Jumat, 29 Juni 2018

My Second Backpacker (Part 2) : KA Kedungserpur, Perjuangan Mencapai Ngrombo


Setelah memutar otak, akhirnya aku putuskan, besok aku akan tetap naik KA Kedungsepur. Tiket berdiri? Ah biarin. Kan masih ada lantai kereta. Aku akan tetap duduk biarpun harus lesehan!

Malam itu, setelah makan malam di warteg dan pergi ambil uang di ATM, aku segera beristirahat di hotel. Alarm HP kupasang jam 04.00. Dalam hitungan menit, aku terlelap. Selain karena capek, tempat tidur ini sangat nyaman.

Tanpa terasa, alarm di HP bordering. Aaaah… masih ngantuk…. Eh, pilih tidur lagi atau ketinggalan kereta? Akhirnya aku bangun, langsung mandi biarpun agak menggigil. Habis itu siap-siap berangkat ke stasiun.



Tepat seperti kemarin, aku dapat tiket KA Kedungsepur untuk berdiri. Cukup dengan Rp. 10.000 aku akan menuju Ngrombo. Harga yang murah karena kereta ini sangat bersih dan dilengkapi AC. Makanya nggak heran, di hari libur begini minat masyarakat sangat tinggi

Biar tiketnya untuk berdiri, ogah banget kalau harus berdiri hampir 2 jam. Aku langsung “menyegel” sebuah sudut gerbong sebagai tempat lesehanku. Di sini enak, bisa selonjoran. Oh, tapi saat kereta berangkat ternyata kereta belum terlalu penuh. Langsung aja aku cari kursi kosong. Buat apa duduk di lantai kalau bisa duduk di kursi?







Aku sangat santai, memandangi suasana kota di jendela, biarpun harus siap tergusur kalau ada penumpang yang dapat kursi ini. Sempat berhenti di Stasiun Tawang, eh ternyata “pemilik kursi” ini belum ada, jadi aku masih aman. Lanjut!

Next Stasiun Alastua. Di sinilah akhirnya aku harus kembali ke tempat lesehan tadi. Kursi ini ternyata “milik” seorang ibu guru TK yang sedang mengajak murid-muridnya naik kereta. Dalam sekejap, kereta penuh. Yah, biarin aja, yang penting nggak ada yang ganggu  “daerah kekuasaanku”

Maka, sambil asyik berinternet ria lewat HP, aku duduk selonjoran di lantai. Sesekali aku berdiri melihat pemandangan di luar. Tidak terlalu istimewa, sebagian besar cuma sawah dan ladang. Ada 4 stasiun lagi yang disinggahi kereta ini sebelum sampai di Ngrombo, semuanya adalah stasiun kecil yaitu Brumbung, Gubug, Karangjati dan Sedadi.





Dalam 1 jam lebih beberapa menit, akhirnya KA Kedungsepur merapat di Stasiun Ngrombo. Aku cepat-cepat turun buat mencari sarapan dan beli tiket pulang. Waktuku cuma sekitar 20 menit karena KA Kedungsepur yang arah Semarang akan berangkat jam 07.50





Stasiun Ngrombo ternyata bukan stasiun kecil seperti yang kubayangkan selama ini. Buktinya, penataannya sangat rapi. Dan suasana pagi itu…… bukan main ramainya. Banyak pengunjung atau calon penumpang yang berombongan.
Kemungkinan terburuk pun terjadi…. TIKET HABIS! Bahkan meski aku sempat “mengemis” ke petugas, tiket berdiri juga nggak apa-apa, nyatanya tetap nggak dikasih. Huh…. Dengan perasaan campur aduk, aku berjalan ke luar stasiun. Mau nggak mau harus cari transportasi lain. Tapi kemana? Aku nggak tahu arah utara selatan timur barat. Salah-salah nyasar ke Solo atau Blora.

Melihatku kebingungan, bapak-bapak yang nongkrong di pos jaga menyapaku. Aku beranikan diri bertanya transportasi ke Semarang. Eh, bukannya kasih jawaban pasti, si bapak malah nawarin aku naik ojek ke Purwodadi. Katanya sih aku bisa naik bus dari terminal Purwodadi. Tarif Rp. 30.000 yang ditawarkan si bapak bikin aku berpikir ulang.

Biar pikiran gundah, aku tetap harus cari makan. Dan yang kuincar, apalagi kalau bukan pecel Gambringan. Syukurlah, aku nggak perlu jalan jauh. Tepat di seberang pintu masuk stasiun ada seorang ibu yang menjual nasi pecel. Bukan sebuah warung, hanya menggunakan meja dan kursi yang ditata di pinggir jalan. Tapi soal kelarisan, jangan ditanya. Banyak pembelinya.



Aku duduk dan memesan nasi pecel. Tak perlu waktu lama, si ibu menghidangkan nasi pecel di atas pincuk daun pisang. Sayuran yang disiram sambal kacang itu langsung memancing seleraku. Untuk pelengkapnya, ada gorengan. Aku memilih bakwan ketela, atau biasa disebut lentho. Benar-benar enak! Saking nikmatnya, rasa pedas tidak terlalu kurasakan. Harganya sangat murah, nasi pecel dengan 2 potong gorengan cuma Rp. 4000. 



Kenapa dinamakan pecel Gambringan? Dahulu kala (nyata lho, bukan dongeng), pecel ini amat terkenal di Stasiun Gambringan, beberapa kilometer sebelah timur Stasiun Ngrombo. Penjual yang menggunakan tampah atau bakul banyak menjajakan pecel ini di dalam stasiun hingga ke atas gerbong. Sayangnya, seiring larangan dari PT KAI untuk berjualan di atas kereta, ditambah Stasiun Gambringan tidak lagi melayani naik turun penumpang, terpaksa para penjual pecel ini pindah ke tempat lain. Adapun perbedaan pecel Gambringan dengan pecel lainnya terletak pada bumbu kacangnya yang ditumbuk tidak terlalu halus. Jadi serpihan kacangnya masih terasa. 

Sehabis makan, aku bertanya ke ibu penjual pecel ini, apakah ada bus ke Semarang dari depan stasiun ini. Ternyata memang tidak ada. Aku harus ke Terminal Purwodadi dulu. Caranya dengan naik bus yang dari arah Solo.

Aku mengucapkan terima kasih, lalu menyeberang jalan. Tak lama, bus jurusan Solo-Purwodadi lewat. Aku pun naik. Baru dalam hitungan menit, sudah sampai di Terminal Purwodadi. Barulah aku tahu, jarak dari Ngrombo ke Purwodadi ternyata cuma sekitar 7 km. Dekat banget kalau naik bus, tapi kalau jalan kaki… hmmm….nggak banget ah

Tidak sulit bagiku menemukan bus jurusan Semarang. Tak perlu menunggu lama, bus segera berangkat. Dalam perjalanan aku sibuk memelototi pemandangan Kabupaten Grobogan bagian utara yang baru pertama kali kulihat. Tidak ada yang istimewa memang. Di sebelah kanan adalah daerah perbukitan kapur yang gersang , sebelah kiri ladang dan pepohonan jati, sementara di depan sana aliran Sungai Serang dengan area persawahan.

Bus sempat berhenti lama di Pasar Godong. Di sini kesabaranku benar-benar diuji. Udara panasnya bukan main padahal bus tidak ada ACnya. Benar-benar serasa direbus. Aku melihat keluar jendela, berharap ada tukang es lewat, ternyata satu pun tidak ada....



Untunglah bus segera berangkat. Lewat Gubug, Tegowanu, Mranggen... semakin lama semakin mendekati kota Semarang hingga akhirnya berhenti di Terminal Penggaron. Perjalanan makan waktu 2 jam.

Bus dari Purwodadi memang hanya sampai Terminal Penggaron ini. Jadi aku harus naik angkot jurusan Pasar Johar untuk balik ke hotel. Itupun tidak sampai ke Jalan Layur. Terpaksalah aku jalan kaki dari jembatan Kota Lama. Ah, padahal aku sudah tidak tahan kepanasan.

Maka, sesampai di kamar hotel aku langsung menyalakan AC, dan rebah di kasur. Lelah dan gerah banget rasanya

Rabu, 06 Juni 2018

My Second Backpaker (Part 1) : Senja di Pantai Marina


Bisa dibilang liburan kali ini paling memusingkan buatku. Penginnya ke tempat yang spektakuler (bukan Indonesian Idol lho), sayangnya budget sedang tipis dan ada masalah dalam pekerjaan (tapi nggak perlu kuceritakan itu apa).

Awalnya Jepara jadi pilihanku, tapi begitu searching info, tarifnya kurang terjangkau kantong. Surabaya? Apalagi itu, kejauhan! Bisa bolong kantongku (padahal kalau nggak bolong, gimana nyimpan duitnya?)

Tiba-tiba aku teringat kereta api Kedungsepur jurusan Semarang-Ngrombo. Aku pengin banget mencoba kereta itu, cuma karena jadwalnya pagi-pagi, aku harus menginap di Semarang.

Akhirnya deal, aku pesan penginapan di Semarang. Aku memilih yang cukup murah, yaitu DS Layur Hostel di Jalan Layur. Kelebihan lain, hostel ini  dekat dengan Stasiun Tawang, kalau kita kuat, jalan kaki pun terjangkau.

Maka, 14 April 2018, tepat saat itu hari Isra Miraj, aku berangkat ke Semarang. Karena takut kehabisan tiket kereta, aku langsung menuju loket Stasiun Tawang. Tapi oh…. sialnya, tiket KA Kedungsepur hanya tersisa tiket untuk berdiri. Aku pikir, bisa tepar kalau hampir 2 jam berdiri di kereta. Apalagi saat liburan seperti ini kan banyak orang tua yang mengajak anak-anak. Pasti berisik banget. Dengan lunglai dan tangan hampa aku keluar dari stasiun.

Huh.. kalau nggak sayang uangnya, aku udah batalkan menginap, dan pulang ke Magelang. Sambil menyusuri jalan di Kota Lama Semarang, aku berpikir, harus kemana aku?  Apa pun terjadi, aku harus tetap mengunjungi suatu tempat, dan itu harus di luar kota Semarang. Aku udah puluhan kali mengunjungi Semarang, jadi harus ada suasana baru.

Dengan diantar Gojek, aku sampai di Jalan Layur ,Semarang Utara (ngomong-ngomong daerah ini punya cerita tersendiri, tunggu ya di postingan berikutnya). Tepat di pojok jalan adalah tempatku bermalam nanti, namanya DS Layur Hostel.. Jangan bayangkan hotel mewah, karena bentuk hostel ini mirip sebuah ruko besar. Ruang receptionist pun terkesan seadanya, malah terlihat kurang rapi karena ada tumpukan kasur yang diletakkan begitu saja.




Setelah check in dengan menunjukkan KTP dan voucher pesanan dari Traveloka, seorang petugas mengantarku ke kamar di lantai 2.

Kamar yang kutempati adalah Single Budget Room. Aku memang sengaja pilih kamar ini biarpun ada kamar Dormitory yang lebih murah. Aku pengin bisa tidur tenang, nggak terganggu sama orang yang suka telepon pacar sampai tengah malam (maklum, jomblo negatif).



Harga 76 ribu per malam termasuk murah buat kamar ini. Ruangannya nggak terlalu besar, tapi tempat tidurnya nyaman banget. Udah gitu ada AC nya, yang bisa bikin sejuk. Wah, dengan segera aku rebahkan tubuhku. Oh ya, selain fasilitas kasur, lemari, dan air mineral, aku juga dapat sabun mandi, odol dan sikat gigi. Tapi karena aku udah bawa perlengkapan mandi sendiri, jadi nggak kupakai.

Sambil tiduran, aku merenung. Bukan soal cinta, tapi lagi-lagi soal besok mau ke mana. Demak? Ada apa di sana? Aku nggak mau kalau sekedar muter-muter keliling kota. Jepara? Terlalu jauh, nanti waktunya malah habis di jalan. Ah, tahu begini tadinya aku menginap di Kudus atau Jepara aja.

Asyik tiduran, tahu-tahu udah sore. Aku siap-siap mandi. Kamar mandinya ada di luar kamar alias shared bathroom. Jujur aku kurang suka dengan kamar mandi ini. Selain sempit, fasilitasnya minim, cuma ada shower dan satu gantungan kecil.  Lebih horor lagi, tembok pembatas kamar mandi tidak terlalu tinggi. Awas aja kalau ada yang ngintip! (Maaf ya, buat pengelola hotel, aku bukan mau mencela, tapi biar jadi masukan lah, soalnya orang yang menginap kan beda-beda)

Setelah mandi dan ganti pakaian, sekarang aku mau jalan-jalan sore dulu. Nah, sore-sore begini kan paling asyik lihat sunset di pantai. Jadi, aku pun memesan Gojek untuk mengantarku ke Pantai Marina. Dengan cepat, motor itu bergerak ke daerah pelabuhan Tanjung Mas. Mungkin karena jalan yang dilewati “kurang umum”, abang Gojeknya agak bingung memilih jalan. Apalagi kondisi jalan banyak lubang akibat rob, lumayan bikin sport jantung juga. Berulang kali aku tahan nafas, selain karena bau air sungai yang kotor juga akibat motor berguncang keras.

Sempat hampir tersasar, akhirnya aku sampai di gerbang Pantai Marina. Langit sudah mulai gelap. Dengan tiket seharga Rp. 5000, aku masuk ke kawasan pantai. Tapi yaaah… sepertinya aku nggak bisa menikmati suasana. Pantai ini sangat ramai pengunjung.

Pantai Marina sebenarnya adalah sebuah laguna atau teluk. Tidak ada ombak besar seperti di pantai selatan Jawa. Dilihat sepintas lebih mirip kolam raksasa. Nggak heran, jika pantai ini aman buat berenang. Sore itu, banyak anak-anak yang sedang main air bersama orang tuanya.

Dengan keadaan begini nggak mungkin aku ikutan berenang. Malu banget lah, udah gede begini. Jangankan menceburkan diri, duduk sambil merendam kaki aja harus diurungkan karena saking penuhnya. Akhirnya aku berjalan terus menyusuri sepanjang pantai, terserah mau ke mana.



Semakin jauh berjalan, masih saja keramaian yang kutemui. Cuma bedanya, di sini bukan lagi tempat main air, tapi pemancingan. Ombak laut berdesir di antara batu-batu besar. Beberapa kapal ditambatkan pada beberapa tiang. Sementara sinar surya perlahan mulai tenggelam. (Beneran, bukan sekedar lagunya Iwan Fals). Yes, pemandangan sunset melingkupi sepanjang Teluk Semarang.





Di sebelah timur, nampak kelap-kelip lampu Pelabuhan Tanjung Mas. Sebenarnya di sana ada satu pantai lain, namanya Pantai Baruna. Sayangnya, kalau mau ke sana aku harus berjalan memutar karena terhalang perairan. Apalagi akses jalan ke sana agak sulit.

Berhubung hari mulai gelap, aku nggak bisa lebih lama di sini. Aku harus balik ke pintu masuk Pantai Marina. Sengaja aku pilih jalan yang berbeda, yaitu lewat perumahan di belakang kawasan pantai. Kebanyakan rumah di sini besar dan bagus, mungkin villa milik orang-orang kaya di Semarang.

Lewat jalan yang sepi ini aku jadi kayak orang hilang. Untunglah, aku berhasil menemukan gerbang loket tadi. Segera kupesan Gojek untuk pulang ke hotel. Dan….persis seperti berangkat tadi, aku dibuat deg-degan oleh jalan yang rusak plus abang Gojek yang nggak paham jalan. Makanya, begitu memasuki Jalan Layur, lega hati ini.