Kamis, 31 Oktober 2024

My Fourth Backpacker (Part 6) : Pulang "Ditemani" Iwan Fals dan Trinity

Naik kapal kali ini cukup menguntungkan bagiku. Selain menemukan colokan listrik untuk ngecas HP, economy room di sini memutar lagu-lagu Iwan Fals yang sebagian sudah akrab di telingaku. Mulai dari Wakil Rakyat sampai Bento. Tapi yang paling kena di hati jelas lagu Kemesraan. Bikin aku berandai-andai, kalau ada yang menemaniku saat ini pasti feelnya makin meleleh. 

Selang satu jam, kapal mulai mendekati pulau Jawa lagi. Aku melihat ke geladak depan. Pemandangan sunset yang keren menyambutku, karena arah pandang ke sebelah barat. 


Kali ini aku lebih mudah turun dari kapal karena sudah paham situasi. Saat kembali menginjak tanah Jawa, hatiku sungguh puas dan bersyukur. Pengalaman baru nih, perjalanan melintas pulau sendirian dan berhasil. 

Sebelum kembali ke Rumah Singgah, aku berencana beli oleh-oleh dulu. Aku menyeberang ke Indomaret di seberang pelabuhan biar bisa pesan Gojek. Tujuanku adalah Toko Oleh-oleh Ardial di Jl. Basuki Rahmat, Banyuwangi. 

Dengan diantar Gojek, aku menuju ke sana, melewati jalan di Banyuwangi yang mulai beranjak malam. Sepertinya ini daerah pinggiran kota, karena terlihat sepi. 




Sampailah aku ke sebuah toko yang tidak terlalu besar tapi terlihat lengkap.  Mataku langsung berkeliling memelototi satu-satu produk yang dijual.  Nah,  ini...  Bagiak!  Kue kering khas Banyuwangi terbuat dari tepung sagu, bentuk dan teksturnya mirip kapur tulis.  Rasanya beragam,  ada susu,  jahe,  nangka,  durian,  wijen,  mocca,  dan keningar (kayu manis).  Harganya Rp.  11.000 untuk kotak besar dan Rp.  20.000 untuk kotak kecil. Sesudah pikir-pikir, aku akhirnya pilih 1 kotak kecil rasa jahe,  1 kotak kecil rasa mocca dan 1 kotak besar rasa nangka.  

Lalu aku berkeliling toko, cari penganan khas lainnya.  Bingung juga,  karena sebagian besar banyak dijual di toko lain.  Pie susu dan kacang Bali juga banyak.  Akhirnya aku tertarik pada sale pisang khas Banyuwangi, yang dicetak panjang-panjang sebesar jari. Harganya Rp.  13.500. Oke juga!  

Sekeluarnya dari toko oleh-oleh, sebenarnya aku terpikir buat beli nasi tempong di Alun-alun Banyuwangi. Berhubung HPku lowbat, takut nggak bisa pulang,  terpaksa kuurungkan.  Nanti aku cari dekat Rumah Singgah atau order GoFood aja

Aku kembali order Gojek buat pulang.  Kali ini drivernya perempuan.  Mbak gojeknya santai aja,  malahan aku yang agak gugup.  Jangan mikir aneh-aneh ya,  ini soal gender dalam berkendara aja,  biasanya cowok yang boncengin cewek, ini malah sebaliknya. 

Sempat lewat alun-alun Sritanjung. Kota Banyuwangi ini ternyata tidak terlalu besar, malah menurutku lebih sepi dari kotaku Magelang.  Di beberapa titik,  penerangan kurang.  Tapi si mbak sepertinya  sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Bahkan sesampai di jalan menuju Rumah Singgah yang sepi bin gelap,  nggak ada ketakutan sedikit pun. Dia sempat bertanya dari mana asalku.  Wah jadi ngobrol panjang lebar deh.  

Kembali ke Rumah Singgah,  aku segera mandi lalu mencari makan malam.  Tak tahu kenapa aku kurang berselera dengan menu warung makan sekitar stasiun, jadi aku putuskan order GoFood.  




Rugi lah kalau datang jauh-jauh tanpa mencicipi makanan khas.  Nasi tempong khas Banyuwangi adalah pilihanku. Menurutku menu ini perpaduan antara nasi pecel dengan penyetan.  Isinya sayuran seperti timun,  taoge, kubis,  dan bayam. Ditambah lauk bakwan,  tempe dan tahu goreng.  Hmmm..  nikmat.  Sambalnya sendiri adalah sambal tomat terasi.  Tapi sesudah kucicipi sedikit..   oh hahhhh racun banget pedesnya..  entah pakai cabai berapa puluh, buru-buru kusisihkan dan nggak berani kulanjutkan. 

Malam itu pula Aldi pulang dari perjalanannya ke Alas Purwo.  Karena sama-sama lelah,  tidak banyak yang kami ceritakan selanjutnya.  Kami segera terlelap di kasur masing-masing.  

Saat pagi menjelang, tak ada yang bisa kulakukan selain packing.  KA Sritanjung akan berangkat jam 08.00 jadi nggak ada waktu buat santai. Tanpa kusadari,  isi tasku beranak juga biarpun sebagian besar bekal sudah kuhabiskan. 

Setelah mandi,  terpikir untuk membeli sarapan.  Malas jalan keluar,  aku pesan GoFood aja, nasi goreng telur sosis.  Dan karena perutku masih kenyang dengan nasi tempong semalam,  makannya nanti aja di kereta.  

Tiba saatnya untuk berpamitan.  Aku kirim WA ke Mas Rahmat,  ucapkan terima kasih.  Tak lupa,  aku pamit ke Aldi.  Ia juga akan pulang ke Jogja nanti sore dengan naik bus.  Dengan agak sungkan aku minta akun medsosnya.  Tapi ia memberiku nomor WA nya.  Lumayanlah nambah kenalan. 

Di tengah cahaya matahari pagi,  kupandangi sekali lagi Rumah Singgah.  Rumah-rumah kecil itu begitu damai di antara pepohonan hijau dan kicau burung yang merdu.  Rasanya malas untuk beranjak. Tapi apa mau dikata. Waktuku tinggal 15 menit lagi. 

Segera aku berjalan ke stasiun,  mencetak tiket. KA Sritanjung sudah datang,  jadi aku langsung naik.  Beberapa menit kemudian kereta berangkat dan...  see you again Banyuwangi!  

Perjalanan panjang kembali kutempuh.  Aku perhatikan dengan seksama pemandangan di luar jendela, daerah Kabupaten Banyuwangi yang berupa desa dan hutan.  Inilah kenapa aku suka naik kereta pagi.  Suasananya bikin hati tentram.

Memasuki Jember,  aku membuka kotak nasi goreng yang kubeli tadi. Ternyata lezat banget! Nyesel juga nggak beli 2, padahal kan bisa kusimpan buat makan siang. 



Selesai sarapan,  aku kembali tenggelam dalam laju kereta.  Sejenak kubuka aplikasi Alkitab di HPku dan membaca satu dua pasal. Ya,  biarpun sedang dalam perjalanan jangan lupakan firman Tuhan.  Apalagi aku gabung komunitas Baca Alkitab Harian di gerejaku dan kemarin belum sempat baca.

Lalu apa lagi yang bisa kulakukan buat menikmati perjalanan?  Ini dia..  aku keluarkan buku lain yang kupinjam dari perpustakaan.  Judulnya : The Naked Traveler - 1 Year Round World Trip. Nama penulisnya Trinity.  Awalnya kukira dia orang asing,  tapi ternyata orang Indonesia yang punya hobi travelling ke berbagai negara.  Nama aslinya adalah Ade Perucha Hutagaol. 



Membaca bab awal saja aku langsung suka dengan ceritanya.  Sungguh luar biasa,  Trinity bisa mengunjungi berbagai negara Amerika Latin seperti Kolombia, Peru, Kuba,  Jamaika, hingga Guatemala.  Perlu perjuangan bagi orang Indonesia biasa untuk masuk ke negara-negara itu.  Malah tidak sekedar berwisata,  dia juga berusaha membaur dengan warga setempat.  Padahal situasi Amerika Latin beda jauh dengan di sini, mereka masih percaya hal-hal mistis dan angka kriminalitasnya cukup tinggi. Belum lagi soal sulitnya cari penginapan,  sampai terpaksa menginap di gedung tua.  Hebatnya,  Trinity  dengan senang hati menjalani semua itu. Meski ditemani kawannya,  Yasmin, terlalu ekstrim bagi  perempuan pergi sendiri  ke berbagai negara. Aku sendiri yang cowok pun pikir-pikir (terutama soal biaya). Dari hasil searchingku ternyata buku Trinity ini ada sekitar 8 seri.  Kalau nanti ke perpustakaan lagi aku cari deh. 

Membaca serunya cerita Trinity,  muncul inspirasi baru di pikiranku.  Selagi masih muda,  kenapa aku tidak coba travelling lebih jauh? Toh dari aplikasi Ferizy, kita bisa pesan tiket kapal ke Kalimantan dan lainnya. Ke luar negeri, why not? Dengan menabung dari sekarang aku bisa menjelajah dunia. Cuma untuk awalnya,  yang dekat-dekat aja dulu.  Singapore dan Timor Leste adalah wishlist paling masuk akal bagiku. Kalau sudah terwujud,  baru rencanakan ke negara lainnya.  

Jam demi jam berlalu,  KA Sritanjung sampailah di Stasiun Surabaya Kota. Seperti biasa di sini lokomotif berbalik arah, gerbong depan jadi yang terbelakang dan sebaliknya.  Kereta berhenti lamaaa sekali.  Sementara kondisiku mulai teler karena kecapekan. Aku sudah lelah baca buku dan main HP.  Makan bekal roti yang tersisa pun sudah tidak selera.  Yang kuinginkan sekarang cuma bantal dan kasur.... 

Kereta berangkat  lagi.  Waktu sudah  jam 14.00. Udara terasa panas biarpun AC gerbong menyala. Aku ngantuk berat.  Sambil bersandar di jendela,  berusaha kupejamkan  mata ini. Lambat laun aku tertidur juga. 

Posisi tidur yang nggak nyaman bikin aku nggak bisa terlelap lama.  Tapi capekku lumayan berkurang.  Begitu kereta berhenti di Kertosono aku turun lagi sebentar. Malah bukan cuma aku,  banyak juga penumpang yang turun,  mungkin kecapekan duduk terus dari tadi. Kota kecil yang disebut di lagu dangdut Ngamen ini adalah persimpangan antara jalur Surabaya-Kediri. Nothing special here, but i feel enjoy.  

Perjalanan selanjutnya,  tak banyak yang kulakukan selain melamun,  tidur,  dan sesekali melirik HP.  Rasanya juauhhh dan lamaaa sementara langit makin meredup. Baru ketika kereta memasuki Stasiun Purwosari Solo,  hatiku lebih lega.  Aku sudah di Jawa Tengah lagi.  Sedikit lagi sampai.  

Beberapa menit berlalu, plang nama Stasiun Maguwo nampak di jendela.  Yogyakarta!  Aku dengan cepat merapikan ransel dan tas besarku.  Tak lupa,  kucabut charger HP dari colokan.  

Ah...  akhirnya,  aku mendengar bunyi peluit Stasiun Lempuyangan.  Tanda aku harus berpisah dengan KA Sritanjung yang sudah 13 jam menemani.  

Lantas gimana caraku pulang ke Magelang? Beragam celah pasti ada. Aku ingat bus atau travel DAMRI yang dulu pernah kutumpangi waktu ke bandara atau stasiun. Cuma sayangnya aku harus ke Stasiun Tugu dulu. Tak apalah. 

The last, dengan tarif Rp. 80.000, travel DAMRI mengantarku ke Magelang. Lega hatiku ketika aku menginjak halaman Hotel Wisata Magelang. Tinggal jalan kaki 5 menit ke rumah. 


Sabtu, 07 September 2024

My Fourth Backpacker (Part 5) : Ujung Barat Bali Di Hari Libur

Tujuan pertamaku adalah Taman Siwa di seberang pelabuhan. Taman dengan patung besar Dewa Siwa ini seolah sebagai penanda bahwa kita sudah berada di Bali sekarang. Suasananya sih biasa aja, seperti taman kota pada umumnya. Tapi yang lebih memikat, di komplek taman yang sama kita bisa lihat pantai Teluk Gilimanuk! 




Dengan semangat aku menuju dermaga. Pantai berair tenang ini lebih diperuntukkan bagi nelayan setempat. Yang bikin salut, lautnya benar-benar biru bersih. Tidak banyak pengunjung siang itu, cuma beberapa orang yang sedang memancing. Secara keseluruhan memang tidak sekeren Sanur atau Tanjung Benoa, tapi lumayanlah untuk sekedar healing. 







Cuma satu hal yang bikin aku ketar-ketir. HPku kini benar-benar lowbat kurang dari 30 persen. Mana bisa bertahan sampai nanti sore, apalagi aku kan photoholic banget. Dengan susah payah kubuka Google Maps, cari Indomaret atau Alfamart terdekat. Biasanya minimarket di jalan utama provinsi punya teras ala cafe, jadi bisa nongkrong sambil numpang ngecas HP. 

Tapi sebelumnya aku punya satu tujuan lagi. Apa itu? Museum Manusia Purba. Yup, seperti halnya Sangiran, ternyata di Gilimanuk ini ada tempat untuk melihat artefak zaman purba. 

Kalau jalan kaki agak jauh sih dari Teluk Gilimanuk ini. Biarin lah. Berjalan di tengah eksotisme Bali bikin aku nggak mikirin capek. Rumah-rumah bergaya tradisional dengan gapura bentuk pura. Sebagian besar halamannya memiliki sanggah atau tempat sembahyang Hindu. Sesaji diletakkan di depan rumah dan sudut-sudut jalan, kadang dilengkapi dupa. Sesekali lewat pemuda pemudi berpakaian adat Bali membuat nuansa kulturalnya makin berasa.Aku berusaha menjaga langkahku, jangan sampai menginjak sesaji atau benda sakral lainnya. Termasuk jaga pikiran jangan sampai ngeblank atau mikir yang nggak pantas. Meski kita beda keyakinan, setidaknya menghormati. 






Setelah jalan 1 km, sampailah aku ke sebuah komplek bangunan. Di depan ada nama Museum Manusia Purba Gilimanuk. Tapi semua pagarnya tertutup. Lho, masuknya lewat mana? Sampai pojokan semuanya tutup, bahkan sepi. 

Di belokan, ada seorang ibu berpakaian adat Bali, sedang meletakkan dupa dan sesaji di sudut jalan, seperti hendak melakukan ritual. Di belakangnya ada seekor sapi yang mungkin untuk persembahan. Melihatku lewat, si ibu menanyaiku "Mas mau kemana?". Dengan  gugup, aku menjawab "Ini... masuknya lewat mana ya?". Dia menjelaskan "Museum ya? Lewat pojokan itu.  Biasanya ada penjaganya. Tapi  mungkin tutup, hari ini kan hari libur di Bali". 

Kuucapkan terima kasih lalu aku segera pergi tanpa bertanya lagi. Biar begitu aku heran juga, hari libur apa? Setahuku hari raya agama Hindu cuma Nyepi, Saraswati, Galungan, dan Kuningan. Sambil terus berjalan menuju jalan raya utama Gilimanuk, aku searching di HPku. 

Ternyata hari ini, 17 Juli, adalah hari raya Pagerwesi yang diperingati setiap Rabu Kliwon  menurut kalender Bali. Ucapan si ibu tadi tidak salah. Kondisi jalan yang kulewati benar-benar sepi. Di jalan kampung, cuma satu dua kendaraan yang lewat. Bahkan sampai di jalan utama Gilimanuk-Denpasar, banyak warung dan toko yang tutup. Kalaupun ada yang buka, itu milik warga pendatang atau non Hindu. Dan aku benar-benar kayak orang hilang karena cuma aku  traveler yang jalan kaki siang ini! Pelajaran berharga buatku, juga buat semua yang baca tulisanku ini, kalau mau ke Bali kita perlu cek kalender Bali, ada apa hari itu,  karena banyak hari-hari khusus yang tidak tercantum di kalender biasa. Masyarakat Hindu Bali sangat menghargai agama dan budayanya, jadi mereka meliburkan diri setiap ada perayaan khusus. 

Beberapa warung yang buka menyediakan makanan khas Gilimanuk, ayam betutu. Warung masakan Jawa juga ada. Meski sudah jam makan siang, aku menahan diri untuk masuk. Semua demi isi dompetku yang terbatas. 

Aku menemukan Indomaret di seberang jalan dan langsung masuk membeli beberapa snack buat ganjal perut. Biar jiwa Bali-nya nggak sia-sia, aku sengaja beli juga kacang kapri bumbu Bali buat oleh-oleh nanti. (Sesampai di rumah ternyata enak banget kacangnya, jadi nyesel cuma beli satu). 

Akhirnya aku duduk santai di teras Indomaret. Ngemil sambil numpang ngecas HP. Biar nggak bosan, kubaca lagi buku Antravelogi-nya Dini Novita Sari yang kubawa. Karena udara juga puanas bukan main, hampir sejam aku di sini. Aku nggak pedulikan orang yang keluar masuk Indomaret. Pikiranku tenggelam dalam cerita perjalanan Dini ke Thailand dan Balikpapan yang tentu saja bikin iri. 

Begitu baterai HP mencapai 30 persen, aku putuskan beranjak. Aku mau ke Pantai Karangsewu, pantai lain yang jadi bagian dari Taman Nasional Bali Barat. Syukur-syukur ketemu turis atau traveler lain yang bisa diajak jalan bareng. 

Untuk ke pantai itu, aku harus lewat jalan kecil di tengah kampung. Google Maps tetap jadi teman setia. Ternyata oh ternyata, setali lima uang, gerbang menuju pantai tertutup portal. Artinya tempat ini tutup juga karena hari libur. 

Bukan Robert namaku kalau menyerah gitu aja. Aku berusaha mencari celah. Minimal foto-foto ajalah. Ada seorang anak kecil di situ. Sepertinya habis numpang mandi di kamar mandi situ. Melihatku datang, dia teriak memanggil bapaknya. Ternyata si bapak penjaga loket. 

Aku diizinkan masuk, tapi tiketnya lebih mahal. Kalau hari biasa Rp. 10.000 , tapi kalau hari libur Rp. 15.000. Di tiket tertulis Taman Nasional Bali Barat. 

Semangatku menyala lagi melihat jalan menuju pantai dengan hamparan padang rumput. Sama sekali tak kalah dengan padang sabana di Afrika! Nggak nyesel juga aku batal ke Taman Nasional Baluran, karena di Bali Barat ini pun ada pemandangan serupa. Aku langsung tak tahan buat narsis sana sini. 







Setelah puas menikmati alam bebas ini, aku beranjak ke tujuan sebenarnya : Pantai Karangsewu. Kalau diperhatikan, pantai ini penataannya agak mirip dengan Teluk Gilimanuk tadi. Ada dermaga, dan lebih dikhususkan sebagai pelabuhan nelayan. Bedanya, di sini adalah sebuah laguna.  Airnya tenang, jadi lebih mirip danau. Diapit bukit-bukit yang luar biasa indahnya.

Sebagai cagar alam yang dilindungi, lahan pantai ini juga diperuntukkan untuk konservasi mangrove. Di bagian lain TNBB ini, tepatnya di arah menuju Singaraja. ada penangkaran burung jalak putih, tapi untuk ke sana harus jalan beberapa km lagi. Dengan pertimbangan udara panas, capek, kejar waktu, tambah lagi hari libur, aku urungkan ke sana. Tapi di pantai ini pun aku sudah merasakan atmosfer lain dari Bali. Kupandangi pantai yang berair biru di dermaga dengan damai tapi sedikit deg-degan karena lantai dermaga dari kayu. Siang itu pantai benar-benar sepi. Cuma ada pasangan yang lagi berduaan dan bapak-bapak pencari rumput. 

Tapi yang akhirnya bikin aku nggak nyaman, si bapak tiba-tiba mendekatiku. Dengan sikap yang aneh, dia tanya asalku dari mana dan ujungnya dia minta uang 5000. Aku langsung merasa ada yang nggak beres dengan si bapak. Buru-buru berkata tidak, lalu menjauh. Bukannya aku pelit, tapi aku takut kalau dia bermaksud jahat, apalagi sendirian di tempat sepi begini. 

Sebelum keluar, aku sempatkan istirahat dulu di gazebo sambil baca buku. Udara siang itu benar-benar panas. Jadi aku batalkan saja rencana melihat Candi Gelung Kori dan Tugu Cekik, beberapa km dari sini. Malas juga kalau harus jalan lebih jauh lagi. 

Lagi asyik-asyiknya baca, eh bapak tadi mendekati dan minta uang lagi. Aku nggak sabar lagi. Langsung kurapikan ranselku lalu berjalan keluar.  Untung si bapak nggak mengejar. Sayang banget, di tempat sebagus ini ada tukang palak. Sesampai di luar, bapak petugas tadi masih ada di sana. Tapi kupikir, nggak perlulah aku lapor soal itu, aku nggak mau jadi pemicu keributan di sini. 

Kembali ke jalan raya, aku mencoba mampir ke Alfamart di seberang jalan. Niat hati ingin numpang ngecas HP lagi. Apa daya, colokan listrik di situ tidak berfungsi. Ya, udah terlanjur ke situ, aku beli aja sebungkus Happytos dan air mineral buat cemilan saat pulang nanti. 

Menariknya, saat antri di kasir, aku ketemu serombongan turis. Ada dua orang bule dan empat orang berwajah oriental, entah China atau Jepang. Yang bikin kesel, para koko cici ini  antrinya lamaaaa banget, entah apa yang mereka bicarakan dengan kasir karena my listening for English is bad. Untungnya mbak kasirnya nampak sudah fasih banget menghadapi turis. Sama sekali nggak ada ekspresi capek, termasuk saat tiba giliranku. 

Nggak ada pilihan lain, terpaksa aku harus ke Indomaret tadi. Sekedar nongkrong, tanpa beli apa-apa lagi biarlah. 

Aku sempat melewati bangunan megah yang ternyata sebuah gereja. Namanya Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) Agape. Biarpun gereja, tapi ciri khas Bali tetap dipertahankan, dengan gapura dan bangunan bergaya pura, hanya ditambah simbol salib di atapnya. Memang, Kekristenan sudah  berkembang di Bali seiring zaman kolonial dan banyaknya warga pendatang. Dari sekitar 4 juta penduduk Bali, 2 persennya adalah penganut Nasrani, dan mereka punya gereja khusus tanpa meninggalkan identitas budayanya. Malahan di Kabupaten Jembrana ini ada desa Kristen bernama Blimbingsari. Kata seorang temanku, gereja-gereja Bali sangat ramah terhadap pendatang, kita bisa saja mampir berkunjung atau bahkan numpang menginap. Mereka siap menyambut dengan senang hati. Sayangnya, siang itu gerbang GKPB Agape terkunci rapat, mungkin karena hari libur, jadi aku tidak bisa melihat-lihat dalamnya. 


Setelah ngecas HP di teras Indomaret, aku berjalan lagi. Waktu masih jam 15.00 WITA, masih terlalu cepat kalau aku langsung ke pelabuhan. Tapi terlalu mepet juga kalau harus mampir ke tempat yang jauh. 

Naluri penjelajahku memaksa buka Google Maps lagi. Aku lihat, di sebelah barat ada yang namanya Paragon View, tempat memandang ombak Selat Bali. Okelah aku coba ke sana. 

Sepanjang jalan, banyak deretan kios penjual oleh-oleh khas Bali. Ada pie susu dan aneka kaos bergambar Bali. Uniknya, mereka juga menjadi agen tiket kapal. Jadi bagi yang kesulitan beli tiket lewat online bisa pesan lewat agen. Aku sendiri nggak tertarik beli semua itu. Bukan apa-apa, aku sudah berulang kali dapat pie susu setiap kali ada teman yang pulang dari Bali, kaos Bali aku nggak terlalu suka modelnya. Lebih baik beli oleh-oleh khas Banyuwangi aja nanti. 

Melalui sebuah gang, sampailah aku di Paragon View.  Seketika aku terhenyak. Luar biasa! Sebuah jalan memanjang ala jogging track dibangun tepat di tepi laut,  menghadap ke Selat Bali! 

Aku langsung naik ke sebuah undakan. Ya memang posisi spot view ini agak tinggi karena memisahkan langsung antara pemukiman dan laut. Kalau kita mau turun ke laut sebenarnya juga bisa. Tapi jalannya agak curam berbatu-batu, dan lagi di bawahnya langsung kena ombak. Ogah deh kalau harus basah kuyup. 







Angin laut yang bertiup kencang menerpa diriku yang kelelahan ini. Di kejauhan laut biru bergelombang disinari matahari sore, dengan sesekali kapal lewat.  Lagu Lembayung Bali nya Saras Dewi seketika memenuhi benakku. Aku ingat juga saat study tour ke Bali zaman sekolah dulu 

Menatap lembayung di langit BaliDan kusadari betapa berharga kenanganmuDi kala jiwaku tak terbatasBebas berandai memulang waktu

Cukup lama aku duduk mengagumi tempat ini. Kalau bukan karena takut kemalaman, aku bisa saja menunggu sampai sunset. Akhirnya aku coba berjalan ke utara, berharap menemukan jalan ke pelabuhan. 

Sore itu cukup sepi. Hanya beberapa warga sekitar sedang nongkrong. Ada juga anak-anak yang main layang-layang. Saat aku lewat, mereka menyapa dengan ramah. Terlihat jelas mereka sudah biasa bertemu wisatawan. Mereka juga mengatakan bahwa jalan ini buntu, jadi aku harus memutar kalau mau ke pelabuhan. Tapi seakan tak peduli, aku jalan terus sampai ujung karena masih terkagum-kagum dengan tempat ini. Nampak mercusuar kecil berwarna kuning yang belasan tahun lalu pernah kupotret masih ada.  



Saatnya pulang. Aku kembali menyusuri kampung dan sampai di jalan raya lagi. Sama sekali tidak sulit menemukan jalan ke pelabuhan.  Sebelum pelabuhan, sebuah gapura dengan beberapa arca dewa Hindu berdiri tegak seolah mengucapkan selamat jalan. 




Maka, setelah menemukan jalan masuk,  bersiaplah aku mencetak tiket kapal. Seperti tadi, aku nggak perlu menunggu lama. Petugas langsung mengarahkanku ke kapal yang tengah merapat. Maka : sampai jumpa Bali ! 



Selasa, 06 Agustus 2024

My Fourth Backpacker (Part 4): "Memanjat" Kereta Pandanwangi, "Bingung" Keluar Kapal Gilimanuk

Sesudah sarapan seadanya dengan roti dan cemilan, aku segera mandi. Keasyikan mandi, nggak taunya udah jam 07.40. Padahal KA Pandanwangi berangkatnya jam 07.47. Aku cuma punya waktu 7 menit buat ngejar kereta! Maka, setelah berpakaian necis, cepat kuangkat ranselku, pamitan pada Aldi yang baru aja bangun, lalu buru-buru ke stasiun. 

Huh, jam di HPku sudah jam 07.43. 4 menit lagi bro! Aku harus jalan cepat tapi tetap hati-hati soalnya jalan di sini berpasir. Nggak lihat kiri kanan lagi aku lari masuk stasiun. 

Syukur deh, kereta belum berangkat. Begitu lihat mesin cetak tiket aku buru-buru ketik kode booking dan klik Check In. Tapi lho... lho... tiketnya nggak tercetak. Ada mbak-mbak security di situ, tapi dia lagi jelaskan sesuatu ke seorang bapak yang bawel abis.   Duh...  cepetan napa. Begitu peluit kereta terdengar, kesabaranku udah nggak bisa ditolerir lagi. Aku menyela "Mbak, ini kok tiketnya nggak keluar." "Udah check in kan? Langsung masuk aja" jawabnya. Bilang dong dari tadi! 

"Naik KA Pandan kan? Cepetan, keretanya udah mau berangkat" kata petugas lainnya. Wawww... kereta udah mulai melaju setapak demi setapak. Udah kayak ngejar bus kota aja, aku langsung lari dan memanjat ke salah satu gerbong. Praise The Lord! 

KA lokal jurusan Jember-Ketapang ini nampak sepi hampir di semua gerbong karena penumpang lebih banyak turun di Stasiun Banyuwangi tadi. Saking sepinya, sampai-sampai satu gerbong kurang dari 10 orang. Tarifnya murah banget cuma Rp. 8.000. Jauh lebih murah dari angkutan lain. Tapi jangan salah, biarpun KA lokal tapi interiornya tetap seperti KA ekonomi yang duduk berhadapan dan bisa pilih tempat duduk. Seperti kebiasaanku naik KA, aku selalu pilih gerbong paling belakang. 

Baru 5 menit aku duduk, suara speaker sudah terdengar bahwa kereta segera memasuki Stasiun Ketapang. Dari jendela, daerah pesisir terlihat jelas. Yah.. kenikmatanku di KA ini sebentar banget, tapi mau gimana lagi. Lain kali lagi deh. 

Hatiku penuh sukacita saat turun. Akhirnya sampai juga aku di ujung timur pulau Jawa! Saking senangnya, aku nggak langsung keluar stasiun. Keliling dulu ambil foto sana sini. Di kejauhan nampak daerah perbukitan. Banyuwangi bagian barat  memang dataran tinggi.  Nun jauh di perbatasan Bondowoso, ada 3 gunung api yaitu Ijen, Raung, dan Merapi. Yang terakhir ini namanya memang sama dengan gunung di dekat Magelang. Entah kenapa dinamakan begitu. Yang jelas gunung Merapi versi Banyuwangi ini tidak seaktif Merapi versi Magelang. 







Sebagai stasiun terminus (perhentian terakhir), Stasiun Ketapang letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Ketapang. Begitu keluar dari stasiun, cukup jalan kaki sekitar 500 meter lalu menyeberang jalan. 

Tak sulit bagiku mencari jalan masuk pelabuhan karena sudah ada penanda untuk penumpang umum. Karena aku sudah pesan tiket lewat Ferizy, jadi tinggal scan QR di mesin yang mirip ATM itu, lalu keluarlah 2 lembar tiket : satu untukku, satu untuk petugas. 

Selanjutnya, aku andalkan naluri aja sambil perhatikan penunjuk arah. Sampailah aku di dermaga. Tak perlu banyak tanya lagi, langsung dekati petugas yang jaga, tunjukkan tiket, bisa langsung ke kapal yang sudah merapat. 

Deg-degan juga rasanya. Ini pertama kali aku naik kapal sendirian. Tapi dasar photoholic, aku sempat-sempatnya abadikan suasana pelabuhan, biarpun posisiku harus melipir soalnya banyak kendaraan yang masuk kapal. Sensasi lain pastinya  goncangan tiap kali ada truk lewat. 



Begitu naik ke atas kapal, aku langsung duduk di dek depan, memandangi laut dan langit yang sama-sama biru. Sementara pulau Jawa mulai menjauh. Aku pernah melewati Selat Bali ini saat study tour SMA dulu. Tapi kali ini lebih menantang karena aku sendirian. Sesekali kapal bergoncang diterpa ombak. Kata orang, semakin siang angin laut akan semakin kencang. 

Bosan memandangi laut, aku masuk ke ruangan kapal. Ternyata di sini suasananya mirip di kafe. Ada yang lagi makan, ada yang tiduran di sofa. Memang ada kedai yang menjual Pop Mie, minuman, dan makanan ringan. Tapi aku blas nggak tertarik karena harganya pasti berkali-kali lipat dari kedai di darat. Biarpun ruangan luas tapi nggak ada AC, cuma beberapa kipas angin. Sementara aduh... baterai HPku tinggal 40 persen. Aku cari-cari colokan listrik, satupun nggak ada yang kosong. Kalaupun ada, udah ada yang pakai. Ya udahlah. Sambil dengerin lagunya Judika yang disetel di layar TV, aku memandangi laut dengan pasrah. 

Singkatnya, kapal mulai melaju pelan, tanda mau merapat. Sebagian besar penumpang mulai bersiap turun. Aku tunggu sampai kapal beneran berhenti. Yes, inilah Pulau Bali! 

Aku turun ke basement tempat parkir. Semua orang sudah masuk ke kendaraan masing-masing. Tinggal aku dan beberapa ibu-ibu yang kebingungan cari jalan keluar. Habisnya ruang basement penuh truk dan bus. Aku coba nyusup sana sini, eh nggak muat. Salah-salah bisa kena cium truk  karena lantai besi ini licin. Ya, terpaksa tunggu sampai kendaraan pada keluar kapal. 

Sambil melipir karena takut kepeleset aku melangkah keluar kapal, diikuti rombongan ibu-ibu tadi. Eksotisme Pulau Dewata sudah di depan mata dengan ornamen berbentuk pura. Di seberang pelabuhan ternyata sudah ada terminal. Sejumlah kernet dan calo langsung merubung kami menawari bus ke Denpasar. Ibu-ibu tadi langsung menuju bus karena memang tujuan mereka ke sana. Tinggallah aku sendiri melangkah keluar pelabuhan. 



Jumat, 02 Agustus 2024

My Fourth Backpacker (Part 3) : Kisah Rumah Singgah Banyuwangi

Dalam kegelapan malam aku memasuki sebuah halaman luas dengan rumah-rumah bergaya Osing. Inilah rumah singgah yang akan kutempati untuk mandi dan tidur. Pengalaman ini jelas baru untukku, karena biasanya aku memilih hostel atau hotel buat bermalam kalau travelling. 

Sepi sekali, seorangpun tidak ada. Sampai seorang cowok datang dan masuk ke salah satu rumah. Dari penampilannya, jelas dia adalah tamu bukan pemilik. Terpaksa aku menghubungi lagi Mas Rahmat, pemilik tempat ini. Dia memberiku nomor kontak Mas Beni, penjaga tempat itu. 

Belum sempat aku menelepon Mas Beni, tiba-tiba datang seorang bapak memboncengkan seorang cewek. Saat aku mendekat, si bapak berkata "Robert ya? Silahkan masuk aja, nggak dikunci." Ia menunjuk salah satu bangunan. Selanjutnya ia menunjukkan cewek tadi sebuah bangunan lain dan menyuruh cowok yang tadi masuk untuk pindah sekamar denganku. 

Aku masuk dan meletakkan tas-tasku. Ruang ini biasa saja, hanya ada beberapa kasur yang bisa kita atur sendiri. Berdinding bata dan berlantai tanah. Sebuah AC terpasang di dinding, tapi kurasa tidak terlalu kuperlukan karena udara sudah cukup sejuk. Di samping kamar ada kamar mandi tak beratap, tapi bertembok tinggi, jadi nggak bakal bisa ngintip (lagian siapa juga yang mau ngintip). Ada juga kamar mandi di luar kamar yang biasa dipakai penjaga.

Sebentar kemudian, aku keluar lagi. Aku menemui bapak-bapak tadi. Tanpa memperkenalkan diri, dia menyalamiku. Lalu aku menyerahkan sebuah bungkusan yang sengaja kubawa dari Magelang. Isinya wingko, abon, dan kerupuk tahu. "Ini ada sedikit oleh-oleh dari Magelang mas" kataku. "Maturnuwun nggih mas" sahutnya.  Hmmm.. baru tahu aku, biarpun orang Banyuwangi berbahasa Jawa Osing kayak di lagunya Via Valen atau Nella Kharisma, tapi mereka tetap paham bahasa Jawa halus ala Jawa Tengah. 

Kembali ke kamar, aku ajak bicara teman sekamarku. Namanya Aldi, berasal dari Jogja. Dia juga solo traveler sepertiku. Sudah  2 hari dia di Banyuwangi, dan sudah mengunjungi hutan De Djawatan dan Taman Nasional Baluran. Sebenarnya dia berencana ke Kawah Ijen, tapi saat ini pendakian Ijen lagi ditutup karena kondisi tidak aman. Aldi juga mengatakan bahwa dia sudah pernah menginap di Rumah Singgah ini. Setiap kali liburan ke Bali, pasti pulangnya mampir ke sini. 

Memang tak salah jika traveler seperti kami merekomendasikan Rumah Singgah ini. Gratis, atau kalau mau bayar seikhlasnya aja. Konon berdirinya tempat ini berawal dari pengalaman pribadi Mas Rahmat. Dulu ia juga suka backpackeran dan mendaki gunung ke banyak tempat. Sebagaimana hakikat backpacker :  pengeluaran sekecil mungkin, Mas Rahmat berusaha mencari penginapan seadanya tiap kali pergi. Numpang tidur di rumah teman bahkan di pom bensin pernah dijalani. Dari pergaulannya dengan sesama backpacker, ia pun sering menerima mereka singgah di rumahnya. Akhirnya ia terinspirasi membuat Rumah Singgah ini. Siapa saja boleh menumpang gratis asalkan bersikap sopan dan so pasti reservasi lebih dulu. 

Terus, dananya dari mana? Tak kehabisan akal, Mas Rahmat membuka hostel berbayar dan rental motor di seberang Stasiun Banyuwangi. Yes, angkutan ke tempat-tempat wisata memang agak sulit, jadi sewa motor adalah solusi terbaik untuk Aldi dan traveler atau backpacker lainnya. Aku sendiri karena nggak mahir naik motor, ya pasrah aja deh. Oh ya, kadang-kadang Mas Rahmat juga menyediakan open trip ke Kawah Ijen. Untuk info Rumah Singgah dan Rental Motor bisa lihat di IG : rumahsinggahbwi atau FB : Meyhesa Rachmad. 

Sayangnya, selama 2 hari di sana aku tidak sempat ngobrol lebih lanjut dengan Mas Rahmat. Mungkin dia sibuk, mungkin juga karena aku pergi dari pagi sampai malam. Yang jelas, bagiku tempat ini sangat homey dan friendly. 

Kembali ke aku. Malam itu sebelum tidur aku mandi dulu. Kamar mandinya sederhana, belum dikeramik, dilengkapi toilet. Bedanya kalau kamar mandi yang di samping kiri masih pakai ember. Kamar mandi yang di samping kanan ada pancuran tapi saat kucoba airnya nggak keluar. Ya terpaksa pakai selang air! But it's no problem. Namanya juga backpaker. 

Setelah air sejuk Banyuwangi membersihkan tubuhku, aku bersiap tidur. Setelah main HP sebentar dan tak lupa berdoa, kuselubungi diriku dengan sarung. Aldi mematikan lampu dan kami segera terlelap di kasur masing-masing. 

Tak terasa, hari beranjak pagi. Biarpun tidur beralas kasur tanpa bantal, cukup hilangkan letihku.  Aku coba melihat keluar. Dan... kehangatan matahari pagi menyambutku. Suasana mirip di pedesaan. Kulihat material bangunan di pojokan. Mungkin di sini akan ditambah bangunan baru lagi. Kubayangkan kalau aku ke sini bareng teman-teman pasti kami bakal malas pulang. 

Ini foto-foto Rumah Singgah itu, sayang aku lupa foto bagian dalamnya : 








Senin, 22 Juli 2024

My Fourth Backpacker (Part 2) : 12 Jam Dalam Gerbong Sri Tanjung

 Yesss... akhirnya terkabul juga keinginanku untuk naik KA Sritanjung ke Banyuwangi. Pas lihat jadwal keretanya, serasa tantangan. Bayangkan, sehari full dari jam 07.20 sampai menjelang jam 20.00 kita cuma duduk ! Buat yang nggak biasa bepergian jauh pasti bikin suntuk, mabok, atau orang Jawa bilang: mendhem. 

Kereta berangkat jam 07.20, aku harus berangkat sepagi mungkin dari Magelang. Dengan menggendong ransel dan menenteng tas besar berisi pakaian (nggak mau bawa koper karena ribet naik turunnya), aku memulai dengan naik ojol (Gojek) dari rumah, dilanjut bus jurusan Jogja dari depan Artos Mall. Hari masih gelap, matahari baru terbit saat bus mencapai Muntilan. 

Sengaja turun di Pasar Mlati, karena ojol dilarang naikkan penumpang dari depan Terminal Jombor. Malas juga kalau harus jalan jauh bawa tas berat. Sebelum turun dari bus, aku udah klik order ojol biar nggak kelamaan nunggunya. Nggak salah, aku masih harus tunggu 5 menit lebih baru abang ojolnya datang. 

Tepat jam 7, aku sampai di Stasiun Lempuyangan. Agak gemes juga karena si abang ojol nggak paham medan, jadi kebablasan, aku musti jalan agak jauh. Berulang kali dia minta maaf. Iya, iya, aku maafin. Yang penting belum ketinggalan kereta. 

Biar Jogja punya sejuta kharisma, aku merasa nggak perlu perhatikan yang lain-lain saat ini. Fokusku cuma pengin secepatnya cetak tiket dan masuk kereta. Untunglah aku nggak perlu antri lama. Ketik kode booking di mesin lalu syuuut. Pas masukin dompet ke tas, seorang pemuda menghampiriku "Pak, itu kuncinya jatuh." O lha, ternyata kunci rumahku sudah tergeletak di lantai. Spontan kuucapkan terima kasih. Syukur deh ada hal baik terjadi di sini. 

Makasih buat mas-mas baju oranye yang sudah temukan kunciku


Karena sudah jam 07.10, aku segera check in dan menuju kereta. Tak lama kereta berangkat. Tempat duduk di sebelahku masih kosong, sementara di depanku 2 orang ibu, satu masih muda, satu udah setengah tua. Aku tahan keinginan buat selonjoran, takut dibilang nggak sopan.

Berhubung belum sarapan, aku membuka kotak makanku yang berisi nasi dan omelet mie. Tak sampai 15 menit segera kuhabiskan. Kotak lainnya berisi roti tawar dengan olesan madu, coklat, dan abon. Kusimpan saja untuk makan siang. Ada juga beberapa cemilan lain. Ya, memang lebih baik bawa bekal sendiri daripada beli di kereta makan. Meski petugas lalu lalang menawarkan Pop Mie, minuman, hingga nasi goreng, aku sama sekali tidak tertarik. Bukan apa-apa, harganya mahal buat penggemar angkringan sepertiku. 

Aku melihat ke jendela saat kereta melewati daerah Klaten. Pemandangan ladang yang hijau disinari matahari pagi. Betapa indahnya. Dalam hatiku berkata, janganlah pagi ini cepat berlalu. Lho? 

Pagi yang cerah di Ceper, Klaten


Menit dan jam berlalu, kereta sudah memasuki Jawa Timur. Sampai di Jombang,  tempat duduk di sekitarku sudah terisi penuh. Tubuhku mulai capek duduk terus. Makanya saat kereta berhenti agak lama di stasiun, aku turun sebentar merenggangkan otot kaki sekalian ke toilet. 

Aku mulai loyo setelah lewat Sidoarjo. Udara siang bikin ngantuk, tapi mau tidur juga susah karena di kanan jendela di kiri ada orang. Main HP terus bikin capek mata. Akhirnya setelah makan bekal rotiku, aku membuka buku yang kupinjam dari perpustakaan kota Magelang. Judulnya AnTravelogi karya Dini Novita Sari. Seketika cerita pengalaman Mbak Dini waktu liburan ke Singapura bareng teman-temannya membuatku termenung. Aku memang suka cerita-cerita traveler begini dan selalu bermimpi jadi seperti mereka. Bakat menulisku udah ada, tapi yang mau ditulis belum banyak karena isi dompet yang terbatas. Dan lagi aku tidak banyak teman yang sehobi denganku. 

Buku AnTravelogi (foto kuambil di rumah)

Stasiun Probolinggo


Suasana hutan di jalur Probolinggo-Lumajang membawaku kembali ke dunia nyata.  Ya, daerah ini belum pernah kulihat sebelumnya, jadi sayang kalau dilewatkan. Pohon-pohon besar menjulang dengan langit yang masih biru seperti yang pernah kulihat di film 5 Cm. Sayang, karena posisiku di sebelah kiri, aku tidak bisa melihat Gunung Bromo dan Semeru. 

Sempat kulihat Stasiun Klakah, satu-satunya stasiun aktif di Lumajang. Tidak jauh dari sana ada Ranu Klakah, danau vulkanik di lereng Gunung Lamongan. Sebenarnya tempat itu masuk wishlist perjalananku sejak dulu, tapi karena KA Sritanjung tidak berhenti di Klakah, alhasil harus kuurungkan sementara. 

Saat berhenti di Stasiun Tanggul, aku kembali turun sebentar. Matahari mulai terbenam. Aku melihat-lihat sekitar stasiun tapi nggak berani jauh dari kereta. Stasiun ini berada di bagian barat Kabupaten Jember. Baik Jember maupun Banyuwangi wilayahnya cukup luas. Biarpun di peta terlihat dekat, ternyata jarak ibukota kedua kabupaten itu juauhhh... sekitar 100 km ! 

Stasiun Tanggul



Kereta mulai sepi begitu sampai Stasiun Jember. Ibu-ibu dan mbak-mbak di sekitarku udah pada turun. Tinggal seorang bapak yang baru naik, duduk di depanku. Hari benar-benar sudah gelap dan di luar sana  kurang penerangan jadi nggak ada yang bisa kuperhatikan selain mendengar pengumuman kereta berhenti di stasiun-stasiun kecil. Oh ya, di lintas Jember-Banyuwangi ini ada beberapa stasiun yang namanya mirip-mirip : Kalisat, Kalisetail, Kalibaru, Rambipuji, Rogojampi. Jadi yang mau turun di salah satu stasiun itu musti pasang telinga baik-baik. Salah dengar ya salah turun deh. 

Banyuwangi! Akhirnya.. Tak lupa aku chat WA ke Mas Rahmat, pemilik Rumah Singgah, bahwa aku akan segera sampai. Kupersiapkan tas-tasku. Di belakangku, beberapa orang bule juga bersiap turun. Tak salah, Banyuwangi sering menjadi tempat transit para turis sebelum menyeberang ke Bali atau  yang mau berwisata ke daerah sekitar seperti Baluran, Alas Purwo, dan Kawah Ijen.  Deg-degan juga, jangan-jangan di Rumah Singgah nanti bakal sekamar sama bule. Wow, fantastic... 

Sampai juga di Banyuwangi



12 jam perjalanan berakhir sudah. Dengan gembira, aku berjalan keluar dari stasiun Banyuwangi. Kutolak semua tawaran ojek maupun taksi karena menurut Google Maps, jarak Rumah Singgah cuma sekitar 200 meter dari stasiun. 

Aku sejenak mengagumi bangunan stasiun ini. Tidak terlalu besar, tapi bagus banget. Di samping bangunan utama ada gerai Roti O dan Indomaret. Keluar dari stasiun, berjajar warung makan, hostel, dan rental motor. Biarpun namanya Stasiun Banyuwangi Kota, lokasinya agak jauh dari pusat kota, bahkan agak di pelosok. Jalan menuju Rumah Singgah pun harus lewat hutan kecil yang  sepi dan kurang penerangan. 

Stasiun Banyuwangi Kota


Minggu, 21 Juli 2024

My Fourth Backpacker (Part 1) : Murah Meriah Menuju Bali

Prinsip utama seorang backpacker adalah  bagaimana bisa bepergian asyik dengan biaya sekecil mungkin.  Sepertinya perjalanan kali ini adalah latihan bagiku buat jadi backpacker sejati. 

Liburan ke Bali dengan budget kurang dari Rp. 500 ribu. Mana bisa? Bisa kok! Coba aja! 

Tentunya liburannya bukan ke Pantai Kuta atau Kintamani. Selain makan waktu lebih, keluar duitnya juga lebih. Jadi, aku pilih ujung barat Bali. Yang penting sampai ke Bali , itu aja! 

Ada lho, kereta api dari Jogja yang langsung ke Pelabuhan Ketapang. Namanya KA Sritanjung. Tiketnya Rp. 94.000, ditambah pajak Rp. 7.500 jadi cuma Rp. 101.500. Cuma ya itu, tiket murah begini cepat habis. Apalagi musim liburan begini!  Kita musti ubek-ubek aplikasi KAI, Tokopedia, Shopee, atau Indomaret, paling lambat H-7. Lebih dari itu, lupain aja deh! 




Bukan cuma harus pesan cepat, buat yang tinggal di luar Jogja wajib berangkat sepagi mungkin ke stasiun. Ini bagian paling menyebalkan bagiku, karena tarif bus dari Magelang dan ojol ke Stasiun Lempuyangan hampir separuh harga tiket kereta. Andai saja Magelang punya kereta... ah ! 

Pesan tiket kapal juga mudah, kita bisa pesan lewat aplikasi Ferizy. Menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk maupun sebaliknya cukup dengan Rp. 10.600 , ditambah pajak, jadi kurang lebih Rp. 13.000 buat sekali jalan. Jadi, dari Jogja ke Bali cuma perlu sekitar Rp. 114.500 !  




Terus soal penginapan. Nah lo... mau nginap di mana? Setelah searching pontang-panting, akhirnya kutemukan yang bukan cuma murah tapi GRATIS! Hah, serius? DUA RIUS! Tak jauh dari stasiun Banyuwangi Kota ada Rumah Singgah. (hmm... jadi ingat lagunya temanku, Fabio Asher). Yes, Rumah Singgah ini memang diperuntukkan untuk backpacker. Bayar seikhlasnya, tapi nggak bayar juga nggak apa-apa, asalkan tujuan kita nggak macam-macam. 




Belakangan, kutemukan juga berkat lainnya. Jarak dari Rumah Singgah ke Pelabuhan Ketapang kan lumayan jauh. Kalau naik ojol bisa Rp. 30.000. Untungnya, ada kereta api Pandanwangi jurusan Ketapang dengan tarif Rp. 8.000 ! Ya, cukup pesan tiket via aplikasi KAI Access lalu jalan kaki ke Stasiun Banyuwangi Kota. Yang Rp. 22.000 bisa buat beli sarapan atau oleh-oleh. 

Satu lagi, karena mau lebih hemat (biarpun agak repot), aku sengaja bawa bekal dari rumah. Pagi saat berangkat dari Magelang aku bawa nasi omelet buat dimakan di kereta, tak lupa lunch box berisi sandwich, roti dan beberapa cemilan beserta air mineral. (ini mau backpackeran apa mau camping ya). 

Itulah strategi perjalananku kali ini. Buat cerita lengkapnya, aku tulis di next part ya. 



Minggu, 23 Juni 2024

Lagu Masa Lalu (28): House of The Rising Sun



There is a house in New Orleans
They call the Rising Sun

And it's been the ruin of many a poor boy
And God I know I'm one
My mother was a tailor
She sewed my new blue jeans
My father was a gamblin' man
Down in New Orleans
Now the only thing a gambler needs
Is a suitcase and trunk
And the only time he's satisfied
Is when he's all drunk
Oh mother tell your children
Not to do what I have done
Spend your lives in sin and misery
In the House of the Rising Sun
Well, I got one foot on the platform


Pertama kali dengar lagu yang dibawakan oleh grup band The Animals ini, aku salah sangka. Kata House Rising Sun aku gambarkan sebagai villa keluarga yang sering dikunjungi  saat musim panas. Tapi ternyata.... jauh berbeda.

New Orleans city (www.neworleans.com)



Sebenarnya ini adalah lagu daerah di Amerika. Judul aslinya Rising Sun Blues, bercerita tentang kehidupan yang kacau.  Tidak diketahui siapa pengarangnya, yang pasti lagu ini telah direkam dalam banyak versi. 

Banyak tafsiran tentang apa yang dimaksud House Rising Sun dan dimana lokasi sebenarnya. Nama kota New Orleans pun seringkali diganti dengan tempat lain. Pada banyak versi, Rising Sun dipercaya sebagai  rumah bordil di New Orleans pada abad 19. Melalui lagu ini, ingin disampaikan jeritan hati seseorang yang terjerat dalam dunia kelam, dan ia berpesan agar jangan ada anak-anak lain yang mengikuti jejaknya. 

Tafsiran lain menceritakan tentang penjara wanita di New Orleans, dimana seorang wanita mengisahkan hidupnya yang hancur karena melakukan tindak kriminal. Ada pula yang mengatakan bahwa House Rising Sun hanyalah sebuah perumpamaan sebagai kritik sosial untuk prostitusi yang marak di New Orleans.   

Lagu ini telah dibawakan oleh banyak penyanyi seperti Texas Alexander, Nina Simone, Robert Winslow Gordon, Joan Baez, hingga Bob Dylan. Namun versi paling terkenal dan lebih bisa diterima publik adalah yang dibawakan oleh band The Animals pada 1964. Dalam versi ini, tokohnya adalah laki-laki yang terjerat pada perjudian. 

Apa pun versinya, yang jelas lagu ini mengandung nasihat yang baik untuk menghindari maksiat. 

Cover album The Animals (www.stereogum.com)


Link video : 

Senin, 03 Juni 2024

Rekomendasi Warung Makan di Salatiga

Bisa dibilang,  Salatiga adalah my second hometown.  Hampir 8 tahun aku tinggal di sini buat cari ilmu. Sampai sekarang aku juga masih suka ke sana buat mengenang masa-masa kejayaan. Biar hidup serba sulit,  tapi zaman kuliah cukup membentuk mentalku yang labil ini.

Bicara soal kuliner, semasa kuliah, jujur aja aku jaraaang banget makan yang mewah-mewah, termasuk makanan yang masuk trademark Salatiga. Maklum, anak kost, bisa makan 3 kali sehari aja udah mujizat. 

Levelku tentu saja warteg, angkringan, warmindo, atau bakso-soto kaki lima. Kebiasaan ini masih sampai sekarang, aku lebih nyaman makan nasi kucing di angkringan daripada nasi goreng Hongkong di cafe. Yang pasti nggak perlu keluarin uang kertas hijau apalagi biru dari dompet (emang dasar pelit). 

Nah, di sini aku mau berbagi cerita tentang  dua warung makan di Salatiga yang bagiku recommended. Nanti kalau ada waktu, akan aku review tempat lain lagi. 

1. Warung Gelegar 

Buat mahasiswa UKSW yang kost di kawasan Kemiri pasti nggak asing dengan warung makan satu ini. Ya, warung yang terletak di Jl. Kemiri Raya no. 5 ini termasuk legend. Sebenarnya banyak warung makan di daerah ini, tapi tidak sedikit yang hanya bertahan dalam hitungan tahun. Minggu lalu aku mengunjungi lagi area kampusku, dan kulihat beberapa warung makan yang sempat menemani masa kuliahku sudah tutup, berganti warung atau cafe baru. Cuma Warung Gelegar ini yang bisa bertahan sekitar 4 dekade. 




Saat aku pertama kuliah tahun 2007, warung ini masih sederhana tapi sekarang sudah direnovasi dan menyatu dengan usaha laundry. Dulu dikelola oleh sepasang bapak-ibu. Sekarang dilanjutkan oleh anak dan karyawannya, karena si bapak sudah tiada dan si ibu sudah tua. 

Begitu masuk, kita tinggal mengatakan pada penjual, apakah mau makan di sini atau dibungkus. Selanjutnya kita akan diambilkan nasi, sayur dan lauk sesuai pilihan kita. Menu yang disajikan cukup beragam. Ada sayur sup, tumis sayuran seperti sawi, buncis, daun pepaya, cap cay, pecel, mie goreng, opor, sambal tumpang, pokoknya banyak deh. Berbagai lauk juga siap dipilih, seperti tahu dan tempe goreng, kering tempe, bakwan, perkedel, telur mata sapi, ayam krispi, ikan lele, pindang ikan. Minumannya standar seperti teh, kopi, dan es jeruk. Dan satu yang penting dicatat dari warung makan tradisional adalah beberapa menu belum tentu ada setiap harinya. Jadi jangan heran kalau misalnya kemarin ada cah jamur tapi hari ini tidak ada. 

Tapi tetap... menu-menu khas hampir selalu ada. Favoritku adalah sayur sup, tambah kering tempe, plus 1-2 potong gorengan. Soal harga terjangkaulah untuk kantong mahasiswa. Menu favoritku itu, ditambah segelas es teh, total harganya Rp. 11 ribu. 



Warung ini buka dari pagi hingga malam. Dengan eksistensi Gelegar, heran kalau bukan cuma mahasiswa, tapi para alumni yang sedang datang ke Salatiga suka mampir ke sini. Tak akan kami lupa keramahan bapak dan ibu bertanya "Makan, mbak/mas? Dibungkus atau makan sini". 


2. Warung Prasmanan Agung Lestari 

Sebenarnya aku belum pernah mengunjungi tempat ini semasa kuliah, soalnya letaknya agak jauh dari kampus, tepatnya di pusat kota. Aku tahu warung makan ini dari teman Facebookku dulu, Ibu Anthoneta Yulianti. Katanya sih harganya murah dan enak. Tak salah, pertama aku ke sana langsung jatuh cinta (sama makanannya lho).

Siang itu, setelah melepas rindu dengan kampus dan kost, aku berjalan ke Lapangan Pancasila. Di sebelah barat Polres Salatiga, berjajar pulau-pulau.. eh warung-warung. Agung Lestari terletak paling pojok, dekat tikungan, tertutup pohon besar. Jadi harus pasang mata baik-baik biar nggak terlewat. Warung ini pernah buka cabang di daerah Kembangarum, tapi cabangnya sekarang udah tutup. 




Tempat ini berbentuk memanjang. Tidak terlalu luas, jadi kalau di dalam lagi penuh kita harus makan di teras. Begitu masuk, kita tinggal putuskan, mau makan di tempat atau dibungkus. Nasi bisa pilih mau porsi kecil atau besar karena ada mangkuk penakarnya. Selanjutnya, kita bisa ambil sendiri lauk dan sayur yang disukai. Minuman pun tinggal ambil dari dispenser, mau jus buah, teh, atau air putih. 

Karena sebelumnya sudah makan siang di Gelegar, aku putuskan bungkus nasi aja di Agung Lestari buat nanti dimakan di rumah. 

Begitu pilih lauk... hmmm... aku jadi bingung mau yang mana. Serius, saking banyaknya pilihan. Mulai dari tumis-tumisan, sayur berkuah bening maupun santan, aneka gorengan, telur, ayam, ikan...  tak kurang dari 50 macam. Ya, aku akhirnya ambil tumis sawi hijau, mie goreng, perkedel, dan telur dadar yang dicetak.  Total semua Rp. 18 ribu, sepadan lah. 




Sesampai di rumah, langsung kunikmati. Mmm... maknyusss.. lezatos. Rasanya bumbunya sungguh pas dengan nasi yang pulen. Mie gorengnya punya rasa gurih tersendiri, seperti dimasak dengan margarin. 

Ya, kupastikan Agung Lestari masuk dalam list favoritku kalau nanti ke Salatiga lagi.