Setelah
semalam diguyur hujan lebat, pagi itu suasana Magelang cukup cerah. Aku
mengayuh sepedaku menuju area Kuliner Mertoyudan. Ya, hari ini komunitas Kota
Toea Magelang mengadakan acara bertajuk Djeladjah Djaloer Spoor 5. Rencananya,
rute yang akan kami lewati sejauh 10 km, mulai dari Stasiun Mertoyudan hingga
Stasiun Blabak.
Oh
ya, perjalananku kali ini spesial, karena aku ditemani sahabatku yang paling
imut, David. Aku berhasil meyakinkan dia buat ikutan, biarpun semalam dia
sempat mau batal karena kota Salatiga hujan deras. David pun mengajak
sepupunya, namanya Citra.
Bersiap jelajah : aku, Citra dan David |
Tepat
jam 08.00, bersama 112 peserta lainnya, kami berangkat menuju Stasiun
Mertoyudan. Letaknya di tepi Jalan Raya Magelang-Jogja, nggak jauh dari Kuliner Mertoyudan tadi.
Bangunan
stasiun ini masih berdiri kokoh. Masih terlihat ciri bangunan bergaya tahun
1950-an, yaitu lubang angin yang besar. Sejak ditutupnya jalur kereta api
Magelang-Jogja, tempat ini sempat digunakan sebagai kantor PDAM, sebelum
akhirnya tidak difungsikan lagi. Oo… tapi kami harus cukup puas melihat bagian
depan. Pintu stasiun terkunci rapat dan nggak berpenghuni.
Koordinator
komunitas, Mas Bagus menunjukkan beberapa foto kenangan stasiun-stasiun di
Magelang. Para peserta pun mendengarkan penjelasannya dengan seksama. Aku mengabadikan
momen dengan kamera HPku, sementara David menyaksikan di belakangku. Citra?
Wow, dia antusias banget merekam penjelasan dari mas Bagus!
Bangunan Stasiun Mertoyudan, bergaya tahun 1950-an |
Mas Bagus (pegang toa), sedang menjelaskan sejarah kereta api di Magelang |
Jalur
kereta api Magelang-Jogja adalah jalur bersejarah yang dibangun sekitar tahun
1893. Dan Stasiun Mertoyudan ini adalah salah satu stasiun utama, khususnya
untuk daerah Kabupaten Magelang.
Di
kota Magelang sendiri, stasiun terbesar adalah Stasiun Kebonpolo. Dari sinilah
kereta api tenaga uap (yang dalam bahasa Jawa disebut sepur kluthuk), mengawali
perjalanan menuju Jogja. 1 km dari daerah itu ada Halte Alun-alun, dan
berikutnya adalah Stasiun Magelang Pasar, yang kini menjadi Pertokoan
Rejotumoto. Dari situ, jalur terus bersambung menuju Stasiun Mertoyudan yang
kami kunjungi ini.
Sebenarnya,
sebelum Stasiun Mertoyudan, terdapat Halte Banyurojo, yang disebut juga Stasiun
Lembah Tidar. Tapi stasiun kecil ini hanya diperuntukkan bagi penumpang dari
Akademi Militer, khususnya para taruna yang akan pergi ke Jogja. Keretanya pun
khusus, namanya Taruna Ekspres.
Menariknya,
zaman dulu, jalur kereta api ini cuma punya satu lajur rel. Jadi tidak ada yang
namanya persilangan. Kereta yang akan menuju Jogja wajib menyesuaikan jadwal
dengan kereta dari arah sebaliknya. Akibat kondisi ini, pernah terjadi
kecelakaan mengerikan. Seperti apa? Nanti akan dijelaskan.
Sayangnya,
jalur ini ditutup pada tahun 1976, akibat ambruknya Jembatan Krasak di daerah
Tempel. Penyebab lainnya, jumlah penumpang yang menurun karena jalan raya yang
semakin ramai. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, sepur kluthuk sudah diganti
dengan kereta diesel.
Berhubung
hari mulai siang, kami tidak berlama-lama di Stasiun Mertoyudan. Kami berjalan
lagi ke selatan, memasuki perkampungan yang dinamakan Pasar Anyar. Baru tahu
aku, kalau jalur kereta di daerah ini bukan lurus mengikuti jalan raya
sekarang, tapi belok-belok menyesuaikan dengan kontur tanahnya. Kalau lurus,
bahaya buat kereta api, soalnya di jalan raya sana lahannya agak menurun.
Di
daerah Pasar Anyar ini masih ditemui sisa-sisa rel kereta, biarpun sebagian
besar sudah terpendam. Ada juga yang menggantung di permukaan karena tanahnya
amblas. Tiang sinyal dan lampu perlintasan juga masih berdiri di antara kabel
listrik.
Lampu perlintasan dan bekas jalur rel |
Rel kereta yang menggantung di permukaan tanah |
Kembali
ke jalan raya, kami menyeberang ke arah Danurejo. Jalan beberapa ratus meter
dari situ, lalu berbelok ke area persawahan! Nggak ada jalan lain, kami harus
lewat satu persatu di pematang sawah, di antara tanaman padi yang lebat. Beberapa
kali ada insiden terpeleset, termasuk aku sendiri. Hehehe… untung nggak luka.
Cuma karena takut jatuh lagi, aku semakin hati-hati pegangan daun padi. Maaf ya
pak tani, padinya kupetik lebih awal.
Setelah
hampir nyerah, sampailah aku dan kawan-kawan ke sebuah halaman rumah, yang
ternyata eks rumah dinas kepala stasiun. Pemilik rumah, Bu Sri, sudah
menyediakan hidangan buat rombongan kami. Ada ketan lupis, kacang rebus dan ubi
rebus yang langsung kami serbu.
Rumah dinas Kepala Stasiun Blondo |
Ketan lupis, ubi rebus dan kacang rebus. Khusus dibuat oleh Bu Sri untuk KTM |
Sambil
menikmati hidangan, kami beranjak sebentar ke Stasiun Blondo. Lagi-lagi
perkiraanku tentang Stasiun Blondo salah. Bangunan stasiun ini ternyata berada
di tengah-tengah perkampungan, tepat di samping rumah Bu Sri, bukan di tepi
jalan raya seperti dugaanku dulu.
Terpampang sebuah bagunan yang masih asli, baik dinding maupun kayu-kayunya. Saat ini dimanfaatkan sebagai
rumah tinggal oleh Pak Muhni Atmaja, mantan pegawai Pemkab Magelang. Sebagian
bangunan lagi digunakan untuk usaha pijat tradisional. Menariknya, Pak Muhni
adalah salah satu saksi hidup kecelakaan kereta api di jembatan Blondo pada
zaman Jepang. Dan Bu Sri yang tadi menjamu kami adalah cucu dari masinis yang
juga menjadi korban dalam tragedi itu.
Dengan
ramah Pak Muhni menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu.
Trayek
kereta api di Magelang dibangun sekitar tahun 1893. zaman dulu dikelola oleh
Nederland Indie Spoorweg (NIS). Jalur sepanjang 120 km ini membentang dari
Jogja hingga Kedungjati, Kabupaten Grobogan. Sesudah itu, pada tahun 1905,
dibuat juga jalur Secang-Parakan.
Pak
Muhni sempat menunjukkan buku Kembang Setaman terbitan tahun 1935 yang
menceritakan perjalanan dari Magelang ke Jogja. Tapi karena berhuruf Jawa
(hanacaraka), beberapa dari kami sulit membacanya.
Pada
tahun 1943, ketika tentara Jepang mulai masuk ke Magelang, terjadilah
misscomunication jadwal antara Stasiun Mertoyudan dengan Stasiun Blabak,
sehingga kereta api dari arah berlawanan sama-sama berangkat. Padahal waktu itu
tidak ada jalur persimpangan. Akibatnya terjadilah tabrakan kereta api di
Jembatan Blondo. Korban pun berjatuhan dalam jumlah besar. Tragisnya, di antara
korban ada rombongan pelayat yang membawa jenazah seorang warga Tionghoa. Ada
juga gerbong pengangkut beras yang turut hancur dan muatannya berserakan.
Sejak
peristiwa itu, dibuatlah stasiun baru di daerah Japunan, yang khusus melayani
persilangan antar kereta. Sementara, di
daerah Secang, dibuat tiga persimpangan.
Mas
Bagus juga menunjukkan beberapa foto repro tentang kecelakaan tadi. Foto-foto
tersebut diambil setelah semua korban sudah dievakuasi. Namun karena keadaan
sudah berubah, sulit diketahui arah utara-selatan dari foto itu. Terlihat jelas
gerbong kereta yang hancur dan tercebur ke Sungai Elo, serta warga sekitar yang
melihat dari atas jembatan. Ada juga tim penyelamat yang menyisihkan
karung-karung beras yang berserakan.
Pak Muhni menjelaskan tentang kereta api tempo dulu |
Mas Bagus menunjukkan foto kecelakaan kereta api |
Sebagian "kerabat" KTM di depan Stasiun Blondo |
Kapan lagi bisa foto di tempat seperti ini? |
"Daput api", tempat pembakaran batu bata |
Jalur kereta di daerah ini sebenarnya berbentuk letter U, yang nantinya berakhir di jembatan Sungai Elo. Namun, kami tidak melewatinya secara utuh, atau bisa dibilang cuma lewat pinggirannya saja, soalnya medannya sangat berat.
Berbelok
ke Kampung Kauman, di sana kami akan menemui narasumber lain, yang juga saksi mata dari kecelakaan tadi, namanya Mbah Khomsin.
Maka, di halaman rumah Mbah Khomsin yang terletak sekitar 100 meter dari jembatan Sungai Elo, kami berhenti. Sejenak menyelonjorkan kaki sambil mendengarkan cerita beliau.
Mbah Khomsin adalah warga asli daerah ini. Beliau menjelaskan tentang kronologis kecelakaan itu. Di mana suara tabrakan kereta terdengar sampai jauh, muatan kereta yang terpaksa harus diangkat dengan katrol, hingga organisasi pemuda zaman Jepang yang menjadi sukarelawan menolong para korban. Sayangnya, karena aku sudah lelah, lagipula kurang paham bahasa Jawa kromo yang beliau gunakan, aku sulit "menangkap" cerita selanjutnya.
Selepas dari rumah Mbah Khomsin, kembali kami harus blusukan ke kebun yang lebat. Jarak yang dekat terasa makin jauh aja. Sampai-sampai aku berpikir, kenapa ya orang zaman dulu membangun rel kereta di tempat seperti ini? Hehehe... Untunglah, tak lama kemudian jalan raya kembali menyambut kami. Ternyata kami ada di dekat jembatan Sungai Elo, yang biasanya aku lewati kalau menuju ke Jogja. Ada tiga jembatan di jalan ini. Dua jembatan baru, dibangun beberapa tahun lalu untuk lalu lintas jalan raya. Satu lagi, letaknya lebih rendah adalah bekas jembatan kereta api. Masih kokoh, biarpun besi-besinya sudah berkarat. Dan jembatan ini adalah saksi bisu dua kecelakaan besar. Pertama, kecelakaan kereta api yang dijelaskan tadi. Kedua, tahun 1980-an pernah juga terjadi kecelakaan bus dengan minibus di tempat ini. Kecelakaan yang kedua ini juga cukup mengerikan, sampai-sampai di dekat sini pernah dibuat monumen kecelakaan dengan jargon "Jangan Menyusul Musibah Kami".
Usut punya usut, ternyata lokasi kecelakaan kereta itu bukan tepat di jembatan Sungai Elo ini, tapi beberapa puluh meter ke selatan. Ya, sebuah jurang yang kini banyak ditumbuhi pepohonan dan rumput lebat adalah tempatnya. Sebagian dari kami, termasuk David dan Citra, memberanikan diri turun ke bawah. Aku? Seperti biasa aku nggak bisa melawan acrophobia, jadi aku dengan beberapa peserta lain menunggu di atas, tepatnya di depan rumah seorang warga, namanya Mas Sodik. Sebenarnya Mas Sodik bukanlah saksi peristiwa itu, tapi karena sudah lama tinggal di sini, beliau tahu banyak.
Di sekitar situ, aku lagi-lagi menemukan pemandangan langka. Sawah dengan padi yang sudah menguning dan ladang, yang aku nggak tahu tanaman apa, terlihat hijau menyejukkan mata. Maka, selagi rombongan peserta duduk-duduk di depan rumah Mas Sodik, aku bersama David dan Citra asyik berfoto sambil bersantai.
Ayo jalan lagi! Rombongan berbelok ke belakang rumah Mas Sodik. Dan sekali lagi, kami harus lewat kebun pisang dan sawah. Oo... lemas aku. Rupanya jalur kereta memang berputar ke sini, terbukti dengan adanya rel dan jembatan yang sudah lapuk di antara rerumputan. Saking ekstrimnya sampai aku beberapa kali harus ngesot atau pegangan rumput. Tapi biarpun beberapa kali hampir jatuh, lumayan puas juga, karena aku bisa lihat suasana pedesaan. Bapak dan ibu tani yang sedang memanen padi. Hm... mengingatkanku pada sebuah lagu.
Waktu potong padi di tengah sawah
Sambil bernyanyi riuh rendah
Memotong padi semua orang
Sedari pagi sampai petang
Memotong padi sambil bersuka
Tolonglah kami bersama-sama
Pemandangan langka ini tidak boleh dilewatkan! Sambil bersenandung, aku menjepretkan kamera beberapa kali. Sayangnya, smartphoneku kehabisan batere, jadi aku terpaksa memotret pakai HP lamaku. Biarpun asyik, tetap harus hati-hati, karena jalan sempit dan melewati saluran irigasi.
Potong padi ramai-ramai di sawah.
Ani-ani dikerjakan semua
Bila tiba waktunya
Marilah kita pulang bersama
Jalan agak terjal waktu kami sampai di depan rumah penggergajian kayu. Kalau kita pernah lihat meja atau patung yang terbuat dari akar pohon, di sinilah salah satu lokasi pengolahannya. Suasananya sangat alami, di tengah rimbunan rumput.
Syukurlah, nggak lama kemudian, kami balik lagi ke Jalan Raya Magelang-Blabak. Sesudah istirahat sebentar di Indomaret, kami menuju Stasiun Blabak.
Stasiun Blabak letaknya 1 km dari situ. Sebuah bangunan dari tahun 1898, yang tidak terlalu besar, dengan dinding dilabur semen, dan pintu serta jendela bergaya tempo dulu. .Lokasinya sangat strategis, karena sejajar dengan pabrik kertas Blabak yang terkenal itu. Sisa rel masih membentang di pinggir jalan raya, menunjukkan betapa kuatnya jalur kereta zaman dulu.
Saat ini, PT KAI menyewakan tempat ini sebagai warung makan. Tak banyak yang bisa dilihat di sini, jadi kami langsung menuju destinasi terakhir : Pemandian Mudal. Mudal dalam bahasa Jawa berarti meluap.
Ya, ternyata 1 km di belakang Stasiun Blabak, berdiri sebuah pemandian. Tempat ini adalah sebuah mata air yang telah berdiri sejak zaman Belanda. Terdiri dari satu kolam besar dan satu kolam kecil. Dilengkapi juga sebuah bangunan semacam pendopo, sehingga pengunjung bisa beristirahat. Eits, tapi jangan salah, air kolamnya bukanlah air hangat belerang seperti di Candi Umbul. Justru, di sini airnya sejuk.
Maka, sambil menikmati hidangan spesial kupat tahu Blabak, kami asyik bersantai di tepi kolam. Siang itu, terlihat beberapa anak kecil asyik berenang. Tapi rombongan kami tidak ada yang berani mencebur, cukup merendam kaki saja.
Bukan main sejuknya saat aku mencelupkan kakiku. Rasa pegal langsung hilang. Pengin mandi sebenarnya, tapi kuurungkan, selain malu juga karena airnya lumayan dalam, hampir 3 meter. Ikan lele berukuran kecil terlihat hilir mudik. Wah, seandainya tempat ini dikembangkan seperti Umbul Ponggok di Klaten pasti keren banget!
Tak lama, David dan Citra mengajakku pulang. Maka, kami pun bersiap meninggalkan tempat itu. Di jalan, kami asyik bercerita dengan pengalaman tadi. Pengalaman pertama buat kedua temanku itu, jalan kaki sejauh 10 km! Sambil belajar sejarah lagi. So, sampai jumpa Kota Toea Magelang! Kapan-kapan lagi ya...
Maka, di halaman rumah Mbah Khomsin yang terletak sekitar 100 meter dari jembatan Sungai Elo, kami berhenti. Sejenak menyelonjorkan kaki sambil mendengarkan cerita beliau.
Di depan rumah Mbah Khomsin |
Mbah Khomsin adalah warga asli daerah ini. Beliau menjelaskan tentang kronologis kecelakaan itu. Di mana suara tabrakan kereta terdengar sampai jauh, muatan kereta yang terpaksa harus diangkat dengan katrol, hingga organisasi pemuda zaman Jepang yang menjadi sukarelawan menolong para korban. Sayangnya, karena aku sudah lelah, lagipula kurang paham bahasa Jawa kromo yang beliau gunakan, aku sulit "menangkap" cerita selanjutnya.
Selepas dari rumah Mbah Khomsin, kembali kami harus blusukan ke kebun yang lebat. Jarak yang dekat terasa makin jauh aja. Sampai-sampai aku berpikir, kenapa ya orang zaman dulu membangun rel kereta di tempat seperti ini? Hehehe... Untunglah, tak lama kemudian jalan raya kembali menyambut kami. Ternyata kami ada di dekat jembatan Sungai Elo, yang biasanya aku lewati kalau menuju ke Jogja. Ada tiga jembatan di jalan ini. Dua jembatan baru, dibangun beberapa tahun lalu untuk lalu lintas jalan raya. Satu lagi, letaknya lebih rendah adalah bekas jembatan kereta api. Masih kokoh, biarpun besi-besinya sudah berkarat. Dan jembatan ini adalah saksi bisu dua kecelakaan besar. Pertama, kecelakaan kereta api yang dijelaskan tadi. Kedua, tahun 1980-an pernah juga terjadi kecelakaan bus dengan minibus di tempat ini. Kecelakaan yang kedua ini juga cukup mengerikan, sampai-sampai di dekat sini pernah dibuat monumen kecelakaan dengan jargon "Jangan Menyusul Musibah Kami".
Jembatan kereta api di atas Sungai Elo. |
Usut punya usut, ternyata lokasi kecelakaan kereta itu bukan tepat di jembatan Sungai Elo ini, tapi beberapa puluh meter ke selatan. Ya, sebuah jurang yang kini banyak ditumbuhi pepohonan dan rumput lebat adalah tempatnya. Sebagian dari kami, termasuk David dan Citra, memberanikan diri turun ke bawah. Aku? Seperti biasa aku nggak bisa melawan acrophobia, jadi aku dengan beberapa peserta lain menunggu di atas, tepatnya di depan rumah seorang warga, namanya Mas Sodik. Sebenarnya Mas Sodik bukanlah saksi peristiwa itu, tapi karena sudah lama tinggal di sini, beliau tahu banyak.
Di jurang inilah lokasi kecelakaan itu |
Di sekitar situ, aku lagi-lagi menemukan pemandangan langka. Sawah dengan padi yang sudah menguning dan ladang, yang aku nggak tahu tanaman apa, terlihat hijau menyejukkan mata. Maka, selagi rombongan peserta duduk-duduk di depan rumah Mas Sodik, aku bersama David dan Citra asyik berfoto sambil bersantai.
Padi yang telah menguning, siap dituai |
Benar-benar melintas alam |
Jembatan rel tua yang sudah lapuk |
Ayo jalan lagi! Rombongan berbelok ke belakang rumah Mas Sodik. Dan sekali lagi, kami harus lewat kebun pisang dan sawah. Oo... lemas aku. Rupanya jalur kereta memang berputar ke sini, terbukti dengan adanya rel dan jembatan yang sudah lapuk di antara rerumputan. Saking ekstrimnya sampai aku beberapa kali harus ngesot atau pegangan rumput. Tapi biarpun beberapa kali hampir jatuh, lumayan puas juga, karena aku bisa lihat suasana pedesaan. Bapak dan ibu tani yang sedang memanen padi. Hm... mengingatkanku pada sebuah lagu.
Waktu potong padi di tengah sawah
Sambil bernyanyi riuh rendah
Memotong padi semua orang
Sedari pagi sampai petang
Memotong padi sambil bersuka
Tolonglah kami bersama-sama
Terima kasih Bapak dan Ibu Tani |
Pemandangan langka ini tidak boleh dilewatkan! Sambil bersenandung, aku menjepretkan kamera beberapa kali. Sayangnya, smartphoneku kehabisan batere, jadi aku terpaksa memotret pakai HP lamaku. Biarpun asyik, tetap harus hati-hati, karena jalan sempit dan melewati saluran irigasi.
Potong padi ramai-ramai di sawah.
Ani-ani dikerjakan semua
Bila tiba waktunya
Marilah kita pulang bersama
Memanen padi tanpa kenal lelah |
Jalan agak terjal waktu kami sampai di depan rumah penggergajian kayu. Kalau kita pernah lihat meja atau patung yang terbuat dari akar pohon, di sinilah salah satu lokasi pengolahannya. Suasananya sangat alami, di tengah rimbunan rumput.
David di depan rumah pengolahan kayu |
Stasiun Blabak |
Stasiun Blabak letaknya 1 km dari situ. Sebuah bangunan dari tahun 1898, yang tidak terlalu besar, dengan dinding dilabur semen, dan pintu serta jendela bergaya tempo dulu. .Lokasinya sangat strategis, karena sejajar dengan pabrik kertas Blabak yang terkenal itu. Sisa rel masih membentang di pinggir jalan raya, menunjukkan betapa kuatnya jalur kereta zaman dulu.
Saat ini, PT KAI menyewakan tempat ini sebagai warung makan. Tak banyak yang bisa dilihat di sini, jadi kami langsung menuju destinasi terakhir : Pemandian Mudal. Mudal dalam bahasa Jawa berarti meluap.
Ya, ternyata 1 km di belakang Stasiun Blabak, berdiri sebuah pemandian. Tempat ini adalah sebuah mata air yang telah berdiri sejak zaman Belanda. Terdiri dari satu kolam besar dan satu kolam kecil. Dilengkapi juga sebuah bangunan semacam pendopo, sehingga pengunjung bisa beristirahat. Eits, tapi jangan salah, air kolamnya bukanlah air hangat belerang seperti di Candi Umbul. Justru, di sini airnya sejuk.
Pendopo depan Pemandian Mudal |
Kolam utama Pemandian Mudal |
Maka, sambil menikmati hidangan spesial kupat tahu Blabak, kami asyik bersantai di tepi kolam. Siang itu, terlihat beberapa anak kecil asyik berenang. Tapi rombongan kami tidak ada yang berani mencebur, cukup merendam kaki saja.
Bukan main sejuknya saat aku mencelupkan kakiku. Rasa pegal langsung hilang. Pengin mandi sebenarnya, tapi kuurungkan, selain malu juga karena airnya lumayan dalam, hampir 3 meter. Ikan lele berukuran kecil terlihat hilir mudik. Wah, seandainya tempat ini dikembangkan seperti Umbul Ponggok di Klaten pasti keren banget!
Tak lama, David dan Citra mengajakku pulang. Maka, kami pun bersiap meninggalkan tempat itu. Di jalan, kami asyik bercerita dengan pengalaman tadi. Pengalaman pertama buat kedua temanku itu, jalan kaki sejauh 10 km! Sambil belajar sejarah lagi. So, sampai jumpa Kota Toea Magelang! Kapan-kapan lagi ya...
Thank you Kota Toea Magelang! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar