Tujuan pertamaku adalah Taman Siwa di seberang pelabuhan. Taman dengan patung besar Dewa Siwa ini seolah sebagai penanda bahwa kita sudah berada di Bali sekarang. Suasananya sih biasa aja, seperti taman kota pada umumnya. Tapi yang lebih memikat, di komplek taman yang sama kita bisa lihat pantai Teluk Gilimanuk!
Dengan semangat aku menuju dermaga. Pantai berair tenang ini lebih diperuntukkan bagi nelayan setempat. Yang bikin salut, lautnya benar-benar biru bersih. Tidak banyak pengunjung siang itu, cuma beberapa orang yang sedang memancing. Secara keseluruhan memang tidak sekeren Sanur atau Tanjung Benoa, tapi lumayanlah untuk sekedar healing.
Cuma satu hal yang bikin aku ketar-ketir. HPku kini benar-benar lowbat kurang dari 30 persen. Mana bisa bertahan sampai nanti sore, apalagi aku kan photoholic banget. Dengan susah payah kubuka Google Maps, cari Indomaret atau Alfamart terdekat. Biasanya minimarket di jalan utama provinsi punya teras ala cafe, jadi bisa nongkrong sambil numpang ngecas HP.
Tapi sebelumnya aku punya satu tujuan lagi. Apa itu? Museum Manusia Purba. Yup, seperti halnya Sangiran, ternyata di Gilimanuk ini ada tempat untuk melihat artefak zaman purba.
Kalau jalan kaki agak jauh sih dari Teluk Gilimanuk ini. Biarin lah. Berjalan di tengah eksotisme Bali bikin aku nggak mikirin capek. Rumah-rumah bergaya tradisional dengan gapura bentuk pura. Sebagian besar halamannya memiliki sanggah atau tempat sembahyang Hindu. Sesaji diletakkan di depan rumah dan sudut-sudut jalan, kadang dilengkapi dupa. Sesekali lewat pemuda pemudi berpakaian adat Bali membuat nuansa kulturalnya makin berasa.Aku berusaha menjaga langkahku, jangan sampai menginjak sesaji atau benda sakral lainnya. Termasuk jaga pikiran jangan sampai ngeblank atau mikir yang nggak pantas. Meski kita beda keyakinan, setidaknya menghormati.
Setelah jalan 1 km, sampailah aku ke sebuah komplek bangunan. Di depan ada nama Museum Manusia Purba Gilimanuk. Tapi semua pagarnya tertutup. Lho, masuknya lewat mana? Sampai pojokan semuanya tutup, bahkan sepi.
Di belokan, ada seorang ibu berpakaian adat Bali, sedang meletakkan dupa dan sesaji di sudut jalan, seperti hendak melakukan ritual. Di belakangnya ada seekor sapi yang mungkin untuk persembahan. Melihatku lewat, si ibu menanyaiku "Mas mau kemana?". Dengan gugup, aku menjawab "Ini... masuknya lewat mana ya?". Dia menjelaskan "Museum ya? Lewat pojokan itu. Biasanya ada penjaganya. Tapi mungkin tutup, hari ini kan hari libur di Bali".
Kuucapkan terima kasih lalu aku segera pergi tanpa bertanya lagi. Biar begitu aku heran juga, hari libur apa? Setahuku hari raya agama Hindu cuma Nyepi, Saraswati, Galungan, dan Kuningan. Sambil terus berjalan menuju jalan raya utama Gilimanuk, aku searching di HPku.
Ternyata hari ini, 17 Juli, adalah hari raya Pagerwesi yang diperingati setiap Rabu Kliwon menurut kalender Bali. Ucapan si ibu tadi tidak salah. Kondisi jalan yang kulewati benar-benar sepi. Di jalan kampung, cuma satu dua kendaraan yang lewat. Bahkan sampai di jalan utama Gilimanuk-Denpasar, banyak warung dan toko yang tutup. Kalaupun ada yang buka, itu milik warga pendatang atau non Hindu. Dan aku benar-benar kayak orang hilang karena cuma aku traveler yang jalan kaki siang ini! Pelajaran berharga buatku, juga buat semua yang baca tulisanku ini, kalau mau ke Bali kita perlu cek kalender Bali, ada apa hari itu, karena banyak hari-hari khusus yang tidak tercantum di kalender biasa. Masyarakat Hindu Bali sangat menghargai agama dan budayanya, jadi mereka meliburkan diri setiap ada perayaan khusus.
Beberapa warung yang buka menyediakan makanan khas Gilimanuk, ayam betutu. Warung masakan Jawa juga ada. Meski sudah jam makan siang, aku menahan diri untuk masuk. Semua demi isi dompetku yang terbatas.
Aku menemukan Indomaret di seberang jalan dan langsung masuk membeli beberapa snack buat ganjal perut. Biar jiwa Bali-nya nggak sia-sia, aku sengaja beli juga kacang kapri bumbu Bali buat oleh-oleh nanti. (Sesampai di rumah ternyata enak banget kacangnya, jadi nyesel cuma beli satu).
Akhirnya aku duduk santai di teras Indomaret. Ngemil sambil numpang ngecas HP. Biar nggak bosan, kubaca lagi buku Antravelogi-nya Dini Novita Sari yang kubawa. Karena udara juga puanas bukan main, hampir sejam aku di sini. Aku nggak pedulikan orang yang keluar masuk Indomaret. Pikiranku tenggelam dalam cerita perjalanan Dini ke Thailand dan Balikpapan yang tentu saja bikin iri.
Begitu baterai HP mencapai 30 persen, aku putuskan beranjak. Aku mau ke Pantai Karangsewu, pantai lain yang jadi bagian dari Taman Nasional Bali Barat. Syukur-syukur ketemu turis atau traveler lain yang bisa diajak jalan bareng.
Untuk ke pantai itu, aku harus lewat jalan kecil di tengah kampung. Google Maps tetap jadi teman setia. Ternyata oh ternyata, setali lima uang, gerbang menuju pantai tertutup portal. Artinya tempat ini tutup juga karena hari libur.
Bukan Robert namaku kalau menyerah gitu aja. Aku berusaha mencari celah. Minimal foto-foto ajalah. Ada seorang anak kecil di situ. Sepertinya habis numpang mandi di kamar mandi situ. Melihatku datang, dia teriak memanggil bapaknya. Ternyata si bapak penjaga loket.
Aku diizinkan masuk, tapi tiketnya lebih mahal. Kalau hari biasa Rp. 10.000 , tapi kalau hari libur Rp. 15.000. Di tiket tertulis Taman Nasional Bali Barat.
Semangatku menyala lagi melihat jalan menuju pantai dengan hamparan padang rumput. Sama sekali tak kalah dengan padang sabana di Afrika! Nggak nyesel juga aku batal ke Taman Nasional Baluran, karena di Bali Barat ini pun ada pemandangan serupa. Aku langsung tak tahan buat narsis sana sini.
Setelah puas menikmati alam bebas ini, aku beranjak ke tujuan sebenarnya : Pantai Karangsewu. Kalau diperhatikan, pantai ini penataannya agak mirip dengan Teluk Gilimanuk tadi. Ada dermaga, dan lebih dikhususkan sebagai pelabuhan nelayan. Bedanya, di sini adalah sebuah laguna. Airnya tenang, jadi lebih mirip danau. Diapit bukit-bukit yang luar biasa indahnya.
Sebagai cagar alam yang dilindungi, lahan pantai ini juga diperuntukkan untuk konservasi mangrove. Di bagian lain TNBB ini, tepatnya di arah menuju Singaraja. ada penangkaran burung jalak putih, tapi untuk ke sana harus jalan beberapa km lagi. Dengan pertimbangan udara panas, capek, kejar waktu, tambah lagi hari libur, aku urungkan ke sana. Tapi di pantai ini pun aku sudah merasakan atmosfer lain dari Bali. Kupandangi pantai yang berair biru di dermaga dengan damai tapi sedikit deg-degan karena lantai dermaga dari kayu. Siang itu pantai benar-benar sepi. Cuma ada pasangan yang lagi berduaan dan bapak-bapak pencari rumput.
Tapi yang akhirnya bikin aku nggak nyaman, si bapak tiba-tiba mendekatiku. Dengan sikap yang aneh, dia tanya asalku dari mana dan ujungnya dia minta uang 5000. Aku langsung merasa ada yang nggak beres dengan si bapak. Buru-buru berkata tidak, lalu menjauh. Bukannya aku pelit, tapi aku takut kalau dia bermaksud jahat, apalagi sendirian di tempat sepi begini.
Sebelum keluar, aku sempatkan istirahat dulu di gazebo sambil baca buku. Udara siang itu benar-benar panas. Jadi aku batalkan saja rencana melihat Candi Gelung Kori dan Tugu Cekik, beberapa km dari sini. Malas juga kalau harus jalan lebih jauh lagi.
Lagi asyik-asyiknya baca, eh bapak tadi mendekati dan minta uang lagi. Aku nggak sabar lagi. Langsung kurapikan ranselku lalu berjalan keluar. Untung si bapak nggak mengejar. Sayang banget, di tempat sebagus ini ada tukang palak. Sesampai di luar, bapak petugas tadi masih ada di sana. Tapi kupikir, nggak perlulah aku lapor soal itu, aku nggak mau jadi pemicu keributan di sini.
Kembali ke jalan raya, aku mencoba mampir ke Alfamart di seberang jalan. Niat hati ingin numpang ngecas HP lagi. Apa daya, colokan listrik di situ tidak berfungsi. Ya, udah terlanjur ke situ, aku beli aja sebungkus Happytos dan air mineral buat cemilan saat pulang nanti.
Menariknya, saat antri di kasir, aku ketemu serombongan turis. Ada dua orang bule dan empat orang berwajah oriental, entah China atau Jepang. Yang bikin kesel, para koko cici ini antrinya lamaaaa banget, entah apa yang mereka bicarakan dengan kasir karena my listening for English is bad. Untungnya mbak kasirnya nampak sudah fasih banget menghadapi turis. Sama sekali nggak ada ekspresi capek, termasuk saat tiba giliranku.
Nggak ada pilihan lain, terpaksa aku harus ke Indomaret tadi. Sekedar nongkrong, tanpa beli apa-apa lagi biarlah.
Aku sempat melewati bangunan megah yang ternyata sebuah gereja. Namanya Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) Agape. Biarpun gereja, tapi ciri khas Bali tetap dipertahankan, dengan gapura dan bangunan bergaya pura, hanya ditambah simbol salib di atapnya. Memang, Kekristenan sudah berkembang di Bali seiring zaman kolonial dan banyaknya warga pendatang. Dari sekitar 4 juta penduduk Bali, 2 persennya adalah penganut Nasrani, dan mereka punya gereja khusus tanpa meninggalkan identitas budayanya. Malahan di Kabupaten Jembrana ini ada desa Kristen bernama Blimbingsari. Kata seorang temanku, gereja-gereja Bali sangat ramah terhadap pendatang, kita bisa saja mampir berkunjung atau bahkan numpang menginap. Mereka siap menyambut dengan senang hati. Sayangnya, siang itu gerbang GKPB Agape terkunci rapat, mungkin karena hari libur, jadi aku tidak bisa melihat-lihat dalamnya.
Setelah ngecas HP di teras Indomaret, aku berjalan lagi. Waktu masih jam 15.00 WITA, masih terlalu cepat kalau aku langsung ke pelabuhan. Tapi terlalu mepet juga kalau harus mampir ke tempat yang jauh.
Naluri penjelajahku memaksa buka Google Maps lagi. Aku lihat, di sebelah barat ada yang namanya Paragon View, tempat memandang ombak Selat Bali. Okelah aku coba ke sana.
Sepanjang jalan, banyak deretan kios penjual oleh-oleh khas Bali. Ada pie susu dan aneka kaos bergambar Bali. Uniknya, mereka juga menjadi agen tiket kapal. Jadi bagi yang kesulitan beli tiket lewat online bisa pesan lewat agen. Aku sendiri nggak tertarik beli semua itu. Bukan apa-apa, aku sudah berulang kali dapat pie susu setiap kali ada teman yang pulang dari Bali, kaos Bali aku nggak terlalu suka modelnya. Lebih baik beli oleh-oleh khas Banyuwangi aja nanti.
Melalui sebuah gang, sampailah aku di Paragon View. Seketika aku terhenyak. Luar biasa! Sebuah jalan memanjang ala jogging track dibangun tepat di tepi laut, menghadap ke Selat Bali!
Aku langsung naik ke sebuah undakan. Ya memang posisi spot view ini agak tinggi karena memisahkan langsung antara pemukiman dan laut. Kalau kita mau turun ke laut sebenarnya juga bisa. Tapi jalannya agak curam berbatu-batu, dan lagi di bawahnya langsung kena ombak. Ogah deh kalau harus basah kuyup.
Angin laut yang bertiup kencang menerpa diriku yang kelelahan ini. Di kejauhan laut biru bergelombang disinari matahari sore, dengan sesekali kapal lewat. Lagu Lembayung Bali nya Saras Dewi seketika memenuhi benakku. Aku ingat juga saat study tour ke Bali zaman sekolah dulu
Menatap lembayung di langit BaliDan kusadari betapa berharga kenanganmuDi kala jiwaku tak terbatasBebas berandai memulang waktu
Cukup lama aku duduk mengagumi tempat ini. Kalau bukan karena takut kemalaman, aku bisa saja menunggu sampai sunset. Akhirnya aku coba berjalan ke utara, berharap menemukan jalan ke pelabuhan.
Sore itu cukup sepi. Hanya beberapa warga sekitar sedang nongkrong. Ada juga anak-anak yang main layang-layang. Saat aku lewat, mereka menyapa dengan ramah. Terlihat jelas mereka sudah biasa bertemu wisatawan. Mereka juga mengatakan bahwa jalan ini buntu, jadi aku harus memutar kalau mau ke pelabuhan. Tapi seakan tak peduli, aku jalan terus sampai ujung karena masih terkagum-kagum dengan tempat ini. Nampak mercusuar kecil berwarna kuning yang belasan tahun lalu pernah kupotret masih ada.
Saatnya pulang. Aku kembali menyusuri kampung dan sampai di jalan raya lagi. Sama sekali tidak sulit menemukan jalan ke pelabuhan. Sebelum pelabuhan, sebuah gapura dengan beberapa arca dewa Hindu berdiri tegak seolah mengucapkan selamat jalan.
Maka, setelah menemukan jalan masuk, bersiaplah aku mencetak tiket kapal. Seperti tadi, aku nggak perlu menunggu lama. Petugas langsung mengarahkanku ke kapal yang tengah merapat. Maka : sampai jumpa Bali !