Sewaktu kecil, agenda wajibku setiap pergantian tahun adalah
berlibur. Pokoknya tiap mendekati 1 Januari, pasti deh aku mengajak orang tuaku
(sambil sedikit merengek) buat pergi ke suatu tempat. Ya, memang, kami
sekeluarga beberapa kali mengadakan liburan pada 1 Januari, entah itu ke Pantai
Parangtritis, Kaliurang, bahkan pernah sampai ke Guci di Tegal. Mungkin karena
itulah, aku yang waktu itu belum ngerti apa-apa menganggap itu adalah tradisi.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaanku itu hilang dengan sendirinya.
Tapi, akhir tahun ini, sindrom itu kembali menyengatku.
Bedanya, sekarang aku nggak mau ngrepotin ortu, soalnya aku udah besar, face
dan bodyku sekarang udah pantas jadi bapak (ngomong opo…). Di samping itu, aku
kan penggemar solo travelling.
Udah deh
basa-basinya. Yang pasti, sekarang kemana tujuanku? Sempat terpikir mau naik
kereta api Kalijaga dari Semarang ke Solo. Setelah kuperhitungkan, duitku cukup
sih sebenarnya, tapi di awal tahun nanti aku ada rencana lain yang bakal makan budget besar (apa itu, kujelaskan
di postingan selanjutnya). Di samping itu, jalan-jalan di Solo udah pernah. Maka
aku putar haluan. Dan, kota Purworejo jadi pilihanku. Jadi, dengan menumpang
bus Magelang-Purworejo, berangkatlah aku ke kota yang berjarak 44 km dari
Magelang ini.
Tugu identitas kota Purworejo |
Satu
setengah jam, barulah aku sampai di Purworejo. Sesuai petunjuk kernet bus, aku
turun di Plaza Purworejo untuk kemudian jalan kaki ke alun-alun. Berbekal peta
yang aku print screen dari Google Maps, aku jalan. Jaraknya 1 km lebih, wah
lumayan juga.
Sebetulnya
tujuan pertamaku adalah Museum Tosan Aji. Tapi di tengah jalan, aku lihat
bangunan eks Stasiun Purworejo. Dari papan namanya, ternyata bangunan ini
termasuk bangunan cagar budaya yang dilindungi. Sesuai sloganku kalau
travelling “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”, aku pun tergoda untuk
masuk. Siang itu, tidak banyak pengunjung, hanya ada beberapa anak muda asyik
berfoto. Tak ada penjual tiket, mungkin bangunan ini dibuka untuk umum,
tentunya dengan syarat tidak merusak.
Bangunan
stasiun ini tidak terlalu besar. Kondisinya sangat bersih dan terawat dengan
mempertahankan arsitektur tempo dulu. Di dalamnya ada beberapa papan
dokumentasi berbentuk bilik layaknya museum. Yang tertulis di situ tidak hanya sejarah
perkereta apian, tapi juga sejarah kota Purworejo sejak masa prasejarah. Ada
juga dokumentasi renovasi stasiun seperti perbaikan atap dan pintu.
Menurut
penjelasan di situ, konon Purworejo bernama Pangalihan, bekas bagian Kerajaan
Galuh yang kemudian berubah nama menjadi Bagelen. Pada zaman kolonial,
Kadipaten Bagelen diserahkan penguasaannya kepada pemerintah Hindia Belanda,
yang kemudian menjadikannya kota tangsi militer. Kondisi Purworejo yang subur
sempat pula menjadi target tanam paksa pada tahun 1830.
Stasiun
Purworejo ini dibangun pada abad ke-19 oleh Pemerintah Hindia Belanda lewat
perusahaan bernama Staats Sporwegen. Stasiun ini sudah ditutup sekitar tahun
2010 dengan KA Feeder Purworejo (jurusan Purworejo-Kutoarjo) sebagai kereta terakhirnya. Karena sangat lekat dengan sejarah perkeretaapian di Indonesia, PT KAI menetapkan bangunan ini sebagai bangunan cagar budaya.
Puas membaca, aku beranjak ke bagian belakang stasiun. Di bagian belakang ini pun terdapat halaman luas, yang adalah peron. Rel kereta api masih utuh. Bahkan, jam besar untuk mengatur keberangkatan kereta masih tergantung di dinding.
Aku keluar
dari stasiun, meneruskan perjalanan ke Museum Tosan Aji. Museum ini letaknya
nggak jauh dari Alun-alun Purworejo. Di museum ini tersimpan benda-benda pusaka
seperti tombak dan keris, yang konon dianggap bertuah menurut kepercayaan
dinamisme. Memang, sebagai umat Kristen yang taat, haram bagiku buat mempercayai benda itu. Tapi
kalau sekedar melihat warisan sejarah dan budaya, apa salahnya.
Begitu masuk
museum, aku agak bingung dengan suasana yang sepi. Bahkan, meja receptionist
yang sekaligus berfungsi sebagai loket nggak ada orang sama sekali. Untuk
mengatasi kebingungan, aku melihat-lihat papan petunjuk di ruangan itu. Tercantum
di situ mengenai pengertian tosan aji, sejarah pembuatan keris di pulau Jawa mulai
dari zaman Kerajaan Kahuripan sampai Indonesia yang sekarang beserta nama empu
(pembuat keris) yang terkenal. Ada juga tata cara pembuatan keris hingga
upacara jamasan yaitu pembersihan benda pusaka.
Tak lama,
seorang wanita masuk. Ia adalah petugas di sini. Dengan ramah, ia bertanya “Mau
masuk mas?”. Aku menjawab “Ya mbak”. Aku pun membayar tiket seharga 1000
rupiah. Jujur saja, aku agak tak enak hati. Biaya yang murah sangat kontras
dengan museum yang sepi di masa liburan seperti sekarang.
Aku pun
melanjutkan membaca papan petunjuk. Tiba-tiba, aku tertarik melihat seperangkat
peralatan di dekat pintu masuk “Itu peralatannya ya mbak?” tanyaku. “Ya, itu
buat bikin keris, alat buat menempa besi”. Mbak petugas itu
memencet sebuah tombol dan bara api di situ menyala. “Ini bara api buat melebur
logamnya”. Aku memperhatikan sambil mengarahkan kamera HPku.
Selanjutnya,
aku ditunjukkan bahan pembuatan keris. Ada besi, baja, pamor (hiasan pada
keris), hingga bakal keris. Dalam pembuatan keris tidak boleh sembarangan.
Harus memilih logam khusus. Prosesnya pun tidak mudah, karena ukuran dan bentuk
harus disesuaikan berdasarkan tujuannya. Bahkan, perlu disediakan sesaji dalam pembuatannya.
Masuk ke
dalam, aku melihat beraneka macam keris. Dipajang pula di situ, bagian-bagian
dari keris seperti wrangka (sarungan keris) dan mendak (pelengkap ukiran). Juga
keris dalam beberapa gaya seperti gaya Cirebon, Surakarta dan Yogyakarta. Mengingat
benda pusaka, sebagian besar benda di situ disimpan dalam lemari kaca agar
tidak dipegang sembarangan. Tidak cuma keris yang disimpan di sini. Ada juga
senjata lain seperti tombak, belati bahkan samurai yang konon berasal dari
Jepang. Benda-benda di sini selain dari penemuan arkeolog, ada juga yang
berasal dari keraton atau masyarakat yang sengaja dititipkan di museum untuk
dilestarikan. Pernah ada yang menitipkan jenglot di sini, tapi kata mbak petugas, sudah diambil lagi oleh yang punya.
Beberapa bentuk keris |
Tombak besar |
Saat aku
asyik melihat-lihat, ada seorang bapak bersama anak kecil datang. Menariknya,
si anak kelihatan antusias memperhatikan benda warisan budaya di sini. Ya,
seperti kata mbak petugas, museum ini cukup baik untuk belajar sejarah. Tidak
jarang, anak-anak sekolah study tour ke sini. Makanya, kalau ada
yang menganggap museum membosankan adalah salah besar.
Mbak petugas
mengantar kami ke ruang yang lain. Di sana terdapat benda-benda lain hasil
temuan arkeolog, khususnya yang ditemukan di sekitar Purworejo. Ada arca Dewa
Siwa dan Dewa Ganesha, ada juga lingga dan yoni, yaitu batuan candi yang
menggambarkan (maaf) alat kelamin pria dan wanita.
Masuk
semakin dalam, aku lihat seperangkat gamelan yang kata mbak petugas adalah
peninggalan Bupati Purworejo pertama. Tak cuma itu, ada juga batu andesit, guci
kuno, alat serpih, fosil kayu, sampai menhir (tugu pemujaan leluhur dari zaman
batu)
Tiba-tiba aku
lihat sesuatu yang aneh, ada batu berbentuk tangan di lemari kaca. Hmm.. apa ini fosil tangan manusia purba?
“Mbak, ini apa?” tanyaku. “Itu patahan arca. Kadang ada arca yang ditemukan
tidak utuh” jawabnya. Aku ketawa geli “Oh, saya kira ini fosil’.
Tak lama,
bapak dan anak tadi keluar dari museum. Aku pun sesudah puas lihat-lihat dan
jepret sana sini, segera pamit pada mbak petugas. Tidak lupa kuucapkan terima
kasih.
Di seberang
museum, angkot jurusan Purworejo-Kutoarjo lewat. Aku langsung menyetop dan
naik. Bukan berarti aku mau ke Kutoarjo lho… aku mau balik lagi ke Plaza
Purworejo.
Udara panas
banget, bikin aku haus berat, biarpun di tas ada air minum. Aku langsung
teringat dawet ireng (hitam) khas Purworejo. Siang begini minum es dawet pasti
nikmat. Sayangnya, aku nggak temukan di daerah pertokoan ini. Terpaksa aku langsung jalan kaki ke arah
Jalan Magelang-Purworejo, menuju destinasi terakhir : Bukit Geger Menjangan.
Tapi hei… di
pinggir jalan aku lihat penjual dawet ireng. Dengan segera, aku pesan ke mas
penjualnya, es dawet semangkuk, minum di sini. Dan nggak pakai lama, terhidang
di depanku. Hmmm… dawet dengan kuah santan dan gula merah, manis dan segarrrr….
Berbeda dengan dawet ayu Banjarnegara, dawet di sini cendolnya berwarna hitam
karena dicampur air abu merang, dicetak tipis-tipis seperti bihun. Harganya
cukup 2500 rupiah saja.
Sesudah itu,
aku jalan lagi menuju bukit Geger Menjangan. Bukit ini letaknya di belakang
kolam renang Artha Tirta. Tepat di tepi jalan Magelang-Purworejo. Kenapa aku ke
sini? Berdasarkan info dari mbah google, di puncak bukit ini ada gardu pandang,
dimana kita bisa lihat kota Purworejo dari atas
Aku sempat
salah masuk, karena di situ ada juga taman kota yang juga dinamai Geger
Menjangan. Biarpun begitu, taman ini juga cukup menarik karena tertata rapi. Orang-orang memanfaatkan taman ini untuk bersantai atau mengajak anak-anak bermain. Aku sempat istirahat sebentar di bangku taman.
Jalan
beberapa puluh meter kemudian, sampailah aku ke kaki bukit. Suasana tampak
sepi. Hanya beberapa orang di warung makan dekat situ. Aku pun membayar 2000
rupiah buat mendaki ke puncak. Sempat tanya ke bapak-bapak di situ “Jauh nggak
pak?”. Dia jawab “Nggak”. Ya, aku pun pede buat masuk dan mendaki.
Perjalanan
diawali dengan jalan setapak lewat rumah-rumah warga. Begitu masuk jalan menuju
puncak, aku disambut puluhan anak tangga.
Aku segera naik, berharap cepat sampai. Ternyata perkiraanku salah. Habis anak
tangga tadi langsung disambung tangga lainnya. Untungnya, jalan di sini sudah
dicor semen, jadi lebih aman. Biarpun begitu, kita tetap harus hati-hati karena
ada anak tangga yang tertutup rerumputan atau daun kering.
Anak tangga yang panjaaaaaang. |
Sudah naik
dan naik, anak tangga tiada habisnya, seakan mendaki gunung tertinggi di dunia.
Aku sudah ngos-ngosan dan berkeringat, tapi gardu pandang nggak kunjung nampak,
hanya hutan bambu dan rumput yang lumayan lebat. Sempat terpikir untuk turun, tapi karena semangat 45 ku
masih ada, aku putuskan lanjut biarpun beberapa kali istirahat.
Sampai
akhirnya aku lihat sebuah bangunan terbuka di atasku, mirip pendopo. Itu dia
gardu pandangnya. Aku pun cepat-cepat naik dan menyelonjorkan kaki. Udara panas
pun berubah jadi angin sepoi-sepoi. Ada sepasang suami istri duduk-duduk di
situ, dengan ramah mereka mengajakku mengobrol.
Hal yang
menarik di situ, kita bisa lihat pemukiman kota Purworejo dari kejauhan.
Pemukiman yang membentang di jalur selatan Jawa terlihat di depan mata. Di
bagian lain, pemandangannya tak kalah
bagus, perbukitan hijau dengan Pegunungan Menoreh di kejauhan.
Sayangnya, gardu pandang ini kurang terawat. Tanah di
sekitarnya juga banyak sampah berserakan. Kalau saja tempat ini dibuat lebih
menarik, mungkin bisa menarik wisatawan dari luar daerah.
Oh....indah pemandangan.... |
Hingga aku
turun setengah jam kemudian, cuma ada tiga pasang muda mudi atau suami istri
yang naik. Ya, mereka berpasangan, cuma aku sendirian yang jomblo. Mungkinkah mereka terinspirasi lagu Bukit Hijau-nya Jayanti Mandasari?. Ah
biarlah, bukan urusanku kok.
Yang penting
buatku, tempat ini bisa jadi potensi wisata kalau dirawat lebih baik. Cocok
buat penggemar hiking, atau yang pengin latihan mendaki gunung.
Dan… saatnya
pulang. Hal yang bisa aku pelajari dari
hari ini : Jangan pernah menganggap suatu daerah tidak ada apa-apa.
Seperti halnya manusia, semua daerah punya potensi masing-masing. Entah itu
dari bidang sejarah, kuliner atau alam, bisa jadi daya tarik asal kita mau
menggali lebih lanjut dan tak lupa melestarikannya. Karena semua adalah wujud kekayaan negeri ini. Setuju?
Tafsir mimpi kelabang oleh mbah jambrong 100% tepat!
BalasHapus