Minggu, 16 Desember 2018

Solo Travelling (13) : Berjalan di Kalasan


Kalau bicara tentang Kalasan, orang bakal ingat akan 2 hal : ayam goreng dan candi. Yes, siapa nggak kenal ayam goreng Kalasan yang gurih dengan bumbu khas Jawa itu? Tapi bukan itu yang mau aku bahas kali ini, lagian aku nggak suka ayam goreng. Aku mau share kunjunganku ke dua tempat bersejarah di Kalasan awal Mei lalu.

Kalasan, yang dalam bahasa Jawa berarti “kehutanan”. Bisa dibilang, daerah ini adalah “gerbang” dari Prambanan, karena selepas dari kota Yogyakarta, kita akan lewat Kalasan dulu baru sampai di Prambanan, kalo jalan terus sampai Klaten.

Sebagai eks wilayah Kerajaan Mataram Kuno, Kalasan penuh dengan peninggalan sejarah, terutama candi. Sezaman dengan Borobudur dan Prambanan, berdiri pula belasan candi-candi lainnya. Di Kalasan sendiri yang terkenal, yaitu Candi Sambisari, Candi Sari, dan Candi Kalasan. Satu lagi, Candi Kedulan, yang masih belum selesai dipugar. Karena Candi Sambisari dan Candi Sari sudah pernah kukunjungi dulu, sekarang aku mau ke Candi Kalasan. Candi ini memang dinamai sesuai nama kecamatan di timur Yogyakarta ini.

Biarpun lokasinya tepat di jalan raya Jogja-Solo, pengguna bus Trans Jogja tetap harus jalan kaki kurang lebih 1 km ke timur. Dan itulah yang terjadi pada diriku. Di tengah ramainya jalan raya, aku harus berjalan melipir karena trotoar di sini kurang luas.

Di sebuah gang, Candi Kalasan tegak menjulang. Dengan mudah aku mengenalinya, dan langsung membeli tiket masuk seharga Rp. 5000. Agak mengherankan juga, meski hari libur candi ini benar-benar sepi. Pengunjungnya hanya aku sendirian. Hmm…. Mungkinkah karena hari ini pas Hari Buruh jadi pada sibuk demo? Malas ah ngomongin hal begituan…



Candi ini berupa sebuah bangunan batu berukuran besar dengan teras yang cukup tinggi. Bagian atas dikelilingi oleh stupa kecil. Sementara di tiap sisinya terdapat pintu dengan tangga, menuju bagian dalam yang tidak boleh dimasuki oleh pengunjung. Uniknya, di setiap tangga menuju teras diapit oleh arca, yang menunjukkan bahwa ini adalah tempat yang sakral.




Konon candi bercorak Budha ini adalah sebuah kuil yang diperuntukkan untuk pemujaan pada Dewi Tara. Dibangun sekitar tahun 778 oleh Rakai Panangkaran, penguasa Kerajaan Mataram Kuno saat itu. Saat itu selain kuil, dibangun juga asrama untuk para pemuka agama, yang adalah Candi Sari.



Berlanjut ke halaman, terdapat batu-batuan lain, seperti candi perwara (candi kecil), arca, dan batuan candi yang tidak dapat disusun. Semua tertata rapi sehingga indah dilihat.



Setelah puas, aku keluar dari area candi. Mau kemana sekarang? Aku teringat Stasiun Kalasan. Salah besar kalau berpikir aku mau naik kereta, mau nunggu sampai tepar juga nggak akan bisa karena stasiun itu sudah tidak beroperasi. Justru karena tidak aktif itulah, aku ingin lihat kondisinya sekarang.


Huahhh… untuk kedua kalinya aku harus melipir di jalan raya Jogja-Solo. Beneran kayak orang hilang, karena nyaris tak ada pejalan kaki lain. Agak malas juga sebenarnya. Panas!
Di tepi jalan sempat kulihat pintu air yang adalah pertemuan antara Sungai Opak dengan Selokan Mataram,  saluran air legendaris di Yogyakarta.


Berbelok ke sebuah gang, sebuah palang perlintasan kereta api sedang beroperasi. Tapi tunggu dulu, mana stasiunnya? GPSku nggak mungkin salah lokasi Ternyata stasiun itu ada di sebelah timur. Halaman stasiun tidak terlalu terlihat karena tertutup rumput liar.

Aku berusaha lompat di antara rerumputan dan gundukan tanah, mendekati bangunan stasiun. Harus ekstra hati-hati karena berbatu dan dekat dengan rel kereta aktif. Kalau terpeleset pas ada kereta lewat nggak tahu deh gimana nasibku…




Akhirnya! Aku berhasil mencapai bangunan stasiun. Segera kamera HPku menjepret sana sini.  Tapi melihat gedung ini rasanya miris…. Coretan vandalisme di mana-mana, lantainya ada yang berlubang. Sebagian pintu dan jendela hilang tinggal kerangka. 




Di sini ada beberapa ruangan. Ruangan di depan kemungkinan adalah kantor dan ruang operasional, sementara bagian dalam yang tertutup rapat adalah ruang kepala stasiun dan loket penjualan tiket. Di sebelah timur ada bangunan lain, yaitu gudang stasiun. Kondisinya pun nyaris tak terawat. Bahkan tiang persinyalan pun sudah tidak ada. Satu-satunya yang masih aktif hanyalah palang perlintasan di tepi jalan kampung. Hampir tiap jam palang pintu dibuka tutup untuk memberi kesempatan kereta api lewat. Dan mereka semua melewatkan begitu saja Stasiun Kalasan. Sayang sekali memang…








Konon Stasiun Kalasan ini dinonaktifkan pada tahun 2007. Alasannya karena pembangunan jalur ganda Kutoarjo-Solo yang menyebabkan stasiun ini tidak lagi melayani persilangan. Untuk naik turun penumpang pun kurang efektif karena letaknya yang dekat dengan Stasiun Maguwo dan Stasiun Prambanan. Kini tempat ini hanya sesekali dikunjungi warga sekitar untuk menonton kereta api lewat. 

Aku keluar lewat pintu depan dan… ternyata ada akses jalan yang lebih baik. Yah, kenapa nggak dari tadi? Rupanya karena jalan di sini penuh batu bikin aku nggak ngeh…




Berjalan perlahan, aku meninggalkan tempat itu. Dan stasiun tua itu kembali tenggelam dalam kesunyian,  entah sampai kapan....

Kamis, 29 November 2018

Madu Asli atau Campuran?


Hai semua… rasanya sudah agak lama, aku tidak menulis di blog ini. Maklum, selain kesibukan, aku juga sulit menentukan tulisan apa yang menarik di sini.

Kali ini aku mau bahas soal madu, karena kebetulan aku penggemar madu. Minum madu itu berguna banget sebagai antioksidan, mencegah panas dalam, dan menambah stamina tubuh. Tapi kita wajib tahu, tidak semua madu yang dijual di pasaran itu 100% murni atau berasal dari sarang lebah asli ! Lho, maksudnya?

Begini, ada beberapa jenis madu yang dicampur dengan gula atau bahan lainnya. Malah ada produk tertentu yang berlabel "madu", tapi kadar gulanya lebih banyak daripada madunya sendiri. Madu campuran memang tidak berbahaya buat kesehatan, cuma khasiatnya tidak semaksimal yang asli. Tidak bisa disebut palsu juga sih, karena kandungan madu lebahnya tetap ada biarpun kadang tidak banyak.




Langsung aja, ini beberapa cara membedakan madu asli dan campuran :

1. Komposisi
Perhatikan komposisi pada kemasannya. Jika terdapat bahan-bahan lain selain madu, bisa dipastikan itu madu campuran. Tapi hati-hati juga, terkadang ada yang tidak mencantumkan bahan campurannya biar "rahasianya tidak terbongkar". Untuk memastikannya, gunakan cara yang lain.

2. Harga
Madu asli umumnya  lebih mahal dari madu campuran

3. Tuang dalam air
Inilah cara paling simple untuk mengetesnya. Tuang sesendok madu dalam air putih di gelas, diamkan dan jangan diaduk. Madu asli tidak mudah larut dalam air

4. Masukkan di freezer
Madu campuran akan membeku bila berada di freezer, madu asli hanya akan mengental. Tapi sebaiknya jangan menyimpan madu di freezer, agar kualitasnya tidak menurun.

5. Ketahanan
Bila disimpan dengan baik, madu asli lebih tahan lama dibanding madu campuran. Bahkan ada penelitian yang mengatakan bahwa madu tidak bisa basi.

Oh ya, kalau ada yang bilang madu asli tidak disemutin, itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Ya, namanya semut, mana tahan dengan seesuatu yang manis? 

Begitulah, ini sekedar pengetahuan aja, bukan menakut-nakuti atau menyinggung produk tertentu. Sekali lagi, apa pun madu yang kita pilih, tidak berbahaya buat kesehatan selama kualitas dan penggunaannya tepat. Boleh aja kita memilih madu campuran kalau memang lebih suka atau  kantong terlalu tipis buat beli yang asli… hehehe.

Kamis, 26 Juli 2018

My Second Backpacker (Part 3- habis) : Kisah Kampung Multietnis di Semarang


Teng! Waktu menunjukkan jam 12 siang. Biarpun tubuh masih ingin tidur, tapi kantong nggak mau kena charge biaya tambahan, jadi aku harus check out. Segera kurapikan semua barang. Lalu turun ke bawah, kembalikan kunci dan ambil KTP. Terima kasih DS Layur Hostel!

Kembali aku melangkah dari Jalan Layur ke Kota Lama. Ngomong-ngomong apa sih keistimewaan daerah ini? Inilah ceritanya:



Kampung Layur ini disebut juga Kampung Melayu. Di masa kolonial, daerah ini adalah pusat perdagangan. Banyak pedagang dari mancanegara yang datang mengadu nasib. Utamanya adalah pedagang dari Arab, yang sekaligus menyebarkan agama Islam. Dalam perkembangannya, tak sedikit keturunan mereka yang menetap di Semarang. Begitulah, saat melewati daerah ini kita serasa masuk ke perkampungan di Malaysia atau Timur Tengah. Bangunan tua peninggalan masa lalu juga bertebaran.

Tidak hanya keturunan Arab yang bermukim di sini. Etnis lain juga ada seperti China, India, Banjar, dan sebagainya. Tak heran, terdapat beberapa lorong atau gang yang bernama Kampung Banjar, Kampung Cirebonan, Kampung Peranakan dan beberapa lainnya. Meski multietnis, kita tidak perlu takut soal bahasa, karena mayoritas warga di sini sudah fasih berbahasa Indonesia dan Jawa.








Kekurangannya? Rob! Eh, tunggu dulu, ini bukan nama panggilanku lho. Rob adalah air laut pasang yang menyebabkan banjir dan pengikisan tanah. Akibatnya daerah ini terlihat kumuh, jalan rusak dan sering banjir bila hujan lebat. Kondisi ini berpengaruh juga ke eksistensi Kampung Melayu. Banyak warga yang kemudian pindah ke tempat lain, sehingga kini warga keturunan jumlahnya tinggal sedikit. Rumah-rumah yang dulu ditinggali pun banyak yang tidak terawat, bahkan sebagian sudah diuruk tanah.







Bangunan tua yang paling terkenal adalah Masjid Layur yang dibangun pada abad ke-18 oleh ulama dari Arab. Masjid dengan menara setinggi 10 meter ini sampai kini masih digunakan untuk tempat ibadah. Hanya saja, tidak seperti dulu. Lagi-lagi akibat rob, lantai satu tidak lagi difungsikan. Tinggi bangunan pun berkurang karena amblas. Konon ada tradisi unik yang dilakukan warga di sini yaitu minum kopi Arab sambil ngabuburit menunggu adzan Maghrib.




Selain masjid, tak jauh dari sini kutemukan sebuah kelenteng kecil. Tempat ibadah bagi warga Tionghoa yang beragama Konghucu. Nuansa China sangat terasa dengan beberapa patung naga di bagian atap





Aku ingat semalam saat cari makan. Jalan yang kulewati sangat minim penerangan hingga terkesan “horor”. Ya karena penyebab di atas, banyak bangunan tua yang tidak terawat. Mungkin seharusnya kawasan ini dirapikan agar jadi cagar budaya seperti halnya Kota Lama. Sayang jika peninggalan masa lalu harus hilang terkikis oleh robert… eh salah… rob…

Jumat, 29 Juni 2018

My Second Backpacker (Part 2) : KA Kedungserpur, Perjuangan Mencapai Ngrombo


Setelah memutar otak, akhirnya aku putuskan, besok aku akan tetap naik KA Kedungsepur. Tiket berdiri? Ah biarin. Kan masih ada lantai kereta. Aku akan tetap duduk biarpun harus lesehan!

Malam itu, setelah makan malam di warteg dan pergi ambil uang di ATM, aku segera beristirahat di hotel. Alarm HP kupasang jam 04.00. Dalam hitungan menit, aku terlelap. Selain karena capek, tempat tidur ini sangat nyaman.

Tanpa terasa, alarm di HP bordering. Aaaah… masih ngantuk…. Eh, pilih tidur lagi atau ketinggalan kereta? Akhirnya aku bangun, langsung mandi biarpun agak menggigil. Habis itu siap-siap berangkat ke stasiun.



Tepat seperti kemarin, aku dapat tiket KA Kedungsepur untuk berdiri. Cukup dengan Rp. 10.000 aku akan menuju Ngrombo. Harga yang murah karena kereta ini sangat bersih dan dilengkapi AC. Makanya nggak heran, di hari libur begini minat masyarakat sangat tinggi

Biar tiketnya untuk berdiri, ogah banget kalau harus berdiri hampir 2 jam. Aku langsung “menyegel” sebuah sudut gerbong sebagai tempat lesehanku. Di sini enak, bisa selonjoran. Oh, tapi saat kereta berangkat ternyata kereta belum terlalu penuh. Langsung aja aku cari kursi kosong. Buat apa duduk di lantai kalau bisa duduk di kursi?







Aku sangat santai, memandangi suasana kota di jendela, biarpun harus siap tergusur kalau ada penumpang yang dapat kursi ini. Sempat berhenti di Stasiun Tawang, eh ternyata “pemilik kursi” ini belum ada, jadi aku masih aman. Lanjut!

Next Stasiun Alastua. Di sinilah akhirnya aku harus kembali ke tempat lesehan tadi. Kursi ini ternyata “milik” seorang ibu guru TK yang sedang mengajak murid-muridnya naik kereta. Dalam sekejap, kereta penuh. Yah, biarin aja, yang penting nggak ada yang ganggu  “daerah kekuasaanku”

Maka, sambil asyik berinternet ria lewat HP, aku duduk selonjoran di lantai. Sesekali aku berdiri melihat pemandangan di luar. Tidak terlalu istimewa, sebagian besar cuma sawah dan ladang. Ada 4 stasiun lagi yang disinggahi kereta ini sebelum sampai di Ngrombo, semuanya adalah stasiun kecil yaitu Brumbung, Gubug, Karangjati dan Sedadi.





Dalam 1 jam lebih beberapa menit, akhirnya KA Kedungsepur merapat di Stasiun Ngrombo. Aku cepat-cepat turun buat mencari sarapan dan beli tiket pulang. Waktuku cuma sekitar 20 menit karena KA Kedungsepur yang arah Semarang akan berangkat jam 07.50





Stasiun Ngrombo ternyata bukan stasiun kecil seperti yang kubayangkan selama ini. Buktinya, penataannya sangat rapi. Dan suasana pagi itu…… bukan main ramainya. Banyak pengunjung atau calon penumpang yang berombongan.
Kemungkinan terburuk pun terjadi…. TIKET HABIS! Bahkan meski aku sempat “mengemis” ke petugas, tiket berdiri juga nggak apa-apa, nyatanya tetap nggak dikasih. Huh…. Dengan perasaan campur aduk, aku berjalan ke luar stasiun. Mau nggak mau harus cari transportasi lain. Tapi kemana? Aku nggak tahu arah utara selatan timur barat. Salah-salah nyasar ke Solo atau Blora.

Melihatku kebingungan, bapak-bapak yang nongkrong di pos jaga menyapaku. Aku beranikan diri bertanya transportasi ke Semarang. Eh, bukannya kasih jawaban pasti, si bapak malah nawarin aku naik ojek ke Purwodadi. Katanya sih aku bisa naik bus dari terminal Purwodadi. Tarif Rp. 30.000 yang ditawarkan si bapak bikin aku berpikir ulang.

Biar pikiran gundah, aku tetap harus cari makan. Dan yang kuincar, apalagi kalau bukan pecel Gambringan. Syukurlah, aku nggak perlu jalan jauh. Tepat di seberang pintu masuk stasiun ada seorang ibu yang menjual nasi pecel. Bukan sebuah warung, hanya menggunakan meja dan kursi yang ditata di pinggir jalan. Tapi soal kelarisan, jangan ditanya. Banyak pembelinya.



Aku duduk dan memesan nasi pecel. Tak perlu waktu lama, si ibu menghidangkan nasi pecel di atas pincuk daun pisang. Sayuran yang disiram sambal kacang itu langsung memancing seleraku. Untuk pelengkapnya, ada gorengan. Aku memilih bakwan ketela, atau biasa disebut lentho. Benar-benar enak! Saking nikmatnya, rasa pedas tidak terlalu kurasakan. Harganya sangat murah, nasi pecel dengan 2 potong gorengan cuma Rp. 4000. 



Kenapa dinamakan pecel Gambringan? Dahulu kala (nyata lho, bukan dongeng), pecel ini amat terkenal di Stasiun Gambringan, beberapa kilometer sebelah timur Stasiun Ngrombo. Penjual yang menggunakan tampah atau bakul banyak menjajakan pecel ini di dalam stasiun hingga ke atas gerbong. Sayangnya, seiring larangan dari PT KAI untuk berjualan di atas kereta, ditambah Stasiun Gambringan tidak lagi melayani naik turun penumpang, terpaksa para penjual pecel ini pindah ke tempat lain. Adapun perbedaan pecel Gambringan dengan pecel lainnya terletak pada bumbu kacangnya yang ditumbuk tidak terlalu halus. Jadi serpihan kacangnya masih terasa. 

Sehabis makan, aku bertanya ke ibu penjual pecel ini, apakah ada bus ke Semarang dari depan stasiun ini. Ternyata memang tidak ada. Aku harus ke Terminal Purwodadi dulu. Caranya dengan naik bus yang dari arah Solo.

Aku mengucapkan terima kasih, lalu menyeberang jalan. Tak lama, bus jurusan Solo-Purwodadi lewat. Aku pun naik. Baru dalam hitungan menit, sudah sampai di Terminal Purwodadi. Barulah aku tahu, jarak dari Ngrombo ke Purwodadi ternyata cuma sekitar 7 km. Dekat banget kalau naik bus, tapi kalau jalan kaki… hmmm….nggak banget ah

Tidak sulit bagiku menemukan bus jurusan Semarang. Tak perlu menunggu lama, bus segera berangkat. Dalam perjalanan aku sibuk memelototi pemandangan Kabupaten Grobogan bagian utara yang baru pertama kali kulihat. Tidak ada yang istimewa memang. Di sebelah kanan adalah daerah perbukitan kapur yang gersang , sebelah kiri ladang dan pepohonan jati, sementara di depan sana aliran Sungai Serang dengan area persawahan.

Bus sempat berhenti lama di Pasar Godong. Di sini kesabaranku benar-benar diuji. Udara panasnya bukan main padahal bus tidak ada ACnya. Benar-benar serasa direbus. Aku melihat keluar jendela, berharap ada tukang es lewat, ternyata satu pun tidak ada....



Untunglah bus segera berangkat. Lewat Gubug, Tegowanu, Mranggen... semakin lama semakin mendekati kota Semarang hingga akhirnya berhenti di Terminal Penggaron. Perjalanan makan waktu 2 jam.

Bus dari Purwodadi memang hanya sampai Terminal Penggaron ini. Jadi aku harus naik angkot jurusan Pasar Johar untuk balik ke hotel. Itupun tidak sampai ke Jalan Layur. Terpaksalah aku jalan kaki dari jembatan Kota Lama. Ah, padahal aku sudah tidak tahan kepanasan.

Maka, sesampai di kamar hotel aku langsung menyalakan AC, dan rebah di kasur. Lelah dan gerah banget rasanya

Rabu, 06 Juni 2018

My Second Backpaker (Part 1) : Senja di Pantai Marina


Bisa dibilang liburan kali ini paling memusingkan buatku. Penginnya ke tempat yang spektakuler (bukan Indonesian Idol lho), sayangnya budget sedang tipis dan ada masalah dalam pekerjaan (tapi nggak perlu kuceritakan itu apa).

Awalnya Jepara jadi pilihanku, tapi begitu searching info, tarifnya kurang terjangkau kantong. Surabaya? Apalagi itu, kejauhan! Bisa bolong kantongku (padahal kalau nggak bolong, gimana nyimpan duitnya?)

Tiba-tiba aku teringat kereta api Kedungsepur jurusan Semarang-Ngrombo. Aku pengin banget mencoba kereta itu, cuma karena jadwalnya pagi-pagi, aku harus menginap di Semarang.

Akhirnya deal, aku pesan penginapan di Semarang. Aku memilih yang cukup murah, yaitu DS Layur Hostel di Jalan Layur. Kelebihan lain, hostel ini  dekat dengan Stasiun Tawang, kalau kita kuat, jalan kaki pun terjangkau.

Maka, 14 April 2018, tepat saat itu hari Isra Miraj, aku berangkat ke Semarang. Karena takut kehabisan tiket kereta, aku langsung menuju loket Stasiun Tawang. Tapi oh…. sialnya, tiket KA Kedungsepur hanya tersisa tiket untuk berdiri. Aku pikir, bisa tepar kalau hampir 2 jam berdiri di kereta. Apalagi saat liburan seperti ini kan banyak orang tua yang mengajak anak-anak. Pasti berisik banget. Dengan lunglai dan tangan hampa aku keluar dari stasiun.

Huh.. kalau nggak sayang uangnya, aku udah batalkan menginap, dan pulang ke Magelang. Sambil menyusuri jalan di Kota Lama Semarang, aku berpikir, harus kemana aku?  Apa pun terjadi, aku harus tetap mengunjungi suatu tempat, dan itu harus di luar kota Semarang. Aku udah puluhan kali mengunjungi Semarang, jadi harus ada suasana baru.

Dengan diantar Gojek, aku sampai di Jalan Layur ,Semarang Utara (ngomong-ngomong daerah ini punya cerita tersendiri, tunggu ya di postingan berikutnya). Tepat di pojok jalan adalah tempatku bermalam nanti, namanya DS Layur Hostel.. Jangan bayangkan hotel mewah, karena bentuk hostel ini mirip sebuah ruko besar. Ruang receptionist pun terkesan seadanya, malah terlihat kurang rapi karena ada tumpukan kasur yang diletakkan begitu saja.




Setelah check in dengan menunjukkan KTP dan voucher pesanan dari Traveloka, seorang petugas mengantarku ke kamar di lantai 2.

Kamar yang kutempati adalah Single Budget Room. Aku memang sengaja pilih kamar ini biarpun ada kamar Dormitory yang lebih murah. Aku pengin bisa tidur tenang, nggak terganggu sama orang yang suka telepon pacar sampai tengah malam (maklum, jomblo negatif).



Harga 76 ribu per malam termasuk murah buat kamar ini. Ruangannya nggak terlalu besar, tapi tempat tidurnya nyaman banget. Udah gitu ada AC nya, yang bisa bikin sejuk. Wah, dengan segera aku rebahkan tubuhku. Oh ya, selain fasilitas kasur, lemari, dan air mineral, aku juga dapat sabun mandi, odol dan sikat gigi. Tapi karena aku udah bawa perlengkapan mandi sendiri, jadi nggak kupakai.

Sambil tiduran, aku merenung. Bukan soal cinta, tapi lagi-lagi soal besok mau ke mana. Demak? Ada apa di sana? Aku nggak mau kalau sekedar muter-muter keliling kota. Jepara? Terlalu jauh, nanti waktunya malah habis di jalan. Ah, tahu begini tadinya aku menginap di Kudus atau Jepara aja.

Asyik tiduran, tahu-tahu udah sore. Aku siap-siap mandi. Kamar mandinya ada di luar kamar alias shared bathroom. Jujur aku kurang suka dengan kamar mandi ini. Selain sempit, fasilitasnya minim, cuma ada shower dan satu gantungan kecil.  Lebih horor lagi, tembok pembatas kamar mandi tidak terlalu tinggi. Awas aja kalau ada yang ngintip! (Maaf ya, buat pengelola hotel, aku bukan mau mencela, tapi biar jadi masukan lah, soalnya orang yang menginap kan beda-beda)

Setelah mandi dan ganti pakaian, sekarang aku mau jalan-jalan sore dulu. Nah, sore-sore begini kan paling asyik lihat sunset di pantai. Jadi, aku pun memesan Gojek untuk mengantarku ke Pantai Marina. Dengan cepat, motor itu bergerak ke daerah pelabuhan Tanjung Mas. Mungkin karena jalan yang dilewati “kurang umum”, abang Gojeknya agak bingung memilih jalan. Apalagi kondisi jalan banyak lubang akibat rob, lumayan bikin sport jantung juga. Berulang kali aku tahan nafas, selain karena bau air sungai yang kotor juga akibat motor berguncang keras.

Sempat hampir tersasar, akhirnya aku sampai di gerbang Pantai Marina. Langit sudah mulai gelap. Dengan tiket seharga Rp. 5000, aku masuk ke kawasan pantai. Tapi yaaah… sepertinya aku nggak bisa menikmati suasana. Pantai ini sangat ramai pengunjung.

Pantai Marina sebenarnya adalah sebuah laguna atau teluk. Tidak ada ombak besar seperti di pantai selatan Jawa. Dilihat sepintas lebih mirip kolam raksasa. Nggak heran, jika pantai ini aman buat berenang. Sore itu, banyak anak-anak yang sedang main air bersama orang tuanya.

Dengan keadaan begini nggak mungkin aku ikutan berenang. Malu banget lah, udah gede begini. Jangankan menceburkan diri, duduk sambil merendam kaki aja harus diurungkan karena saking penuhnya. Akhirnya aku berjalan terus menyusuri sepanjang pantai, terserah mau ke mana.



Semakin jauh berjalan, masih saja keramaian yang kutemui. Cuma bedanya, di sini bukan lagi tempat main air, tapi pemancingan. Ombak laut berdesir di antara batu-batu besar. Beberapa kapal ditambatkan pada beberapa tiang. Sementara sinar surya perlahan mulai tenggelam. (Beneran, bukan sekedar lagunya Iwan Fals). Yes, pemandangan sunset melingkupi sepanjang Teluk Semarang.





Di sebelah timur, nampak kelap-kelip lampu Pelabuhan Tanjung Mas. Sebenarnya di sana ada satu pantai lain, namanya Pantai Baruna. Sayangnya, kalau mau ke sana aku harus berjalan memutar karena terhalang perairan. Apalagi akses jalan ke sana agak sulit.

Berhubung hari mulai gelap, aku nggak bisa lebih lama di sini. Aku harus balik ke pintu masuk Pantai Marina. Sengaja aku pilih jalan yang berbeda, yaitu lewat perumahan di belakang kawasan pantai. Kebanyakan rumah di sini besar dan bagus, mungkin villa milik orang-orang kaya di Semarang.

Lewat jalan yang sepi ini aku jadi kayak orang hilang. Untunglah, aku berhasil menemukan gerbang loket tadi. Segera kupesan Gojek untuk pulang ke hotel. Dan….persis seperti berangkat tadi, aku dibuat deg-degan oleh jalan yang rusak plus abang Gojek yang nggak paham jalan. Makanya, begitu memasuki Jalan Layur, lega hati ini.

Kamis, 03 Mei 2018

Lagu Masa Lalu (21) : El Lute



(This is the story of El Lute
A man who was born to be hunted like a wild animal
Because he was poor
But he refused to accept his fate
And today his honor has been restored)

He was only nineteen
And he was sentenced to die
For something that somebody else did
And blamed on El Lute

Then they changed it to life
And so he could escape
From then on they chased him
And searched for him day and night all over Spain
But the search was in vain for El Lute

He had only seen the dark side of life
The man they called El Lute
And he wanted a home just like you and like me
In a country where all would be free

Though he taught himself to read and to write
It didn't help El Lute
He was one who had dared to escape overnight
They had to find El Lute

Soon the fame of his name
Spread like wild fire all over the land
With a price on his head people still gave him bread
And they gave him a hand

For they knew he was right
And his fight was their fight

No-one gave you a chance
In the Spain of those days
On the walls every place they had put up
The face of El Lute

And he robbed where he could
Just like once Robin Hood
They finally caught him and that seemed the end
But they caught him in vain

'Cause a change came for Spain
And El Lute

He had only seen the dark side of life
The man they called El Lute
And he wanted a home just like you and like me
In a country where all would be free

And then freedom really came to his land
And also to El Lute
Now he walks in the light of a sunny new day
The man they called El Lute

El Lute dalam cover buku Camina O Revienta karyanya

Tahu Boney M ? Itu grup vokal kulit hitam yang terkenal dengan lagu-lagunya yang menghentak. Pokoknya kalau dengar lagu mereka, bawaannya jadi semangat.

Tapi lagu di atas bisa dibilang hits yang unik dari Boney M. Mereka mencoba keluar dari pakemnya dengan membawakan lagu berirama ballad. Lantas, apa atau siapakah El Lute yang mereka maksud?

El Lute ternyata bukanlah sebuah istilah, bukan juga tokoh dongeng, tapi nama julukan dari seseorang yang benar-benar ada di dunia nyata.

Tersebutlah Eleuterio Sanchez, seorang pria miskin dari Spanyol. Karena kehidupan yang serba keras, ketika dewasa ia menjadi penjahat. Mulai dari maling ayam, hingga perampok.

Puncaknya, ia dijadikan tersangka atas tewasnya seorang penjaga toko di Madrid. Padahal, Sanchez bukan pelaku sebenarnya. Namun, penegak hokum tidak begitu saja percaya pada pengakuannya, malahan pada tahun 1965, Sanchez terancam hukuman mati.

Setelah melalui proses hokum yang panjang, akhirnya Sanchez divonis 30 tahun penjara. Namun, seringan apa pun tak ada orang yang mau hidup di penjara. Sanchez mencoba melawan. Dengan bantuan orang-orang yang peduli padanya, akhirnya ia bisa melarikan diri dari penjara. Bukan sekali dua kali namun berulang kali ia berhasil kabur dan tertangkap lagi. Sejak itu Sanchez mendapat julukan El Lute. Ia pun menjadi “Most Wanted”, alias penjahat paling dicari di Spanyol.

Meski dikenal sebagai penjahat, ternyata masih banyak orang yang peduli dengan El Lute. Dalam pelariannya, beberapa orang memberinya makan. Mereka tahu bahwa sebenarnya El Lute adalah korban salah tangkap. Dari kasus inilah, muncul perlawanan atas diskriminasi terhadap orang miskin. Ketika itu Spanyol masih di bawah kekuasaan Franco, presiden yang diktator.

Beberapa tahun kemudian, terjadi perubahan sistem pemerintahan di Spanyol, dari republic menjadi monarki. Dalam pemerintahan Raja Juan Carlos I, El Lute mendapat pengampunan, hingga akhirnya dibebaskan pada tahun 1981.

Untuk membersihkan namanya, semasa di penjara El Lute belajar membaca dan menulis. Kemudian, ia menulis buku, hasil curahan hatinya. Sampai kini telah 5 buku yang dihasilkannya.

Ternyata drama El Lute sebagai “korban salah tangkap” terulang kembali di tahun 2006. Bedanya, kini ia dituduh menganiaya mantan istrinya. Namun, karena tidak cukup bukti, ditambah alibi yang kuat dari seorang teman mereka, akhirnya El Lute dibebaskan. Kini, ia masih hidup di Tomares, Spanyol.


El Lute sekarang, dalam sebuah wawancara dengan media


Lagu tentang El Lute diciptakan oleh Frank Farlan pada tahun 1979. Ketika itu El Lute masih berada di dalam penjara, namun grasi (pengampunan) untuknya telah disetujui.

Bukan kali ini saja Boney M mengangkat kisah kehidupan tokoh terkenal. Ada “Ma Barker” (seorang ibu yang memimpin geng penjahat Amerika),, “Rasputin” (paranormal Rusia), hingga “Everybody Wants To Dance Like Josephine Baker” yang didedikasikan untuk Josephine Baker, penari asal Prancis. Dari semua lagu tersebut, El Lute adalah satu-satunya lagu berirama slow.

Boney M


Lewat lagu ini Frank Farlan dan Boney M ingin menggambarkan kisah kehidupan El Lute yang telah membawa perubahan besar bagi negaranya. Ya, beberapa tahun setelah kasus El Lute mencuat, kediktatoran militer dan Francoisme di Spanyol runtuh, dikembalikan ke sistem monarki yang lebih baik. El Lute bukanlah pahlawan, ia manusia biasa bahkan berlabel penjahat, namun dari kisah hidupnya ia berhasil “mengubah dunia”.

Link video:
https://www.youtube.com/watch?v=_FoVCBMkUw0