Sabtu, 18 Juni 2016

Solo Travelling (9) : Wates, Pesona Sebuah Kota Mungil

Kulon Progo, artinya sebelah barat Sungai Progo, adalah nama kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam hal wisata, daerah ini memang kurang terkenal dibanding Bantul atau Gunung Kidul. Kebanyakan orang tahunya cuma Pantai Glagah dan Hutan Wisata Kalibiru. Ibukota kabupaten, yaitu Wates, juga sering cuma jadi perlintasan jalur Purworejo-Yogyakarta. Nah, karena pengin tahu suasana kota ini, aku coba jelajahi. Yuk!
Sama sekali nggak sulit buat menuju Wates. Dari kawasan Wirobrajan, Yogyakarta, atau tepatnya Jalan Pierre Tendean, kita bisa langsung naik bus Menoreh jurusan Wates. Buat yang nggak sabar menunggu kayak aku, bisa juga ke Terminal Giwangan dulu.
Dengan Rp. 10.000 dan perjalanan 1 jam lebih beberapa menit, aku menikmati perjalanan ini. Jalan raya Jogja-Wates belum pernah kulewati sebelumnya. Makanya, aku sengaja duduk di barisan depan, biar lebih bisa lihat pemandangan. Nggak salah, daerah yang kulewati terasa “adem”, banyak pepohonan di kanan kiri bikin sejuk mata.
Bus melewati jembatan Sungai Progo sebagai "gerbang masuk" ke Kabupaten Kulon Progo. Dua jembatan timbang, difungsikan untuk masing-masing arah. Bentuknya seperti lazimnya jembatan yang memisahkan antar daerah. Satu jembatan lagi di sisi kanan, desainnya mirip Golden Gate di Amerika! Anehnya, jembatan itu nggak dilewati kendaraan. Apakah khusus pejalan kaki? Mungkin…
Tujuan pertamaku adalah Pasar Wates. Yups, pasar tradisional selain tempat belanja, juga sebuah ikon perekonomian daerah. Mungkin kurang pas disebut tempat wisata, tapi selalu ada daya tarik dimana kita bisa lihat keseharian masyarakat sekitar.
Yang paling jadi sasaranku, apa lagi kalau bukan makanan khas. Kalau di Gunung Kidul bisa kita temukan tiwul, maka di Kulon Progo ada yang namanya growol. Makanan ini sekarang udah langka, saking langkanya orang tuaku pun nggak tahu itu apa! Nah, aku kasih tau ya.. growol adalah ketela pohon yang diperam lalu dihaluskan dan dikukus. Sebagai pelengkap, biasanya disajikan ketak , yaitu sejenis perkedel terbuat dari endapan minyak kelapa. (NB : Hati-hati menyebut “ketak”, bacanya jangan terlalu ditekan, karena “kethak” dalam bahasa Jawa berarti menjitak).
Hm... kok jadi ngomongin makanan? Sekarang aku udah masuk kota Wates! Sebenarnya aku mau turun di Terminal Wates. Tapi pak sopir dan pak kernet menganjurkan kalau mau ke pasar, mendingan turun di depan BRI Wates aja, soalnya lebih dekat. Apalagi kebanyakan bus jurusan Jogja ngetem di seberang BRI.  Nanti saat pulang, naik busnya dari sini.

Monumen Nyi Ageng Serang
Turun dari bus, aku lebih dulu terpukau dengan sebuah monumen, nggak jauh dari situ. Patung seorang wanita menunggang kuda dengan gagah berani. Itulah Monumen Nyi Ageng Serang, yang dibangun untuk mengenang jasa pahlawan wanita tersebut. Nyi Ageng Serang adalah pejuang yang gigih melawan kolonialisme abad ke-19 . Bahkan sampai lanjut usia, ia tetap memimpin pasukan Perang Diponegoro dari atas tandu. Ia lahir di Purwodadi, Jawa Tengah tahun 1752 dan meninggal di Yogyakarta tahun 1828. Berkat jasanya terhadap masyarakat Kulon Progo, nama Nyi Ageng Serang diabadikan lewat monumen di pusat kabupaten ini. Makamnya sendiri ada di Kalibawang, sekitar 30 km dari Wates.
Dari monumen itu, aku bergerak ke utara menuju Jalan Brigjen Katamso.  Aku mampir sebentar ke Alfamart beli air mineral lalu lanjut berjalan ke timur. Di sinilah aku langsung menemukan Pasar Wates.

Bagian depan Pasar Wates
Pasar tradisional ini tidak terlalu besar. Terdiri dari 2 lantai. Karena tujuan utamaku ingin mencari growol, aku pikir aku nggak perlu lihat-lihat ke arah lain. Menurut info, penjualnya ada di lantai 2, jadi langsung aja aku ke sana.Seperti orang hilang, aku mengitari pasar sendirian. Kalau ada orang lihat, perasaanku rada gimana gitu, tapi karena niatku solo travelling, rasa malu itu harus kubuang jauh-jauh. Agak lama aku mencari penjual growol. Entah karena sudah siang, atau memang karena bulan puasa, banyak los atau meja yang kosong. Jadi nggak banyak aktivitas jual beli yang kutemui.
Sesudah hampir putus asa, aku lihat seorang pedagang di bagian timur. Mataku langsung tertuju pada sebuah makanan. Mirip ketupat, tapi dibungkus plastik dengan alas daun pisang. Maka, terjadilah percakapan antara aku dan ibu penjualnya (aslinya pakai bahasa Jawa, tapi biar pada ngerti, di sini kutulis pakai bahasa Indonesia aja).

Aku : “Bu, ini apa?” 
Ibu :  “Itu growol, dibuat dari ketela”
Aku : "Satu berapa bu?"
Ibu :  "2500"

Aku pun langsung membelinya sebuah. Harganya Rp. 2500 aja. Belum puas, mataku mengamati dagangan si ibu satu persatu. Sebuah bungkusan plastik menarik perhatianku. 

Aku : “Kalau ini apa bu?” 
Ibu : . “Itu serundeng, buat dimakan sama growol” 
Aku : "Berapa bu?"
Ibu :  "Sama. 2500"
Aku :  "Kalau ketak ada bu?"

Si ibu menunjuk butiran coklat dibungkus plastik. Ukurannya kecil. Aku kira itu terasi. 

Ibu : "Ketaknya adanya yang manis, soalnya puasa, nggak bikin yang asin”.

Aku langsung ingat artikel yang kubaca. Di daerah Wates ini ada juga yang namanya gula ketak. Bahannya sama dengan ketak biasa, cuma bedanya yang ini dibuat seperti wajik. 

Aku : “Dua aja bu” 
Ibu :  “Kok cuma dua? Itu enam ribu dapat sepuluh lho”.  
Aku : “Ya, ini aja nggak apa-apa bu
Ibu : “Begini aja, dua ribu tiga ya, biar hitungnya gampang”.

Aku setuju. Sebuah growol,  sebungkus serundeng dan 3 buah gula ketak, total Rp. 7000

Aku keluar dari Pasar Wates, menuju ke Alun-alun Wates. Dengan mengandalkan GPS, aku menuju ke arah barat, tepatnya Jalan Sutijab. Suasana kota siang itu agak sepi, mungkin karena bulan puasa. Keramaian cuma terlihat di sekitar pasar dan toserba.
Di sebuah pertigaan, aku belok ke utara. Pemandangan yang ada bikin aku serasa bukan di kota. Masih ada sawah yang membentang dengan jalur hijau yang menyejukkan mata. Semakin jauh aku berjalan, aku temukan lintasan kereta api. Tempat itu  memang dekat dengan Stasiun Wates, dimana hampir tiap jam kereta api lewat. Nggak ada jalan lain, aku harus menyeberangi rel. Deg-degan juga. Tapi dasar traveler, di tengah rel aku masih sempat ambil foto pemandangan. Habis bagus sih!

Rel kereta. Kapan lagi bisa lewat sini?
Tinggal jalan sedikit lagi, aku sudah sampai di Alun-alun Wates. Kembali pemandangan luar biasa menghipnotisku. Begitu datang, aku langsung disambut bundaran air mancur dengan bunga-bungaan. Terasa suasana begitu damai karena sepi. Saking sepinya, sampai kicauan burung terdengar jelas. Biarpun sinar matahari cukup panas, pohon-pohon rindang memancarkan kesejukan. Ada beringin, palem, cemara dan aneka bunga. Betul-betul bikin betah.

Suasana alun-alun yang penuh kedamaian....
Kemungkinan alun-alun ini baru akan ramai pada sore atau malam hari. Aku lihat di seberang alun-alun dibangun tenda untuk pasar takjil. Sementara di sisi lain, sebuah panggung disediakan untuk acara-acara khusus.
Aku nggak bisa gambarkan lagi kekagumanku terhadap kota Wates ini. Biarpun kota kecil, tapi ditata dengan rapi dan asri. Kapan lagi, aku bisa rasakan yang seperti ini?

Serundeng kelapa yang gurih

Gula ketak, sejenis wajik berbahan dasar kelapa

Growol, tanpa rasa tapi mengenyangkan

Rabu, 01 Juni 2016

Lagu Masa Lalu (11) : Topi Sarjana

Terpancang di hatiku
Waktu aku masih duduk di bangku SMA
Semangat yang menyala
Untuk segera dapat ku menjadi sarjana
Menyumbangkan tenaga
Bagimu negara

Ketika lulus ujian
Semua nilaiku diatas tujuh senangnya
Ku menyandang ijazah
Serta do'a restu ayah ibuku dan saudara
Aku pergi ke kota
Meneruskan cita-cita

Ayahku telah menjual sawahnya
Untuk membekali anaknya
Ohohoooo...
Sesampai di kota aku terpana
Mendengar kata mereka
Ratusan ribu ku perlu lagi
Untuk cita-citaku

Ohhhh... menangis dalam hatiku
Mengapakah mesti begitu
Aku berjalan membayangkan
Wajah ayah-ibuku

Ku memandang ke depan
Topi sarjanaku melayang-layang tertawa
Seakan-akan berkata
Pulanglah segera menghadap ayah ibunda
Suruh jual semua miliknya
Baru licin jalan ke muka


Cover album Jamal Mirdad
Lagu di atas dibawakan oleh Jamal Mirdad di albumnya “Perawan Desa”. Merinding. Itu kesanku saat pertama kali dengar lagu dari tahun 1981 ini. Jadi pengin bernostalgia dengan zaman awal kuliah…. Yess, menjelang akhir sekolah SMA, pengin deh cepat-cepat merasakan suasana baru di bangku perkuliahan.
Cari info perguruan tinggi yang bagus, biar ilmu yang didapat juga berkualitas. Tapi satu hal yang selalu jadi ganjalan : BIAYA. Bukan cuma sekarang, dari dulu meraih selembar ijazah itu mahal! Diceritakan di lagu itu, sang ayah sampai menjual sawah untuk biaya kuliah anaknya. Nyatanya, itu pun tidak cukup! Masih kurang lagi ratusan ribu (kalau sekarang ya jutaan). Kalau sudah gitu, apakah orang tuanya harus jual semua miliknya? Jelas, tokoh dalam lagu ini kecewa berat. Pupus harapannya untuk meraih topi sarjana.






Saat aku wisuda Sarjana
Apa yang kualami dulu nyaris serupa dengan lagu ini. Orang tuaku tidak punya biaya. Untungnya dengan bantuan banyak pihak, aku bisa masuk kuliah D3. Tapi jangan ditanya perjalananku bakal semulus jalan tol. Pernah orang tuaku sampai menggadaikan barang buat biaya kuliahku. Pernah juga nasib kuliahku di ujung tanduk gara-gara pembayaran uang kuliah macet (yang untungnya dapat pinjaman dari beberapa orang). Betul-betul tertatih-tatih. Sampai akhirnya, bukan cuma Diploma. Lewat kuliah lanjut yang kujalani sambil bekerja, aku berhasil mencapai Sarjana!
So, bersyukurlah kita yang bisa kuliah! Jangan sia-siakan kesempatan itu, karena perjuangannya sangat tidak mudah!







Link video :
https://www.youtube.com/watch?v=cy1agbAiRmE