Rabu, 14 Oktober 2015

Alun-alun Kidul Keraton di Waktu Malam

Pengalaman ini terjadi pertengahan tahun 2014, di mana saat itu aku dan David sedang menjalani Kerja Praktek di Jogja. 
Malam itu, teman kost kami, Adit (anak Sumbawa) dan Rafi (anak Kendari)  mengajak kami muter-muter kota Jogja. Oh ya, mereka itu siswa bimbingan belajar Ganesha Operation yang baru aja lulus SMA. Khusus buat ngerayain kelulusan itulah, mereka mau mengajak kami berdua jalan-jalan ke Malioboro alun-alun keraton. Sementara teman kost lain ke Monjali alias Monumen Jogja Kembali, kami berempat punya acara sendiri.
Sebelum berangkat, mereka lebih dulu mentraktir aku dan David makan di Sop Ayam Pak Min. Jujur, aku nggak terlalu suka makan daging, tapi demi menghargai, aku pesan aja sup ayam yang dagingnya dipotong kecil-kecil. Lumayan enak sih, biarpun terpaksa. 
Habis makan pulang sebentar ke kost buat siap-siap. Dengan mengendarai dua motor, kami berangkat dari kost di Jalan Magelang. Aku dibonceng sama Rafi sedangkan David boncengin Adit. Perlahan menembus keramaian kota Jogja. Ya, namanya kota besar, mau siang mau malam tetap aja rame. 
Tapi aku menikmati banget malam itu. Lewat Tugu, muter stasiun, memasuki Malioboro, kami jalan terus sampai ke depan Benteng Vredeburg yang di depannya daerah yang biasa disebut “titik nol”. Kami berhenti dulu di situ. David langsung mendekati penjual aksesoris di situ (tertarik sama aksesorisnya, bukan penjualnya!). Gantungan kunci di sini bagus-bagus dan murah. Ada yang berbentuk kendaraan dari kayu, ada juga yang berbentuk domba atau sapi dari kulit kerang. Lima ribu bisa dapat tiga atau empat, tergantung ukuran dan berapa kita nawarnya. Tahu harganya, aku ikut-ikutan beli biarpun cuma tiga biji.


Nongkrong di warung kopi… eh salah… di titik nol rasanya luar biasa. Banyaknya anak muda di situ bikin kami serasa jadi mahasiswa Jogja. Di depan kami, lampu kota dan kendaraan menerangi malam itu. Di seberang ada gedung BNI 46 dan Kantor Pos. Indahnya kota pelajar….



Setengah jam berlalu, kami lanjut perjalanan ke alun-alun keraton. Jalan yang ditempuh Rafi lumayan ribet, belok sana belok sini di kompleks keraton. Andai aku pergi ke sana sendiri bakalan celingukan di jalan saking jauhnya.
Setelah muter-muter sampai kepalaku pusing, akhirnya kami sampai di depan lapangan besar, dengan dua pohon beringin di tengahnya. Ratusan orang masih memadati lapangan biarpun sudah jam 9 malam. Ada penyewaan mobil kayuh di situ yang bisa disewa (aku lupa harganya) untuk mengitari alun-alun.


Kami ke tengah lapangan dulu. Di sini ada permainan unik namanya masangin. Seseorang ditutup matanya, lalu berjalan ke pohon beringin itu. Mitosnya, kalau bisa lewat di antara dua pohon itu, cita-cita kita bakal tercapai. Kalau gagal, katanya sih, berarti orang itu pikirannya jorok.
Kami berembuk, siapa yang mau coba. Karena kepalaku agak pusing, aku malas mencoba. Dan.. David yang jadi sasaran.
Dengan ditutup matanya, David berusaha berjalan ke arah pohon beringin. Aku dan lainnya memberitahu arah, kanan atau kiri. Sesekali kami sengaja ngerjain David ke arah yang salah dan ini yang bikin ketawa. Sementara, banyak orang lain yang juga jadi “pemain” di situ hingga kata “permisi” berbalas-balasan, malah beberapa kali kami nggak sengaja tubrukan sama orang lain. Lumayan, "bermesraan" sesaat.... haha... Dan karena dikerjain atau memang karena pikiran dia yang “kotor”, David salah arah, dia malah sampai ke samping pohon yang kanan… wkwkwkwk…
Puas bermain, kami menyewa mobil kayuh. Mobil ini kapasitas 4 orang. David bertindak sebagai sopir. Adit di sampingnya, aku dan Rafi di belakang. Biarpun sebagai penumpang, bukan berarti bisa duduk manis lho… kami semua tetap harus mengayuh biar mobil bisa jalan sempurna. Mobil dilengkapi lampu warna-warni, juga ada pemutar MP3 jadi selama jalan kami bisa diiringi musik. Aku berharap David muter lagunya Shaggy Dog atau Kla Project biar sesuai suasana Jogja, eh yang diputer malah lagu barat... ya udahlah.


Mobil ini berputar 3 kali mengelilingi alun-alun. Alun-alun di sini mengingatkanku pada Lapangan Pancasila Salatiga, bedanya di sini lebih ramai. Nggak jarang, David ngebut, bikin aku harus lebih kuat menggenjot pedal. Beberapa kali aku protes karena sandalku tersangkut atau hampir jatuh.
Saatnya pulang! Tapi sebelum pulang, aku harus bikin kenang-kenangan dong. Aku minta tolong Rafi buat foto aku. Aku ajak sekalian David dan Adit.


Di perjalanan, David mengingatkanku tentang gantungan kunci yang kubawa tadi. Ya ampuuuuun… di mana ya tadi? Aku rogoh kantong celana dan jaket, nggak ada! Tadi di parkiran, aku merasa ada plastik yang jatuh. Berarti itu! Sial deh… tapi mau gimana lagi? Balik juga percuma, udah dekat kost. Akhirnya beberapa hari kemudian, pas aku jalan-jalan sendirian, aku beliin lagi.


Sampai sekarang, aku nggak bisa lupain kebersamaan malam itu.
Salam buat Adit dan Rafi, semoga kelak kita bisa bertemu lagi… 

Minggu, 11 Oktober 2015

Lagu Masa Lalu (1) : Streets of London





Have you seen the old man 
In the closed-down market 
Kicking up the paper, 
with his worn out shoes? 
In his eyes you see no pride 
Hand held loosely at his side
Yesterday's paper telling yesterday's news 

Refrain:
So how can you tell me you're lonely, 

And say for you that the sun don't shine? 
Let me take you by the hand and lead you through the streets of London 
I'll show you something to make you change your mind 

Have you seen the old girl 
Who walks the streets of London 
Dirt in her hair and her clothes in rags? 
She's no time for talking, 
She just keeps right on walking 
Carrying her home in two carrier bags. 

In the all night cafe
At a quarter past eleven, 
Same old man is sitting there on his own 
Looking at the world 
Over the rim of his tea-cup, 
Each tea last an hour 
Then he wanders home alone 

And have you seen the old man 
Outside the seaman's mission 
Memory fading with 
The medal ribbons that he wears. 
In our winter city, 
The rain cries a little pity 
For one more forgotten hero 
And a world that doesn't care 


Menurut Wikipedia, lagu ini diciptakan oleh Ralph McTell sekitar tahun 1969. Lirik lagu ini menceritakan kehidupan di London pada masa itu dengan mengamati tema realita yang ada. Lagu ini meraih peringkat kedua di UK Singles Chart (Tangga Lagu Inggris) pada masa itu dan terjual hingga 90.000 copy. Dalam perkembangannya, selain oleh Ralph sendiri, lagu ini dibawakan oleh beberapa penyanyi, salah satunya Roger Whittaker. Versi Roger lebih easy listening. 
Makna yang terkandung dalam lagu ini adalah jangan mengeluh bila kita sedang dirundung masalah. Karena ada banyak orang di luar sana yang lebih menderita dari kita. Ada tuna wisma yang hidup tak menentu, orang yang hidup sendirian, hingga pahlawan yang terlupakan. Pada bagian refrain, jelas sekali teguran yang disampaikan. Kalau diterjemahkan secara bebas, kira-kira seperti ini : “Kamu kok ngeluh terus, ayo kita lihat di jalanan, biar kamu tahu kalau kamu nggak sendirian”
Dan pada bait terakhir ada satu cerita miris. Seorang mantan pelaut yang dulu pernah berjuang (mungkin seperti TNI Angkatan Laut di Indonesia), di masa tuanya dia hidup terabaikan, tidak ada yang mengingat jasanya. Itu di Inggris, bagaimana di Indonesia? Semoga jangan sampai terjadi.