Jumat, 12 Juli 2019

My Third Backpacker (Part 4 - Habis) : Eksplorasi Jiwa Muda di Pantai Jatisari

 

Sekali lagi aku harus lewat pinggiran jalan raya yang berbatu-batu di antara truk yang lalu lalang. Beneran uji nyali banget. Kali ini aku coba lebih teliti memandang ke sebelah kanan, kalau-kalau aku menemukan plang bertuliskan “Pantai Jatisari”.


Seperti yang kulihat tadi, di seberang SPBU Sluke adalah hutan laut yang juga berfungsi sebagai rest area. Sayangnya pagar tempat itu masih dikunci. Aku memelototi setiap bagiannya, kalau-kalau ada celah untuk masuk. Tapi nihil.


Hampir putus asa rasanya. Tiba-tiba kulihat jalan setapak menuju ke arah pantai. Aku coba saja masuki, beberapa puluh meter. Yes! Kali ini tujuanku tidak salah, sebuah pantai yang landai!


Inilah Pantai Jatisari itu. Huh, kenapa nggak terlihat dari tadi sih? Mau gimana lagi, tadi langit masih gelap lagian nggak ada papan petunjuknya. Ah, udahlah, yang penting udah sampai ke sini.


Seperti kusebutkan tadi, pantai ini landai dan ombaknya tidak terlalu besar. Puluhan batu besar berjajar di tepinya sebagai pemecah ombak.  Tak ketinggalan batu karang yang turut menghiasi. Jauh di sebelah barat, terlihat dermaga dengan perahu nelayan yang berjajar. Memang, mayoritas warga pesisir utara ini berprofesi nelayan.



Dermaga sebelah barat


Pantai Jatisari yang landai


Cahaya matahari belum terlalu terang. Aku masih bisa lihat sisa-sisa sunrise tadi mwmbentuk siluet yang indah. Di saat seperti ini, aku sendirian di pantai. Kubuka jaketku dan kulepas sepatu. Seketika udara pagi yang sejuk menyentuh tubuhku. Ah, enaknya…


Beruntung sekali di tepi pantai banyak batu besar, jadi aku nggak usah tunggu orang datang buat bantuin memotret. Beberapa batu yang permukaannya agak tinggi bisa membantuku buat berfoto. Hah, serius? Ngapain bohong! Caranya tinggal aku setel timer kamera, sandarkan HPnya ke batu, bergaya, lalu beberapa saat otomatis “cekrek”. Inilah teknologi zaman now.


Aku beranikan diri mendekati laut. Ombak tidak terlalu besar, tapi tetap harus hati-hati, apalagi buat aku  yang nggak bisa berenang…. salah-salah terseret sampai Kalimantan (mana bisa?). Baru kali ini aku ke pantai sendirian saat sunrise, jadi nggak boleh dilewatkan dong. Sementara kamera HP menjepret berulang kali, aku ekspresikan diri. Kuangkat tangan tinggi-tinggi… Hiyaaaaaa….



Santailah dulu sejenak kawanku

Tinggalkanlah semua masalahmu

Bisik pasir deburan ombak

Temani semesta membiru

Dengarlah

Pantai memanggilmu


Apa yang kau cari ada di luar sana

Ke pantai berlari bersama sama

Ayo ikut denganku

Menari di bawah langit biru

Kau dan aku

Kita bercanda ria


(Ku Lari Ke Pantai by RAN)





Narsis di depan siluet langit pagi

Berlindung di balik batu karang

Ekspresikan dirimu!  Selamat pagi dunia!




Ups, di sebelah sana beberapa orang mulai berdatangan. Ada dua orang nelayan yang sedang memantau kondisi. Ada juga beberapa anak kecil yang bersepeda dekat hutan laut. Aku bisa merasakan mereka memandangiku dengan heran.

Tapi aku nggak peduli, malah makin “kesetanan”. Seketika kulepas kaosku dan dengan bertelanjang dada ala Baywatch nekat kuhampiri ombak yang berdebur itu. Sesekali aku tetap tunjukkan jiwa mudaku dengan narsis depan kamera.

Air laut datanglah kemari

Binarangka lagi pose



Aku duduk sambil kubiarkan air laut menerjang tubuhku. Tak jarang ombak membuatku berguling-guling ke tepi. Orang yang melihat mungkin berpikir “Nih orang stress kali ya”. Biarin! Hidup hidup gue, badan badan gue, kenapa lu yang repot. Selagi masih muda, ekspresikan dirimu, kalau udah tua kan nggak cocok main-main begini.

Mari kita berenang


Semakin siang, ombak makin beranjak ke darat, mendekati batu. Alamak… nyaris saja HPku kena air kalau saja aku nggak segera merangkak ke tepi. HP itu langsung mati. Sempat shock rasanya. Untungnya, saat kulepas baterainya dan kuhidupkan ulang, dia bisa hidup lagi, kalau nggak, aku bakal menyesal selama seminggu.

Takut terjadi insiden lebih berat, aku stop main air. Aku cuma bisa duduk di batu memandangi suasana pagi sambil membiarkan badanku agak kering karena nggak bawa handuk. Tak cuma itu, HPku pun terpaksa kuistirahatkan biar nggak rusak. Untuk foto berikutya, terpaksa kupakai HP satunya yang kameranya kualitas rendah. 

Eh, saya bukan putra duyung ya. 


Seperempat jam berlalu, kupakai lagi kaos, jaket, dan sepatuku. Kukibaskan pasir yang melekat. Celanaku terlanjur basah dan belepotan pasir. Untung saja saat main air tadi kulepas kaos dan jaketku, kalau nggak pasti aku sudah kayak gembel sekarang. Mana harus jalan 2 km lagi.

Baru beberapa ratus meter berjalan, kutemukan lagi jalan setapak. Ini pasti ke dermaga tadi. Tentu saja aku nggak ingin melewatkan ini.

Beberapa orang nelayan sedang beraktivitas. Ada yang menambatkan kapal, ada yang memeriksa jala. Di sini pantainya lebih landai dari yang tadi. Tapi penuh perahu nelayan sehingga kurang leluasa buat main air. So, tidak salah jika tadi aku memilih ke pantai Jatisari sebelah timur.



Perahu nelayan Kabupaten Rembang


Karena matahari semakin panas, aku nggak bisa lama-lama di sini. Segera kutempuh lagi jalur pantura tadi. Di perjalanan, beberapa kali kulihat penunjuk arah bertuliskan makam seorang kyai atau nyai (aku lupa namanya). Ternyata di daerah Kabupaten Rembang ini ada beberapa makam tokoh yang dikeramatkan, khususnya mereka yang memiliki relasi dengan Walisongo, pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

Aku sempat lewat juga Pasar Sluke. Jangan bayangkan bangunan pasar yang megah, karena pasar di sini sangat sederhana. Beberapa warung dan lapak berjajar di seberang jalan. Selebihnya adalah pedagang yang menggelar dagangan di emperan toko. Karena nggak ingin beli apa-apa, aku terus berjalan.

Sesampai di penginapan, aku segera mandi dan merapikan barang-barangku. Setelah makan pagi, aku langsung check out.

Oh ya, salah satu oleh-oleh khas Rembang adalah sirup kawis atau kadang disbut kawista. Kawis itu sejenis jeruk tapi punya rasa seperti Coca Cola. Di minimarket Kurnia juga ada, tapi berhubung harga sebotolnya Rp. 34.000, aku harus menunda keinginanku (maklum kantong cekak).

Last finished! Aku harus menyeberang dari depan Puskesmas Sluke untuk naik bus ke Semarang. Untuk kesekian kalinya aku dibuat kagum. Di sini masih terdapat lapangan rumput yang luas dengan latar belakang Gunung Lasem. Wah, pasti asyik main bola di sini. Aku sama sekali tidak menyangka, di jalur pantura yang selalu macet tiap Lebaran masih ada tempat seindah ini.

Lapangan dengan latar belakang Gunung Lasem


Begitulah, Sluke telah membawa kejutan manis buatku. Aku semakin yakin bahwa seperti apa pun kondisi suatu daerah, di baliknya pasti tersimpan objek yang menarik. Next, Jepara atau Lasem!


 TAMAT


Selasa, 09 Juli 2019

My Third Backpacker (Part 3) : Tak Sengaja Ke Pantai Robyong


Alarm di HPku bunyi bikin aku mau tak mau harus membuka mata. Saatnya aku jalankan misi hari ini : lari pagi di pantai. Secepat kilat, aku segera gosok gigi, cuci muka, dan ganti pakaian. Tak lupa tas pinggang sebagai tempat HP melingkar di perut 

Suasana masih sepi. Langit masih hitam pekat. Susah payah kubuka gerbang penginapan, tak lupa kututup kembali (takut dikira maling). Begitulah, aku mulai berjalan cepat menyusuri jalur pantura yang masih gelap. Nyaris tidak ada yang lewat, cuma satu dua orang yang berangkat ke pasar atau sholat subuh. Selebihnya truk-truk proyek yang merajai jalanan.

Biarpun niatku lari pagi, aku nggak mungkin lari kencang kayak biasanya. Masalahnya, di sini kurang penerangan, nggak ada trotoar, pinggir jalan lumayan sempit dan banyak batu kerikil. Ditambah truk yang sering oleng kiri kanan. Kalau aku nekat lari-larian bisa-bisa mereka mengirimku keluar dari dunia ini. Ekstrim pokoknya!

Sudah hampir 2 km aku berjalan. Nafas mulai ngos-ngosan, kaki mulai pegal. Matahari sudah hampir terbit.  Lanjut terus. Medan jalan terasa makin sempit, jadi aku harus melipir. Orang yang lihat mungkin heran, siapa sih itu, pagi-pagi jalan sendirian kayak orang hilang. Aku nggak peduli, yang penting aku harus ke Pantai Jatisari lihat sunrise.

Tak lama kutemukan jalan kecil ke atas tebing. Merasa bahwa itu pantai, aku nekat naik. Wow… di bawahku pemandangan sunrise di pantai indah terbentang. Sekilas mirip Tanah Lot, Bali. Aku tengok kanan kiri, ternyata tebing ini curam. Ada sih jalan ke sebelah timur tapi terhalang batu dan rerumputan. Karena nggak pengin kayak host MTMA, aku turun dan jalan lagi ke sebelah timur.

Mentari segera muncul dari peraduannya

Pemandangan dari atas tebing


Tepi pantai belum juga kutemukan. Padahal menurut Google Maps tujuanku sudah terlewat. Malah Desa Jatisari sudah jauh di belakang. Sementara jalan berubah menanjak. Sampailah aku ke sebuah pangkalan truk yang dilengkapi rumah makan. Lho, ini gimana sih, pantainya mana?

Di antara truk yang sedang parkir, aku nekat berjalan masuk. Aku sudah sangat lelah, tapi aku kuat-kuatkan nafasku biar nggak dikira orang hilang. Menembus rumput-rumput di samping rumah makan. Tidak ada tepi pantai seperti di Pantai Sluke kemarin. Yang ada justru pantai dengan tebing yang curam.

Aku makin bingung tak karuan. Sepertinya rencana lihat sunrise sambil lari di tepi pantai bakal gagal kalau tempatnya macam begini. Biarpun gitu, aku tetap nggak boleh melewatkan matahari terbit pagi ini. Dari atas tebing, aku memotret pantai di bawahku.


Salam jumpa lagi matahari!

Dermaga di bawahku


Pantai ini lumayan bagus juga kok. Dari atas aku bisa melihat jelas pesisir timur laut Jawa Tengah dengan matahari yang mulai muncul. Jauh di bawah sana ada dermaga untuk perahu nelayan yang terbuat dari kayu. Aku cari-cari bagaimana caranya turun ke bawah, tapi pencarianku tanpa hasil.  Lompat? Sama aja bunuh diri. 

Akhirnya aku coba mengitari pangkalan truk, kalau-kalau menemukan sesuatu yang menarik. Mau pemandangan indah, makanan enak, cewek cantik juga boleh (apaan sih). Eh, tiba-tiba, plang rumah makan terbaca olehku “Robyong”. Olalala… salah alamat bro, ini bukan Pantai Jatisari tapi Pantai Robyong. Pantas aja beda sama yang kulihat di internet.

Terus, dimana dong Pantai Jatisari nya? Nah ini… aku lihat lagi Google Maps. Menurut peta sih di seberang SPBU, tapi yang kutemui tadi malah hutan laut. Apakah petanya salah? Ups, tapi di ujung Desa Jatisari ada Dermaga Jatisari, mungkin itu ya? Ya udah, aku jalan lagi ke sana. Aku udah jauh-jauh ke sini harus dimaksimalkan. Kalau misalkan Pantai Jatisari tetap nggak ketemu, nanti aku ke Pantai Sluke lagi aja.

 
Inilah Pantai Robyong

 
Ini di tepi jalan raya lho..

 Bersambung ke Part 4


Minggu, 07 Juli 2019

My Third Backpacker (Part 2) : Makan Lontong Tahu Tak Jauh Dari Pantai Sluke

Semalaman aku susah tidur. Entah ada apa denganku. Hanya terlelap sekitar 3 jam lalu bolak balik kanan kiri. Eh, tahu-tahu sudah jam 6 pagi! Waduh, aku harus segera  berangkat ke Tuban.
 
Tidak ada lagi waktu untuk ini dan itu, aku langsung mandi dan bersiap-siap.  Oh ya, pesan dari kondektur bus yang kutumpangi kemarin, kalau mau naik bus jurusan Surabaya sebaiknya aku mencegatnya setelah jembatan Nyamplung, kira-kira 700 meter dari penginapan, karena kontur tanah di Sluke ini agak menurun, jadi bus susah mengerem.
 
Maka, setelah sarapan nasi rames di warung makan dekat jembatan Nyamplung, aku berjalan ke timur sampai Polsek Sluke. Tak lama, kucegat bus jurusan Surabaya.


Bus pun berangkat. Dari jendela tampak pemandangan pantai, bahkan sempat melewati langsung tepi pantai! Yes,  antara jalan raya dan pantai hanya dipisahkan tebing yang tidak terlalu tinggi.  Benar-benar menyejukkan mata! Seketika rencana tersusun di benakku, besok aku mau lari pagi ke pantai ah…

Semakin ke timur, pemukiman tepi pantai semakin banyak. Aku heran, apa mereka nggak takut ya, punya rumah di tepi laut? Kalau ada badai besar gimana? Tapi saat kualihkan pandangan ke sebelah selatan, aku langsung merasa Tuhan sungguh adil. Biarpun di utara adalah laut, di selatan adalah Pegunungan Kapur Utara, yang salah satu puncaknya adalah Gunung Lasem. Jadi, jika terjadi apa-apa di laut, pegunungan itu siap menjadi tempat perlindungan.

Gunung Lasem di pagi hari


(untuk perjalanan ke Tuban hingga pulang ke Sluke aku SKIP aja ya, karena nggak ada yang bisa kuceritakan)

Sore itu, sesudah beristirahat sebentar di penginapan, aku mulai menjalankan rencana yang kemarin tertunda : lihat sunset di pantai. Kuikatkan tas pinggang di tubuh dan kuatur lokasi Google Maps di HPku. Waktu sudah menunjukkan jam 17.00, jadi nggak ada waktu lagi buat berleha-leha.

Jalan ke Pantai Sluke


Dengan penuh semangat, aku melangkah ke pantai. Pengin rasanya lompat-lompat, bergaya ala bintang video klip yang sedang menikmati alam.  Nampak beberapa orang sedang menggarap tanah untuk ditanami, ada pula yang mencari rumput buat pakan ternak. Malahan ada yang sedang menggembala kambing di tengah padang rumput. Sungguh pemandangan yang sulit kutemui di pantai manapun.

Tepi Pantai Sluke


Antara tepi pantai dengan lahan luas itu hanya dipisahkan serangkaian pohon cemara pantai. Jadi sesampai di ujung jalan setapak, aku tinggal turun sedikit, sampailah di tanah berpasir.

Dari referensi yang kudapat, Pantai Sluke ini tidak seterkenal “saudaranya”, Pantai Jatisari (ada ceritanya nanti di postingan berikutnya). Malahan orang sering salah mengartikan Pantai Jatisari sebagai Pantai Sluke, atau sebaliknya. Faktanya memang, pengunjung pantai sore ini cuma beberapa orang. Selain aku, ada beberapa cewek yang asyik berfoto di tepi pantai. Beberapa kapal nelayan tertambat di bawah pohon. 

Mana mau aku kalah sama mereka. Aku langsung jeprat jepret sana sini. Sesekali ombak menerpa kakiku. Sebenarnya sih pantai di sini ombaknya tenang. Tapi tetap aja keinginan main air harus kuurungkan. Pertama, aku udah mandi, jadi  nggak ingin basah kuyup lagi. Kedua, bisa nangis darah aku kalau HPku ikut “berenang”.

Beberapa menit berlalu… dan inilah yang kami tunggu-tunggu. Matahari mulai turun ke peraduan, sedikit demi sedikit. Luar biasa! Ah… andai ada yang menemaniku saat ini, berdua memandang sunset sambil bersenandung lagu Kemesraan…. Aku tunggu cewek-cewek itu apakah ada yang minta tolong difotokan lalu ngajak kenalan, tapi belum selesai aku memandangi sunset, mereka malah beranjak pergi (nasib  seorang jomblo).

Sang surya mulai kembali ke peraduannya

Indah sekali bukan?


Maaf ya mbak, nggak sengaja terfoto


Debur ombak di kala senja


Ah udahlah, bukan saatnya ngomongin itu. Yang jelas, aku belum mau beranjak dari pantai ini. Aku duduk di tepi sambil memandang lautan luas dipayungi horizon senja. Satu ide pun tercetus. Aku bisa letakkan HPku bersandar di sebuah ban bekas atau batu yang ada di situ. Aku setel timer kamera dan jepret… bisa berfoto selfie tanpa repot pegang HP. Tapi pastinya harus jauh dari air dan harus sigap kalau ombak mendekat. Kalau tidak… wah…Sungguh beruntung rasanya bisa ke sini.  Aku bayangkan teman-temanku di Jawa Tengah bagian selatan, pasti banyak yang tidak tahu tempat bagus seperti ini.
Duduk termenung di tepi pantai

Santai dulu ah


Tak menyangka bisa ke sini

Ini pemandangan sebelah timur


Biarpun indah, pastinya ogah kalau bermalam di sini. Aku menoleh ke belakang, ternyata tinggal aku sendiri dan seorang nelayan yang sedang memeriksa kapalnya. Wah, dengan cepat aku beranjak pergi. Di sini minim penerangan jadi aku harus balik ke penginapan sebelum gelap.

Deg-degan aku lewat kebun dan kandang ternak tadi. Segera kupercepat langkahku karena langit makin gelap. Bukan mbak kunti atau om druwo yang kutakutkan tapi kalau-kalau ada ular nongol dari balik pohon. Dari dulu aku memang takut banget sama hewan melata itu. Bayangin bentuknya aja udah hiiiii…

Untunglah jalan di kebun itu tidak terlalu panjang. Aku segera tiba di perkampungan tadi dan berjalan pulang ke penginapan. Begitu sampai aku langsung mencuci kaki dan tangan yang belepotan pasir.

Nah, sekarang saatnya makan malam. Mau makan apa? Aku lihat di dekat penginapan ada warung yang menjual lontong tahu dan gado-gado. Tentu saja yang paling bikin penasaran adalah lontong tahu. Ibu penjualnya sangat ramah dan cekatan. Dalam hitungan menit, sepiring lontong tahu dan segelas teh manis hangat terhidang di depanku. Harganya cuma Rp. 7.000

Lontong tahu adalah makanan khas Pati. Bentuknya mirip dengan kupat tahu di Magelang. Berupa tahu goreng dan taoge yang disiram kuah berbumbu kacang. Bedanya, di sini dihidangkan dengan lontong bukan ketupat. Kuahnya pun bukan kuah gula merah plus kacang, tapi sambal kecap plus kacang. Taburan bawang goreng dalam jumlah banyak ikut memancing selera.

Begitu kurasakan…woooowwww… rasa pedas membakar mulut. Makin disendok makin hot. Sialnya, aku justru memesan teh hangat, bukan es teh. Satu-satunya penawar cuma bakwan jagung yang tersedia di meja. Akhirnya karena nggak mau rugi, tetap kuhabiskan makananku sambil meringis sesekali.

Tak heran, sesampai di penginapan, aku banyak minum air putih. Aku sadar, perutku sensitif dengan makanan pedas, jangan sampai deh aku sakit di sini.

Malam itu aku sengaja tidur lebih cepat, karena besok pagi mau lari pagi sekalian lihat sunrise. Tak lupa, kupasang alarm HPku dua-duanya jam 04.00.


 Bersambung ke Part 3




Jumat, 05 Juli 2019

My Third Backpacker (Part 1) : Sluke, Tujuan yang Tak Terduga


Sungguh perjalanan kali ini penuh kejutan. Aku pernah kepikiran mengunjungi Rembang dan Lasem, tapi tak pernah sekalipun terbersit untuk mengunjungi Sluke. Biarpun sering buka peta, aku sama sekali nggak ngeh dengan daerah ini. Sluke hanyalah sebuah kecamatan di sebelah timur Rembang, beberapa kilometer sebelum perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur.

Lalu kenapa aku bisa ke sana? Nyasar? Gak mungkinlah! Traveler kok nyasar. Begini ceritanya

Tujuan awalku sebenarnya adalah Tuban. Rencanaku jalan-jalan sekalian mengunjungi seorang teman di Kerek, Kabupaten Tuban. Nah, sebagai backpacker berkantong tipis, aku berusaha menekan biaya sekecil mungkin, baik transportasi maupun penginapan. Kalau perlu nggak usah bayar (mimpi). 

Penginapan memang cuma buat numpang tidur, tapi jelas aku nggak mau cari yang abal-abal. Dan seperti biasa, Traveloka siap membantu. Tapi…. oh sayang… (nggak pakai cinta), tarif hotel di Tuban termurah adalah Rp. 150.000. Kalau 2 malam menginap, berarti Rp. 300.000 harus kukeluarkan. Tidak!

Bukan Robert namaku kalau menyerah begitu aja. Saat menginap di Tuban nggak bisa, coba kota di sekitarnya, yang penting tetap bisa jalan-jalan ke Tuban. Bojonegoro, Lamongan, Babat, Blora, coba kucari dan hasilnya… setali tiga uang alias sami mawon. Malahan seperti kata iklan, yang lebih mahal banyak.

Harapan terakhir sekarang adalah Rembang. Di pusat kota Rembang harganya masih sama, begitu juga daerah Lasem. Hah… tapi aku nggak menyerah, dengan semangat masih berkobar aku klik Kabupaten Rembang. Daaaan akhirnyaaa… ketemulah Penginapan Kurnia di Sluke. Tarifnya cuma Rp. 95.000 per malam. Segera aku mencari tahu dimana itu Sluke, ternyata ada di tepi jalur Pantura juga. Berarti masih mungkinlah buat jalan ke Tuban. Oke, deal!

Sudah pasti aku harus ke Semarang dulu, dan naik bus jurusan Surabaya. Ada beberapa bus untuk rute itu, baik patas maupun ekonomi. Untuk berangkat ini, aku naik bus patas Indonesia. Sebenarnya mau patas atau ekonomi sama aja sih, ada ACnya, dan bakal berhenti di beberapa tempat. Cuma bentuk bus dan tarif aja yang beda. Yang patas nggak bakal ada yang berdiri dan so pasti lebih mahal

Pemandangan jalan raya Pantura, Sluke



Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam, sampailah aku di Sluke. Tadinya aku berencana sore ini mau lihat sunset di Pantai Sluke. Tapi… gara-gara bus sempat ngetem lama, ditambah macet di Pati, aku baru sampai jam 17.30. Jadi harus kutunda, ngapain ke pantai gelap-gelapan. 

Penginapan Kurnia (namanya pas dengan nama belakangku nih) ini letaknya tepat di pinggir jalan raya Pantura. Uniknya, selain penginapan, pemiliknya juga punya minimarket dengan nama sama di bagian depannya. Jadi kalau check in lewat kasir minimarket.

(Sayangnya karena HPku agak bermasalah, aku lupa memotret penginapannya, tapi anda-anda sekalian bisa lihat di Traveloka, search aja “Budget Room Penginapan Kurnia”, kalau nggak muncul berarti kamar lagi penuh atau ada yang salah dengan koneksi internet anda)

Mbak-mbak kasir membawaku ke sebuah kamar. Setelah aku ditinggal sendiri (ya iyalah, siapa juga yang minta ditemani), aku langsung mengagumi kamar ini. Tidak terlalu besar tapi fasilitasnya lumayan. Kamar mandi dalam, lemari pakaian, meja, kursi, kipas angin, air mineral, handuk, semua tersedia. Sayang tempat tidurnya cuma bantal dan kasur. (Ya maklum, harga segitu, bisa bangkrut penginapannya kalau lu minta spring bed pakai selimut tebal).

Segera aku menata barang-barang. Pakaian di lemari, makanan kecil dan perlengkapan lainnya di meja, handuk di kamar mandi. Khusus handuk, aku udah bawa sendiri. Kalau yang dipinjamkan, aku nggak mau pakai, soalnya pasti pernah dipakai orang lain yang belum tentu kulitnya sehat. Setelah selesai, aku mandi.

Eh, tapi kok terasa makin pengap aja ya? Bahkan setelah aku mandi pun rasanya masih gerah. Oh, ternyata kamar ini kurang ventilasinya. Memang terdapat relung di dinding tapi semuanya ditutup kaca. Dengan terpaksa, kubuka sedikit jendelanya. Mendingan kena udara malam daripada sesak nafas.   

Hari sudah gelap, nggak memungkinkan bagiku jalan kemana-mana. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah pergi mencari makan (kayak burung pipit aja). Karena nggak selera makan nasi, bakso di seberang Pasar Sluke pun jadi alternatif pengisi perut. Begitu terhidang... weladalah... diriku  terbelalak dengan ukuran baksonya. Sedikit lebih besar dari bola tenis, plus beberapa bakso ukuran sedang dan irisan jeroan sapi. Tapi, setelah kurasakan, mmm… lumayan enak. Bakso tenisnya ternyata berisi telur rebus dibalut daging yang nggak terlalu tebal, pas banget dengan seleraku. Dalam hitungan menit, langsung tandas kunikmati. Cuma jeroannya nggak kumakan, soalnya memang nggak suka. Harga Rp. 17.000 wajar lah.

Sebelum tidur, aku sempatkan duduk di teras yang sekaligus berfungsi sebagai lobby. Cari angin sambil main internet. Ada beberapa orang bapak di situ, mengajakku ngobrol sedikit. Mereka berasal dari Cilacap, datang ke Rembang untuk project perusahaan perkapalan. Memang, sebagai daerah pesisir, Rembang terkenal dengan komoditas perikanan, kelautan, dan tambang batu kapur. Belum lagi industri lain yang sudah berkembang di jalur pantura. Sebuah PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) berdiri di sebelah barat Sluke, dengan sebuah semenanjung bernama Tanjung Bendo.  So, meskipun Sluke bukan daerah wisata yang terkenal, penginapan ini selalu ramai oleh para pengusaha dan karyawan yang sedang melakukan project khusus. Jadi merasa unik, aku satu-satunya traveler di sini. 

Hampir saja aku terlena oleh koneksi internet yang kayak kereta api. Tahu-tahu sudah jam 22.00. Aku harus tidur sekarang, karena besok harus pergi ke Tuban.


Bersambung ke Part 2