Jumat, 13 April 2018

My First Backpacker (Part 7 - Habis) : Mampir Sebentar Ke Blitar



Bukit-bukit di selatan Jawa Timur



Pagi yang cerah menemaniku menuju kota Blitar.  Dari jendela nampak pemandangan yang sama dengan yang kulihat saat datang kemarin. Bedanya, kali ini terasa lebih menyejukkan hati. Kehangatan sinar matahari menembus bukit dan hutan. Bendungan Karangkates dan pedesaan di selatan Jawa Timur seakan membawa kedamaian. Oh  indahnya pagi ini… (lagi-lagi puitis)


Perkebunan di pagi hari



Pagiku indah... hariku cerah
T'rima kasih, Kau limpahkan berkat
Ketika gundah... hati gelisah
PadaMu... ku berserah
Aku bernyanyi... aku memuji.... aku bersyukur
Anug'rahMu terus mengucur
Alam elok bercanda
Sukacita bersama sesama
Terima kasih Tuhan......




Stasiun Talun, Kabupaten Blitar

Kereta api Penataran tidak terlalu penuh. Kebanyakan penumpangnya adalah orang-orang yang baru pulang liburan sepertiku. Uniknya, sesampai di Blitar nanti, kereta ini berganti nama menjadi Rapih Dhoho jurusan Blitar-Surabaya via Jombang. Jadi jangan heran kalau ada penumpang yang bilang mau ke Kediri atau Kertosono. Tiketnya terusan, jadi di Blitar mereka nggak perlu turun buat  beli tiket lagi.
Buat aku sendiri, naik kereta ini bikin betah. Seandainya nggak dikejar waktu, pengin rasanya kereta ini berjalan lebih lambat. Sesudah berhenti di beberapa stasiun kecil, sampailah KA Penataran ke Stasiun Blitar. Ah, dua setengah jam terasa berlalu begitu cepat.

Sampai juga di Blitar
Stasiun Blitar

Aku turun dengan membawa ransel, tas selempang dan satu tas kresek besar berisi oleh-oleh. Hal pertama yang harus kulakukan tentu saja mencetak tiket. Daripada nanti-nanti keburu penuh antriannya.
Sebagai kota kelahiran Ir. Soekarno atau Bung Karno, tentu saja Blitar memiliki sejumlah memorial tentang sang Proklamator tersebut. Bahkan, di dinding ruang tunggu stasiun terpampang foto besar Bung Karno sedang sungkem kepada ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, dengan disaksikan sang kakak, Soekarmini. Foto ini sangat istimewa karena menggambarkan sikap Bung Karno sebagai anak yang berbakti pada orang tuanya. Meski sudah menjadi orang nomor satu di negara ini, beliau tidak lupa pada jasa ibunya, bahkan rela menempuh perjalanan Jakarta-Blitar dengan kereta api demi berkunjung dan sungkem terhadap sang ibu. Dalam diri Ida Ayu Nyoman Rai juga tersimpan kekuatan doa seorang ibu. Saat Bung Karno kecil, sang ibu pernah mendoakan “Sang Putra Fajar” tersebut agar menjadi pemimpin besar di negeri ini.

Foto Bung Karno sungkem pada ibunya
Memorial foto-foto Bung Karno saat berada di Blitar


Ada juga foto Bung Karno bersama sang ayah, serta beberapa foto kenangan lainnya berikut beberapa penjelasan. Menarik sekali.
Makam Bung Karno terletak sekitar 3 km dari stasiun. Tak ketinggalan Istana Gebang, rumah masa kecil beliau yang jaraknya 2 km dari stasiun. Sayangnya, waktu yang terbatas ditambah barang bawaan seabrek nggak memungkinkan buatku berkunjung ke sana.
Akhirnya, aku  memilih jalan ke Alun-alun Blitar, yang nggak jauh dari sini. Lalu lintas di Blitar lebih lengang daripada Malang, jadi aku lebih leluasa. Biarpun agak risih juga kalau dilihat orang, gara-gara aku bawa tas berat-berat.

Suasana jalan di Blitar

Alun-alun Blitar ada di Jalan Merdeka. Sebuah lapangan besar dikelilingi pagar dengan pohon-pohon rindang. Seperti alun-alun pada umumnya, ada pohon beringin di bagian tengah.
Udara siang itu sangat panas. Butuh yang seger-seger? Nggak perlu kuatir, ada penjual es pleret di luar alun-alun. Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke sebuah warung tenda dan pesan minuman khas Blitar itu. Oh ya, pleret itu sejenis olahan tepung kanji yang dipadatkan dan diiris-iris. Penyajiannya dicampur cendol dan kuah gula merah campur santan. Dikasih es batu atau es serut… wuih segarrr. Biarpun sederhana tapi lumayan buat sejenak melepas lelah. Selain es pleret, di  warung sini juga dijual kerupuk warna warni dari tepung kanji.

Pohon beringin di tengah alun-alun

Es pleret, pelepas dahaga khas Blitar

Setelah mengitari alun-alun, sebenarnya aku mau langsung pulang. Tapi aku lihat di seberangnya ada sebuah taman dengan tulisan besar : Taman Pecut Kota Blitar. Sudah pasti aku tergoda buat ke sana.
Maka, cukup dengan menyeberang jalan, aku masuk ke taman itu. Ternyata Taman Pecut ini adalah salah satu ikon kota Blitar. Ada monumen berbentuk tangan memegang cambuk, atau disebut pecut dalam bahasa Jawa. Lambang ini berasal dari cerita rakyat Blitar, yaitu Pecut Samandiman, senjata milik Adipati Blitar untuk melindungi warga dari letusan Gunung Kelud.
Taman ini ditata dengan apik. Ada gazebo, kursi taman, sampai toilet yang bebas digunakan pengunjung. baru diresmikan beberapa bulan lalu. Tapi sudah jadi daya tarik tersendiri bagi warga. Siang itu ada beberapa orang tua dan anak-anak asyik berfoto atau sekedar santai. Aku sendiri tidak bisa lagi menahan hasrat berfoto. Kuletakkan barang-barangku, kubuka jaketku, lalu asyik selfie dan jeprat-jepret sana sini. Beberapa orang melihatku dengan heran, tapi aku nggak peduli, memang beginilah diriku. Segala yang indah tidak boleh dilewatkan, itu sloganku.

Pecut, lambang kota Blitar


Yeah, this is Blitar
Hayo... berani melawan?

Santai sejenak 

Matahari hampir di atas kepala saat aku merasa cukup untuk berfoto dan santai sebentar. Aku kembali mengangkat tas-tasku menuju stasiun. Kereta api Kahuripan segera berangkat jam 12.10. Mulai duduk di ruang tunggu stasiun, hingga naik ke kereta api, aku asyik memandangi foto-foto yang telah kubuat. Puas sekali aku. My first backpacker has ended perfectly.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar