Tidak bisa kupungkiri, aku selalu ingin terlihat menonjol di
antara teman-temanku. Maklum, sebagai seorang introvert aku kerap mendapat
perlakuan tidak menyenangkan. Daripada membalas, kupikir lebih baik aku
tunjukkan aja siapa diriku sebenarnya. Aku cari kemampuanku yang sebenarnya.
Itulah yang jadi pemikiranku 10 tahun yang lalu. Tapi dari
hal itu, ada satu pengalaman tak terlupakan. Inilah ceritanya.
Pertengahan April 2007. Saat itu tepat 2 bulan menjelang
kelulusan SMA. Sepulang sekolah aku melihat sebuah brosur di papan pengumuman
sekolah. Akan diadakan audisi bertajuk “Idolaku – Bintang Pelajar Indonesia”
untuk pelajar SD, SMP, dan SMA di Magelang. Audisi dibagi dalam 3 kategori :
vokal, akting, dan model. Wah, ini dia! Muncul
keinginanku mengikuti kategori akting. Ya, soalnya dulu itu aku pernah bermimpi
jadi bintang film. Kalau vokal, suaraku belum terlalu bagus. Model, aku nggak
tertarik.
Aku tertarik banget buat mendaftar. Soal ujian akhir, bisa
dipikirkan nanti. Tapi, gimana kalau teman-temanku tahu aku ikut acara kayak
begini? Pasti aku bakal diejek sana sini. Itulah sebabnya, biarpun bisa
mendaftar di sekolah, aku cari alternatif lain buat pendaftaran. Untungnya,
supermarket langgananku, Trio Plaza, juga membuka pendaftaran acara ini. Maka,
nggak pakai lama, aku langsung mendaftar ke sana. Biaya pendaftaran cukup Rp.
20 ribu.
Sayangnya, di formulir tertulis bahwa peserta harus
didampingi guru pendamping. Aku jadi bingung, guru pendampingku siapa? Dengan
agak sungkan, aku curhat ke Bu Nia, guru BP di sekolahku. Beliau menganjurkan
aku menemui Pak Slamet, guru kesenian. Singkat cerita, aku berhasil mendaftar.
11 Mei 2007, diadakan technical meeting. Seperti perintah dari Pak Slamet, aku datang ke sekolah sore itu untuk berangkat sama-sama. Ternyata ada
beberapa adik kelasku yang juga ikut. Didampingi Pak Slamet, Bu Nia dan Bu
Niken, kami berangkat ke Taman Kyai Langgeng, tempat acara itu.
Begitu sampai di sana…weladalah… antrinya luar biasa. Dari
loket sampai depan pintu gerbang. Ada kalau 50 meter. “Ini belum apa-apa,
Indonesian Idol bisa 4 shaft lho,” kata Louis, salah satu adik kelasku. Wuih..
ngeri juga membayangkan antri di Indonesian Idol (biarpun toh nantinya aku
mengalami seperti itu juga…wkwkwk…). Agak lama, beberapa anak perempuan mulai
mengeluh, “Aduh Bu, dehidrasi nih”. Untungnya Bu Nia segera membelikan Aqua.
Hampir satu jam antri, tiba giliranku di depan meja panitia.
Aku hanya disuruh tanda tangan dan diberi nomor peserta beserta selembar kertas
berisi penjelasan acara. Acara audisi akan diadakan pada 19 Mei 2007 di Taman
Kyai Langgeng juga.
Detail acaranya seperti ini : aku diminta menampilkan suatu
akting, tema bebas. Duh, aku bingung. Harus buat seperti apa. Pikir-pikir,
akhirnya kuputuskan pura-pura jadi cowok yang marah sama pacarnya. Pada
dasarnya aku emang gampang marah sih…
19 Mei 2007, tibalah waktu audisi. Hari itu, tepatnya hari
Minggu pagi, audisi dimulai di Rumah Baca Taman Kyai Langgeng. Kembali aku datang bareng dengan guru
pendamping dan peserta dari sekolahku. Banyak banget pesertanya, sekitar 500
orang, tapi agak cepat karena dibagi kelompok dalam masing-masing kategori:
vokal, akting dan model, beserta tingkatan sekolah : SD, SMP, SMA.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya tiba giliranku. Aku
pun masuk ke sebuah ruangan. Ada 3 orang juri, bapak-bapak. Setelah
memperkenalkan diri dan dipersilahkan, aku siap beraksi.
Kira-kira beginilah akting yang kutampilkan:
Kira-kira beginilah akting yang kutampilkan:
“Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Kamu lupa, aku ini
sudah banyak berkorban buat kamu. Kerjakan tugas, aku bantu, mau SMS aku
pinjami, butuh uang aku pinjami. Kurang apa aku ini? Kamu malah jalan sama
orang lain”
“Tingkatkan intonasi anda!” tiba-tiba seorang juri
berteriak.
Dibentak seperti itu, aku jadi ingin marah beneran.
“Pokoknya sekarang, jauhi dia atau kita putus!” teriakku.
Hmm…udah deh, gitu aja. Aku pun diam.
“Sudah?” tanya juri yang membentakku tadi. “Coba anda akting yang lain, misalnya sakit”
Aku mencobanya
“Aduuh… gigiku sakit… aduuuuh…. Mana nggak ada obat lagi”
Dengan gaya yang sok hebat, juri tadi langsung berkomentar,
“Terus terang, anda menampilkan sesuatu yang datar dan tidak menarik sama
sekali.” Tapi dia melanjutkan “Tapi saya
rasa anda punya potensi, saya kasih anda lolos”
Juri yang lain ikut bicara “Baru pertama kali ikut seperti
ini?”
Aku mengangguk.
“Pantas, jelek banget”,
dia tertawa.
Huh, sombong amat sih dia. Kayak dia jago akting aja.
“Tapi untuk kali ini nggak apa-apa, anda lolos, silahkan ke
meja sebelah sana”
Karena dua juri sudah mengatakan lolos, juri yang ketiga
nggak perlu berkomentar. Aku pun langsung diarahkan ke meja lain, di situ aku
disuruh tanda tangan dan diberi selembar kertas berisi penjelasan tentang
audisi tahap berikutnya. Setelah selesai aku keluar. Perasaanku antara senang
dan tidak. Senang karena lolos, tidak senang karena jurinya sombong banget.
Dari sekolahku ada sekitar 10 peserta, 6 di antaranya lolos
termasuk aku. Sebelum pulang, kami istirahat sebentar sambil cerita pengalaman
mereka tadi. Adik kelasku sempat mengeluh , “Uh jurinya nyengit (angkuh) ya”.
Hehehe, ternyata bukan cuma aku yang berpikir begitu. Emang sih, jurinya
kayaknya kurang professional. Ah, masa bodo ah.
Sambil istirahat, aku membaca persyaratan audisi tahap
berikutnya. Minggu depan, kita harus unjuk bakat langsung di panggung, tentunya
dengan supporter dan kostum khusus. Sebelumnya, kita harus ikut sesi latihan pada 24 Mei 2007, dengan mendaftar ulang lewat kantor Taman Kyai Langgeng dan membayar Rp. 10.000
. Sekali lagi, materi penampilan harus kita persiapkan sendiri.
Aku jadi bingung, kan aku nggak ada supporter. Teman-teman
sekelasku mana mau? Apalagi aku sudah berusaha merahasiakan ini dari
mereka. Dan lagi, materinya? Apa lagi
yang harus kutampilkan? Tentunya aku nggak ingin penampilanku memalukan. Kalau
harus mengarang, gimana dengan belajarku? Ujian akhir tinggal dalam hitungan hari.
21 Mei 2007. Karena galau, aku curhat ke Bu Nia. Anehnya, nggak seperti
kemarin dimana beliau mendukung banget, sekarang beliau malah bilang “Kalau
kamu memang nggak sanggup, lebih baik mundur aja. Apalagi acara ini kok
sepertinya nggak bagus, nggak jelas mereka dari event organizer atau stasiun TV
mana, lalu nanti pemenangnya dikirim ke Jakarta diikutkan dalam acara apa juga
nggak jelas. Sudahlah, kamu fokus belajar aja,
masih banyak acara seperti ini nanti.”
Akhirnya, aku menyetujui nasehat Bu Nia. Aku coba SMS ke
panitia, mengundurkan diri. Awalnya kau beralasan nggak punya supporter. Mereka
berusaha meyakinkanku, “Masih ada juri kok, nggak punya supporter nggak
apa-apa”. Aku jawab lagi, aku juga sebentar lagi mau ujian jadi aku nggak ingin
belajarku terganggu.
Sejak itu, aku benar-benar putus hubungan dengan acara itu.
Tapi aku nggak menyesal, malah merasa lega banget. Aku pun belajar lebih giat.
Hingga sebulan kemudian aku berhasil lulus dari SMA dengan nilai memuaskan.
Kini aku bersiap “go international”, kuliah di luar kota.
4 Juli 2007, tanpa sengaja aku membaca sebuah berita di
koran. “Ratusan Pelajar Terkecoh Lomba Pemilihan Model”. Hmmm… apa ini? Aku
kaget, di situ tertulis lomba bertajuk “Idolaku”. Audisi yang kuikuti dulu!
Ternyata itu penipuan! Final seharusnya digelar 3 Juli 2007, tapi batal karena
pihak panitia menghilang. Faktanya, Taman Kyai Langgeng bukanlah penyelenggara
acara itu, melainkan sebuah event organizer yang tidak jelas asal usulnya! Wah, puji Tuhan! Untung aku mundur!
Di koran hari berikutnya, beritanya muncul lagi. Polisi
telah memeriksa 28 orang saksi. Namun, penanggung jawab acara tersebut masih
buron. Total 580 orang siswa yang jadi korban. Kabarnya audisi ini pernah
digelar di Kabupaten Kulonprogo dan sedang dipersiapkan di Gunungkidul. Tidak
diketahui apakah para siswa di Kulonprogo juga mengalami penipuan seperti ini
atau sedang menunggu “dikirim ke Jakarta”.
Yang bikin aku makin lega, ada pengakuan salah satu orang
tua peserta yang anaknya masuk 3 besar kategori model. Di tengah-tengah acara,
peserta diharuskan membayar untuk biaya polling. Maksudnya untuk membeli kertas
dukungan yang akan dibagikan ke teman-teman peserta. Tidak tanggung-tanggung,
panitia meminta antara Rp. 300 ribu sampai Rp. 500 ribu. Tapi karena merasa
keberatan, akhirnya para peserta hanya membayar Rp. 100 ribu. Pokoknya, tiap
tahap audisi pasti ada uang yang diminta. Panitia memang merencanakan segala
sesuatunya dengan rapi. Bahkan, sebelum acara diadakan, mereka sudah minta
rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kota Magelang.
Untunglah, beberapa waktu kemudian, aku dengar “dalang”
utamanya sudah tertangkap dan divonis 18 bulan penjara. Aku nggak habis pikir,
begitu pintarnya dia mengatur penipuan ini sampai nggak seorangpun curiga. Tapi
ya sudahlah, biarpun rugi Rp. 20 ribu ini jadi pengalaman buatku untuk lebih
hati-hati.
Kesimpulannya, sebelum ikut lomba atau audisi, perhatikan hal-hal
berikut:
1. Siapa yang mengadakannya (perusahaan, stasiun TV), lebih
baik kalau kita tahu orang yang jadi penanggung jawabnya.
2. Kemana arah acaranya. Seperti di atas, pemenangnya akan
dikirim ke Jakarta, ketahui dengan jelas, kita akan diikutkan dalam acara
seperti apa.
3. Berapa besar hadiah yang dijanjikan. Kita berhak protes
bila akhirnya hadiah yang diberikan tidak sesuai dengan janji di awal.
4. Jangan mau bila diminta membayar sejumlah uang, kecuali
biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran pun cuma 1 kali di awal acara.
5. Berteman dengan peserta lain, sehingga kita bisa saling
berdiskusi dan bila terjadi penipuan seperti di atas, bisa sama-sama melapor ke
pihak berwajib.
6. Jangan takut untuk bertanya bila ada hal-hal yang belum
kita pahami.
So, pandai-pandailah memilih lomba yang terbaik, jangan biarkan mimpimu hancur oleh penipuan!