Sabtu, 30 Januari 2016

Lagu Masa Lalu (3) : Tell Laura I Love Her


Laura and Tommy were lovers
He wanted to give her everything
Flowers, presents,
But most of all, a wedding ring
He saw a sign for a stock car race
A thousand dollar prize it read
He couldn't get Laura on the phone
So to her mother, Tommy said
Tell Laura I love her
Tell Laura I need her
Tell Laura I may be late
I've something to do, that cannot wait

He drove his car to the racing grounds
He was the youngest driver there
The crowed roared as they started the race
Around the track they drove at a deadly pace
No one knows what happened that day
Or how his car overturned in flames
But as they pulled him from the twisted wreck
With his dying breath, they heard him say
Tell Laura I love her
Tell Laura I need her
Tell Laura not to cry
My love for her will never die

Now in the chapel where Laura prays
For her poor Tommy, who passed away
It was just for Laura he lived and died
Alone in the chapel she can hear him cry
Tell Laura I love her
Tell Laura I need her
Tell Laura not to cry
My love for her will never die

Tragedi pengantin remaja. Mungkin istilah itu yang pas buat menggambarkan lagu country yang dibawakan oleh almarhum Ray Peterson ini. Dengan bahasa Inggris sehari-hari yang kental, pendengar diajak menghayati bahwa cinta itu buta. Memang, lagu dari tahun 1960-an ini berisi kisah cinta sepasang kekasih, Laura dan Tommy yang berakhir tragis. Saking cintanya pada Laura, Tommy mau melakukan apa saja demi kekasihnya. Sampai-sampai ia rela ikut sebuah rally mobil berhadiah US$ 1000 dengan harapan kalau menang uangnya bisa buat menikah. Padahal Tommy masih terlalu muda dan belum mahir mengendarai mobil. Tak disangka, di medan rally yang berat itu, mobilnya terbakar dan Tommy pun tewas. Namun, sebelum meninggal, ia sempat berseru bahwa cintanya pada Laura tak akan pernah mati. Cerita belum selesai. Laura sendiri ternyata juga punya “cinta 24 karat”. Meskipun Tommy sudah tiada, ia sering merasa bahwa kekasihnya masih ada. Bahkan, saat dia berada di kapel untuk berdoa, masih terngiang suara sang kekasih. Wow! Betapa kuat cinta itu.
Lagu ciptaan Jeff Barry dan Ben Raleigh ini pernah dibawakan ulang oleh Ricky Valance. Sempat dibuat versi “jawaban”nya dengan judul “Tell Tommy I Miss Him”,  dinyanyikan oleh Skeeter Davis. Isi lagunya pun tak jauh beda, menggambarkan lagu dari sudut pandang Laura, yaitu cinta yang tak pernah pudar walau kekasih telah tiada. Tapi pesan utama dalam lagu ini tetaplah kendalikan diri dalam bercinta. Cinta memang indah, tapi jangan sampai bikin kita mengabaikan segalanya. Oke?

Link video:
https://www.youtube.com/watch?v=pTjQgkHzbTk

Kamis, 28 Januari 2016

Sisi Lain Borobudur : Jalan Tak Selalu Mulus, Tapi Tunjukkan Apa Yang Kau Bisa!

Sebagai penggemar pelajaran IPS waktu sekolah dulu, sebuah komunitas pecinta sejarah adalah tempat yang tepat buat menambah wawasanku. Dan komunitas Kota Toea Magelang adalah pilihanku, tentu saja karena aku orang Magelang. Apalagi, komunitas ini sering mengadakan jelajah, hal yang sangat-sangat jadi hobiku. Sudah beberapa kali aku ikut event jelajah, termasuk hari ini: Djeladjah Sepeda di Boroboedoer. Dengan bersepeda, kami akan melewati perkampungan di sekitar Borobudur.
Tadinya aku berpikir mau bawa sepeda sendiri, kan berangkatnya nggak perlu keluar uang. Tapi pulangnya? Rute jelajah kali ini 9 km. Ditambah perjalanan pulang-pergi Magelang-Borobudur masing-masing 15 km, total yang harus kutempuh hampir 40 km! Wah, bisa KO duluan sebelum sampai rumah. Akhirnya kuputuskan ambil jalan terenak saja : naik bus.

Rental sepeda Pondok Tingal
Tepat jam 7.40 pagi, aku sampai di rental sepeda Pondok Tingal, Borobudur. Sudah banyak peserta yang datang dan bersiap berangkat. Setelah daftar dan bayar kontribusi, aku dipersilahkan memilih sepeda. Di sini ada beberapa jenis sepeda. Sepeda kuno, sepeda besar, sedang dan ada juga sepeda kecil buat anak-anak. Awalnya, aku memilih sepeda besar, kupikir ini paling pas buat cowok. Tapi saat kunaiki joknya, alamak… tingginya minta ampun. Padahal badanku udah tinggi, tetap aja harus lompat buat naik atau turunnya. Jelas not recommended buat pengidap acrophobia sepertiku. Jadi, secepat kilat, aku balik lagi ke rental. Aku pilih sepeda ukuran sedang aja. Ngapain malu, toh nggak sedikit juga peserta cowok yang pakai sepeda ini.
Meski sedikit gugup dengan sepeda rental, tapi nyatanya sepeda ini cepat sekali akrab denganku. Nyaman sekali. Perjalanan dimulai ke arah barat menuju Candirejo. Kami mulai memasuki perkampungan penduduk. Tapi nggak lama, jalanan mulai berganti jalan setapak berbatu (kayak lagunya Jikustik aja). Ya, kami harus lewat ladang jagung dan kebun bambu. Dan selanjutnya, 80 persen kondisi jalan yang kami lewati tidaklah mulus, bahkan lebih nggak mulus dari kulitku! Diam-diam aku merasa ada untungnya juga aku nggak bawa sepeda sendiri. Maklum, ban sepeda milikku sensitif terhadap batu dan gundukan (belinya murah sih), makanya kalau dia harus lewat jalan beginian, dijamin nggak tertolong lagi.
Beberapa kali, aku dan beberapa teman lewat persimpangan. Nggak jarang pula, kami tertinggal rombongan dan harus tanya ke warga. Untungnya, selalu ada pertolongan. Keramahan warga sekitar dan solidaritas antar peserta, itu yang bikin perjalanan tidak terasa berat. 

Woi.... yang lain kemana?
Tak lama, sampailah kami ke daerah pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo. Sungai Elo adalah sungai yang berhulu di lereng Gunung Merbabu. Sungai ini mengalir ke arah barat sampai Kecamatan Borobudur, kemudian menyatu dengan Sungai Progo yang berasal dari utara. Kedua sungai ini sering jadi arena rafting alias arung jeram karena arusnya yang lumayan deras dan berbatu-batu.

Selfie di tepi sungai
Hutan bambu Desa Wanurejo
Sesudah berfoto dan istirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Sempat melewati jalan aspal, kemudian beralih lagi ke daerah ladang dan perkebunan. Sesekali kami berpapasan dengan warga yang sedang membawa hasil bumi, ataupun duduk-duduk di depan rumah. Kami menyapa dengan sopan dan mereka membalasnya dengan keramahan. Di sebuah tempat, ada peserta yang iseng mengambil rambutan dari pohon yang berbuah lebat. Tapi pemilik rumah tidak marah, malah setelah tahu tentang acara kami, beliau memberikan rambutan satu tas plastik besar. Wow... bagi-bagi dong...
Kami sempat berhenti di sebuah tempat. Pemandangan di sini luar biasa. Pegunungan Menoreh terbentang jelas dengan sawah dan ladang di sekitarnya. Di kejauhan, beberapa petani sedang menanam padi. Nggak nyangka banget, di dekat Magelang masih ada suasana begini. Banyak peserta, termasuk aku nggak melewatkan pemandangan ini. Ibarat warga metropolitan yang baru turun ke desa, kami asyik berfoto, narsis sana sini.
Sloganku: segala yang indah tidak boleh dilewatkan

Waktu tanam padi... di tengah sawah
Beramah tamah dengan warga
Dusun Nglipoh di desa Karanganyar adalah tujuan kami selanjutnya. Warga dusun ini dikenal sebagai pengrajin gerabah. Nah, yang kami kunjungi adalah sentra gerabah Ngudi Makmur milik Pak Lamno. Di depan rumah itu banyak benda-benda hasil kerajinan tanah liat, baik yang masih dijemur, dihaluskan atau yang sudah jadi. Ada kuali, pot, cobek dan panci tanah liat.
Semua benda-benda itu dibuat secara tradisional dan butuh ketelatenan tinggi. Kuali misalnya, pertama dibentuk bagian mulut dulu, baru kemudian badannya. Sesudah terbentuk sempurna, dijemur sampai kering, dihaluskan permukaannya, baru dibakar dan kemudian dibersihkan. Hasilnya, jadilah sebuah kuali yang kokoh dan halus. Menurut Pak Lamno, dalam 5 hari, tempatnya bisa menghasilkan sekitar 50 buah kuali.

Pak Lamno dengan kuali yang sedang dijemur
Selain Pak Lamno, ada juga dua orang ibu yang sedang sibuk bekerja. Ada yang sedang menghaluskan permukaan kuali. Caranya dikerok dengan sejenis pisau besar, kemudian ditepuk-tepuk atau bahasa Jawanya dikeplaki. Agar lebih jelas, seorang ibu memperagakan cara membentuk tanah liat menggunakan alat putar. Pertama-tama, alat dilumuri abu agar tidak lengket. Lalu sebongkah tanah liat diletakkan di atasnya. Diremas-remas sambil sesekali diputar, dan apa yang terjadi saudara-saudara? Kurang dari 10 menit terbentuklah sebuah pot!

Tanah liat yang masih mentah
Dalam hitungan menit, jadilah sebuah pot
Pak Lamno nggak mau kalah, menunjukkan salah satu “jurus rahasia”. Kenapa ada cobek yang berwarna hitam, padahal barang dari tanah liat lazimnya berwarna kemerahan. Ternyata sesudah dibakar, panas-panas cobek itu diletakkan di antara tumpukan daun bambu kering. Dan berubahlah warna cobek itu jadi hitam. Tapi kalau dipecahkan, terlihat dalamnya tetap warna merah.
Sekitar setengah jam di tempat ini, kami pun berpamitan pada Pak Lamno dan dua ibu tadi. Kami dapat pelajaran berharga dari mereka. Usia bukan halangan untuk terus berkarya dan mengembangkan kreativitas, yang terpenting jangan lupakan ibadah.
Sepeda terus kami kayuh. Ternyata tak cuma Pak Lamno, warga sekitarnya juga banyak yang berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Ada yang membuat tempat lilin, kendi atau barang lainnya.
Di desa Karangrejo, kami tertarik dengan sebuah hal unik. Ada beberapa lukisan pemandangan berbahan kain batik dipajang di teras sebuah rumah. Beberapa dari kami berhenti sebentar, melihat-lihat. Pemilik usaha itu namanya Pak Muhdi. Dengan ramah, ia menjawab pertanyaan dari kami. Lukisan-lukisan itu terbuat dari kain perca batik yang direkatkan dengan paku. Khusus untuk membuat batang pohon, beliau menggunakan daun talas yang dikeringkan. Dengan harga antara 40 ribu hingga 2,5 juta (tergantung ukuran), Pak Muhdi banyak menerima pesanan dan mengikuti pameran di Candi Borobudur. Bahkan, beliau merencanakan menjadikan rumahnya sebagai galeri. Sungguh kreatif.

Lukisan indah dari kain batik
Hei.. karena keasyikan lihat lukisan, aku sampai tertinggal rombongan. Untungnya, masih ada 2 orang bapak di depanku, aku ikuti saja mereka, sampai akhirnya ketemu sama yang lain. Ternyata, peserta lain sedang istirahat sebentar di tepi sawah. Di seberang sawah itu ada hutan kecil, dan di balik hutan itu nampak Candi Borobudur! Wow!
 
Pemandangan indah di balik Candi Borobudur
Delman wisata di sekitar Borobudur
Akhirnya, setelah blusukan sana sini, kembalilah kami ke jalan raya. Sambil bersenandung, aku mengayuh sepeda melewati keramaian sekitar Candi Borobudur. Bagaimanapun, jelajah pedesaan dengan sepeda memberi sensasi luar biasa. Dan hari ini aku sudah buktikan, Candi Borobudur tidaklah sendirian, tapi banyak hal lain yang mendukung pariwisata di sekitarnya.
Finish! Akhir perjalanan kami adalah sebuah pendopo, tak jauh dari Pondok Tingal. Setelah makan siang dengan nasi megono (sekedar info : nasi megono itu mirip nasi urap tapi dicampur nangka muda), acara pun ditutup oleh Mas Bagus Priyana, sang koordinator. Hal yang mengejutkan disampaikan oleh Mas Bagus, bahwa sewaktu survey lokasi, dia salah menghitung, ternyata rute yang sudah kami tempuh mencapai 16 km! Dan sekali lagi, aku bersyukur bahwa aku nggak bawa sepeda sendiri dari rumah.

Inilah nasi megono
Kami pun siap kembali ke kehidupan masing-masing (bahasanya…). Tidak lupa kembalikan sepeda dulu ke Pondok Tingal.
Candi Pawon letaknya nggak jauh dari Pondok Tingal,. Aku penasaran banget sama candi ini karena letaknya tepat di tengah-tengah antara Candi Borobudur dan Mendut. Ibarat dapat “bonus jelajah”, aku putuskan mampir sebentar ke Candi Pawon. Aku menyeberang jalan sendirian dan kunyalakan GPS di HPku biar nggak nyasar. Beneran dekat, cukup jalan sekitar 300 meter.
Di tengah pemukiman warga, aku jumpai sebuah candi menjulang dihiasi beberapa stupa kecil di atasnya. Ini dia! Aku masuk dan membeli tiket. Siang itu, Candi Pawon betul-betul sepi, pengunjungnya hanya aku seorang!

Candi Pawon
Candi ini kecil, halamannya juga tidak terlalu besar. Mungkin karena itulah, kurang diminati oleh wisatawan. Padahal, di sekitarnya sudah banyak warung penjual makanan dan oleh-oleh. Tak jauh dari situ, ada juga sentra pembuatan gula jawa.
Aku mencoba naik ke pelataran, melihat ke dalam. Tercium aroma dupa, yang menandakan bahwa candi ini masih dipakai sebagai tempat sembahyang umat Buddha. Relief candi yang dibangun pada abad ke-8 ini menggambarkan sosok dewa atau raja. Sementara di halaman candi, ada beberapa batuan yang belum tersusun. Menurut teks yang terdapat di depan candi, pada badan candi tersebut terdapat arca Bodhisatya sebagai penghormatan kepada raja Indra. Ada kemungkinan, bahwa Candi Pawon adalah bagian dari Candi Borobudur karena memiliki relief yang mirip.

Puas melihat-lihat, aku segera pulang. Bapak penjaga loket sempat memberiku sebuah brosur wisata Kabupaten Magelang. Ah, ternyata banyak sekali obyek wisata di sekitar tempat tinggalku. 

Rabu, 20 Januari 2016

Penyanyi Masa Lalu (3) : Gene Autry



I’m a rovin’ cowboy. riding all day long.
Tumbleweeds around me.. sing their lonely song.
Nights underneath a prairie moon.
I’ll ride along and sing a tune.
See them tumbling down
Pledging their love to the ground
Lonely but free i’ll be found
Drifting along with a tumbling tumbleweeds


My friends, tahukah lagu itu? Pasti semua menjawab tidak. Ya udah, aku kasih tahu, judulnya Tumbling Tumbleweeds. Penyanyinya namanya Gene Autry. Hah? Siapa pula itu?
Pria asal USA ini ngetop sebagai penyanyi dan pemain film koboi antara tahun 1930-an sampai 1950-an. Gila, jadul banget! Makanya, jangankan anak muda, orang tua kita pun belum tentu tahu. Ketika di Indonesia sedang jaya-jayanya Tan Tjeng Bok dan Roekiah, saat itu pulalah di Amerika dikenal Gene Autry. Inilah kisahnya:
Gene Autry lahir di Texas, Amerika Serikat pada 29 September 1907. Pada awalnya, ia bekerja sebagai telegrapher. Di sisi lain, ia memiliki bakat menyanyi dan bermain gitar. Sejak 1928, Gene memulai karir dengan menjadi penyanyi di stasiun radio lokal selama beberapa tahun. Setahun kemudian, ia mulai rekaman melalui Columbia Records. Lagunya yang menjadi hits pertama adalah “That’s Silver Haired Daddy of Mine”.
Sukses sebagai penyanyi, Gene mencoba peruntungan di layar film. “In Old Santa Fe” adalah film pertamanya pada tahun 1934. Perannya sebagai anggota kuartet penyanyi koboi, membuatnya dikenal sebagai “The Singing Cowboy”. Kepiawaiannya menyanyi country menarik perhatian banyak orang pada masa itu, sehingga untuk film-film berikutnya, ia lebih banyak berperan sebagai koboi serta mengisi soundtrack film-film tersebut, salah satunya “Tumbling Tumbleweeds” pada tahun 1935. Namanya pun melejit sebagai bintang box office dan meraih banyak penghargaan. Di samping itu, ia juga sempat rekaman untuk lagu-lagu Natal, seperti “Rudolph The Red Nose Reindeer”. Tak hanya itu, ia juga mahir mencipta lagu. Tercatat 300 lagu ciptaannya sendiri dari 640 rekaman yang pernah dibuatnya.

Gene sangat menjiwai peran koboi. Ini diwujudkannya lewat acara mingguan di radio bertajuk “Melody Ranch” yang mempopulerkan lagu “Back In The Saddle Again”. Ia juga mahir menunggang kuda dan mengenal gaya hidup koboi, bahkan ia membeli sebuah peternakan untuk properti syuting dan pemotretan.
Karir Gene sempat vakum beberapa tahun ketika ia mengikuti dinas militer Angkatan Darat USA pada Perang Dunia II. Setelah itu ia kembali ke dunia hiburan. Ketika televisi mulai populer, ia pun beralih menjadi produser untuk beberapa acara, termasuk The Gene Autry Show, yang dibintanginya sendiri.
Meski terbilang sukses, rupanya Gene tidak ingin selamanya bergantung pada dunia hiburan. Ketika usianya memasuki kepala lima, “The Singing Cowboy” ini memutuskan berhenti menjadi artis. Namun, bukan berarti ia tidak memiliki pekerjaan lagi. Ia menjadi pengusaha real estate, hotel, stasiun radio bahkan memiliki sebuah klub baseball bernama California Angels. Ia juga melestarikan sejarah Indian dan Amerika Barat melalui museum yang didirikannya pada tahun 1988.
Gene meninggal akibat penyakit limfoma di California pada 2 Oktober 1998. Meski telah tiada, ia tetap dikenang sebagai artis multi-talenta dan pengusaha yang berjiwa patriotik. Namanya diabadikan di Hollywood Walk of Fame dan menjadi nama sebuah kota di Oklahoma, Amerika Serikat. Hingga kini, museum yang didirikannya, yaitu Autry’s West America Museum masih ramai oleh pengunjung.

Penasaran, seperti apa suara Gene Autry? Berikut link videonya:

Senin, 11 Januari 2016

The Voice Indonesia : Mengejar Mimpi di Bawah Langit Ibukota (Part 2)

Antrian panjaaang

Untuk lihat Part 1, klik di sini

Di tengah kegalauan, antara mau antri audisi sendirian atau mau nunggu teman, sebuah pesan BBM beserta foto tempat dikirim oleh seorang teman Facebook namanya Dika. Nggak pakai lama, aku langsung menghampirinya di dekat antrian. Dika bersama temannya, namanya Alwi. Dan seperti dengan cewek-cewek tadi, kami pun langsung akrab. Bersama kami ada teman lain dari grup Facebook, yaitu Aris, Zaki dan teman Aris yang nggak kuketahui namanya. Tapi saat antri, mereka terpisah dari kami.
Dari percakapan kami, ternyata Dika dan Alwi udah beberapa kali ikut audisi begini, tapi belum pernah lolos. Mereka kagum dengan kenekatanku ke Jakarta buat ikut audisi ini. Ya, kalo nggak terpaksa gua kagak bakalan sampe ke sini bro! Terus, mau bawain lagu apa nanti?  Ada 4 lagu yang sudah terpikir: “Pengen Jadi Artis” dari Hancur Band, “Cotton Fields” dari The Beach Boys , “Bertanya Dalam Hati” dari Ihsan Idol dan “Ayah” dari Rinto Harahap. 2 lagu yang disebut pertama itulah yang jadi prioritasku. “Pengen Jadi Artis” bakal jadi strategi khusus kalau nanti jurinya ada 2 orang cowok-cewek (pengin tau kenapa, coba deh cari liriknya).

Selfie di tengah antrian
Udara Jakarta makin panas, bahkan panas seperti ini belum pernah kualami sebelumnya. Antrian baru maju beberapa langkah, malah sempat berhenti lamaaaa banget. Beberapa peserta termasuk kami bertiga memutuskan duduk, biarpun harus sigap berdiri pas antrian jalan lagi, kalo nggak nanti keinjak..hehehe... Di sela-sela menunggu, beberapa peserta sibuk hafalin lagu, malah ada yang tanpa malu-malu menyanyi. Ya iyalah, suara mereka keren. Ada yang nyanyi “More Than Words”nya Westlife, suaranya beneran pas, mirip penyanyi aslinya! Ada juga yang bawain “Takkan Terganti” punya Marcell, dengan power yang baik. Bahkan, ada yang bisa nyanyi seriosa! Hmmm… bisa nggak ya, aku kalahin mereka?
Selangkah demi selangkah, antrian berlanjut ke dalam gedung, naik lift ke lantai 4, sampai ke holding room. Beruntung, aku nggak terpisah dari Dika dan Alwi. Di holding room, MC memberi beberapa hadiah kaos kepada peserta dengan syarat bisa jawab pertanyaan atau nyanyi di depan. Maka, terdengar suara beberapa peserta bawain lagu Batak, lagunya Angel Pieters, ada juga bapak-bapak yang pede nyanyi lagunya Broery Pesulima. Semua keren. Brrrr… tegang banget, gimana nih kalo aku disuruh nyanyi di depan dengan suara yang belum matang? Sejak kursus vokal, memang suaraku lebih bagus dan berteknik dibanding dulu, tapi kalau diibaratkan menggoreng tempe, warnanya baru kuning, belum kecoklatan. Ah… untunglah sampai hadiah terakhir diserahkan, aku nggak ditunjuk.... tarik nafas lega.

Holding room
Menariknya, audisi ini diliput oleh Seputar Indonesia Siang RCTI dan disiarkan live! Jadi saat peliputan, kalau reporter teriak “The Voice Indonesia”, kami serempak harus menjawab “the number one singing competition in the world”. Dengan antusias, aku mengabari David dan Gery, segera nonton RCTI, ada aku di situ! Hahahaha.. lumayan lah, sekilas masuk TV.
Nah, saatnya berjuang! Satu demi satu barisan antrian pindah ke kursi di samping panggung. Deg-degan rasanya. Gimana nih, aku nggak mau kegrogianku di X Factor dulu terulang lagi. Mau lolos atau gagal aku harus tampil sebaik mungkin. Aku pun berdoa. Aku percaya, bersama Tuhan aku nggak akan mendapat malu. Dan sejak itu, semangat 45 ku tumbuh lagi.

Patty yang bikin gemessss..
Audisi ini dihadiri bintang tamu, juara X Factor Indonesia, Jebe and Patty. Sayang banget, pas mereka tampil, antrianku sudah pindah ke samping panggung. Aku cuma lihat dari belakang. Suara mereka yang kebule-bulean dengan kostum yang seksi betul-betul bikin gemes. Apalagi Patty yang bodinya gempal, rasanya pengin kudekati lalu kucubit…haha.. tapi harus kuurungkan, bisa-bisa dia teriak terus aku diskors ama panitia…

Deg-degan menuju ruang audisi
Antrian mulai menuju ruang audisi. Aku masih tetap bersama Dika dan Alwi. Peserta mulai masuk satu demi satu ke ruang audisi. Ada yang solo, ada yang jogja… eh salah… grup maksudnya. Sempat terpikir di antara kami untuk bikin grup bareng cowok yang tadi nyanyi lagu Batak. Tapi ya, ketidaksiapan bikin rencana itu cuma angin lalu. Sebenarnya, kalau grup, asal kita kompak, jauh lebih menarik. Bisa saling melengkapi.
Dalam kelompok berjumlah 10 orang, kami antri ke bilik audisi. Seorang cewek berjilbab masuk pertama kali dan dia dapat kartu warna biru. Sempat terjadi perdebatan kecil di antara kami, kartu biru itu artinya lolos atau tidak. Selanjutnya, peserta lebih bervariasi, ada yang bawain 1 maupun 2 lagu. Berturu-turut sampai giliran ke 8 (kalo gak salah), Alwi masuk dan membawakan “Titip Rindu Buat Ayah”, dia dapat kartu biru. Disusul Dika dengan lagu “Saat Terakhir”, kartu biru juga. Dan… giliran terakhir adalah aku. Masih ada rasa tegang, kakiku gemetar, aku harus buang jauh-jauh rasa itu. Aku pun masuk, cuma ada 1 juri, cowok. Ya, jurus "Pengen Jadi Artis" nggak pas dong kalo jurinya cuma 1.

Aku: Selamat siang
Juri : Selamat siang
Aku : Perkenalkan nama saya Robert, saya berasal dari Magelang, Jawa Tengah
Juri : Robert ya, mau nyanyi lagu apa?
Aku : Cotton Fields
Juri: Oke, silahkan

Dengan penuh semangat, aku nyanyi. Nggak cuma nyanyi, aku juga berusaha berekspresi, seakan-akan tampil di panggung.

“When I was a little pretty baby, my mama would rocks me in the cradle.
In them old…. cotton fields back home….
It was down in Louisiana, just about a miles from Texaskana
In them old…. cotton fields back home….
And when them cotton balls get rotten, you can’t pick very much cotton.
In them old…. cotton fields back home….
It was down in Louisiana, just about a miles from Texaskana
In them old…. cotton fields back home….”

Yes! Aku berhasil nyanyi dengan lancar, tanpa grogi, fals maupun lupa lirik. Cuma salah sedikit waktu ekspresi, pas nyanyi “cotton fields back home”, aku malah ngelakuin gerakan mengambil sesuatu. Juri hanya berkata "oke" tanpa komentar apa-apa. Dan aku mendapat kartu biru.
Tahap terakhir dari audisi adalah result room.  Tahap ini ibarat penentuan “hidup dan mati”. Kami dikumpulkan dengan kelompok lain, jadi jumlahnya sekitar 20 orang. “Yang mendapat kartu biru, mohon maaf kalian tidak bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya, pintu keluar di sebelah kanan. Yang mendapat kartu merah, silahkan isi formulir” begitu kata panitia di situ.
Dhuarr! Perasaanku kali ini seperti dilempar dari langit ketujuh ke langit kesebelas. Bukan cuma sakitnya tuh di sini, tapi sampai aku meriang. Udah jauh-jauh ke Jakarta, udah berusaha sepede mungkin, tapi akhirnya… beginilah… aku, Dika dan Alwi nggak lolos bersama sekitar 10 orang lainnya. Bahkan, cowok Batak tadi juga nggak lolos. Mungkin karena saking kecewanya, kami segera keluar tanpa sempat kasih ucapan selamat ke yang lolos.
Beberapa peserta lain mencoba antri lagi dari awal, tapi Dika dan Alwi putuskan NO. Alasannya beragam, karena sudah kesiangan, udara panas, dan yang pasti kuatir nggak lolos lagi. Demi rasa setia kawan, terlebih karena capek, aku pun mengikuti mereka berdua keluar dari gerbang JIExpo.
Di gerbang kami bertemu Zaki. Dengan rasa senasib sepenanggungan kami nongkrong di dekat penjual minuman. Air Aqua dicampur es batu pun sejenak menyejukkan suasana di tengah panasnya Jakarta. Kami berempat pun asyik berfoto sambil bercerita macam-macam. Dan akhirnya, kami sepakat berkumpul lagi di audisi X Factor Indonesia season 3!

Selfie time! Dika, aku, Zaki dan Alwi
Jam sudah menunjukkan jam 14.30. Itu artinya hampir 10 jam, aku berkutat di JIExpo. Alwi dan Zaki pamit untuk pulang ke Sawangan, Bogor dengan naik ojek. Rupanya di Jabodetabek ini berlaku sebuah aplikasi Android untuk pemesanan ojek secara online. Bagaimana cara kerjanya, aku agak bingung, biarpun udah dijelasin sama Dika... maklum gaptek banget. Ya, mungkin baru paham kalau udah mencoba sendiri.

Tetap semangat ya kawan!
Aku dan Dika menuju ke seberang jalan. Dika mau pulang ke rumahnya di Rawamangun, jadi aku sekalian aja bareng sampai ke Terminal Rawamangun. Diawali naik angkot ke Galur, dilanjutkan busway ke Rawamangun dengan transit di Cempaka Mas dan Pemuda Pramuka. Sensasi paling menegangkan buatku, pastinya menyeberang jalan di Jakarta, musti pintar-pintar cari celah soalnya mobil yang lewat nggak ada habisnya.
Bentuk busway nggak jauh beda dengan bus Trans Jogja, hanya bedanya busway punya jalur khusus dan ada tiket elektronik. Halte busway juga bentuknya seperti jembatan penyeberangan. Jadi kalau kita mau menuju ke arah sebaliknya, bisa menyeberang ke halte busway lainnya dengan aman. Tapi yang tak kalah menarik buatku, aku bisa lihat keramaian Jakarta dari atas. Dika sempat menunjukkan ITC Cempaka Mas, yang nggak lain adalah tempat kerjanya.
. `
ITC Cempaka Mas. Aku di Jakarta, bro!
Sampailah kami di Terminal Rawamangun. Aku bersiap membeli tiket bus. Tapi masalah lain muncul, harga tiket bus di sini ternyata lebih mahal daripada di Terminal Magelang. Yah… uangku kurang deh… mau tak mau harus ke ATM di seberang jalan.
Rupanya, hal baik masih terjadi di sini. Mendengar keluh kesahku, seorang bapak yang adalah timer bus bersedia membantuku. Dari tiket bus seharga 210 ribu, ia memberi kembalian 30 ribu buatku. Katanya, nggak apa-apa, sama-sama orang Magelang, kata dia dalam bahasa Jawa. Dia ternyata memang asli Magelang, sudah 25 tahun bekerja di Jakarta.
Sebelum pulang, aku pun mengucapkan terima kasih pada Dika, juga pada bapak yang sudah menolongku itu. Sungguh, pengalaman luar biasa hari ini, bertemu dengan orang-orang yang sangat bersahabat. Maka, kalau ada yang bilang orang Jakarta individualis, kurasa perlu kenalan sama orang-orang yang kutemui hari ini.

Bus Safari Dharma Raya pun melaju keluar dari terminal Rawamangun. Sepanjang perjalanan, aku masih merenung. Hari yang sangat berkesan. Memang, hasil audisi tak seindah yang kuharapkan, tapi aku dapat hadiah istimewa yaitu persahabatan. Dalam hati, aku bertekad, suatu hari nanti akan kembali ke sini.


Masih saja kuteringat kata iringi kau pergi
Jadikan sore itu satu janji
Kau akan setia untukku, kembali untuk diriku
Mengingatku walau aku jauh

Akupun sempat janjikan, kukayuh semua mimpiku
Kulabuh tepat di kotamu...
Dan kau pun s'lalu janjikan kau 'kan menungguku datang
Bersatu kembali seperti dulu

Dan bila aku pun rindu pada nyamannya kecupmu
Pada hangatnya tawamu
Kudendangkan dengan gitar lagu-lagu kesayangan
Sambil kuingat indah wajahmu

Tunggulah aku di Jakartamu
Tempat labuhan semua mimpiku
Tunggulah aku di kota itu
Tempat labuhan semua mimpiku


(Tunggu Aku Di Jakarta by Sheila On 7)

The Voice Indonesia : Mengejar Mimpi di Bawah Langit Ibukota (Part 1)

Pertama kali menginjakkan kaki
Turun kereta di Jakarta
Aku yang sedang mengembara

Niatan hati aku tak mengerti
Mengapa aku sampai di sini
Kota yang megah, Jakarta

Aku langkahkan kakiku ini, yang membawa semaunya
Tiada kusangka kota yang indah
Jakarta luar biasa
O...ho... luar biasa

("Oh Jakarta"  by Elly Sunarya)

Langit masih gelap ketika aku turun dari bus Handoyo. Aku lihat jam tanganku, baru jam 4 pagi. Tapi Terminal Rawamangun ini sudah lumayan ramai. Bus-bus dari luar kota keluar masuk terminal. Beberapa penumpang turun dan melangkah ke tujuan masing-masing. Awak kendaraan seperti ojek, taksi dan bajaj mulai menawarkan jasa. Ya, aku ada di ibukota! Sudah sekian lama, sejak SD aku ingiiiiiin sekali melihat kota Jakarta! Dan pagi ini tercapai! Sendirian pula!  Ingin rasanya lompat, jungkir balik sampai mencium bumi. Tapi aku tahan dengan tiga alasan: Pertama, aku takut keseleo.  Kedua di sini banyak kendaraan lalu lalang, bisa celaka kalau banyak tingkah. Ketiga, siapa pun juga tahu, bisa dikira alumni RSJ Magelang. Hehehe..
Tunggu dulu… kenapa aku ada di sini? Ini ceritanya:
Kegagalanku di audisi X Factor Indonesia awal tahun lalu sama sekali nggak bikin aku kapok. Di akhir tahun 2015 … jrengggg… pengumuman mendadak kudapat dari ayah eh salah.. dari sebuah group di Facebook bahwa akan ada audisi The Voice Indonesia. Acara ini dulunya tayang di Indosiar, tapi mulai tahun ini RCTI yang pegang lisensinya. Okelah… aku ikut!
Biarpun deg-degan, aku merasa lebih siap ikut audisi kali ini. Secara kemampuan vokalku lebih matang dibanding dulu. Aku sempat ikut kursus vokal selama 3 bulan. Ya, sedikit banyak bisa belajar lah.. baru aku tahu vokal itu apa, ternyata memang nggak mudah, tapi kalau udah tahu tekniknya asyik juga kok.
Pengalaman gagal bikin aku lebih bijak. Jangan terlalu berharap, nggak perlu mikir pesimis atau optimis, jalani aja. Lolos atau nggak, itu wajar karena saingan begitu berat. Regina Idol aja sebelum juara dia sempat 6 kali nggak lolos audisi. Yang terpenting buatku adalah pengalaman. Biarpun nantinya nggak lolos, kita dapat pelajaran buat jadi lebih baik lagi. Di samping itu, kita juga punya kenangan manis, pernah terlibat dalam satu acara TV. Mungkin 50 tahun lagi, dengan suara parau, aku bisa ceritain “Cu, ini lho, kakek waktu muda, pengin jadi penyanyi, sampai rela panas-panasan”
Kebanyakan ngomong nih, langsung saja ke pengalamanku. Lewat grup Facebook, aku kenalan dengan seseorang namanya Gery . Dia anak Magelang juga. Dan lewat BBM, kami bikin janji buat bareng ke tempat audisi di Jogja. Sebetulnya sih, kami udah kenal sejak gaung audisi X Factor bergema, tapi kami nggak bisa bareng waktu itu. Oke, kali ini pasti asyik!
Sialnya, tepat tiga hari sebelum audisi, aku dapat SMS yang mengatakan begini “Kepada yth Robert, dimohon datang ke XXX untuk interview, Selasa 22 Desember jam 8.30”. Olala, SMS yg bikin aku kaget sekaligus shock. Rencanaku berangkat audisi bareng sama Gery jadi berantakan karena undangan ini.
Ngomong-ngomong, apa yang aku maksud XXX? Bukan versi baru dari bioskop XXI lho! Ini sebuah perusahaan bernama..… nggak usah aku sebutin deh namanya. Kebetulan dua hari sebelumnya aku habis kirim lamaran kerja ke sana. Dan sekarang ada  panggilan interview….
Aku pun mengatur rencana : selepas interview aku berangkat audisi karena tempatnya di Jogja juga. Dulu aku pernah interview kerja dan nggak sampai 2 jam. Ya, kali ini paling-paling jam 11 sudah selesai, habis itu langsung ke Jogja Expo Center. Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaanku, aku harus menjalani serangkaian wawancara dari 5 orang staff, belum lagi tes ini itu… aduuuuuuhh… dan bisa dibayangkan betapa shocknya aku ketika lihat jam sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore.
Dengan lunglai, aku pulang ke Magelang. Sudah hasil interview gagal diterima, satu harapan lain ikut musnah juga. Mau nangis malu, mau ketawa juga takut dikira gila… ah, yang jelas bête banget perasaanku. Aku pun curhat ke David. Sahabatku ini juga sangat menyayangkan batalnya aku ikut audisi. Padahal aku udah siap-siap, udah jaga suara, udah siapin kostum…eh….
Satu rencana terpikir olehku. Aku harus ikut audisi di kota lain! Ya! Aku nggak boleh nyerah begitu aja! Aku pun mulai berjuang dengan kesibukanku pasca lulus kuliah, yaitu membantu ortu menitipkan kue di pasar. Sambil terus berusaha menabung, aku pun tak lupa berdoa. Saking niatnya, di malam Natal dan malam Tahun Baru aku memanjatkan doa khusus untuk ini.
Terpikir bagiku untuk ikut audisi di Jakarta tanggal 9 Januari 2016. Aku memang masih "buta" soal Jakarta. Tapi jiwa petualangku mengalahkan segalanya. Aku pun mulai cari info tiket maupun arah ke tempat audisi, tepatnya JIExpo  yang lokasinya di area PRJ Kemayoran. Terpaksa aku kucing-kucingan dari orang tuaku dengan alasan pergi main bersama David. Karena aku tahu, kalau aku jujur pasti nggak akan boleh. Entah kenapa, mereka nggak pernah merestui aku (emangnya nikah…) buat pergi jauh sendirian padahal udah sebesar ini.
Maka, secara diam-diam aku pergi ke Terminal Magelang dan memesan tiket bus Damri dengan tujuan Kemayoran. Kata ibu penjualnya sih, bus itu bisa langsung sampai Kemayoran, kalo bus lainnya musti transit ke Pulo Gadung dulu. Dengan berbagai pertimbangan, aku pun memantapkan diri. Apalagi menurut Google Maps, jarak Pool Damri Kemayoran dengan PRJ cuma 2 km, jadi bisa jalan kaki deh.
Hari yang ditunggu tiba. 8 Januari 2016 sore, aku langsung ke Terminal Magelang. Parahnya, bus Damri hari itu ternyata nggak jalan. Dengan sangat menyesal, ibu penjual tiket itu memindahkanku ke bus Handoyo tujuan Rawamangun. Katanya sih, dari Rawamangun tinggal cari angkot atau ojek ke PRJ. Ya, itu sih katanya... Maka, berangkatlah aku.
Hasilnya? Seperti kuceritakan di awal, aku sampai di Terminal Rawamangun. Nah, sekarang aku mau ke mana? Sempat terpikir mau ke Terminal Priuk untuk bareng dengan seorang teman di grup Facebook, tapi kuurungkan karena kabarnya nggak ada angkot ke sana. Adanya cuma bajaj dan ojek, itu pun tarif 60 ribu. Bisa bokek sebelum berjuang aku. Dengan agak sungkan, aku tanya ke abang penjaga toilet terminal. Ternyata memang nggak ada angkot ke Priuk. Ke PRJ pun kita harus transit ke Senen dulu. Hmm… tapi pagi-pagi buta gini angkot belum banyak. Akhirnya, seorang tukang ojek bersedia mengantarku ke PRJ dengan tarif 40 ribu. Ya udahlah, aku ambil aja, mendingan langsung ke PRJ daripada nyasar ke mana-mana.
Kira-kira setengah jam aku dibawa menyusuri jalan di Jakarta yang masih remang-remang, dan jam setengah 5 pagi, sampailah aku di JIExpo, Kemayoran, tempat audisi itu. Beberapa peserta sudah duduk-duduk di situ. Entah, mungkin sengaja nginap di situ. Ada yang latihan nyanyi sambil main gitar. Lagu "Someone Like You" nya Adele mengalun merdu dari mulut seseorang.

Jakarta International Expo
Masih kepagian, mau ngapain? Aku duduk di dekat pagar sampai seorang cewek menghampiriku. Sebut saja namanya Maureen (aku agak  lupa nama aslinya, yang pasti berawalan M). Dia berasal dari Manado. Awalnya cuma tanya tempat audisi, lama-lama kami jadi berbincang akrab (cieee….) apalagi tiga cewek lainnya ikut nimbrung dan saling kenalan. Ada Ella dan Elis, kakak beradik dari Maluku serta Lili dari Mentawai. Gila, M semua : Magelang, Manado, Maluku, Mentawai. Ya, salah satu sisi positif audisi ini adalah mengakrabkan orang-orang yang awalnya tidak saling kenal. Nggak peduli cewek atau cowok,  suku atau agama apa, suara bagus atau pas-pasan, semua bisa membaur jadi satu. Bahkan, saking akrabnya, cewek-cewek itu saling berbagi bekal, aku pun kebagian sepotong roti dan sebotol kecil Aqua… lumayan… hehehe… Maureen sempat tanya, aku mau bawain lagu apa. Dengan jenaka, aku nyanyikan sebait lagu “Pengin Jadi Artis” dari Hancur Band, dan cewek-cewek itu tertawa… pas banget lagunya sama aku, saking penginnya jadi artis sampai rela jauh-jauh ke Jakarta!

(NB : Sayang banget, aku nggak sempat minta nomor kontak atau akun medsos keempat cewek itu. Semoga aja kalian baca postinganku ini. Atau kalau ada di antara pembaca yang kenal sama mereka, kasih tahu aku ya, sekedar nambah teman aja kok)

Aku diapit Ella dan Elis
Fajar menyingsing di langit ibukota. Gedung bertingkat di depanku yang semula temaram langsung terlihat jelas. Sambil BBMan, aku pun iseng-iseng mencari dimana teman-temanku dari grup Facebook. Kemarin kami janjian mau bareng audisi. Dan… kalau saja seorang cewek tidak memarkir mobilnya di depan pagar JIExpo, mungkin aku bakal nunggu di sini selamanya. Pak satpam mengatakan peserta audisi The Voice Indonesia harus masuk lewat pintu 6A, yang letaknya paling ujung barat.

Inilah pintu 6A
Mau nggak mau, aku harus jalan ke sana. Aku bilang sama cewek-cewek tadi, audisinya lewat pintu 6A. Tapi mereka malah lagi sibuk foto-foto. Ya udahlah, aku jalan sendiri. Cukup jauh juga sampai bikin keringatan. Nggak heran kalo arena PRJ ini jadi tempat lari pagi favorit setelah Monas.
Setelah masuk pintu 6A, sampailah aku ke sebuah lapangan luas. Sangat-sangat metropolis. Namanya juga convention center internasional! Banyak peserta sudah duduk-duduk di setiap sudut gedung. Sudah rapi, cantik dan ganteng. Aku sendiri, masak, aku ikut audisi kondisiku kucel begini? Setelah menemukan toilet, aku cepat-cepat mandi. Sempat bingung, mau pakai baju mana? Akhirnya kuputuskan pakai jaket hitam dengan dalaman kaos putih. Tadinya aku mau pakai baju batik dengan dalaman kaos putih, tapi kelihatannya norak deh..

Peserta audisi datang dari berbagai penjuru

Sippp… udah bersih dan ganteng nih… aku pun mencari tempat duduk. Teman-teman yang rencananya mau bareng, belum ada yang datang. Sambil sesekali mengecek BBM, aku melihat sekitar. Jam setengah 8, antrian dimulai dan lho..lho… makin lama makin panjang, sampai ke tempatku duduk. Aku pun harus rela tergusur ke seberang. Orang-orang mengantri dengan penuh sukacita. Panitia sibuk mengatur antrian, maju sedikit demi sedikit. Tapi kok, temanku belum datang juga? Sudah jam 8 lebih……

Bersambung ke Part 2...

Senin, 04 Januari 2016

Penyanyi Masa Lalu (2) : Skeeter Davis



Why does the sun go on shinning
Why does the sea rush to shore
Don’t they know, it’s the end of the world
Cause you don’t love me anymore.
………………..

Sewaktu kecil, aku menemukan sebuah kaset lagu barat milik papaku. Melihat foto penyanyinya di cover, terkesan “seram” buatku waktu itu. Seseorang berambut panjang pirang dengan pakaian model tertutup. Nama penyanyi itu Skeeter Davis. Aku heran, dia cowok atau cewek ya?
Lewat sebuah majalah, tahulah aku, Skeeter Davis adalah penyanyi wanita asal Amerika yang ngetop di tahun 1960-an. Ia adalah penyanyi bergenre country. Aku pun coba menyetel kaset tadi, dan ternyata suaranya unik dan merdu. Dan inilah riwayat Skeeter Davis yang kurangkum dari berbagai sumber:
Skeeter Davis lahir di Kentucky,  Amerika Serikat pada 30 Desember 1931. Nama sebenarnya adalah Mary Frances Pennick.  Ia dipanggil “Skeeter” (yang adalah bahasa gaul Amerika untuk “nyamuk”) karena ia adalah anak yang aktif sewaktu kecil. Pada tahun 1949, dia membentuk duet Davis Sisters bersama temannya, Betty Jack Davis, sehingga dia lebih dikenal dengan nama panggung “Skeeter Davis”. Sayang, sebuah kecelakaan menewaskan Betty dan membuat Skeeter terluka parah. Setelah sembuh, Skeeter menggandeng adik Betty, Georgia Davis, untuk menggantikan sang kakak.  Namun duet baru ini tidak bertahan lama karena Skeeter keburu menikah.
Sejak itu, Skeeter memilih bersolo karir sebagai penyanyi country. Namun, hal ini justru membuat karirnya melambung. Lagu-lagu yang dibawakannya menjadi hits pada masa itu. Ia meraih Golden Disc lewat lagu “The End Of The World” pada 1963 dan beberapa kali masuk nomine Grammy Awards lewat lagu-lagu lainnya.  Ia pun sempat membuat album duet dengan Bobby Bare, pernah pula berkolaborasi dengan Elvis Presley dan The Rolling Stones. 
Dari segi penampilan, Skeeter adalah wanita sederhana. Berbeda dengan penyanyi wanita pada umumnya, ia jarang berpenampilan seksi dan tidak banyak gaya.  Begitu juga dengan lagu-lagu yang dibawakannya, biasanya tidak terlalu panjang. Lagu-lagunya, antara lain “The End Of The World”, “My Last Date”, “Set Him Free”, “Someday Soon”,  “Homebreaker” dan “A Dear John Letter”. Di samping itu, ia juga mengcover lagu dari beberapa penyanyi lain seperti “I Will Follow Him” (Little Peggy March) dan “Let It Be Me” (Everly Brothers). Ada juga lagu milik penyanyi lain yang diubah sesuai karakternya seperti “He’ll Have To Stay” yang disadur dari “He’ll Have To Go” (Jim Reeves). Di samping menyanyi, Skeeter juga pandai berpuisi, terbukti dalam beberapa lagunya ia membacakan narasi.
Seiring bertambahnya usia, karirnya meredup pada akhir 1970-an. Meski begitu,  ia masih rekaman untuk album kompilasi dan melakukan tur internasional ke berbagai negara, termasuk Indonesia pada tahun 1986.
Skeeter Davis meninggal karena kanker payudara pada tanggal 19 September 2004 dalam usia 72 tahun.

Berikut ini link video Skeeter Davis dengan "The End of The World" nya
https://www.youtube.com/watch?v=Qgcy-V6YIuI