Kota batik di Pekalongan
Bukan Jogja, bukan Solo
Gadis cantik jadi pujaan
Jangan bejat, jangan bodo
Februari
2018…
Dari
pengalamanku travelling, perjalanan dengan kereta api adalah yang paling menyenangkan
buatku. Nggak seperti angkutan darat lainnya yang suka ngetem sembarangan atau
pasang tarif seenaknya, waktu dan tempat naik kereta terjadwal dengan baik. Itu
sebabnya, beberapa rute kereta api bikin aku penasaran ingin mencobanya.
Kali
ini untuk pertama kalinya aku mencoba naik kereta api di jalur Pantura. Dengan
segala perhitungan, terutama soal waktu, aku memilih Pekalongan sebagai tujuanku.
Kereta yang kupilih juga tarif termurah, maklum kantong tipis. Lewat Traveloka,
aku tentukan semuanya.
Cuaca
di langit kota Semarang kurang bersahabat. Baru jam 10 pagi, tapi sudah hujan
deras. Begitu turun dari bus, air banjir di Kaligawe sudah mencapai betisku.
Aku nggak peduli, mau banjir sepinggang juga biar, yang penting tetap
berangkat. Dengan rasa deg-degan takut ketinggalan kereta, aku pesan GoCar.
Untungnya, aku sampai di Stasiun Tawang tepat waktu.
Nggak
ada waktu lagi buat duduk santai di stasiun, aku segera cetak tiket. Tak lama,
KA Kamandaka datang diiringi lagu Gambang Semarang, ciri khas stasiun ini. Aku
langsung check in dan naik ke kereta.
Kereta api Kamandaka di Stasiun Tawang |
Bagian dalam KA Kamandaka |
KA
Kamandaka ini jurusan Semarang-Purwokerto, tapi seperti kusebutkan di atas, aku
mau turun di Pekalongan. Begitu naik, aku takjub karena kereta ini masih sepi.
Cuma sekitar 15 orang di dalam gerbong. Sengaja aku pilih tempat nomor 1 di
gerbong paling belakang. Tepat jam 11.00 kereta berangkat.
Ah,
ternyata kelegaan ini pecah begitu sampai di Stasiun Poncol. Penumpang yang
naik berjubel, dalam sekejap nggak ada lagi kursi kosong. Malah di depanku, ada
2 orang mahasiswi dan seorang bapak yang naik, barang bawaan mereka setumpuk.
Yah… aku berusaha jangan sampai protes, lagipula apa gunanya, toh aku juga
penumpang. Kualihkan saja pandanganku ke luar jendela.
Kereta
melaju ke sebelah barat kota Semarang. Muara banjir kanal, tambak, hingga jalan
sekitar pelabuhan jadi pemandangan awal. Daerah Semarang Utara memang dekat
dengan laut, maka nggak heran jika sering banjir seperti tadi.
Perhentian
berikutnya adalah Stasiun Weleri. Di sini berhentinya setengah jam, jadi
penumpang boleh turun sebentar. Kebanyakan yang turun adalah bapak-bapak. Ada
yang sholat Zuhur, ada yang merokok, ada juga yang sekedar nongkrong di
stasiun. Aku? Jelas aku punya “acara sendiri”. Jalan keliling dari ujung ke
ujung stasiun, nggak lupa sambil foto-foto.
Stasiun
Weleri tidak terlalu besar. Tapi selalu ada hal menarik buatku. Jalan di
sekitar rel masih berupa tanah dan penuh batu kerikil. Belum lagi banyak
genangan air bekas hujan tadi. Maka aku harus hati-hati berjalan, bisa gawat
kalau nyungsep.
Stasiun Weleri |
Pose di depan bantalan rel |
Besi
bantalan rel yang ditumpuk di pinggir jalan juga menarik perhatianku. Tidak
kuketahui fungsinya, apakah sisa pembangunan jalur ganda, atau apa. Yang jelas,
selain jumlahnya tidak banyak, besi-besi itu dibiarkan saja kena air hujan.
Lanjut!
Selepas Kabupaten Kendal, suasana berpindah ke Alas Roban, hutan terbesar di
jalur Pantura. Lagi asyik memandangi pohon-pohon lebat, tiba-tiba sebuah pemandangan
spektakuler terpampang jelas. Yang baru pertama kali lihat pasti terpesona.
Apa
itu? Beberapa kali jalur kereta berada di tepi pantai! Terlihat jelas panorama
Laut Jawa dengan ombak berdebur. Warna airnya kecoklatan, bukan biru. Bahkan
pernah air laut seolah-olah ada di bawah jendela kereta, cuma dibatasi oleh
batu-batu besar atau tebing yang tidak terlalu tinggi. Luar biasa!
Aku
yang ingin tahu lebih lanjut, mencari info di google. Selidik punya selidik,
jalur kereta tepi pantai ini satu-satunya yang masih aktif di pulau Jawa.
Hebatnya lagi, ada stasiun tepi pantai, namanya Stasiun Plabuan. Sayangnya,
stasiun ini cuma buat persilangan, bukan buat naik turun penumpang. Wah…
seandainya penumpang bisa turun, pasti tempat ini jadi “arena selfie”.
Tak
berlangsung lama, kereta merapat ke Stasiun Pekalongan. Jam menunjukkan pukul
12.50. Saatnya aku harus turun. Ngomong-ngomong, aku cuma punya waktu 1 jam di kota
ini, soalnya kereta pulang akan berangkat sekitar jam 14.00.
Nggak
ada yang bisa kulakukan selain jalan-jalan di dekat stasiun aja. Stasiun
Pekalongan ternyata letaknya di pusat kota. Aku langsung ingat pernah lewat
jalan ini waktu pulang dari Jakarta. Dari pengamatanku, suasana jalan kota
Pekalongan ini biasa aja, seperti kota pada umumnya. Maka, aku coba lebih
teliti, kalau-kalau ada sesuatu yang menarik.
Keramaian kota Pekalongan |
Karena
udah waktunya makan siang, aku cari makan aja. Yeah, pastinya aku mau makanan
khas Pekalongan. Nggak perlu jauh-jauh karena beberapa ratus meter dari stasiun
ada Warung Makan Mbak Dur, yang khusus menyediakan kuliner khas kota batik ini.
Garang asem, nasi megono dan tauto adalah beberapa menu utama. Tapi tauto lebih mengundang seleraku. Coba
yuk!
Tauto
itu singkatan dari tauco soto, artinya soto yang dicampur bumbu tauco. Kuah
berwarna coklat kemerahan diisi irisan daging sapi, ditambah soun. Hmmm…
padahal aku nggak suka daging sapi utuh. Tapi demi rasa penasaran (dan rasa
lapar pastinya), rasa mual harus kubuang jauh-jauh. Nyatanya toh, tauto ini
lumayan enak. Manis, gurih, dan sedikit pedas. Tanpa terasa semangkuk beserta
nasi putih berhasil kuhabiskan tanpa sisa. Nah lo?
Manis dan gurihnya tauto |
Selesai
makan, inginnya sih cari oleh-oleh khas seperti capret atau limun oriental.
Tapi dengan terpaksa kuurungkan karena toko yang menjualnya agak jauh dari
sini. Nggak ada waktu lagi buat jalan jauh-jauh. Yah… aku cuma bisa jalan
beberapa ratus meter lagi. Dan ternyata pusat kota Pekalongan tidak jauh dari
sini. Seperti di Jogja, Pekalongan juga punya kawasan titik nol kilometer.
Sebuah tugu dikelilingi taman berbentuk segitiga menghiasi Jalan Merdeka ini.
Titik nol kota Pekalongan |
Wah,
waktu sudah pukul 13.30! Aku segera balik ke stasiun setelah sebelumnya beli
minuman di Alfamart dulu. Begitu masuk stasiun, ternyata KA Kaligung tujuan
Semarang sudah datang. Cuma masih berhenti beberapa menit karena bersilang
dengan KA Argo Bromo Anggrek tujuan Surabaya.
Kalau
Stasiun Tawang dan Stasiun Weleri punya instrumen Gambang Semarang tiap
kedatangan kereta api, maka di Stasiun Pekalongan ada Nyidam Sari. Sempat
terdengar peringatan dari pengeras suara, agar penumpang jangan sampai salah
naik kereta, karena kedua kereta berhenti berdekatan. Agak menggelitik juga,
kalau sampai calon penumpang KA Kaligung yang notabene kelas ekonomi, salah
naik ke Argo Bromo yang kelasnya orang berduit. Keberuntungan banget tuh…. hehehe..
tapi jangan coba-coba deh, nanti ketahuan petugas, terus diturunkan di tengah
jalan kan gawat.
Hujan
rintik-rintik mulai turun. Tapi dasar traveler, sebelum naik ke kereta aku
masih sempat-sempatnya mengabadikan bangunan tua di sebelah timur stasiun. Yup,
di Pekalongan juga banyak bangunan tua, bahkan stasiun ini konon juga
peninggalan zaman Belanda.
Memotret bangunan tua sebelum naik KA Kaligung |
KA Kaligung yang nyaman |
Akhirnya
tiba waktunya untuk pulang. KA Kaligung ini sudah penuh penumpang. Aku sendiri dapat
tempat duduk di gerbong belakang, dua baris dari belakang. Nggak tahu kenapa
kalau naik kereta aku suka yang belakang-belakang. Tapi no problem, nyatanya
kereta ini sangat nyaman, bahkan lebih nyaman dari KA Kamandaka tadi. Di sini
sebagian besar kursi penumpang menghadap depan, jadi kita nggak bakal pusing
akibat berlawanan arah. Udah gitu, ACnya terasa banget sejuknya.
Rute
kereta sama dengan saat berangkat tadi. Aku melihat lagi pemandangan pantai di
jendela. Sungguh luar biasa negeriku ini….
Memandang laut dari jendela kereta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar