Senin, 23 April 2018

Solo Travelling (12) : Satu Jam di Pekalongan




Kota batik di Pekalongan
Bukan Jogja, bukan Solo
Gadis cantik jadi pujaan
Jangan bejat, jangan bodo




Februari 2018…

Dari pengalamanku travelling, perjalanan dengan kereta api adalah yang paling menyenangkan buatku. Nggak seperti angkutan darat lainnya yang suka ngetem sembarangan atau pasang tarif seenaknya, waktu dan tempat naik kereta terjadwal dengan baik. Itu sebabnya, beberapa rute kereta api bikin aku penasaran ingin mencobanya.

Kali ini untuk pertama kalinya aku mencoba naik kereta api di jalur Pantura. Dengan segala perhitungan, terutama soal waktu, aku memilih Pekalongan sebagai tujuanku. Kereta yang kupilih juga tarif termurah, maklum kantong tipis. Lewat Traveloka, aku tentukan semuanya.

Cuaca di langit kota Semarang kurang bersahabat. Baru jam 10 pagi, tapi sudah hujan deras. Begitu turun dari bus, air banjir di Kaligawe sudah mencapai betisku. Aku nggak peduli, mau banjir sepinggang juga biar, yang penting tetap berangkat. Dengan rasa deg-degan takut ketinggalan kereta, aku pesan GoCar. Untungnya, aku sampai di Stasiun Tawang tepat waktu.

Nggak ada waktu lagi buat duduk santai di stasiun, aku segera cetak tiket. Tak lama, KA Kamandaka datang diiringi lagu Gambang Semarang, ciri khas stasiun ini. Aku langsung check in dan naik ke kereta.

Kereta api Kamandaka di Stasiun Tawang

Bagian dalam KA Kamandaka



KA Kamandaka ini jurusan Semarang-Purwokerto, tapi seperti kusebutkan di atas, aku mau turun di Pekalongan. Begitu naik, aku takjub karena kereta ini masih sepi. Cuma sekitar 15 orang di dalam gerbong. Sengaja aku pilih tempat nomor 1 di gerbong paling belakang. Tepat jam 11.00 kereta berangkat.

Ah, ternyata kelegaan ini pecah begitu sampai di Stasiun Poncol. Penumpang yang naik berjubel, dalam sekejap nggak ada lagi kursi kosong. Malah di depanku, ada 2 orang mahasiswi dan seorang bapak yang naik, barang bawaan mereka setumpuk. Yah… aku berusaha jangan sampai protes, lagipula apa gunanya, toh aku juga penumpang. Kualihkan saja pandanganku ke luar jendela.

Kereta melaju ke sebelah barat kota Semarang. Muara banjir kanal, tambak, hingga jalan sekitar pelabuhan jadi pemandangan awal. Daerah Semarang Utara memang dekat dengan laut, maka nggak heran jika sering banjir seperti tadi.

Perhentian berikutnya adalah Stasiun Weleri. Di sini berhentinya setengah jam, jadi penumpang boleh turun sebentar. Kebanyakan yang turun adalah bapak-bapak. Ada yang sholat Zuhur, ada yang merokok, ada juga yang sekedar nongkrong di stasiun. Aku? Jelas aku punya “acara sendiri”. Jalan keliling dari ujung ke ujung stasiun, nggak lupa sambil foto-foto.

Stasiun Weleri tidak terlalu besar. Tapi selalu ada hal menarik buatku. Jalan di sekitar rel masih berupa tanah dan penuh batu kerikil. Belum lagi banyak genangan air bekas hujan tadi. Maka aku harus hati-hati berjalan, bisa gawat kalau nyungsep.

Stasiun Weleri

Pose di depan bantalan rel

Besi bantalan rel yang ditumpuk di pinggir jalan juga menarik perhatianku. Tidak kuketahui fungsinya, apakah sisa pembangunan jalur ganda, atau apa. Yang jelas, selain jumlahnya tidak banyak, besi-besi itu dibiarkan saja kena air hujan.

Lanjut! Selepas Kabupaten Kendal, suasana berpindah ke Alas Roban, hutan terbesar di jalur Pantura. Lagi asyik memandangi pohon-pohon lebat, tiba-tiba sebuah pemandangan spektakuler terpampang jelas. Yang baru pertama kali lihat pasti terpesona.

Apa itu? Beberapa kali jalur kereta berada di tepi pantai! Terlihat jelas panorama Laut Jawa dengan ombak berdebur. Warna airnya kecoklatan, bukan biru. Bahkan pernah air laut seolah-olah ada di bawah jendela kereta, cuma dibatasi oleh batu-batu besar atau tebing yang tidak terlalu tinggi. Luar biasa!

Aku yang ingin tahu lebih lanjut, mencari info di google. Selidik punya selidik, jalur kereta tepi pantai ini satu-satunya yang masih aktif di pulau Jawa. Hebatnya lagi, ada stasiun tepi pantai, namanya Stasiun Plabuan. Sayangnya, stasiun ini cuma buat persilangan, bukan buat naik turun penumpang. Wah… seandainya penumpang bisa turun, pasti tempat ini jadi “arena selfie”. 

Tak berlangsung lama, kereta merapat ke Stasiun Pekalongan. Jam menunjukkan pukul 12.50. Saatnya aku harus turun. Ngomong-ngomong, aku cuma punya waktu 1 jam di kota ini, soalnya kereta pulang akan berangkat sekitar jam 14.00.

Nggak ada yang bisa kulakukan selain jalan-jalan di dekat stasiun aja. Stasiun Pekalongan ternyata letaknya di pusat kota. Aku langsung ingat pernah lewat jalan ini waktu pulang dari Jakarta. Dari pengamatanku, suasana jalan kota Pekalongan ini biasa aja, seperti kota pada umumnya. Maka, aku coba lebih teliti, kalau-kalau ada sesuatu yang menarik.


Keramaian kota Pekalongan

 
Karena udah waktunya makan siang, aku cari makan aja. Yeah, pastinya aku mau makanan khas Pekalongan. Nggak perlu jauh-jauh karena beberapa ratus meter dari stasiun ada Warung Makan Mbak Dur, yang khusus menyediakan kuliner khas kota batik ini. Garang asem, nasi megono dan tauto adalah beberapa menu utama.  Tapi tauto lebih mengundang seleraku. Coba yuk!

Tauto itu singkatan dari tauco soto, artinya soto yang dicampur bumbu tauco. Kuah berwarna coklat kemerahan diisi irisan daging sapi, ditambah soun. Hmmm… padahal aku nggak suka daging sapi utuh. Tapi demi rasa penasaran (dan rasa lapar pastinya), rasa mual harus kubuang jauh-jauh. Nyatanya toh, tauto ini lumayan enak. Manis, gurih, dan sedikit pedas. Tanpa terasa semangkuk beserta nasi putih berhasil kuhabiskan tanpa sisa. Nah lo?

Manis dan gurihnya tauto

 

Pas membayar, aku kaget ternyata harga seporsi tauto adalah Rp. 17.500. Tapi, positive thinking aja, harganya sebanding kok dengan mahalnya daging sapi…. eh dengan kelezatannya.

Selesai makan, inginnya sih cari oleh-oleh khas seperti capret atau limun oriental. Tapi dengan terpaksa kuurungkan karena toko yang menjualnya agak jauh dari sini. Nggak ada waktu lagi buat jalan jauh-jauh. Yah… aku cuma bisa jalan beberapa ratus meter lagi. Dan ternyata pusat kota Pekalongan tidak jauh dari sini. Seperti di Jogja, Pekalongan juga punya kawasan titik nol kilometer. Sebuah tugu dikelilingi taman berbentuk segitiga menghiasi Jalan Merdeka ini.

Titik nol kota Pekalongan

Wah, waktu sudah pukul 13.30! Aku segera balik ke stasiun setelah sebelumnya beli minuman di Alfamart dulu. Begitu masuk stasiun, ternyata KA Kaligung tujuan Semarang sudah datang. Cuma masih berhenti beberapa menit karena bersilang dengan KA Argo Bromo Anggrek tujuan Surabaya.

Kalau Stasiun Tawang dan Stasiun Weleri punya instrumen Gambang Semarang tiap kedatangan kereta api, maka di Stasiun Pekalongan ada Nyidam Sari. Sempat terdengar peringatan dari pengeras suara, agar penumpang jangan sampai salah naik kereta, karena kedua kereta berhenti berdekatan. Agak menggelitik juga, kalau sampai calon penumpang KA Kaligung yang notabene kelas ekonomi, salah naik ke Argo Bromo yang kelasnya orang berduit. Keberuntungan banget tuh…. hehehe.. tapi jangan coba-coba deh, nanti ketahuan petugas, terus diturunkan di tengah jalan kan gawat.

Hujan rintik-rintik mulai turun. Tapi dasar traveler, sebelum naik ke kereta aku masih sempat-sempatnya mengabadikan bangunan tua di sebelah timur stasiun. Yup, di Pekalongan juga banyak bangunan tua, bahkan stasiun ini konon juga peninggalan zaman Belanda.


Memotret bangunan tua sebelum naik KA Kaligung

KA Kaligung yang nyaman

Akhirnya tiba waktunya untuk pulang. KA Kaligung ini sudah penuh penumpang. Aku sendiri dapat tempat duduk di gerbong belakang, dua baris dari belakang. Nggak tahu kenapa kalau naik kereta aku suka yang belakang-belakang. Tapi no problem, nyatanya kereta ini sangat nyaman, bahkan lebih nyaman dari KA Kamandaka tadi. Di sini sebagian besar kursi penumpang menghadap depan, jadi kita nggak bakal pusing akibat berlawanan arah. Udah gitu, ACnya terasa banget sejuknya.

Rute kereta sama dengan saat berangkat tadi. Aku melihat lagi pemandangan pantai di jendela. Sungguh luar biasa negeriku ini….


Memandang laut dari jendela kereta


Jumat, 13 April 2018

My First Backpacker (Part 7 - Habis) : Mampir Sebentar Ke Blitar



Bukit-bukit di selatan Jawa Timur



Pagi yang cerah menemaniku menuju kota Blitar.  Dari jendela nampak pemandangan yang sama dengan yang kulihat saat datang kemarin. Bedanya, kali ini terasa lebih menyejukkan hati. Kehangatan sinar matahari menembus bukit dan hutan. Bendungan Karangkates dan pedesaan di selatan Jawa Timur seakan membawa kedamaian. Oh  indahnya pagi ini… (lagi-lagi puitis)


Perkebunan di pagi hari



Pagiku indah... hariku cerah
T'rima kasih, Kau limpahkan berkat
Ketika gundah... hati gelisah
PadaMu... ku berserah
Aku bernyanyi... aku memuji.... aku bersyukur
Anug'rahMu terus mengucur
Alam elok bercanda
Sukacita bersama sesama
Terima kasih Tuhan......




Stasiun Talun, Kabupaten Blitar

Kereta api Penataran tidak terlalu penuh. Kebanyakan penumpangnya adalah orang-orang yang baru pulang liburan sepertiku. Uniknya, sesampai di Blitar nanti, kereta ini berganti nama menjadi Rapih Dhoho jurusan Blitar-Surabaya via Jombang. Jadi jangan heran kalau ada penumpang yang bilang mau ke Kediri atau Kertosono. Tiketnya terusan, jadi di Blitar mereka nggak perlu turun buat  beli tiket lagi.
Buat aku sendiri, naik kereta ini bikin betah. Seandainya nggak dikejar waktu, pengin rasanya kereta ini berjalan lebih lambat. Sesudah berhenti di beberapa stasiun kecil, sampailah KA Penataran ke Stasiun Blitar. Ah, dua setengah jam terasa berlalu begitu cepat.

Sampai juga di Blitar
Stasiun Blitar

Aku turun dengan membawa ransel, tas selempang dan satu tas kresek besar berisi oleh-oleh. Hal pertama yang harus kulakukan tentu saja mencetak tiket. Daripada nanti-nanti keburu penuh antriannya.
Sebagai kota kelahiran Ir. Soekarno atau Bung Karno, tentu saja Blitar memiliki sejumlah memorial tentang sang Proklamator tersebut. Bahkan, di dinding ruang tunggu stasiun terpampang foto besar Bung Karno sedang sungkem kepada ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, dengan disaksikan sang kakak, Soekarmini. Foto ini sangat istimewa karena menggambarkan sikap Bung Karno sebagai anak yang berbakti pada orang tuanya. Meski sudah menjadi orang nomor satu di negara ini, beliau tidak lupa pada jasa ibunya, bahkan rela menempuh perjalanan Jakarta-Blitar dengan kereta api demi berkunjung dan sungkem terhadap sang ibu. Dalam diri Ida Ayu Nyoman Rai juga tersimpan kekuatan doa seorang ibu. Saat Bung Karno kecil, sang ibu pernah mendoakan “Sang Putra Fajar” tersebut agar menjadi pemimpin besar di negeri ini.

Foto Bung Karno sungkem pada ibunya
Memorial foto-foto Bung Karno saat berada di Blitar


Ada juga foto Bung Karno bersama sang ayah, serta beberapa foto kenangan lainnya berikut beberapa penjelasan. Menarik sekali.
Makam Bung Karno terletak sekitar 3 km dari stasiun. Tak ketinggalan Istana Gebang, rumah masa kecil beliau yang jaraknya 2 km dari stasiun. Sayangnya, waktu yang terbatas ditambah barang bawaan seabrek nggak memungkinkan buatku berkunjung ke sana.
Akhirnya, aku  memilih jalan ke Alun-alun Blitar, yang nggak jauh dari sini. Lalu lintas di Blitar lebih lengang daripada Malang, jadi aku lebih leluasa. Biarpun agak risih juga kalau dilihat orang, gara-gara aku bawa tas berat-berat.

Suasana jalan di Blitar

Alun-alun Blitar ada di Jalan Merdeka. Sebuah lapangan besar dikelilingi pagar dengan pohon-pohon rindang. Seperti alun-alun pada umumnya, ada pohon beringin di bagian tengah.
Udara siang itu sangat panas. Butuh yang seger-seger? Nggak perlu kuatir, ada penjual es pleret di luar alun-alun. Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke sebuah warung tenda dan pesan minuman khas Blitar itu. Oh ya, pleret itu sejenis olahan tepung kanji yang dipadatkan dan diiris-iris. Penyajiannya dicampur cendol dan kuah gula merah campur santan. Dikasih es batu atau es serut… wuih segarrr. Biarpun sederhana tapi lumayan buat sejenak melepas lelah. Selain es pleret, di  warung sini juga dijual kerupuk warna warni dari tepung kanji.

Pohon beringin di tengah alun-alun

Es pleret, pelepas dahaga khas Blitar

Setelah mengitari alun-alun, sebenarnya aku mau langsung pulang. Tapi aku lihat di seberangnya ada sebuah taman dengan tulisan besar : Taman Pecut Kota Blitar. Sudah pasti aku tergoda buat ke sana.
Maka, cukup dengan menyeberang jalan, aku masuk ke taman itu. Ternyata Taman Pecut ini adalah salah satu ikon kota Blitar. Ada monumen berbentuk tangan memegang cambuk, atau disebut pecut dalam bahasa Jawa. Lambang ini berasal dari cerita rakyat Blitar, yaitu Pecut Samandiman, senjata milik Adipati Blitar untuk melindungi warga dari letusan Gunung Kelud.
Taman ini ditata dengan apik. Ada gazebo, kursi taman, sampai toilet yang bebas digunakan pengunjung. baru diresmikan beberapa bulan lalu. Tapi sudah jadi daya tarik tersendiri bagi warga. Siang itu ada beberapa orang tua dan anak-anak asyik berfoto atau sekedar santai. Aku sendiri tidak bisa lagi menahan hasrat berfoto. Kuletakkan barang-barangku, kubuka jaketku, lalu asyik selfie dan jeprat-jepret sana sini. Beberapa orang melihatku dengan heran, tapi aku nggak peduli, memang beginilah diriku. Segala yang indah tidak boleh dilewatkan, itu sloganku.

Pecut, lambang kota Blitar


Yeah, this is Blitar
Hayo... berani melawan?

Santai sejenak 

Matahari hampir di atas kepala saat aku merasa cukup untuk berfoto dan santai sebentar. Aku kembali mengangkat tas-tasku menuju stasiun. Kereta api Kahuripan segera berangkat jam 12.10. Mulai duduk di ruang tunggu stasiun, hingga naik ke kereta api, aku asyik memandangi foto-foto yang telah kubuat. Puas sekali aku. My first backpacker has ended perfectly.