”
“Ya”
“Kalau pakai loker, tambah dua ribu”
Aku langsung membayar
“Kok sendirian mas?” bapak itu bertanya lagi
“Ya pak, habis dari kampus di Salatiga, coba mampir sebentar ke sini” aku terus terang aja.
“Kolamnya yang tengah ya mas, kalau yang kanan buat anak-anak”
“Tapi kedalamannya berapa pak?”
“Sama kok, satu meter”
“Oke pak”

Aku langsung menuju ke tempat loker, buka baju, simpan barang di loker, lalu nggak pakai lama langsung ke kolam. Dengan mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada, aku siap hadapi tantangan berikut ini. 
Aku pun nyebur ke kolam. Turun pelan-pelan aja, kalau langsung loncat "byur" bisa KO nanti. Rasa hangat langsung terasa. Bagian pinggir lumayan dangkal, jadi kita bisa berendam sambil duduk. Aku coba turunkan kakiku lebih dalam lagi. Astaga, dalam banget. Aku sempat deg-degan, jangan-jangan kolam ini dalamnya kayak sumur kecil. Tapi dasar nggak mau kunjunganku sia-sia, aku coba turunkan kaki sambil pegangan. Oh, ternyata nggak sedalam yang aku kira. Airnya cuma setinggi dadaku. Dasar kolam berupa batu-batu dan di bagian tengah ada semacam “jalan” ke tengah. Asyik!  Aku langsung “berenang” ke tengah. Di tengah pun airnya nggak dalam amat. Saking senangnya, aku coba beberapa gerakan renang yang pernah aku lihat.  Ya,  tapi jelas aja, tubuhku nggak bisa jaga keseimbangan, cuma bisa melayang sedikit lalu turun lagi. Biarpun nggak berani menyelam, tapi lumayan lah bisa menikmati. Kalau capek, bisa duduk sambil berendam di sudut. 



Air di kolam ini terlihat coklat kehijauan karena kandungan belerang yang konon bisa menyembuhkan penyakit kulit. Terlihat jelas gelembung-gelembung kecil pada air. Di belakang pemandian, ada sebuah sungai yang keruh dengan pepohonan dan sawah menghijau. Tapi jangan salah, air kolam bukan berasal dari sungai. Air belerang itu dialirkan langsung dari sumber mata air di dalam tanah.
Kolam di sini ada tiga, satu kolam dewasa yang kutempati saat itu, satu kolam untuk anak-anak, satu lagi kolam kecil buat menampung dan menyaring air dari sumbernya sebelum dialirkan ke kedua kolam. Kita dilarang berenang di kolam kecil ini, tapi bisa mengambil air dengan cara menimba. Di depan kolam ada tiga kamar mandi, satu toilet dan pancuran untuk bilas. 


Buat yang suka wisata hingar bingar, tempat ini mungkin agak membosankan. Tapi buat yang suka ketenangan dan relaksasi, tempat ini perlu dicoba.
Setelah satu jam berendam, aku segera naik untuk bilas. Aku sengaja memilih bilas di pancuran. Airnya betul-betul sejuk. Sesudah itu, aku bersiap untuk ganti pakaian di kamar mandi. Saat itulah, beberapa orang warga sekitar mulai berdatangan. Rupanya, banyak warga sekitar , terutama anak-anak, suka mandi di tempat ini setiap sore. Yang bikin aku takjub, ada seorang nenek masih lincah berenang. Wow, mantap mbah!
Habis beres-beres, aku kembalikan kunci loker lalu pulang. Nggak ada jalan lain, aku harus jalan kaki lagi sejauh 2 km sampai ke depan pabrik Sosro. Rileksnya langsung hilang, tapi nggak apa-apa lah.  
Ya, inilah sedikit review perjalananku. Pengalaman baru buatku, coba-coba berenang, sendirian pula.