Selasa, 06 Agustus 2024

My Fourth Backpacker (Part 4): "Memanjat" Kereta Pandanwangi, "Bingung" Keluar Kapal Gilimanuk

Sesudah sarapan seadanya dengan roti dan cemilan, aku segera mandi. Keasyikan mandi, nggak taunya udah jam 07.40. Padahal KA Pandanwangi berangkatnya jam 07.47. Aku cuma punya waktu 7 menit buat ngejar kereta! Maka, setelah berpakaian necis, cepat kuangkat ranselku, pamitan pada Aldi yang baru aja bangun, lalu buru-buru ke stasiun. 

Huh, jam di HPku sudah jam 07.43. 4 menit lagi bro! Aku harus jalan cepat tapi tetap hati-hati soalnya jalan di sini berpasir. Nggak lihat kiri kanan lagi aku lari masuk stasiun. 

Syukur deh, kereta belum berangkat. Begitu lihat mesin cetak tiket aku buru-buru ketik kode booking dan klik Check In. Tapi lho... lho... tiketnya nggak tercetak. Ada mbak-mbak security di situ, tapi dia lagi jelaskan sesuatu ke seorang bapak yang bawel abis.   Duh...  cepetan napa. Begitu peluit kereta terdengar, kesabaranku udah nggak bisa ditolerir lagi. Aku menyela "Mbak, ini kok tiketnya nggak keluar." "Udah check in kan? Langsung masuk aja" jawabnya. Bilang dong dari tadi! 

"Naik KA Pandan kan? Cepetan, keretanya udah mau berangkat" kata petugas lainnya. Wawww... kereta udah mulai melaju setapak demi setapak. Udah kayak ngejar bus kota aja, aku langsung lari dan memanjat ke salah satu gerbong. Praise The Lord! 

KA lokal jurusan Jember-Ketapang ini nampak sepi hampir di semua gerbong karena penumpang lebih banyak turun di Stasiun Banyuwangi tadi. Saking sepinya, sampai-sampai satu gerbong kurang dari 10 orang. Tarifnya murah banget cuma Rp. 8.000. Jauh lebih murah dari angkutan lain. Tapi jangan salah, biarpun KA lokal tapi interiornya tetap seperti KA ekonomi yang duduk berhadapan dan bisa pilih tempat duduk. Seperti kebiasaanku naik KA, aku selalu pilih gerbong paling belakang. 

Baru 5 menit aku duduk, suara speaker sudah terdengar bahwa kereta segera memasuki Stasiun Ketapang. Dari jendela, daerah pesisir terlihat jelas. Yah.. kenikmatanku di KA ini sebentar banget, tapi mau gimana lagi. Lain kali lagi deh. 

Hatiku penuh sukacita saat turun. Akhirnya sampai juga aku di ujung timur pulau Jawa! Saking senangnya, aku nggak langsung keluar stasiun. Keliling dulu ambil foto sana sini. Di kejauhan nampak daerah perbukitan. Banyuwangi bagian barat  memang dataran tinggi.  Nun jauh di perbatasan Bondowoso, ada 3 gunung api yaitu Ijen, Raung, dan Merapi. Yang terakhir ini namanya memang sama dengan gunung di dekat Magelang. Entah kenapa dinamakan begitu. Yang jelas gunung Merapi versi Banyuwangi ini tidak seaktif Merapi versi Magelang. 







Sebagai stasiun terminus (perhentian terakhir), Stasiun Ketapang letaknya tidak jauh dari Pelabuhan Ketapang. Begitu keluar dari stasiun, cukup jalan kaki sekitar 500 meter lalu menyeberang jalan. 

Tak sulit bagiku mencari jalan masuk pelabuhan karena sudah ada penanda untuk penumpang umum. Karena aku sudah pesan tiket lewat Ferizy, jadi tinggal scan QR di mesin yang mirip ATM itu, lalu keluarlah 2 lembar tiket : satu untukku, satu untuk petugas. 

Selanjutnya, aku andalkan naluri aja sambil perhatikan penunjuk arah. Sampailah aku di dermaga. Tak perlu banyak tanya lagi, langsung dekati petugas yang jaga, tunjukkan tiket, bisa langsung ke kapal yang sudah merapat. 

Deg-degan juga rasanya. Ini pertama kali aku naik kapal sendirian. Tapi dasar photoholic, aku sempat-sempatnya abadikan suasana pelabuhan, biarpun posisiku harus melipir soalnya banyak kendaraan yang masuk kapal. Sensasi lain pastinya  goncangan tiap kali ada truk lewat. 



Begitu naik ke atas kapal, aku langsung duduk di dek depan, memandangi laut dan langit yang sama-sama biru. Sementara pulau Jawa mulai menjauh. Aku pernah melewati Selat Bali ini saat study tour SMA dulu. Tapi kali ini lebih menantang karena aku sendirian. Sesekali kapal bergoncang diterpa ombak. Kata orang, semakin siang angin laut akan semakin kencang. 

Bosan memandangi laut, aku masuk ke ruangan kapal. Ternyata di sini suasananya mirip di kafe. Ada yang lagi makan, ada yang tiduran di sofa. Memang ada kedai yang menjual Pop Mie, minuman, dan makanan ringan. Tapi aku blas nggak tertarik karena harganya pasti berkali-kali lipat dari kedai di darat. Biarpun ruangan luas tapi nggak ada AC, cuma beberapa kipas angin. Sementara aduh... baterai HPku tinggal 40 persen. Aku cari-cari colokan listrik, satupun nggak ada yang kosong. Kalaupun ada, udah ada yang pakai. Ya udahlah. Sambil dengerin lagunya Judika yang disetel di layar TV, aku memandangi laut dengan pasrah. 

Singkatnya, kapal mulai melaju pelan, tanda mau merapat. Sebagian besar penumpang mulai bersiap turun. Aku tunggu sampai kapal beneran berhenti. Yes, inilah Pulau Bali! 

Aku turun ke basement tempat parkir. Semua orang sudah masuk ke kendaraan masing-masing. Tinggal aku dan beberapa ibu-ibu yang kebingungan cari jalan keluar. Habisnya ruang basement penuh truk dan bus. Aku coba nyusup sana sini, eh nggak muat. Salah-salah bisa kena cium truk  karena lantai besi ini licin. Ya, terpaksa tunggu sampai kendaraan pada keluar kapal. 

Sambil melipir karena takut kepeleset aku melangkah keluar kapal, diikuti rombongan ibu-ibu tadi. Eksotisme Pulau Dewata sudah di depan mata dengan ornamen berbentuk pura. Di seberang pelabuhan ternyata sudah ada terminal. Sejumlah kernet dan calo langsung merubung kami menawari bus ke Denpasar. Ibu-ibu tadi langsung menuju bus karena memang tujuan mereka ke sana. Tinggallah aku sendiri melangkah keluar pelabuhan. 



Jumat, 02 Agustus 2024

My Fourth Backpacker (Part 3) : Kisah Rumah Singgah Banyuwangi

Dalam kegelapan malam aku memasuki sebuah halaman luas dengan rumah-rumah bergaya Osing. Inilah rumah singgah yang akan kutempati untuk mandi dan tidur. Pengalaman ini jelas baru untukku, karena biasanya aku memilih hostel atau hotel buat bermalam kalau travelling. 

Sepi sekali, seorangpun tidak ada. Sampai seorang cowok datang dan masuk ke salah satu rumah. Dari penampilannya, jelas dia adalah tamu bukan pemilik. Terpaksa aku menghubungi lagi Mas Rahmat, pemilik tempat ini. Dia memberiku nomor kontak Mas Beni, penjaga tempat itu. 

Belum sempat aku menelepon Mas Beni, tiba-tiba datang seorang bapak memboncengkan seorang cewek. Saat aku mendekat, si bapak berkata "Robert ya? Silahkan masuk aja, nggak dikunci." Ia menunjuk salah satu bangunan. Selanjutnya ia menunjukkan cewek tadi sebuah bangunan lain dan menyuruh cowok yang tadi masuk untuk pindah sekamar denganku. 

Aku masuk dan meletakkan tas-tasku. Ruang ini biasa saja, hanya ada beberapa kasur yang bisa kita atur sendiri. Berdinding bata dan berlantai tanah. Sebuah AC terpasang di dinding, tapi kurasa tidak terlalu kuperlukan karena udara sudah cukup sejuk. Di samping kamar ada kamar mandi tak beratap, tapi bertembok tinggi, jadi nggak bakal bisa ngintip (lagian siapa juga yang mau ngintip). Ada juga kamar mandi di luar kamar yang biasa dipakai penjaga.

Sebentar kemudian, aku keluar lagi. Aku menemui bapak-bapak tadi. Tanpa memperkenalkan diri, dia menyalamiku. Lalu aku menyerahkan sebuah bungkusan yang sengaja kubawa dari Magelang. Isinya wingko, abon, dan kerupuk tahu. "Ini ada sedikit oleh-oleh dari Magelang mas" kataku. "Maturnuwun nggih mas" sahutnya.  Hmmm.. baru tahu aku, biarpun orang Banyuwangi berbahasa Jawa Osing kayak di lagunya Via Valen atau Nella Kharisma, tapi mereka tetap paham bahasa Jawa halus ala Jawa Tengah. 

Kembali ke kamar, aku ajak bicara teman sekamarku. Namanya Aldi, berasal dari Jogja. Dia juga solo traveler sepertiku. Sudah  2 hari dia di Banyuwangi, dan sudah mengunjungi hutan De Djawatan dan Taman Nasional Baluran. Sebenarnya dia berencana ke Kawah Ijen, tapi saat ini pendakian Ijen lagi ditutup karena kondisi tidak aman. Aldi juga mengatakan bahwa dia sudah pernah menginap di Rumah Singgah ini. Setiap kali liburan ke Bali, pasti pulangnya mampir ke sini. 

Memang tak salah jika traveler seperti kami merekomendasikan Rumah Singgah ini. Gratis, atau kalau mau bayar seikhlasnya aja. Konon berdirinya tempat ini berawal dari pengalaman pribadi Mas Rahmat. Dulu ia juga suka backpackeran dan mendaki gunung ke banyak tempat. Sebagaimana hakikat backpacker :  pengeluaran sekecil mungkin, Mas Rahmat berusaha mencari penginapan seadanya tiap kali pergi. Numpang tidur di rumah teman bahkan di pom bensin pernah dijalani. Dari pergaulannya dengan sesama backpacker, ia pun sering menerima mereka singgah di rumahnya. Akhirnya ia terinspirasi membuat Rumah Singgah ini. Siapa saja boleh menumpang gratis asalkan bersikap sopan dan so pasti reservasi lebih dulu. 

Terus, dananya dari mana? Tak kehabisan akal, Mas Rahmat membuka hostel berbayar dan rental motor di seberang Stasiun Banyuwangi. Yes, angkutan ke tempat-tempat wisata memang agak sulit, jadi sewa motor adalah solusi terbaik untuk Aldi dan traveler atau backpacker lainnya. Aku sendiri karena nggak mahir naik motor, ya pasrah aja deh. Oh ya, kadang-kadang Mas Rahmat juga menyediakan open trip ke Kawah Ijen. Untuk info Rumah Singgah dan Rental Motor bisa lihat di IG : rumahsinggahbwi atau FB : Meyhesa Rachmad. 

Sayangnya, selama 2 hari di sana aku tidak sempat ngobrol lebih lanjut dengan Mas Rahmat. Mungkin dia sibuk, mungkin juga karena aku pergi dari pagi sampai malam. Yang jelas, bagiku tempat ini sangat homey dan friendly. 

Kembali ke aku. Malam itu sebelum tidur aku mandi dulu. Kamar mandinya sederhana, belum dikeramik, dilengkapi toilet. Bedanya kalau kamar mandi yang di samping kiri masih pakai ember. Kamar mandi yang di samping kanan ada pancuran tapi saat kucoba airnya nggak keluar. Ya terpaksa pakai selang air! But it's no problem. Namanya juga backpaker. 

Setelah air sejuk Banyuwangi membersihkan tubuhku, aku bersiap tidur. Setelah main HP sebentar dan tak lupa berdoa, kuselubungi diriku dengan sarung. Aldi mematikan lampu dan kami segera terlelap di kasur masing-masing. 

Tak terasa, hari beranjak pagi. Biarpun tidur beralas kasur tanpa bantal, cukup hilangkan letihku.  Aku coba melihat keluar. Dan... kehangatan matahari pagi menyambutku. Suasana mirip di pedesaan. Kulihat material bangunan di pojokan. Mungkin di sini akan ditambah bangunan baru lagi. Kubayangkan kalau aku ke sini bareng teman-teman pasti kami bakal malas pulang. 

Ini foto-foto Rumah Singgah itu, sayang aku lupa foto bagian dalamnya :