Senin, 24 Agustus 2015

Gunung Ungaran : Kesetiakawanan di tengah Kengerian (Part 3 - End)

Biarpun cuma 2 jam, aku tetap bisa tidur. Sesekali terbangun oleh suara pendaki yang istirahat di pos ini. Sampai akhirnya, aku lihat jam tanganku sudah menunjukkan jam setengah 6 pagi. Aku pun keluar dari tenda. Udara dingin tapi sejuk. Kulihat alam yang semalam tampak mengerikan, kini bagai tersenyum ramah di depanku. Pepohonan terlihat hijau berselimut embun pagi. Dan di ufuk timur, matahari terbit kemerahan. Andai saja aku bisa mencapai puncak pasti jauh lebih indah. Ya, cuma andai saja... sekarang nasi udah jadi tiwul... eh salah... jadi bubur.... haha..
David ikut terbangun. Ia berkata padaku “Semalam kejadian tak terlupakan. Tapi udahlah, nggak usah dibahas lagi. Ini ujian buat kita. Kita harus rela, sebagai teman kita harus saling menolong. “ Betul-betul ucapan yang menguatkanku. “Ya, yang sudah terjadi, biarin aja. Maafin aku” sahutku. “Kalau kita masih sama teman-teman yang lain, belum tentu mereka kuat lihat kondisi kamu tadi malam” David melanjutkan.
David membangunkan Sinin. Lalu dia merebus air buat menyeduh kopi. Sambil menunggu, kami asyik kriuk kriuk dengan cemilan yang kami bawa, sampai-sampai nggak tertarik buat bikin mie lagi. 
Lewat dari jam setengah 7, beberapa pendaki lain mulai turun gunung. Kami pun membereskan tenda lalu ikut turun. Aku disuruh berjalan di depan. Ternyata nggak seperti tadi malam, aku bisa berjalan tegak. Kalaupun lewat batu nggak sampai ngesot… hehehe.. Mungkin karena sudah lebih kuat, aku jauh lebih semangat.


Apalagi lewat dari hutan lebat, terpampang pemandangan yang luar biasa indahnya. Hamparan kebun teh di antara perbukitan yang hijau bikin sejuk mata kami yang merah akibat kurang tidur. Di antara pendaki yang sedang turun gunung atau nge-camp, kami bertiga duduk sebentar. Rugi kalau jalan terus, soalnya kesempatan belum tentu datang dua kali. Aku sendiri beberapa kali mengabadikan dengan kamera HPku. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan… kegagalan kami mencapai puncak tergantikan oleh keindahan yang lain.


Matahari mulai naik, kami pun beranjak dari tempat ini, menuju kolam mata air. Di sini jauh lebih ramai, karena banyak pendaki yang istirahat. Sekedar istirahat, karena kolam renang di situ nggak bisa buat berenang. Dan… kami ketemu lagi dengan Adi dan kedua temannya. Dengan cepat kami akrab dalam pembicaraan. Mungkin karena jumlah kami tiga sama tiga. Cukup lama, sampai akhirnya mereka berpamitan untuk turun. Sampai jumpa lagi mas!
Sementara aku, David dan Sinin masih menunggu teman-teman kami. Karena lama banget, akhirnya kami memutuskan turun sampai ke basecamp. David dan Sinin berjalan lebih cepat dariku sampai aku tertinggal jauh. Mungkin mereka sengaja menguji keberanianku… ya, untunglah medan jalan lebih baik daripada di atas tadi. Dengan berjalan hati-hati, aku sampai juga di basecamp dan bertemu lagi dengan David dan Sinin. Puji Tuhan!
Kami bertiga menunggu di tempat teduh. Hari semakin siang. Sebagian besar pendaki yang kami temui di atas sudah pada turun. Bahkan, protokol dan pengibar bendera upacara di puncak sudah sampai di basecamp. Tapi mana teman-teman kami? Nggak boleh dong ninggalin mereka. Kan kami udah belajar setia kawan? 
Kami sempat bertemu dengan rombongan cewek yang kutemui tadi malam. “Eh, ketemu bapaknya lagi”. Bapak lagi, kapan gue kawin sama emak lo. Ingin rasanya aku berkata demikian, tapi aku tahan karena nggak mau merusak kebaikan mereka. Aku balas dengan senyuman aja.”Tapi nggak apa-apa pak, pendaki pemula sampai ke Pos 3 juga sudah hebat kok” kata mereka serius.
Panas matahari makin menyengat. 3 jam lebih kami menunggu. Kali ini David dan Sinin yang terlihat loyo karena kurang tidur. Sementara aku, mulai diserang rasa lapar. Karena bekalku habis, aku berniat ke warung makan beli sesuatu sambil melihat kalau-kalau Atun dan lainnya ada di warung makan.
Tapi belum sampai ke warung makan, terdengar suara Atun “Om.. sini.. om… mana yang lain?” Weladalah, rupanya dari tadi mereka nongkrong beberapa meter di belakang kami. Segera, aku panggil David dan Sinin. Kini kami bersatu kembali (sok puitis..wkwkwk)
Kami saling ceritakan pengalaman kami. Termasuk apa yang kualami semalam. Ternyata mereka pun nggak mempermasalahkan. Malah dengan jenaka, Atun bercerita bahwa semalam dia kelaparan gara-gara bekalnya katut (terbawa) di ranselnya Sinin. Sampai-sampai dia cuma makan Mie Gelas. Nah lo, makanya bawa bekal sendiri dong…
Dengan riang gembira, kami pulang. Tak lupa mampir ke “basecamp” kelompok kami, yaitu rumah Atun. Dan berakhirlah perjalanan penuh tantangan ini. Semoga kelak aku bisa menjejakkan kaki di puncak Ungaran. Amin... 



Ima sempat tanya padaku “Mas, kapok nggak naik gunung?”. Aku jawab “Ya, mungkin aku pikir-pikir dulu”. Jujur, pengalaman ini bikin aku ketagihan. Tapi aku sadar, mendaki gunung itu nggak mudah. Makanya, aku harus pertimbangkan baik-baik. Sebaiknya aku pilih gunung yang medannya nggak terlalu sulit. Dan satu lagi, aku nggak mau lagi mendaki gunung di malam hari!

TAMAT

Sabtu, 22 Agustus 2015

Gunung Ungaran : Kesetiakawanan di tengah Kengerian (Part 2)

Aku berusaha berpikir positif. Ini kan 17 Agustus. Banyak orang yang muncak hari ini. Jadi kalaupun ada masalah, cepat atau lambat pasti ada yang menolong. Sekali lagi aku teriak “David, kamu dimana? Aku takut nih” “Ya, masih di bawah” terdengar jawaban dari bawah. Nggak lama kemudian, David diikuti Sinin, dengan terengah-engah datang ke depanku. “Bawain tasmu nih, berat” katanya.
Sebentar, aku tenangkan pikiranku. Lalu kami naik lagi. Makin ke atas, makin curam jalannya. Tingkat kemiringannya bikin aku mau nggak mau harus memanjat. Sampailah kami di sebuah tempat landai. Di situ ada pendaki yang memasang tenda. Kata orang sih, puncak tinggal beberapa menit lagi. Jadi mungkin daerah ini “Arcopodo” nya Gunung Ungaran.
Kami lanjut terus, tapi kondisiku tambah drop. Apalagi lihat jalan ke atas makin miring. Banyak batu yang ukurannya belum pernah kulihat sebelumnya. Rasa lemas akibat lapar dan lelah ditambah kondisi tebing yang gelap betul-betul bikin acrophobiaku kumat. Aku nggak berani lihat ke bawah.
Aku terus berusaha, meski harus merangkak. Tapi sebuah batu besar menghentikan langkahku, aku harus lompat ke atasnya. Kalau teledor, bisa-bisa terjun bebas ke bawah. Nyaliku langsung menciut. “Aku senteri, kamu nggak usah takut” begitu kata David.  Aku coba memanjat, malah badanku hampir merosot lagi. “Berdiri kamu” David menyuruhku. “Nggak bisa, aku takut” sahutku terengah-engah. “Kalau nggak berdiri nggak bisa naik” serunya. Aku mencoba lagi. Susah sekali. Fisik dan mentalku betul-betul sudah drop.
Sinin muncul dari belakang “Kalau udah nggak sanggup, mending kita turun aja, daripada nanti kamu kenapa-kenapa. Kapan-kapan kita bisa naik lagi” “Nggak apa-apa mas?” David keheranan. “Nggak apa-apa, kita turun sekarang aja, nanti bikin tenda di kebun teh” jawab Sinin. “Nanti teman lain gimana mas?” tanyaku. “Biarin aja mereka naik”.
Kami memutuskan turun. Aku merasa nggak enak. Tapi kata Sinin “Kita turun langsung, kalau turun besok pagi nanti kamu lebih takut lihat medan yang sebenarnya” Ya, dia bersama David rela nggak ke puncak demi aku. Aku minta maaf pada mereka, dan mereka menjawab tidak apa-apa. Sungguh setia kawan.
Kami istirahat di tempat tenda tadi. Sebetulnya kami mau pasang tenda di sini. Pemandangannya terlihat bagus. Tapi di tempat itu sudah ada dua tenda. Nggak cukup lagi. Jadi, kami di situ cuma numpang menghangatkan badan dan masak mie sebelum lanjut turun ke bawah.
Udara dingin luar biasa, padahal aku sudah pakai jaket dobel. Pikiran dan badanku tak karuan, jadi makan pun rasanya nggak enak. Mungkin betul kata David, kalau naik gunung kita nggak boleh berpikir negatif. Atau bisa juga aku mulai mengalami hipotermia seperti Arial di film 5 Cm.
Sesudah makan, kami turun lagi. Sesekali kami berpapasan sama pendaki yang naik. Mereka tanya, kenapa kami turun. David dan Sinin menjawab bahwa aku takut ketinggian. Memalukan! Tapi ya, mau gimana lagi? Kenyataannya pas turun. kondisiku bukannya kuat lagi malah makin kacau. Aku susah berjalan tegak, sesekali harus main perosotan di batu. Baju dan celanaku sampai belepotan pasir.
Kejadian selanjutnya, bisa dibilang mengerikan. Tiba-tiba saja pikiranku terasa kosong. Aku berlari nggak tentu arah, lalu rebah. Aku tetap sadar, tapi badanku serasa masuk ke dunia lain. David dan Sinin panik.
“Bert, sadar Bert” teriak David sambil menepuk wajahku. Ia bacakan doa di telingaku. “Aku nggak ingat apa-apa, pikiranku kosong” jeritku. “Kamu jangan ngomong gitu, kamu harus sadar”. Sinin yang panik hampir saja melemparkan ranselnya ke arahku biar aku sadar.
Pendaki lain melihat dengan kasihan. “Mas, nyebut mas, istighfar”. Sambil menangis, David baca doa buat menyadarkanku, aku pun berusaha tanggapi sesuai keyakinanku. “Dalam nama Yesus, Haleluya, Puji Tuhan”. 
Untunglah kuasa Tuhan masih berpihak atasku. Aku kembali ingat waktu dan tempat. “Minum dulu” kata seseorang. Aku pun duduk sebentar, sampai kondisiku stabil. David mengajakku mengobrol berbagai hal biar pikiranku tenang. Aku katakan “Aku nggak kuat lagi, kita sampai Pos 3 aja, aku mau tidur”, yang langsung diiyakan oleh David dan Sinin.
Sesudah itu, kami turun lagi. Buat mencegah pikiran kosong, aku putar lagu dari HPku sambil sesekali menyanyi. Sampai di tempat aku jatuh tadi, aku istirahat sebentar. Tiba-tiba pikiranku kosong lagi. David dan Sinin pun harus susah payah menyadarkanku lagi. Entah karena hipotermia atau memang ada "sesuatu" di daerah itu. Untungnya, nggak separah tadi. Aku terpikir buat lakukan jurus menyadarkan orang pingsan secara manual, yaitu mengoleskan minyak kayu putih ke hidung dan leherku.
Apa yang terjadi padaku betul-betul bikin heboh. Andai di gunung ada sinyal internet, mungkin aku udah jadi trending topic di Twitter para pendaki saat itu. Selangkah demi selangkah dan sesekali melorot, akhirnya kami sampai di Pos 3. Tanpa pikir panjang, kami langsung duduk menyelonjorkan kaki sambil makan bekal roti tawar. Aku lemas, perlu berbaring. Tapi untuk mendirikan tenda di sini? David dan Sinin agak kebingungan karena tempatnya tidak terlalu besar.
Biarpun sudah larut malam, masih banyak pendaki yang menuju puncak. Saat itu ada 3 orang pemuda, mereka dua tiga tahun lebih tua dari kami, beristirahat di dekat kami. Katanya sih mereka juga mau ke puncak tapi udah kemalaman. Dari percakapan basa basi, David dan Sinin menceritakan tentang kondisiku. Salah satu dari mereka menawarkan untuk melakukan terapi untukku. Awalnya aku ragu, terapi apa? Ternyata pijat refleksi. Aku pun mengiyakan.
Maka, orang yang belakangan kuketahui bernama Adi itu mulai memijat kakiku. Ya, namanya pijat refleksi rasanya pasti sakit. Aku berusaha tahan, karena aku tahu Adi dan kedua temannya bermaksud baik. Tidak cuma itu, kedua teman Adi yang malu nyebutin nama itu membantu David dan Sinin memasang tenda. Tempat yang sempit mampu disiasati. Tak berapa lama, tenda undah terpasang, aku pun duduk di dalam tenda sementara Adi melanjutkan memijat kakiku. Katanya sih, dia juga lulusan Teknik Informatika di Semarang (aku lupa nama universitasnya), sekarang dia dan kedua temannya bekerja di pabrik.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 1 dini hari. Sinin memilih berbaring dengan sleeping bag di samping tenda. Sementara David masih asyik berbincang dengan kedua teman Adi. Malahan, tanpa rasa sungkan, kedua orang itu membuatkan teh hangat untuk kami berenam. Aku betul-betul nggak habis pikir, ternyata pendakian gunung bukan hanya mengakrabkan kami dengan alam, tapi juga dengan orang-orang yang nggak kami kenal sebelumnya. Betul-betul luar biasa.

Sayangnya, kebersamaan kami tidak lama. Waktu seakan berputar cepat. Pukul setengah 3 dini hari, Adi dan kedua temannya pamit. David pun masuk tenda untuk tidur, menyusul aku dan Sinin yang hampir terbuai mimpi. 

Bersambung ke Part 3....

Selasa, 18 Agustus 2015

Gunung Ungaran : Kesetiakawanan di tengah Kengerian (Part 1)

Suatu hari, sahabatku, David berkata padaku, “Bert, muncak yo”. Muncak di sini maksudnya mendaki gunung. Aku agak ragu menanggapinya, masalahnya aku belum pernah mendaki gunung selain Bukit Tidar di Magelang. Selain itu, aku juga mengidap acrophobia alias penyakit takut ketinggian. Jangankan berdiri di tebing yang curam, naik eskalator di mal aja suka merinding, seolah-olah tubuhku selalu mengikuti gaya gravitasi.
“Kemana?” aku bertanya. “Ke Gunung Ungaran, nanti 17 Agustus. Ini aku diajak sama temanku, aku disuruh ajak kamu” jawab dia. Aku masih bingung mau jawab ya atau tidak. “Ayolah Bert, ini pengalaman buat kita. Belum pernah kan kita naik gunung bareng-bareng”. Karena David terus merayu biar aku mau, aku menjawab “Ya”
Aku berusaha buang rasa takutku ke tubir laut (hahaha… lebay), tapi seolah rasa takut itu terlalu berat buat dilempar. Makanya, aku segera cari info tentang Gunung Ungaran lewat mbah google. Mulai dari blog perjalanan, grup backpacker sampai ke juru kunci… eh bukan ding... maksudnya sampai ke e-book pendakian gunung. Dari semua itu aku tahu bahwa Gunung Ungaran cocok buat pendaki pemula. Oke bos… berangkat!
David sendiri sudah memikirkan, perjalanan kami bakal seperti film 5 Cm… hahaha… ya,kalau dilihat sejarahnya, sejak awal kuliah, David itu sahabat terdekatku satu-satunya. Mulai dari awal kuliah D3 sampai kami lanjut S1 dan hampir lulus ini, kami selalu bersama-sama. Persahabatan kami dimulai ketika aku menemani dia di depan kampus, tunggu bapaknya menjemput. Ya, dia dengan manja minta aku temani, katanya biar nggak nunggu sendirian. . Selanjutnya, sudah banyak kebersamaan kami, mulai dari kerjakan tugas kuliah, main ke warnet, magang di Jogja, nonton film, pendaftaran skripsi, sampai yang terbaru dia ajak aku nge-gym. Nah, mendaki gunung ini pas buat menghayati tentang persahabatan (lebay lagi..). Ya, seperti di 5 Cm itu. Kebetulan, tepatnya, 14 Agustus, aku ujian skripsi. Jadi pas banget buat merayakan kelulusanku.
Nah, 14 Agustus, saatnya aku ujian. Sudah 2 hari aku menginap di rumah David, karena sejak mulai skripsi, aku tidak lagi ngekost. Benar saja, hari itu aku lulus ujian skripsi, meskipun harus kena revisi. Aku lega banget, separuh bebanku pergi... tapi separuh jiwaku tidak. Dan untuk merayakannya, ya tadi itu, mendaki Gunung Ungaran.

Aku dan David mulai bersiap-siap mempersiapkan ini itu. Bahkan ada beberapa barang yang harus kubeli karena emang nggak punya, yaitu masker, sarung tangan, jas hujan dan senter. Tak lupa beli bekal yang banyak. Lumayan menyedot tabunganku, tapi ya mau gimana lagi? Masa aku naik gunung modal badan doang? David sendiri menceramahiku macam-macam:  jangan ragu melangkah, jangan jalan sendiri, jangan melamun, jalannya begini begitu... pokoknya udah kayak leader pendakian nih anak. Dia memang udah pernah mendaki Gunung Cikuray di Jawa Barat.
Minggu, 16 Agustus 2015 jam 13.00 kami memulai perjalanan. Rombongan kami ada 7 orang, terdiri dari 4 cowok yaitu aku, David, Sinin dan Irul serta 3 cewek yaitu Ima, Atun dan ceweknya Irul yang tak kuketahui namanya. Berkumpul sebentar di rumah Atun buat mengatur perlengkapan, lalu jam 14.00 kami berangkat. Perjalanan lewat Jimbaran dengan 4 motor. Ima dan Atun udah ngebut duluan. Sedangkan yang lain mampir dulu ke Alfamart. Singkat cerita, jam 15.00 kami sampai di Basecamp Mawar, nggak jauh dari Umbul Sidomukti. Sesudah registrasi, kami duduk-duduk dulu. Karena menjelang 17 Agustus, banyak banget pendaki hari itu. Entah terinspirasi dari 5cm atau bagaimana, mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung jadi ritual wajib setiap tahunnya. Jumlahnya ratusan pokoknya. Belum lagi mereka yang sekedar nge-camp alias berkemah di Basecamp Mawar atau Kebun Teh Promasan.


Tepat jam 16.00 atau 4 sore, kami mulai pendakian. Dengan ransel pinjaman dari Sinin, aku mulai melangkah. Diawali dengan sebuah turunan berbatu, jalan makin lama makin menanjak di antara hutan pinus. Terus dan terus naik. Harus hati-hati karena banyak batu. Nafas kami mulai terengah-engah. Keringat mulai bercucuran. Aku sendiri sempat terpeleset sekali. Untungnya, nggak lama kemudian kami sampai di Pos 1. Istirahat sebentar buat minum. Jaket kulepas karena gerah. Pendaki lain lalu lalang di depan kami. Satu yang bikin aku terkesan setiap kali berpapasan di manapun, mereka selalu menyapa “Permisi mas/mbak”. Kami pun membalasnya dengan support “Semangat mas/mbak”, lalu kami tertawa bersama. Aura persahabatan begitu kuat di antara kami biarpun tidak saling kenal.
10 menit kemudian jalan lagi. Jalan menuju Pos 2 lebih banyak jalan landai. Tapi tak sedikit juga tanjakan berbatu dan kita musti ekstra hati-hati. Di Pos 2 rombongan kami bertambah, karena ada beberapa orang teman Irul bergabung. Begitulah, jumlah kami jadi sekitar 11 orang. Jalan lagi! Ups, karena tersandung pasir, aku kembali tersungkur dan… aku harus relakan jam tanganku putus dan bajuku kotor.  Huh! Bukan itu saja, teman-temanku sudah jauh di depan. Aku ketinggalan di belakang bersama Sinin. Untungnya Sinin baik hati, ia mau menemaniku “Pelan-pelan aja mas” begitu katanya.
Jalan setapak berikutnya cukup landai, diapit oleh tebing dan jurang. Di kejauhan, kota Ungaran dan Ambarawa terlihat kecil. Beberapa puluh menit, sebuah mata air yang dilengkapi toilet umum menyambut kami. Banyak pendaki yang istirahat di sini, terutama buat ke toilet atau cuci tangan.
Lanjut tak lama kemudian, kami disuguhi sebuah pemandangan alam yang luar biasa. Kebun teh Promasan nan hijau terhampar luas. Sementara itu matahari meredupkan sinarnya. Kami nggak tahan untuk tidak mengabadikan momen ini. Apalagi aku, si cowok narsis yang punya moto "Segala yang indah tidak boleh dilewatkan"

Langit makin gelap. Kami mulai nyalakan senter masing-masing lalu menanjak naik meninggalkan semua keindahan itu. Dan… mulailah masuk ke hutan rimba. Suasana betul-betul gelap lap, langit nyaris tak tampak karena tertutup pepohonan, jadi serasa masuk ke gua. Di sini, aku mulai rasakan dingin. “Berhenti sebentar, aku mau pakai jaket” teriakku pada teman-teman. David, Sinin dan Irul pun menungguku. “Istirahat aja sebentar mas” kata Sinin. Aku pun minum sambil meluruskan kakiku. Atun dan teman-teman lainnya sudah jalan lebih jauh. Betul-betul Wonder Woman cewek-cewek itu. Tapi tak lama “Sebentar, aku nyusul yang lain, kasihan nggak bawa tenda” Irul pun meninggalkan kami.
Kami hanya tinggal bertiga : aku, Sinin dan David. Setelah istirahat sekitar 10 menit, kami jalan lagi dan sampailah kami ke Pos 3. Hari betul-betul sudah gelap dan nggak ada lampu listrik satupun. Andai lampu senter dimatikan, kami nggak bakal bisa lihat apa-apa. Lewat dari Pos 3. jalan makin lama makin menantang. Batu-batu besar mulai terlihat, akar-akar dan dahan pohon yang tumbang juga banyak. Tanah pun berpasir. Tak jarang kami harus kepayahan memanjat batu sambil melompati dahan pohon.
Dengan berat beban di punggung dan bahuku aku pun berusaha menuju puncak. Eiiiiiit….. tiba-tiba aku terpeleset saat menaiki batu. Dan bisa ditebak, badanku hampir meluncur ke bawah! Aku menjerit minta tolong. “Berdiri mas” kata Sinin  yang berjalan di belakangku. Aku berusaha berdiri. Tapi badanku malah meluncur sejengkal lagi. “Naik sedikit Bert, lalu berdiri, nggak apa-apa” seru David. Aku berusaha memanjat tebing berbatu itu sambil tak hentinya berdoa dan menjerit. Susah sekali. Pasir yang bertebaran berusaha menjatuhkanku. Beberapa pendaki yang lewat melihatku, tapi kebingungan apa yang harus dilakukan?
Untunglah, seorang bapak mengulurkan tangannya. Perlahan dia menarikku ke atas dahan. Fuuuuh leganya. Kakiku terasa sakit, jadi aku harus duduk lagi. “Minum dulu pak” kata seorang cewek berjilbab. Aku pun mengambil air minum dari ransel. Bapak yang menolongku tadi memang memimpin grup yang terdiri dari lima cewek berjilbab itu. “Ya, soalnya saya masih pemula” ujarku. “Memang begini pak, saya juga baru pertama kali” sahut cewek itu. Melihat keadaanku yang melemah, Sinin dengan sukarela membawakan ranselku. Padahal dia sendiri juga bawa ransel segede gambreng! Aku agak tak enak hati, tapi kurelakan aja biar langkahku lebih enak.
Tak lama, kami kembali jalan, David dan Sinin berjalan di belakangku, tanpa sadar aku mengikuti rombongan cewek-cewek itu…hihihi.. “Semangat pak” seru mereka. Dipanggil “bapak”, satu hal yang sebetulnya tak kusukai. Tapi biar deh. Dengan nada bercanda, aku bilang “Jangan panggil pak, saya belum nikah”
Keadaan tidak lebih baik. Batu-batu sebesar meja bikin perjalanan terasa makin jauh aja. Nafasku makin kacau. Apalagi jatuh tadi betul-betul bikin aku shock. Acrophobiaku kumat.
“Istirahat dulu pak, kalau capek”.. hmmm.. cewek-cewek itu perhatian banget ya… hihihi. Aku duduk di sebuah batu. Rombongan cewek itu nggak lama berhentinya. “Ayo pak, lanjut” “Nanti aja, aku tunggu temanku” jawabku. Aku pun ditinggal sendirian di situ.

Aku menunggu David dan Sinin. Sendirian di tengah gunung malam-malam begini. Lama amat. “David, kamu dimana?” teriakku. Nggak ada jawaban. Apa jangan-jangan mereka sudah di atasku? Di kejauhan aku lihat tebing gunung yang gelap dan sepi. Di bawahku, batu-batu besar dan berpasir. Di sekitarku hutan dengan suara gemerisik angin malam. Betul-betul mencekam. Aku nggak terlalu takut gelap. Tapi bermalam di tengah hutan sendirian tetap saja bukan hal yang menyenangkan.

Bersambung ke Part 2.... 

Minggu, 09 Agustus 2015

Solo Travelling (3) : Solo-Wonogiri dengan Railbus Batara Kresna

Wonogiri, Gunung Gandul
Pusat jamu Air Mancur
Dulu gersang, s’karang makmur
Berkat Waduk Gajahmungkur
Wonogiri, Gunung Gandul

Syair lagu di atas mengingatkan aku saat masih duduk di bangku SD. Ya, lagu “dolanan” yang dinyanyikan dengan irama lagu Tanjung Perak itu sering dinyanyikan saat latihan Pramuka. Ceritanya tentang daerah Wonogiri, kabupaten di selatan Jawa Tengah. Tapi pengalamanku kali ini bukan tentang lagu itu lho, tapi beneran tentang kunjunganku ke Wonogiri.
Bagaimana ceritaku bisa sampai ke Wonogiri? Hari ini, aku yang masih dalam masa penantian ujian harus ditinggal ortu pergi ke Banjarnegara untuk acara gereja. Nah, daripada merasakan home alone (gak takut sih sebenarnya, cuma kesepian aja), aku rencanakan solo travelling lagi.
Awalnya aku di antara dua pilihan (kayak judul sinetron aja). Pilihan pertama naik KA Kalijaga jurusan Semarang-Solo lalu jalan-jalan ke Solo. Intinya karena aku pengin naik kereta lewat Grobogan. Pilihan kedua, naik KA Prameks jurusan Jogja-Solo, disambung Railbus Batara Kresna ke Wonogiri. Ternyata, hatiku lebih kuat memilih yang kedua. Aku penasaran dengan moda transportasi baru yang diresmikan oleh Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, pada Maret 2015 ini. Railbus atau bus rel ini diaktifkan untuk mempermudah transportasi Solo-Wonogiri, sekaligus menghidupkan kembali jalur kereta api di daerah itu.
Seperti biasa, dari mbah google, aku ketahui alur perjalanan yang harus kutempuh. Railbus Batara Kresna berangkat dari Stasiun Purwosari, Solo jam 10.00. Jadi setidaknya aku harus naik KA Prameks dari Stasiun Tugu, Jogja yang jam 07.35.
Pagi itu aku betul-betul sport jantung. Jam 6 pagi, bus yang kutumpangi baru berangkat dari Magelang. Jam 07.05 baru sampai di Terminal Jombor. Sempat terpikir buat naik taksi ke stasiun, tapi takut uangku nggak cukup. Akhirnya dengan terpaksa naik bus Trans Jogja. Hampir tiap menit aku lihat jam, andai saja bus ini bisa terbang… eh jangan ding… bisa-bisa bukannya sampai ke Stasiun Tugu malah sampai ke Parangtritis.
Tepat jam 07.30 sampai di depan Stasiun Tugu, aku buru-buru lari ke stasiun. Tapi dasar sial, begitu mau masuk gerbang, para petugas menghentikan setiap orang yang mau masuk. Bukan karena ada razia, tapi karena ada kereta barang lewat. Aku yang sudah lari-lari mau nggak mau harus nunggu. Lebih dari 10 gerbong tuh kereta, jadi cukup menguji kesabaran. Dan yang aku takutkan sejak tadi terjadi di depan mata. KA Prameks yang kuharapkan sudah melaju kencang di rel sebelah sana! 
Tapi bukan Robert namanya, kalau nggak nekat cari alternatif lain. Dengan pedenya aku menuju ke loket. Biar deh, kalau nggak ada kereta ke Solo, kereta jurusan Madiun atau Surabaya juga boleh , asal nggak terlalu mahal. Uang, nanti bisa ambil di ATM kalau kurang, pikirku nakal. Aku tanya ke petugas loket.

Aku : Mbak, kereta yang ke Solo ada jam berapa?
Petugas : Ada Joglo Ekspres jam 08.15 tapi beli tiketnya bukan di sini mas, belinya di pintu selatan Jalan Pasar Kembang.
Aku : Kalau dari sini arahnya sebelah mana, mbak?
Petugas : Ini keluar sampai rel, belok kanan, lurus lalu belok kanan lagi.
Aku : Oke, makasih mbak.

Aku keluar dari stasiun, berjalan ke tempat yang ditunjukkan mbak tadi. Pas lewat rel, ups, tanpa diduga, di kejauhan ada kereta berjalan siap menerkam. Ekstrim banget, aku cepat-cepat lompat pagar pembatas keluar stasiun. Ya, biarpun ada humor yang mengatakan ketabrak kereta itu nggak terasa sakit, tapi jangan coba-coba lah ya.
Berjalan terus lewat Jalan Pasar Kembang, daerah yang sering dicap negatif sebagai tempat “begituan”. Tapi toh, nyatanya aku lewat dengan mulus, nggak ada gangguan sedikit pun, sampai ke pintu selatan stasiun. Ternyata sejak 7 Juli 2015, penjualan tiket kereta lokal pindah ke  pintu selatan ini.

Sesudah beli tiket seharga Rp. 20.000 aku langsung ke tempat pemeriksaan tiket, lalu naik ke kereta. Dari nomor tiketnya sih gerbong 1 kursi 15 A. Aku sempat bingung cari tempat itu, sampai harus tanya ke petugas. Eh, tapi dasar norak, aku nggak bisa bedain gerbong depan belakang. Alhasil, bapak petugas itu musti 3 kali jelasin. Maaf ya pak.
Dan kereta berangkat. Jes.. jes.. jes… bukan jug gijag gijug, soalnya ini kereta pagi…wkwkwkwk. Agak lama, aku mulai pusing. Ternyata kalau naik kereta itu lebih enak hadap depan daripada hadap belakang. Untungnya, nggak lama, jam 09.10 kereta udah sampai di Stasiun Purwosari.

Begitu turun, aku ke toilet dulu. Gratis lho toilet di sini, nggak usah bayar. Habis itu, cari loket tiket KA Perintis alias Railbus Batara Kresna. Cukup Rp. 4.000 buat satu orang, betul-betul murah meriah. Tapi eit.. aku baca tiketku kok “tanpa tempat duduk”, berarti aku musti berdiri nanti?
Masih tunggu sekitar 40 menit, aku keliling keliling dulu di stasiun. Ada seorang ibu, pemilik warung makan, menyapaku dengan keramahan khas Solo. “Monggo mas, mampir dulu, mau makan soto ayam atau pecel? Minumnya ada kopi, teh, es buah.”. Kelemahlembutan sang ibu membuatku tergoda (bahasanya bro..). Aku putuskan mampir, tapi karena sudah makan nasi di rumah, aku cuma pesan segelas kopi dan mencomot dua potong tahu goreng.
Setelah membayar (ya iyalah, kan beli bukan dikasih!), aku kembali ke peron stasiun. Dan Railbus Batara Kresna pun datanglah. Wow, bagus banget keretanya. Kereta ini cuma terdiri dari 4 gerbong. Jadi kupikir wajar lah, kalau pas ramai kita nggak dapat tempat duduk. Karena tiketku tadi juga tertulis tanpa tempat duduk, aku sengaja duduk di peron dulu, nanti kalau udah kurang 5 menit baru naik.



Tapi perkiraanku rupanya salah besar. Begitu masuk ke sebuah gerbong, kondisinya betul-betul sepi. Petugasnya malah mempersilahkanku duduk di “tempat terhormat”, alias bangku yang menghadap ke depan, biar enak, gitu katanya. Dan beberapa penumpang naik. Akhirnya, sampai berangkat, gerbong yang kutempati cuma berisi 8 orang : aku sendiri, seorang cowok, seorang cewek, tiga ibu dan dua anak kecil.
Aku sempat mengobrol dengan salah satu ibu. Hari itu dia bermaksud mengajak cucunya naik kereta bersama beberapa saudara. Berangkat dari Sukoharjo, sampai di Solo, habis itu balik lagi ke Sukoharjo. Ternyata nggak sedikit warga yang menggunakan transportasi ini untuk sekedar jalan-jalan PP alias pulang pergi, apalagi dengan adanya railbus ini jalur KA Solo-Wonogiri diaktifkan lagi sesudah absen beberapa tahun. Railbus ini kadang melewati jalan yang ramai, salah satunya Jalan Slamet Riyadi. Jadi nggak melulu kita lihat pemandangan desa atau hutan. Karena lewat dekat jalan raya, nggak heran kalau kecepatannya cuma sekitar 10-30 km per jam. Kadang-kadang agak ekstrim juga, ada rumah-rumah tepat di pinggir lintasan kereta, atau lewat jembatan layang di atas kota.
Railbus 3 kali berhenti buat naik turun penumpang : Stasiun Solo Kota, Stasiun Sukoharjo dan Stasiun Pasarnguter. Barulah kemudian perhentian terakhir di Stasiun Wonogiri. Sepanjang perjalanan, nggak banyak penumpang naik. Kebanyakan orang tua yang ingin mengajak jalan-jalan anaknya. Jadi suasana kereta diramaikan oleh keusilan anak-anak… hahaha.. Anak-anak tuh kadang suka manjat pegangan di kereta, atau lari-larian di dalam gerbong. Untungnya, saat itu cuma ada dua anak di dekatku, jadi aku nggak merasa terganggu.

Sampai di Wonogiri tepat jam 11.45. Baru aja turun, aku langsung buru-buru beli tiket lagi. Tapi karena masih setengah jam, aku cari makan siang dulu. Pilihanku jatuh pada warung makan di seberang stasiun, aku pesan nasi pecel dengan telur ceplok. Pecelnya lumayan bikin aku terengah-engah karena puedes, tapi aku udah pesan penawarnya : es teh.
Oh ya, Stasiun Wonogiri ini bukan hanya melayani tiket KA Batara Kresna saja lho. Bisa juga pesan tiket KA lain yang ada di Stasiun Solo. Di sebelah barat stasiun ada terminal bus kecil, yang kata orang Jawa disebut bus engkel. Di sebelah utara adalah Pasar Wonogiri. Sayangnya, aku nggak bisa jelajah lebih jauh, tinggal 15 menit, bisa-bisa ketinggalan. Kalau ketinggalan, pulangnya gimana ya?

Aku naik lagi ke railbus. Gak pake lama, railbus jalan lagi. Kembali penumpangnya kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Tapi kali ini minta ampun deh. Anak-anaknya rame banget, lari kesana kemari. Eh, ibu-ibunya malah pada ngerumpi. Mantabs ributnya. Biar aku nggak dipusingkan sama suara mereka, aku pasang earphone dengerin lagu. Dan biar lebih sesuai sama suasana kota Solo, aku sengaja putar lagu campursari. Alhasil, di kupingku, suara Didi Kempot bersahut-sahutan dengan suara ibu dan anak itu. Hihihi…
Tiba di stasiun Purwosari lagi! Terima kasih Railbus Batara Kresna! Jam 2 siang sekarang. Artinya aku cuma punya waktu 7 menit lagi buat naik KA Prameks ke Jogja. Aku segera ke toilet dan beli tiket seharga Rp. 8.000. Dan, seperti tadi di tiketku tertulis “tanpa tempat duduk”. Tapi pas aku naik ke kereta, toh tetap ada tempat duduk kosong. Kalau bisa duduk, ngapain berdiri? Keretanya sih nggak sebagus Joglo Ekspres, apalagi Batara Kresna, tapi lumayan enak juga kok.
Sekitar jam 15.15, aku sudah menjejak Stasiun Tugu lagi. Sebenarnya udah waktunya pulang. Tapi belum puas, aku pengin jalan-jalan di Malioboro dulu. Buatku, kota Jogja memang sangat berkharisma, biarpun udah ratusan kali aku ke sini, tapi nggak pernah bosen. Ya, biarpun sore itu perlu bersabar dengan antrean kendaraan pulang kerja yang bikin aku susah nyeberang. Beberapa tukang ojek menawarkan jasa, tapi aku tolak karena Malioboro nggak jauh lagi.

Di Malioboro,ya, sekedar JJS (jalan-jalan sore) aja, nggak beli apa-apa tapi udah puas. Tak jarang ketemu rombongan bule yang lalu lalang dari Malioboro sampai titik nol. Bahkan, sampai menyeberang ke Bank Indonesia pun bareng dengan serombongan keluarga bule. Aku tetap jalan aja, tanpa sempat menyapa “Hello mister”.


Barulah perjalanan hari ini kuakhiri di depan Taman Pintar. Aku segera mendekati halte Trans Jogja, untuk kemudian pulang ke Magelang via Terminal Jombor. Sampai jumpa!