Selasa, 26 Desember 2017

Lagu Masa Lalu (20) : First Of May




When I was small, and christmas trees were tall
We used to love while others used to play.
Don't ask me why, but time has passed us by,
Some one else moved in from far away.

Now we are tall, and christmas trees are small,
And you don't ask the time of day.
But you and I, our love will never die,
But guess well cry come first of may.

The apple tree that grew for you and me,
I watched the apples falling one by one.
And I recall the moment of them all,
The day I kissed your cheek and you were mine.

When I was small, and christmas trees were tall,
Do do do do do do do do do...
Don't ask me why, but time has passed us by,
Some one else moved in from far away.


Lagu di atas adalah milik The Bee Gees yang populer sekitar tahun 1969. Lembut dan syahdu dengan iringan piano.  Ketika lagu ini tercipta, personel The Bee Gees masih berjumlah 4 orang, yakni Barry Gibb, Robin Gibb, Maurice Gibb, dan Colin Petersen. 




Secara jujur, Barry Gibb, penciptanya, mengisahkan tentang cinta yang berlangsung sejak kecil hingga dewasa, tetap setia walau terpisah jarak dan waktu. Meski menggunakan kata “Christmas tree”, lagu ini tidak ada kaitan dengan hari Natal.  Pohon Natal di sini hanya sebagai pembanding ukuran tubuh, dimana saat tokohnya masih kecil pohon itu terlihat tinggi.
Tapi tahukah kalian, bahwa sebenarnya lagu ini terinspirasi dari seekor anjing?
Ketika itu, Barry Gibb beserta istrinya, Linda, pindah ke apartemen baru mereka. Di sana mereka memelihara anjing bernama Barnaby, yang berulang tahun pada tanggal 1 Mei. Namun, Barnaby mati karena suatu hal. Sedih karena kehilangan anjing kesayangannya, Barry mencurahkannya dalam lirik lagu.
Namun, Barry tak mau terang-terangan menceritakan tentang anjingnya. Ia mengolah lirik lagu menjadi seakan-akan bercerita tentang kenangan cinta di masa kecil.  Bagaimana saat sang kekasih tiba, menjalin kasih hingga merayakan Natal bersama. Termasuk pohon apel yang menjadi kesukaan mereka. Waktu terus berlalu, hingga suatu hari mereka harus berpisah. Namun, cinta mereka takkan pernah mati. Tanggal 1 Mei atau First of May, adalah tanggal istimewa mereka (mungkin tanggal jadian), yang meninggalkan duka bila dikenang. 
Ketika seorang musisi menggunakan insting seni yang dimilikinya, cerita sedih pun dapat diubah menjadi simfoni yang indah. 


Link video:

Rabu, 29 November 2017

Lagu Masa Lalu (19) : Bright Eyes


Is it a kind of a dream 
Flloating out on the tide 
Following the river of death downstream  
Oh, is it a dream? 
There's a fog along the horizon 
A strange glow in the sky 
And nobody seems to know where it goes 
And what does it mean? 
Oh, is it a dream?

Bright eyes, burning like fire 
Bright eyes, how can you close and fail? 
How can the light that burned so brightly
Suddenly burn so pale? 
Bright eyes

Is it a kind of a shadow 
Reaching into the night 
Wandering over the hills unseen 
Or is it a dream? 
There's a high wind in the trees 
A cold sound in the air 
And nobody ever knows when you go 
And where do you start? 
Oh, into the dark

Bright eyes, burning like fire 
Bright eyes, how can you close and fail? 
How can the light that burned so brightly
Suddenly burn so pale? 
Bright eyes


Saat mendengarkan lagu ini, pikiranku seakan melayang ke “paradise world” alias negeri dongeng. Apalagi kalau didengarkan malam menjelang tidur, rasanya jadi pengantar tidur yang pas.
Jika diterjemahkan secara bebas, agak membingungkan. Memang, tema lagu ini cukup abstrak, menggambarkan keadaan yang misterius, seperti sungai yang berakhir di hilir, kabut di cakrawala, cahaya aneh di langit, suara kedinginan di udara, sampai mata yang cerah kemudian meredup. Si penulis bertanya-tanya, apakah ia sedang bermimpi saat melihat semua itu.
Lantas, tentang apakah lagu ini sebenarnya? Gambaran spiritual tentang kematian! Bagi yang menyukai filsafat, pasti bisa mendalami makna lagu ini. Waktu terus berjalan, hidup terus berputar, hingga suatu saat kita akan meninggalkan atau ditinggalkan orang yang kita kasihi. Ibarat cahaya mata yang akhirnya meredup dan mati, begitu jugalah hidup manusia.
Lagu ini adalah soundtrack dari sebuah film Inggris dengan judul Watership Down. Meski film kartun, film ini mengandung unsur filsafat.

Salah satu adegan Watership Down (youtube.com)

Ceritanya tentang sepasang kelinci, kakak beradik bernama Fiver dan Hazel, yang mengembara setelah mereka mendapat wahyu dari dewa. Mereka mengalami serangkaian petualangan, di antaranya Hazel sempat tertembak senapan petani tapi dia tidak mati. Di adegan inilah lagu Bright Eyes dikumandangkan.
Pencipta lagu ini adalah Mike Ball , sedangkan penyanyinya adalah Art Garfunkel. Lagu ini amat populer di Eropa pada tahun 1979.
Itulah gambaran singkat tentang lagu ini. 

Art Garfunkel (bluefrog.showare.com) 

Link video:

Senin, 25 September 2017

Solo Travelling (11) : Kereta Api Membawaku Keliling Joglosemar


Dalam hati aku agak menyesalkan, kota tempat tinggalku, Magelang tidak ada kereta api. Mau naik kereta api harus ke Jogja atau Semarang dulu. Andai saja ada… waw… enak banget….Apalagi kereta api itu berangkatnya nggak selalu pagi, kadang malam juga ada. Jadi kalau malam-malam aku lagi bête atau bosan di rumah, langsung ngacir aja ke stasiun, beli tiket seharga berapa puluh ribu… dan jugijaggijug….kereta berangkat.. dan tahu-tahu sampailah aku ke Solo atau Surabaya.
Pemerintah kabarnya ingin menghidupkan lagi jalur kereta di Magelang.. tapi ya, masih sebatas janji. Mungkin bingung, mau ditaruh di mana jalur itu, soalnya jalur lama udah banyak yang alih fungsi jadi pemukiman. Bisa heboh kalau terjadi penggusuran besar-besaran.
Ah udahlah, yang jelas hari ini aku mau mengitari daerah lain dulu. Tepatnya jalur kereta api Semarang-Solo. Cuma ada satu kereta jurusan Solo dari Semarang, yaitu KA Kalijaga. Sebuah trayek kereta yang menggunakan nama salah satu dari Walisongo. Udah lama banget aku ingin naik, karena kereta ini lewat Kabupaten Grobogan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Lagipula, tarifnya murah banget, Rp. 10.000 per orang.
KA Kalijaga cuma beroperasi untuk rute Solo-Semarang dan Semarang-Solo masing-masing 1 kali dalam sehari. Untuk rute Solo-Semarang berangkat pukul 05.20. Jelas sama sekali nggak terjangkau kalau berangkat dari Magelang, kecuali menginap di Solo. Akhirnya aku pilih rute kedua, Semarang-Solo, yang berangkat jam 08.45. Itu artinya, berangkat dari Magelang harus pagi-pagi.
Setelah sport jantung karena masalah perjalanan : jalanan macet, bus Magelang-Semarang ngetem lama dan sulitnya mendapat bus Trans Semarang, akhirnya dengan diantar GoJek dari Sukun Banyumanik, aku sampai di Stasiun Poncol.  Nggak pakai lama, aku langsung berlari ke loket penjualan  tiket. Waktunya tinggal 20 menit lagi, jadi cepatlah!

Stasiun Semarang Poncol

Tempat penjualan tiket KA lokal terpisah dengan KA jarak jauh, jadi kita harus jeli dengan tulisan di loket. Loket KA lokal sendiri letaknya paling kiri. Begitu aku mendekat, mbak yang jaga langsung tahu “Kereta Kalijaga ya? Untuk berapa orang?” “Satu” jawabku. Aku langsung menyerahkan uang Rp. 10.000 dan kami masing-masing mengucapkan terima kasih.
Ngomong-ngomong, selain KA Kalijaga, loket ini juga menjual tiket KA Kedungsepur dengan rute Semarang-Ngrombo. Buat yang belum tahu, Ngrombo itu sebuah kecamatan di dekat Purwodadi. Aku pengin juga sih, naik KA itu. Harganya sama, Rp. 10.000 per orang. Sayang beribu sayang, jam keberangkatannya dari Semarang adalah jam 06.00 dan 15.45. So, kapan-kapan aja ya!
Segera aku check in, masuk ke stasiun. Ternyata KA yang ingin kunaiki sudah datang. Aku langsung bertanya lokasi gerbong ke petugas, dan naik.
Asyik, aku dapat tempat duduk dekat jendela! Jadi nanti, aku bisa lihat pemandangan dengan jelas. Ya, biarpun dudukku menghadap ke belakang, posisi yang nggak terlalu kusukai karena bikin pusing kalau kelamaan. Terdengar pengumuman dari speaker kereta berupa ucapan selamat datang dan daftar  stasiun yang akan disinggahi, yaitu Stasiun Semarang Tawang, Brumbung, Kedungjati, Telawa, Gundih, Salem, dan berakhir di Stasiun Solo Balapan.

Inilah kereta api Kalijaga



Bagian dalam KA Kalijaga

Saat kereta berangkat, gerbong yang kunaiki masih lengang, baru terisi beberapa orang. Begitu juga ketika berhenti di Stasiun Tawang, jumlah penumpang tidak sampai 50%. Mungkin karena bukan hari libur, mungkin juga karena sebagian orang lebih suka naik bus ke Solo.
Kereta mulai meninggalkan kota Semarang. Aku berusaha menikmati perjalanan dengan lihat pemandangan sambil sesekali jeprat jepret kamera HP. Penumpang di sekitarku sibuk dengan aktivitas masing-masing, sementara beberapa kru kereta menjajakan minuman dan snack. Hingga tanpa disadari, kereta sudah berhenti. Sebuah stasiun yang bentuknya seperti gudang penyimpanan dengan kereta barang di depannya. Stasiun Semarang Gudang? Ternyata bukan. Ini adalah Stasiun Brumbung, satu-satunya stasiun kereta yang masih aktif di Kabupaten Demak. Dan ternyata bangunan utama stasiun itu sendiri nampak di jendela seberangku (sebelah kanan), bangunan gudang itu adalah bagian belakangnya. Belakangan aku ketahui, gudang ini adalah milik perusahaan semen Holcim. Semen diangkut dengan kereta barang dari pabriknya di Cilacap, untuk selanjutnya didistribusikan ke Semarang dan sekitarnya. Ooooh...

Gudang semen Holcim dan kereta barang di Stasiun Brumbung

Berangkat lagi! Kali ini kereta menyusuri ruas jalur Semarang-Tanggungharjo. Ngomong-ngomong, jalur ini adalah jalur kereta tertua di Jawa yang dibangun pada tahun 1867.  Stasiun Tanggung sendiri sudah tidak lagi melayani penumpang, hanya untuk persilangan kereta api. Sayangnya, karena terlalu fokus dengan jendela di sampingku, aku tidak sempat melihat stasiun yang letaknya di sebelah kanan.
Memasuki Kabupaten Grobogan, suasana yang ada nyaris membuatku tak percaya bahwa ini di Jawa Tengah. Terbentang tanah kapur yang berbukit-bukit. Sebagian besar digunakan sebagai ladang tanaman  jagung, pisang, dan ketela. Tak ketinggalan juga hutan jati yang menambah semarak.

Tanaman pisang di tengah perbukitan

Ladang jagung
Kalau kereta semakin mendekati pemukiman warga, itu tandanya stasiun sudah dekat. Ya, stasiun berikutnya : Stasiun Kedungjati. Daerah ini dinamakan Kedungjati, karena lokasinya di tengah hutan jati.

Stasiun Kedungjati
Stasiun Kedungjati dibangun pada tahun 1873, sezaman dengan Stasiun Ambarawa. Tak heran kalau  bangunannya pun menggunakan arsitektur zaman kolonial, dengan jendela berukuran besar dan pilar-pilar bergaya puri. Dulu, stasiun ini adalah penghubung utama jalur Semarang-Solo. Namun sekarang tidak banyak kereta api yang lewat di sini. Semoga saja reaktivasi jalur kereta Ambarawa-Kedungjati segera diselesaikan, agar stasiun ini ramai lagi.
Lepas dari Kedungjati, hari semakin siang, untungnya kereta ini memiliki AC sehingga penumpang tidak kepanasan. Pandanganku masih tidak lepas dari pemandangan di luar, biarpun yang terlihat sama dengan tadi : hutan jati, ladang jagung dan kebun pisang, kadang diselingi dengan pemukiman penduduk. Sempat melewati Stasiun Padas, stasiun kecil yang hanya berfungsi sebagai lokasi persilangan kereta api.
Tak lama, kereta berhenti lagi di Stasiun Telawa, Kecamatan Juwangi. Uniknya, meski “terkurung” oleh Kabupaten Grobogan, Juwangi termasuk dalam Kabupaten Boyolali. Dan Telawa adalah satu-satunya stasiun aktif di kabupaten ini. Entah kenapa dinamakan Telawa, aku nggak tahu, mungkin nama desa di sini. Stasiun kecil ini sempat dinonaktifkan oleh PT KAI, tapi karena banyaknya permintaan dari masyarakat, akhirnya dibuka kembali pada tahun 2015. Kenyataannya hari ini, tak sedikit juga penumpang yang naik atau turun di sini.

Rel kereta di depan Stasiun Telawa

Hutan jati diterpa sinar matahari

Perjalanan selanjutnya, lagi-lagi pemandangan tanaman jagung, pohon jati, dan pohon pisang yang diterpa sinar matahari. Aku coba alihkan pandangan ke jendela seberang. Ternyata sedikit berbeda. Suasana pemukiman pedesaan lebih mendominasi. Yang menarik, sebagian rumah di sini menggunakan atap tradisional, yaitu joglo.

Pemandangan sebuah rumah di Geyer, Grobogan

Waktu terus berjalan seiring dengan kereta yang terus melaju. Stasiun Gundih adalah perhentian berikutnya. Nama kecamatan di sini sebenarnya adalah Geyer, tapi lebih dikenal dengan nama Gundih.
Stasiun Gundih juga merupakan stasiun tua, seperti halnya Stasiun Kedungjati. Sayangnya, aku nggak bisa melihat jelas bangunannya karena terletak di sebelah kanan. Aku cuma bisa menyaksikan beberapa gerbong kereta dan lokomotif yang sedang parkir. Tapi sekilas bisa terlihat bahwa bangunan stasiun ini juga bergaya kolonial yang masih asli. Di dekat stasiun juga masih berdiri bangunan tua, yang mungkin adalah rumah dinas kepala stasiun.

Lokomotif yang sedang parkir di Stasiun Gundih

Oh ya, di sebelah utara stasiun ini ada persimpangan jalur kereta menuju Gambringan, yang saat ini cuma digunakan sebagai jalur cadangan.  Ingin rasanya aku turun buat lihat-lihat daerah ini, syukur-syukur nemuin penjual pecel Gambringan. Eh, tapi gimana kalau ketinggalan kereta? Repot pulangnya
Perjalanan di Kabupaten Grobogan diakhiri dengan melewati Stasiun Goprak, stasiun yang hanya digunakan untuk persilangan. Nah, sekarang saatnya memasuki Kabupaten Sragen. Pemandangan ladang masih terlihat, tapi karena datarannya lebih tinggi, di sini dibangun terasering untuk mencegah longsor.

Terasering untuk mencegah longsor

Jalan raya di Sumberlawang, Kabupaten Sragen

Sampai di Sumberlawang, suasana perkotaan mulai terasa, karena rel kereta berada tak jauh dari jalan raya. Begitu juga ketika mendekati Stasiun Salem, Gemolong, mulai terdapat beberapa perlintasan karena lokasi rel dekat dengan pemukiman warga. Stasiun Salem adalah stasiun terakhir bagi KA Kalijaga untuk menaikturunkan penumpang sebelum menuju perhentian terakhir di Stasiun Solo Balapan.

Sebuah rumah dekat Stasiiun Salem

Semakin mendekat ke perhentian terakhir, mulai terdengar alunan lagu. Tadinya aku pikir, awak kereta bakal memutar lagunya Didi Kempot. Eh, tak kusangka, yang diputar adalah lagu religi dari Gigi. Hmmm… mungkin pikir mereka daripada lagu campursari lebih baik dikasih lagu yang lebih punya makna.

Oh Tuhan... mohon ampun 
Atas dosa dan dosa
S'lama ini aku tak menjalankan perintahMu
Tak pedulikan namaMu
Tenggelam... melupakan diriMu.
...............

Daaan… tepat jam 11.45 KA Kalijaga sampai di Stasiun Solo Balapan. Total waktu perjalanan adalah 2 jam 45 menit. Aku langsung turun. Ya, untuk kesekian kalinya aku kembali menjejakkan kaki di kota Solo.

Sampai jumpa KA Kalijaga!

Stasiun Solo Balapan


Agar tidak kesorean pulangnya, aku sengaja nggak jauh-jauh dari stasiun. Menurut perhitunganku, sebaiknya aku segera naik KA Prameks ke Jogja jam 13.00. Seperti halnya di Stasiun Poncol tadi, di sini juga ada loket khusus untuk KA lokal.  Saat aku menuju ke loket, weladalah antrinya… panjang bener. Ternyata antrian beli tiket ini untuk KA Prameks yang jam 12.15. Setelah kloter ini berangkat, barulah tiket yang untuk jam 13.00 dijual. Minat masyarakat untuk naik KA Prameks memang tinggi, karena kereta ini adalah penghubung utama Jogja-Solo. Di samping itu, tarifnya juga terjangkau, lebih murah dari naik bus.
Karena masih setengah jam, aku jalan-jalan dulu keluar stasiun. Di dekat stasiun ada Pasar Ayu Balapan, yang menjual aneka kuliner, batik, hingga barang-barang kerajinan berukuran kecil yang kalau di sini disebut klithikan. Seporsi soto yang menyegarkan langsung mengenyangkan perutku siang ini.

Pasar Ayu Balapan

Nah, saatnya pulang. Aku balik ke stasiun dan langsung beli tiket. Untungnya, baru jam 12.20 sehingga loket masih sepi.  Langsung aku dapat tiket seharga Rp. 8000. Oh ya, sekedar tips buat kalian yang mau naik KA Prameks, sebaiknya kalau beli tiket waktunya jangan terlalu mepet. Jadi, setelah KA Prameks yang kloter sebelumnya diberangkatkan, segeralah beli tiketnya agar tidak terjebak antrian panjang seperti tadi. Satu lagi yang perlu diingat, tempat duduk tidak ditentukan. Kalau kalian nggak ingin kehabisan tempat duduk yang nyaman, sebaiknya naik dari Stasiun Balapan. Dan begitu kereta datang, segeralah naik.
Beruntung, aku dapat tempat duduk yang cukup nyaman di dekat pintu. Maka, biarpun nantinya kereta penuh, aku nggak terlalu sulit buat turun.
Setiba di Jogja, kira-kira 1 jam kemudian, aku putuskan turun di Stasiun Maguwo, yang letaknya satu komplek dengan Bandara Adisucipto. Bukannya mau sok masuk airport, tapi karena akses bus Trans Jogja untuk menuju terminal lebih mudah dari sini. Kalau dari Stasiun Tugu atau Lempuyangan, harus jalan kaki lumayan jauh buat menuju halte Trans Jogja. Ya, dari halte di depan bandara, aku tinggal naik bus ke Terminal Condongcatur, disambung ke Terminal Jombor, hingga akhirnya bus ke Magelang.
Tanpa terasa, hari ini aku sudah mengitari Joglosemar (lebih tepatnya sih Semarlojog, karena aku mulai dari Semarang). Keinginan naik KA Kalijaga yang selama ini aku dambakan terbayar sudah. 

Kamis, 17 Agustus 2017

Lagu Masa Lalu (18) : Kepada Alam dan Pencintanya


Pendaki gunung, sahabat alam sejati
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan
memploklamirkan dirimu pecinta alam
sementara maknanya belum kau miliki

Ketika aku daki dari gunung ke gunung
Disana ku temui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kepedihan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam

Batu batu cadas merintih kesakitan
ditikam belatimu yang bermata ayal
hanya untuk mengumumkan pada khalayak
bahwa disana ada kibar bendera mu

Oh alam, korban keangkuhan
Oh alam, korban keangkuhan
Maafkan mereka yang tak mau mengerti arti kehidupan


Setiap tanggal 17 Agustus ada satu aktivitas yang digandrungi banyak orang, terutama anak muda. Ya, apa lagi kalau bukan mendaki gunung. Entah terinspirasi film 5 cm atau bagaimana, jalur pendakian gunung selalu ramai tiap tanggal itu.
Tidak sekedar mendaki, ritual paling wajib adalah menancapkan bendera merah putih di puncak gunung. Nggak lengkap juga, kalau nggak diikuti foto selfie sambil hormat bendera. Wuiiiih… bangganya. Nasionalis abis…

Ini foto saat aku mendaki gunung Ungaran (2015)

Buat kita yang betul-betul bersahabat dengan alam, pasti lancar-lancar aja. Tapi masalahnya nggak sedikit pendaki amatir yang nekat demi gengsi atau ikut-ikutan. Padahal mereka belum mengerti kondisi alam. Akibatnya, bisa jadi cedera. Masalah lain yang nggak kalah penting, apa mereka bisa menjaga lingkungan? Sering terjadi setelah musim mendaki, jalur pendakian akan dipenuhi sampah! Belum lagi, kerusakan lingkungan akibat ulah para pendaki.

Cover album Rita Rubby Hartland

Nah, lagu dari Rita Rubby Hartland ini bisa jadi teguran sekaligus sindiran buat para pendaki gunung yang tidak peduli dengan lingkungan. Ternyata pengrusakan lingkungan bukan cuma dilakukan oleh pendaki amatir. Orang yang menamakan dirinya pecinta alam pun bisa saja melakukannya!
Contohnya, ada sebagian orang yang membuat “prasasti” dengan menggores pepohonan. Ada juga yang memotong dahan untuk kenang-kenangan. Padahal pohon adalah makhluk hidup juga. Tak heran, di lagu ini digambarkan “banyak pepohonan merintih kesakitan”.
Begitu juga bebatuan. Tak jarang batuan gunung dirusak untuk menancapkan bendera. Memang, batu adalah benda mati. Tapi bagaimanapun ia adalah bagian dari kekayaan alam. Lebih ironis lagi, tidak satu dua orang yang melakukan pengrusakan! Jika dibiarkan terus menerus dapat mengancam kelestarian sumber daya alam.

Kenapa mereka melakukan itu? Yang jelas untuk memuaskan diri. Ini sangat menyimpang dari esensi “pecinta alam”. Makna dari mencintai alam adalah tidak sekedar menikmatinya, tapi juga menjaga dan melestarikannya. 
Rita Rubby Hartland sendiri adalah penyanyi yang ngetop di tahun 1980-an. Wanita kelahiran 13 April 1960 ini menekuni jalur musik country. Lagu-lagunya kebanyakan bercerita tentang kemanusiaan, seperti Kepada Alam dan Pencintanya, Suara Kecil Panti Asuhan, dan Nyanyian Sawah. 

Link video:

Kamis, 29 Juni 2017

Penyanyi Masa Lalu (10) : Patti Page


I was dancing with my darling to the Tennessee Waltz
When an old friend I happened to see
I introduced her to my loved one
And while they were dancing
My friend stole my sweetheart from me
I remember the night and the Tennessee Waltz
Now I know just how much I have lost
Yes, I lost my little darling the night they were playing
The beautiful Tennessee Waltz

Merdu dan syahdu, itu kesan pertamaku saat dengar lagu “Tennessee Waltz” ini. Aransemennya mengingatkan kita pada pesta dansa klasik zaman dulu. Memang, lagu country yang diramu dengan sentuhan klasik ini berasal dari Amerika tahun 1940-an, dimana “musik koboi” tersebut sedang berjaya. Lantas, siapakah penyanyinya?
Tersebutlah Patti Page, seorang wanita asal Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat. Nama sebenarnya adalah Clara Ann Fowler. Nama panggung Patti Page disandangnya saat dia menyanyi di stasiun radio KTUL, yang disponsori oleh Page Milk Company di tahun 1945. Kemudian ia bergabung dengan Jimmy Joy Band yang digawangi Jack Rael hingga tahun 1947. Wanita kelahiran 8 November 1927 ini sempat juga bergabung dengan kelompok orchestra Benny Goodman, sebelum memutuskan untuk bersolo karir.
Lewat perusahaan Mercury Records, Patti membuat berjudul “Confess”. Di single pertamanya ini ia  menggunakan teknologi overdubbing (paduan suara tiruan) karena masalah ekonomi yang membuatnya tidak bisa menggunakan penyanyi latar. Disusul “With My Eyes Wide Open I’m Dreaming” yang membawa penghargaan platinum untuknya. Lagu-lagu lainnya antara lain “All My Love”, “You Belong To Me”, “Changing Partner”, “I Don’t Care If The Sun Don’t Shine”. Hampir semuanya membuahkan penghargaan bagi Patti Page.
Namun, lagu “Tennessee Waltz” dinilai paling berarti buatnya. Meski pernah dibawakan oleh band Pee Wee King & His Golden West Cowboy, lagu ini sukses dibawakan kembali oleh Patti. Lagu ini pulalah yang membuat Patti memantapkan diri sebagai penyanyi country ternama di tahun 1950-an. Di samping lagu country, ia juga rekaman untuk lagu pop, folksong (lagu daerah Amerika), bahkan lagu anak-anak. Sukses di dunia musik, ia pun terjun ke film layar lebar, di antaranya “Elmer Gantry”, pada tahun 1960.

Patti Page dalam cover album Tennessee Waltz

Jika kebanyakan penyanyi memilih hengkang dengan bertambahnya usia, tidak demikian dengan Patti. Sampai usia tua, ia tetap produktif, menghasilkan rekaman, baik dengan Mercury Records, Columbia Records, maupun Nashville Records. Begitupun ketika ketenaran musik country mulai tergerus zaman, namanya tak ikut tenggelam. Hingga akhirnya Patti memiliki perusahaan rekaman sendiri,  C.A.F Records. Sudah tak terhitung berapa banyak penghargaan yang diperolehnya. Terakhir, ia mendapatkan Grammy Awards pada 1999 untuk album “Live In Carnegie Hall”.

Patti Page masih bernyanyi di usia senja. 

Patti pernah menikah 3 kali. Pernikahan pertama dengan Jack Skiba pada tahun 1948, berakhir dengan perceraian setahun kemudian. Pada tahun 1956, ia menikah lagi dengan Charles O’Curran, seorang koreografer, dan menghasilkan dua anak, namun bercerai juga di tahun 1972. Terakhir, ia menikah dengan Jerome Joseph Filicitto pada tahun 1990 dan berakhir dengan kematian sang suami di tahun 2009.

Sepanjang hidupnya, Patti telah menghasilkan lebih dari 100 album dan single. Memasuki usia kepala delapan, ia masih memenuhi berbagai undangan untuk tampil. Namun takdir jugalah yang mengakhiri semuanya. Tahun 2012, kesehatannya mulai menurun. Ia dinyatakan menderita penyakit jantung dan paru-paru, hingga ia memutuskan pensiun dari dunia musik. Tepat tanggal 1 Januari 2013, wanita bersuara lembut ini menghembuskan nafas terakhirnya. 

Link video:

Kamis, 18 Mei 2017

Lagu Nasa Lalu (17) : A Whiter Shade of Pale


We skipped the light fandango
Turned cartwheels 'cross the floor
I was feeling kinda seasick
But the crowd called out for more
The room was humming harder
As the ceiling flew away
When we called out for another drink
The waiter brought a tray

And so it was that later
As the miller told his tale
That her face, at first just ghostly,
Turned a whiter shade of pale
She said, 'There is no reason
And the truth is plain to see.'
But I wandered through my playing cards
And would not let her be
One of sixteen vestal virgins
Who were leaving for the coast
And although my eyes were open
They might have just as well've been closed

And so it was that later
As the miller told his tale
That her face, at first just ghostly,
Turned a whiter shade of pale


And so it was that later



Pernah dengar Procol Harum? Jangan bayangkan versi baru dari Procold, obat flu yang terkenal itu lho! Juga bukan merek minyak wangi. Ini adalah nama band slow rock dari Inggris di tahun 1960-an. Konon, nama Procol Harum berasal dari nama seekor kucing Siam. Tidak diketahui, kenapa grup ini memakai nama tersebut.



Nah, lagu di atas adalah single mereka yang paling terkenal. Lagu ini diciptakan oleh sang vokalis, Gary Brooker, sedangkan liriknya ditulis oleh Keith Reid. Sejak dirilis pada bulan Mei 1967, lagu ini dengan cepat menjadi hits di Inggris. Yang menarik, irama lagu ini terinspirasi dari musik klasik Johann Sebastian Bach.
Kalau lirik lagu ini diterjemahkan secara bebas, mungkin kita akan bingung memahami artinya. Maklum, banyak kata-kata yang puitis dan mengandung perumpamaan. Seperti “miller” atau penggilingan yang menggambarkan suasana yang berputar.
Tapi kalau kita pahami satu persatu, kemungkinan besar lagu ini menggambarkan pasangan muda-mudi yang tengah minum-minum. Setting lokasinya adalah tempat yang ramai, mungkin di bar. Meski mereka sudah mabuk, karena pengaruh orang-orang di sekitar, akhirnya mereka menambah minuman, lagi dan lagi. Sampai akhirnya mereka sama-sama mabuk berat. Digambarkan wajah si gadis menjadi pucat memutih, sementara si pemuda tidak bisa lagi mengendalikan diri dan…. akhirnya terjadilah hubungan terlarang.
Disinggung mengenai lirik lagu tersebut, Keith Reid pernah mengatakan, sebenarnya ia tidak ingin menciptakan suasana "hot". Ia justru awalnya ingin mengungkapkan kisah perkenalan antara laki-laki dan perempuan di tengah suasana ramai. Namun entah kenapa, ia kelepasan berpikir, dan terciptalah lirik seperti itu. 
Ah, terlepas dari semua itu, kita nikmati aja lagunya bro/sis, jangan praktekkan kisah di dalamnya. Oke? 

Link video:

Senin, 24 April 2017

Ingin Jadi Yang Terbaik, Malah Hampir Tertipu


Tidak bisa kupungkiri, aku selalu ingin terlihat menonjol di antara teman-temanku. Maklum, sebagai seorang introvert aku kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Daripada membalas, kupikir lebih baik aku tunjukkan aja siapa diriku sebenarnya. Aku cari kemampuanku yang sebenarnya.
Itulah yang jadi pemikiranku 10 tahun yang lalu. Tapi dari hal itu, ada satu pengalaman tak terlupakan. Inilah ceritanya.

Pertengahan April 2007. Saat itu tepat 2 bulan menjelang kelulusan SMA. Sepulang sekolah aku melihat sebuah brosur di papan pengumuman sekolah. Akan diadakan audisi bertajuk “Idolaku – Bintang Pelajar Indonesia” untuk pelajar SD, SMP, dan SMA di Magelang. Audisi dibagi dalam 3 kategori : vokal, akting, dan model. Wah, ini dia! Muncul keinginanku mengikuti kategori akting. Ya, soalnya dulu itu aku pernah bermimpi jadi bintang film. Kalau vokal, suaraku belum terlalu bagus. Model, aku nggak tertarik.
Aku tertarik banget buat mendaftar. Soal ujian akhir, bisa dipikirkan nanti. Tapi, gimana kalau teman-temanku tahu aku ikut acara kayak begini? Pasti aku bakal diejek sana sini. Itulah sebabnya, biarpun bisa mendaftar di sekolah, aku cari alternatif lain buat pendaftaran. Untungnya, supermarket langgananku, Trio Plaza, juga membuka pendaftaran acara ini. Maka, nggak pakai lama, aku langsung mendaftar ke sana. Biaya pendaftaran cukup Rp. 20 ribu.
Sayangnya, di formulir tertulis bahwa peserta harus didampingi guru pendamping. Aku jadi bingung, guru pendampingku siapa? Dengan agak sungkan, aku curhat ke Bu Nia, guru BP di sekolahku. Beliau menganjurkan aku menemui Pak Slamet, guru kesenian. Singkat cerita, aku berhasil mendaftar.

11 Mei 2007, diadakan technical meeting. Seperti perintah dari Pak Slamet, aku datang ke sekolah sore itu untuk berangkat sama-sama. Ternyata ada beberapa adik kelasku yang juga ikut. Didampingi Pak Slamet, Bu Nia dan Bu Niken, kami berangkat ke Taman Kyai Langgeng, tempat acara itu.
Begitu sampai di sana…weladalah… antrinya luar biasa. Dari loket sampai depan pintu gerbang. Ada kalau 50 meter. “Ini belum apa-apa, Indonesian Idol bisa 4 shaft lho,” kata Louis, salah satu adik kelasku. Wuih.. ngeri juga membayangkan antri di Indonesian Idol (biarpun toh nantinya aku mengalami seperti itu juga…wkwkwk…). Agak lama, beberapa anak perempuan mulai mengeluh, “Aduh Bu, dehidrasi nih”. Untungnya Bu Nia segera membelikan Aqua.
Hampir satu jam antri, tiba giliranku di depan meja panitia. Aku hanya disuruh tanda tangan dan diberi nomor peserta beserta selembar kertas berisi penjelasan acara. Acara audisi akan diadakan pada 19 Mei 2007 di Taman Kyai Langgeng juga.
Detail acaranya seperti ini : aku diminta menampilkan suatu akting, tema bebas. Duh, aku bingung. Harus buat seperti apa. Pikir-pikir, akhirnya kuputuskan pura-pura jadi cowok yang marah sama pacarnya. Pada dasarnya aku emang gampang marah sih…

19 Mei 2007, tibalah waktu audisi. Hari itu, tepatnya hari Minggu pagi, audisi dimulai di Rumah Baca Taman Kyai Langgeng.  Kembali aku datang bareng dengan guru pendamping dan peserta dari sekolahku. Banyak banget pesertanya, sekitar 500 orang, tapi agak cepat karena dibagi kelompok dalam masing-masing kategori: vokal, akting dan model, beserta tingkatan sekolah : SD, SMP, SMA.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya tiba giliranku. Aku pun masuk ke sebuah ruangan. Ada 3 orang juri, bapak-bapak. Setelah memperkenalkan diri dan dipersilahkan, aku siap beraksi.
Kira-kira beginilah akting yang kutampilkan:
“Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Kamu lupa, aku ini sudah banyak berkorban buat kamu. Kerjakan tugas, aku bantu, mau SMS aku pinjami, butuh uang aku pinjami. Kurang apa aku ini? Kamu malah jalan sama orang lain”
“Tingkatkan intonasi anda!” tiba-tiba seorang juri berteriak.
Dibentak seperti itu, aku jadi ingin marah beneran.
“Pokoknya sekarang, jauhi dia atau kita putus!” teriakku.
Hmm…udah deh, gitu aja. Aku pun diam.
“Sudah?” tanya juri yang membentakku tadi. “Coba anda akting yang lain, misalnya sakit”
Aku mencobanya
“Aduuh… gigiku sakit… aduuuuh…. Mana nggak ada obat lagi”
Dengan gaya yang sok hebat, juri tadi langsung berkomentar, “Terus terang, anda menampilkan sesuatu yang datar dan tidak menarik sama sekali.”  Tapi dia melanjutkan “Tapi saya rasa anda punya potensi, saya kasih anda lolos”
Juri yang lain ikut bicara “Baru pertama kali ikut seperti ini?”
Aku mengangguk.
“Pantas, jelek banget”,  dia tertawa.
Huh, sombong amat sih dia. Kayak dia jago akting aja.
“Tapi untuk kali ini nggak apa-apa, anda lolos, silahkan ke meja sebelah sana”
Karena dua juri sudah mengatakan lolos, juri yang ketiga nggak perlu berkomentar. Aku pun langsung diarahkan ke meja lain, di situ aku disuruh tanda tangan dan diberi selembar kertas berisi penjelasan tentang audisi tahap berikutnya. Setelah selesai aku keluar. Perasaanku antara senang dan tidak. Senang karena lolos, tidak senang karena jurinya sombong banget.
Dari sekolahku ada sekitar 10 peserta, 6 di antaranya lolos termasuk aku. Sebelum pulang, kami istirahat sebentar sambil cerita pengalaman mereka tadi. Adik kelasku sempat mengeluh , “Uh jurinya nyengit (angkuh) ya”. Hehehe, ternyata bukan cuma aku yang berpikir begitu. Emang sih, jurinya kayaknya kurang professional. Ah, masa bodo ah.
Sambil istirahat, aku membaca persyaratan audisi tahap berikutnya. Minggu depan, kita harus unjuk bakat langsung di panggung, tentunya dengan supporter dan kostum khusus. Sebelumnya, kita harus ikut sesi latihan pada 24 Mei 2007, dengan mendaftar ulang lewat kantor Taman Kyai Langgeng dan membayar Rp. 10.000 . Sekali lagi, materi penampilan harus kita persiapkan sendiri.
Aku jadi bingung, kan aku nggak ada supporter. Teman-teman sekelasku mana mau? Apalagi aku sudah berusaha merahasiakan ini dari mereka.  Dan lagi, materinya? Apa lagi yang harus kutampilkan? Tentunya aku nggak ingin penampilanku memalukan. Kalau harus mengarang, gimana dengan belajarku? Ujian akhir tinggal dalam hitungan hari.

21 Mei 2007. Karena galau, aku curhat ke Bu Nia. Anehnya, nggak seperti kemarin dimana beliau mendukung banget, sekarang beliau malah bilang “Kalau kamu memang nggak sanggup, lebih baik mundur aja. Apalagi acara ini kok sepertinya nggak bagus, nggak jelas mereka dari event organizer atau stasiun TV mana, lalu nanti pemenangnya dikirim ke Jakarta diikutkan dalam acara apa juga nggak jelas. Sudahlah, kamu fokus belajar aja,  masih banyak acara seperti ini nanti.”
Akhirnya, aku menyetujui nasehat Bu Nia. Aku coba SMS ke panitia, mengundurkan diri. Awalnya kau beralasan nggak punya supporter. Mereka berusaha meyakinkanku, “Masih ada juri kok, nggak punya supporter nggak apa-apa”. Aku jawab lagi, aku juga sebentar lagi mau ujian jadi aku nggak ingin belajarku terganggu.
Sejak itu, aku benar-benar putus hubungan dengan acara itu. Tapi aku nggak menyesal, malah merasa lega banget. Aku pun belajar lebih giat. Hingga sebulan kemudian aku berhasil lulus dari SMA dengan nilai memuaskan. Kini aku bersiap “go international”, kuliah di luar kota.

4 Juli 2007, tanpa sengaja aku membaca sebuah berita di koran. “Ratusan Pelajar Terkecoh Lomba Pemilihan Model”. Hmmm… apa ini? Aku kaget, di situ tertulis lomba bertajuk “Idolaku”. Audisi yang kuikuti dulu! Ternyata itu penipuan! Final seharusnya digelar 3 Juli 2007, tapi batal karena pihak panitia menghilang. Faktanya, Taman Kyai Langgeng bukanlah penyelenggara acara itu, melainkan sebuah event organizer yang tidak jelas asal usulnya!  Wah, puji Tuhan! Untung aku mundur!
Di koran hari berikutnya, beritanya muncul lagi. Polisi telah memeriksa 28 orang saksi. Namun, penanggung jawab acara tersebut masih buron. Total 580 orang siswa yang jadi korban. Kabarnya audisi ini pernah digelar di Kabupaten Kulonprogo dan sedang dipersiapkan di Gunungkidul. Tidak diketahui apakah para siswa di Kulonprogo juga mengalami penipuan seperti ini atau sedang menunggu “dikirim ke Jakarta”.
Yang bikin aku makin lega, ada pengakuan salah satu orang tua peserta yang anaknya masuk 3 besar kategori model. Di tengah-tengah acara, peserta diharuskan membayar untuk biaya polling. Maksudnya untuk membeli kertas dukungan yang akan dibagikan ke teman-teman peserta. Tidak tanggung-tanggung, panitia meminta antara Rp. 300 ribu sampai Rp. 500 ribu. Tapi karena merasa keberatan, akhirnya para peserta hanya membayar Rp. 100 ribu. Pokoknya, tiap tahap audisi pasti ada uang yang diminta. Panitia memang merencanakan segala sesuatunya dengan rapi. Bahkan, sebelum acara diadakan, mereka sudah minta rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kota Magelang.
Untunglah, beberapa waktu kemudian, aku dengar “dalang” utamanya sudah tertangkap dan divonis 18 bulan penjara. Aku nggak habis pikir, begitu pintarnya dia mengatur penipuan ini sampai nggak seorangpun curiga. Tapi ya sudahlah, biarpun rugi Rp. 20 ribu ini jadi pengalaman buatku untuk lebih hati-hati.

Kesimpulannya, sebelum ikut lomba atau audisi, perhatikan hal-hal berikut:
1. Siapa yang mengadakannya (perusahaan, stasiun TV), lebih baik kalau kita tahu orang yang jadi penanggung jawabnya.
2. Kemana arah acaranya. Seperti di atas, pemenangnya akan dikirim ke Jakarta, ketahui dengan jelas, kita akan diikutkan dalam acara seperti apa.
3. Berapa besar hadiah yang dijanjikan. Kita berhak protes bila akhirnya hadiah yang diberikan tidak sesuai dengan janji di awal.
4. Jangan mau bila diminta membayar sejumlah uang, kecuali biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran pun cuma 1 kali di awal acara.
5. Berteman dengan peserta lain, sehingga kita bisa saling berdiskusi dan bila terjadi penipuan seperti di atas, bisa sama-sama melapor ke pihak berwajib.
6. Jangan takut untuk bertanya bila ada hal-hal yang belum kita pahami.

So, pandai-pandailah memilih lomba yang terbaik, jangan biarkan mimpimu hancur oleh penipuan! 

Sabtu, 18 Maret 2017

Air Terjun Seloprojo : Menikmati Guyuran Air Di Atas "Sumur"


Kalau bicara soal potensi wisata di negeri kita ini seakan nggak ada habisnya. Banyak tempat-tempat yang mempesona, yang bisa dikembangkan jadi objek wisata baru. Tidak terkecuali di sekitar tempat tinggalku : Magelang. Dulu kalau ngomongin air terjun pasti pikiranku pasti tertuju ke Grojogan Sewu di Tawangmangu, Solo.  Ah itu sih jauh bro... di Kabupaten Magelang sini juga ada kok.  Ya, ini salah satunya.
Ada sebuah air terjun di Kecamatan Ngablak. Apa lagi kalau bukan Air Terjun Seloprojo. Letaknya di lereng gunung Telomoyo, beberapa kilometer sebelum Air Terjun Sekarlangit yang pernah kukunjungi dulu.
Dengan diantar teman, aku memulai petualanganku. Setelah melewati serangkaian jalan yang lumayan menantang, naik-turun-rusak, sampailah aku ke lokasi. 
Untuk menemukan lokasi wisata ini, kita harus jeli. Di tepi jalan Ngablak-Grabag, perhatikan gapura "Selamat Datang di Air Terjun Seloprojo". By the way, karena jalan menuju air terjun ini sempit, kalau kita bawa mobil, kita harus parkir di bawah bukit, lalu jalan kaki. Lain soal kalau bawa motor, kita bisa menanjak lewat jalan berbatu sampai depan loket retribusi. Tiket masuknya cukup 5000 rupiah aja.
Baru aja aku sampai, tiba-tiba hujan deras mengguyur. Yah, terpaksa harus berteduh dulu. Biar nggak bosan, mataku menelusuri pemandangan sekitar. Kanan dan kiri menawarkan pemandangan yang berbeda. Sisi kanan berupa perumahan warga yang memenuhi lereng bukit. Mungkin itulah sebabnya, desa di bawah itu dinamai Pagergunung. Sedangkan sisi kiri adalah sawah dan perkebunan, lengkap dengan tanah bertingkat alias terasering untuk mencegah longsor. Air terjunnya sendiri terlihat samar-samar di belakangku.

Pemukiman di lereng bukit

Sawah dan ladang terhampar luas
Sempat mau nyerah karena hujan nggak kunjung reda, akhirnya tepat di tengah hari harapanku terkabul. Pelan-pelan, aku naik ke lereng bukit, yang ternyata jalannya udah disemen. Di jalan, aku sesekali ketemu warga sekitar yang baru pulang bertani dan beberapa anak muda yang baru saja ke air terjun. Ternyata biarpun letaknya terpencil dan bukan hari libur, tempat ini lumayan ramai juga.

Lewar jalan setapak menuju air terjun

Iseng-iseng turun ke sawah


Kayak mendaki gunung ya?
Maklum saja, selain dekat dengan pusat aktivitas warga, tempat ini memang indah banget. Sebuah sungai kecil berair jernih mengalir ke tempat rendah. Nggak salah lagi, airnya bersumber dari atas bukit, tempat air terjun itu berada. Ternyata sungai ini adalah sarana untuk mengairi sawah dan ladang di bawahnya. Semakin ke atas, jalan kita ibarat jalur pendakian gunung. Hutan pinus yang mengelilinginya bikin suasana jadi lebih adem. Ijo royo-royo, istilahnya dalam bahasa Jawa. Luar biasa! Tidak heran, di sini sudah dibangun camping ground. Cuma sayangnya, warung makan satu-satunya di sini saat itu sedang tutup.
Akhirnya aku menemukan anak tangga menurun ke lokasi air terjun itu. Dan… sampailah aku ke tempatnya.

Akhirnya sampai juga!

Air terjun ini punya bentuk yang unik. Air yang deras tercurah dari atas tebing , menuju ke dua buah cekungan besar yang bentuknya seperti kolam, lalu berlanjut ke sungai kecil di bawahnya. Kedua kolam ini bentuknya seperti sumur, dan dari sinilah mengalir sumber air bagi warga sekitar. Karena itu, air terjun ini disebut juga Air Terjun Sumuran. Antara kolam atas dan bawah dipisahkan oleh pancuran berbentuk patung singa dan burung. Mirip batuan candi, tapi sesungguhnya hanyalah arsitektur belaka.
Musim hujan membuat aliran air lebih deras. Dari sebelah kiri air terjun, kita sudah bisa menikmati guyuran airnya. Tapi kebanyakan pengunjung lebih suka ke sebelah kanan, soalnya fokusnya lebih pas. Nah, biar aman, buat menuju ke sebelah kanan sudah dibangun sebuah jembatan besi.

Duduk dulu di jembatan besi

Arsitektur pancuran yang mirip candi (abaikan orangnya)
Beberapa pengunjung sedang berfoto di bawah air terjun. Biar lebih leluasa main air, aku jalan-jalan di sekitar dulu. Baru sesudah mereka pergi, aku mendekati air terjun.

Ya, inilah air terjunnya!

Dengan hati-hati aku melangkah ke kolam, melompati pancuran.  Wah, rasanya nyaman luar biasa. Titik-titik air menerpaku dari atas, sedangkan di bawah, kakiku merasakan aliran air. Belum lagi pepohonan hijau di sekitar tebing yang bikin sejuk mata.

Welcome to  the waterfall!

Wah sejuuuk...

Nah, di tempat seperti ini, apa lagi yang lebih mengasyikkan selain main air? Berhubung aliran air agak deras dan nggak bisa berenang, aku cukup memercikkan air. Wow, lumayan dingin. Ngomong-ngomong, kolam bagian atas, kira-kira airnya setinggi pinggang. Sedangkan kolam bagian bawah jauh lebih dalam. Jadi aku mesti hati-hati, jangan sampai terpeleset ke kolam bagian bawah. Kalau kecebur, bisa-bisa aku nggak muncul lagi.


Puas main air, aku balik lagi ke tepi. Biarpun nggak lama di sini, aku merasa fresh. Ya, tempat ini cocok banget buat melepas penat. Memang belum dikembangkan sebagai objek wisata unggulan, tapi keaslian alamnya lebih mengesankan. 

Puas...puas..puas... Sampai jumpa! 

Selain Seloprojo dan Sekarlangit, masih ada beberapa lagi air terjun di sekitar daerah ini. Rencananya dalam waktu dekat aku mau kunjungi air terjun Kalipancur. Seperti apa? Tunggu ceritaku selanjutnya! Salam traveler!