Di
samping Malioboro, ada satu kawasan yang nggak boleh dilewatkan kalau
berkunjung ke Yogyakarta. Ya, tidak bukan dan tidak lain adalah Kotagede, yang berada
di selatan kota Jogja.
Keinginan menjelajahi Kotagede muncul secara tidak sengaja. Tujuan utamaku ke Jogja hari itu sebenarnya mau cari info lowongan kerja di Kantor Pos Besar Yogyakarta. Tapi sesudah membaca sebuah artikel tentang Kotagede, aku jadi tertarik buat datang ke sana.
Nah,
simak perjalananku kali ini.
|
Inilah jalan masuk Kotagede |
Sama sekali nggak sulit buat mencapai ibukota Kerajaan Mataram ini, biarpun sedikit angkutan umum yang masuk daerah itu. Dengan bus Trans Jogja jalur 3A (dari arah Terminal Giwangan) atau 3B (dari arah Bandara Adisucipto), kita turun di Jalan Tegal Gendhu, lalu jalan kaki ke arah timur. Saat kita melihat jembatan Sungai Gajahwong, itulah pintu masuk Kotagede. Tegal Gendhu sendiri adalah "kampung terluar" dari Kotagede.
Banyak
orang sudah tahu, Kotagede dikenal sebagai sentra kerajinan perak bertaraf
internasional. Tak salah lagi, belum sampai di jembatan Gajahwong, sudah banyak
kutemui toko yang menjual kerajinan perak. Dan uniknya lagi, beberapa bangunan
toko memiliki bentuk dan arsitektur khas Jawa tempo dulu. Bangunan tua yang
telah direnovasi hingga tetap berdiri kokoh sebagai peninggalan sejarah dan
budaya. Keeksotisan inilah yang jadi daya tarik buat para pelancong.
|
Resto Omah Dhuwur, bangunannya bergaya tempo dulu |
|
Salah satu pusat kerajinan perak |
Semakin
masuk ke kawasan Kotagede, nuansa Jawa tempo dulu sangat terasa. Mulai dari
rumah, tugu, lampu jalan, sampai papan nama jalan, sebagian besar bergaya
etnik. Memang, sejak beberapa abad silam, Kotagede sudah dikenal sebagai pusat
pertumbuhan di selatan Jogja. Sayang, daerah ini sangat ramai oleh kendaraan
yang lalu lalang, sehingga agak mengurangi kenyamanan.
Sampailah
aku ke Pasar Kotagede. Pusat ekonomi masyarakat ini dinamakan Pasar Legi, yang
konon ramai pada hari pasaran Legi menurut penanggalan Jawa. Namun pada hari
biasa pun, aktivitas jual beli tetap berjalan. Sebuah gardu listrik dari tahun
1900 menjulang di sisi barat pasar. Gardu ini dinamakan Babon Aniem, karena
merupakan gardu induk yang menyalurkan listrik ke seantero Kotagede di masa
itu.
|
Pasar Legi Kotagede |
|
Tugu Babon Aniem |
|
Salah satu sudut pasar |
|
Papan nama jalan bergaya etnik |
Toko-toko
yang menjual kerajinan perak pun bertebaran di mana-mana, khususnya di Jalan
Kemasan (utara pasar) yang merupakan pusat pengrajin perak. Konon, harga yang
ditawarkan mulai dari puluhan ribu rupiah untuk hiasan kecil seperti bros,
hingga jutaan rupiah. Berhubung uang pas-pasan, aku cukup window shopping aja…
hahaha…
|
Salah satu toko kerajinan perak di Jalan Kemasan |
Setelah
semangkuk bakso mengenyangkan perutku siang itu, petualanganku berlanjut ke
Makam Raja-raja Mataram yang letaknya di belakang pasar. Karena hari ini bukan
hari libur, aku berpikir, jangan-jangan pengunjungnya cuma aku sendiri. Tapi
perkiraanku salah. Ada juga beberapa orang lalu lalang. Warung yang menjual
souvenir juga tetap buka. Di tempat yang dinaungi oleh pohon beringin besar ini
juga ada beberapa rumah, yang adalah tempat tinggal para abdi dalem. Abdi dalem
adalah orang-orang yang bertanggung jawab menjaga masjid dan makam di sini.
|
Jalan masuk Makam Raja-raja Mataram |
|
Gerbang masuk bergaya candi |
Aku
pun mencoba memasuki gerbang depan Masjid Agung Kotagede. Uniknya, meski sebuah
masjid, tapi gerbang masuknya lebih mirip candi. Penyebabnya, karena pada waktu itu pengaruh Hindu masih
kuat dalam kebudayaan Jawa. Jadi meskipun agama Islam sudah menjadi agama resmi
dalam kerajaan Mataram, arsitektur bangunan tetap disesuaikan dengan budaya
saat itu, agar proses akulturasi antara agama dan budaya bisa berjalan lancar. Ini jugalah yang diterapkan pada Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah.
Tak perlu terlalu jauh, begitu memasuki gerbang, langsung terlihat masjid dengan bangunan bergaya keraton. Masjid yang dibangun pada tahun 1589 ini adalah salah satu komponen utama kota
kuno Kotagede yang masih bertahan. Meski pernah terbakar dan mengalami
kerusakan, tapi berhasil diperbaiki tanpa mengubah bentuk aslinya.
|
Inilah Masjid Agung Kotagede |
Total
ada tiga gapura bergaya candi yang menjadi akses menuju masjid. Gapura sebelah
selatan adalah gerbang menuju ke makam raja-raja Mataram. Dipicu rasa
penasaran, aku nekat memasuki gapura. Ternyata kita nggak langsung masuk ke
makam. Di dalam area ini masih ada area sebelum memasuki makam. .
Halaman
ini adalah tempat untuk administrasi pengunjung. Beberapa buah pendopo tersedia
di sini, yang fungsinya untuk kegiatan abdi dalem dan persiapan pengunjung yang
mau berziarah. Makam dipisahkan oleh gapura di sebelah barat. Oh ya, demi
menghormati para raja yang sekaligus leluhur keraton, ada hal-hal yang harus
dipatuhi bagi peziarah saat masuk ke makam. Pertama, harus mengenakan pakaian
adat Jawa. Pengunjung bisa menyewa di situ. Kedua, dilarang
memakai perhiasan emas. Ketiga, dilarang memotret di area makam.
|
Salah satu pendopo administrasi |
|
Art shop di dekat pendopo |
Raja-raja
yang dimakamkan di sini adalah Panembahan Senopati (raja Mataram Islam
pertama), Ki Gede Pemanahan (ayah Panembahan Senopati, yang juga pelopor daerah
ini), Panembahan Krapyak (putra Panembahan Senopati), Sri Sultan Hamengkubuwono
II, Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang, dan beberapa keluarga kerajaan
Mataram lainnya.
Kerajaan
Mataram Islam berdiri pada abad ke-16. Dulu, sebelum abad ke-10, di daerah ini
pernah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Namun, peradaban tersebut berpindah ke
Jawa Timur, diduga kuat akibat letusan dahsyat Gunung Merapi tahun 1006. Baru
pada abad ke-16, Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang memberikan daerah yang
sudah menjadi hutan ini kepada Ki Gede Pemanahan, yang selanjutnya dikembangkan
menjadi Kerajaan Mataram Islam. Kini, warisan kerajaan ini dikelola oleh
Keraton Yogyakarta.
Di
pendopo pertama, dua orang abdi dalem atau petugas berpakaian adat Jawa dengan
ramah menyambutku. Tak ada tarif, aku cukup mengisi buku tamu (yang nantinya
sebagai bahan laporan untuk keraton) lalu mengisi kotak sumbangan seikhlasnya. Dari
pendopo itu terlihat gapura menuju halaman kedua. Beberapa bapak-bapak dan
ibu-ibu yang sedang bersembahyang di depan gapura. Karena aku nggak ingin berziarah, petugas menunjukkan
tempat menarik lainnya, yaitu Sendang Selirang.
Dengan
antusias, aku menuruni anak tangga ke arah Sendang Selirang, yang juga
dipisahkan dengan gapura bergaya candi. Di bagian selatan adalah Sendang Putri
untuk perempuan, yang airnya berasal dari pohon beringin di dekat makam. Di
bagian barat Sendang Kakung untuk laki-laki yang airnya dari sumber air di
bawah makam. Bentuknya hampir sama, mata air yang dikelilingi tembok dan pagar.
Kedua mata air ini selain untuk membersihkan diri bagi peziarah, juga untuk
kebutuhan mandi dan mencuci bagi warga sekitar. Yang tak kalah menarik,
sebagian sendang digunakan untuk memelihara ikan, khususnya ikan lele. \
|
Tempat mandi di Sendang Kakung
|
Kolam ikan lele |
|
|
Sumur di dekat Sendang Kakung |
Setelah
puas melihat-lihat, aku meninggalkan tempat itu dengan tidak lupa pamit ke
petugas.
Gang
sempit di luar masjid bikin aku tertarik buat menjelajahinya. Udara panas tak
peduli, yang penting segala yang indah tidak boleh dilewatkan! Ternyata lorong
ini menuju ke pemukiman warga. Banyak rumah warga yang mempertahankan bentuk
joglo atau limas dengan dinding kayu dan pintu besar. Sampai-sampai pos ronda
pun dirancang dengan pakem yang sama. Eksotis tapi menakjubkan.
|
Joglo, atap rumah khas Jawa |
|
Rumah tradisional Jawa, dilengkapi dengan gerbang
|
Lampu kuno di balik tembok makam |
|
Poskamling pun bergaya etnik. Wow! |
|
Sedangkan
di luar tembok makam, di antara rumah warga terdapat Sendang Kemuning, yang
juga masih difungsikan untuk memenuhi kebutuhan air warga sekitar.
Hari
semakin siang, tapi aku belum puas. Aku mengikuti jalan menuju selatan
pasar. Sebuah penunjuk arah bertuliskan
“Watu Gilang” membuatku penasaran. Tempat apakah itu?
Belum
sampai ke Watu Gilang, aku dibuat takjub sama hal lain. Terdapat sebuah gerbang
menuju perkampungan kecil. Bahasa kerennya adalah “Between Two Gates”, karena
terdapat dua gerbang untuk masuk ke daerah ini . Sebuah komplek perumahan dengan arsitektur
joglo yang sudah ada sejak tahun 1840. Rumah-rumah bergaya klasik ini adalah
milik pribadi, namun jarang ditinggali oleh pemiliknya. Untuk berkunjung pun, kita wajib lapor ke
ketua RT.
|
Between Two Gates |
|
Bagian dalam Between Two Gates |
|
Reruntuhan benteng Cepuri |
Nggak
jauh dari Between Two Gates, kita juga bisa temukan reruntuhan benteng Cepuri,
tepatnya di mulut sebuah gang. Unik banget, ada benteng di tengah pemukiman.
Benteng ini dulunya menjadi tembok pertahanan bagi kerajaan Mataram.
Ternyata
Watu Gilang adalah situs bebatuan yang diyakini adalah singgasana Panembahan
Senopati. Tidak cuma itu, di sini tersimpan juga Watu Gatheng, bola batu yang
merupakan mainan Raden Rangga (putra Panembahan Senopati) dan Watu Genthong
yang adalah tempat air wudhu Panembahan Senopati. Sayang, kita nggak bisa lihat
langsung. Benda-benda tersebut disimpan dalam sebuah bangunan tertutup, yang
hanya bisa dibuka dengan izin ke petugas di makam Hastorenggo. Makam
Hastorenggo terletak di dekat situ. Tempat ini adalah komplek makam dari
keluarga Sultan Hamengkubuwono VIII.
|
Penjelasan tentang situs Watu Gilang |
|
Makam Hastorenggo, milik keluarga Sultan Hamengkubuwono VIII |
Dalam perjalanan pulang ke Halte Tegal Gendhu, aku sengaja memilih jalan berseberangan dengan waktu berangkat tadi. Tujuanku biar bisa lihat lebih dekat rumah-rumah besar di jalan masuk Kotagede tadi. Memang, seperti kuceritakan di awal, baik rumah, art shop maupun restoran di sini banyak yang bergaya tempo dulu.
|
Kafe dengan desain yang unik |
Seharian
itu kamera HPku nggak berhenti menjepret sana sini. Mengabadikan segala hal eksotis,
yang belum tentu kutemui di daerah lain. Warisan sejarah dan budaya tetap
terjaga di Kotagede meski arus modernisasi bermunculan. Mungkin kalau aku
telusuri dari kampung ke kampung, masih banyak pemandangan menarik di sini.
Sayang, waktu jugalah yang membatasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar