Setelah
memutar otak, akhirnya aku putuskan, besok aku akan tetap naik KA Kedungsepur.
Tiket berdiri? Ah biarin. Kan masih ada lantai kereta. Aku akan tetap duduk
biarpun harus lesehan!
Malam
itu, setelah makan malam di warteg dan pergi ambil uang di ATM, aku segera
beristirahat di hotel. Alarm HP kupasang jam 04.00. Dalam hitungan menit, aku
terlelap. Selain karena capek, tempat tidur ini sangat nyaman.
Tanpa
terasa, alarm di HP bordering. Aaaah… masih ngantuk…. Eh, pilih tidur lagi atau
ketinggalan kereta? Akhirnya aku bangun, langsung mandi biarpun agak menggigil.
Habis itu siap-siap berangkat ke stasiun.
Tepat
seperti kemarin, aku dapat tiket KA Kedungsepur untuk berdiri. Cukup dengan Rp.
10.000 aku akan menuju Ngrombo. Harga yang murah karena kereta ini sangat
bersih dan dilengkapi AC. Makanya nggak heran, di hari libur begini minat
masyarakat sangat tinggi
Biar
tiketnya untuk berdiri, ogah banget kalau harus berdiri hampir 2 jam. Aku
langsung “menyegel” sebuah sudut gerbong sebagai tempat lesehanku. Di sini
enak, bisa selonjoran. Oh, tapi saat kereta berangkat ternyata kereta belum
terlalu penuh. Langsung aja aku cari kursi kosong. Buat apa duduk di lantai
kalau bisa duduk di kursi?
Aku
sangat santai, memandangi suasana kota di jendela, biarpun harus siap tergusur
kalau ada penumpang yang dapat kursi ini. Sempat berhenti di Stasiun Tawang, eh
ternyata “pemilik kursi” ini belum ada, jadi aku masih aman. Lanjut!
Next
Stasiun Alastua. Di sinilah akhirnya aku harus kembali ke tempat lesehan tadi.
Kursi ini ternyata “milik” seorang ibu guru TK yang sedang mengajak
murid-muridnya naik kereta. Dalam sekejap, kereta penuh. Yah, biarin aja, yang
penting nggak ada yang ganggu “daerah
kekuasaanku”
Maka,
sambil asyik berinternet ria lewat HP, aku duduk selonjoran di lantai. Sesekali
aku berdiri melihat pemandangan di luar. Tidak terlalu istimewa, sebagian besar
cuma sawah dan ladang. Ada 4 stasiun lagi yang disinggahi kereta ini sebelum
sampai di Ngrombo, semuanya adalah stasiun kecil yaitu Brumbung, Gubug,
Karangjati dan Sedadi.
Dalam
1 jam lebih beberapa menit, akhirnya KA Kedungsepur merapat di Stasiun Ngrombo.
Aku cepat-cepat turun buat mencari sarapan dan beli tiket pulang. Waktuku cuma
sekitar 20 menit karena KA Kedungsepur yang arah Semarang akan berangkat jam
07.50
Stasiun
Ngrombo ternyata bukan stasiun kecil seperti yang kubayangkan selama ini.
Buktinya, penataannya sangat rapi. Dan suasana pagi itu…… bukan main ramainya.
Banyak pengunjung atau calon penumpang yang berombongan.
Kemungkinan
terburuk pun terjadi…. TIKET HABIS! Bahkan meski aku sempat “mengemis” ke
petugas, tiket berdiri juga nggak apa-apa, nyatanya tetap nggak dikasih. Huh….
Dengan perasaan campur aduk, aku berjalan ke luar stasiun. Mau nggak mau harus
cari transportasi lain. Tapi kemana? Aku nggak tahu arah utara selatan timur
barat. Salah-salah nyasar ke Solo atau Blora.
Melihatku
kebingungan, bapak-bapak yang nongkrong di pos jaga menyapaku. Aku beranikan
diri bertanya transportasi ke Semarang. Eh, bukannya kasih jawaban pasti, si
bapak malah nawarin aku naik ojek ke Purwodadi. Katanya sih aku bisa naik bus dari
terminal Purwodadi. Tarif Rp. 30.000 yang ditawarkan si bapak bikin aku
berpikir ulang.
Biar
pikiran gundah, aku tetap harus cari makan. Dan yang kuincar, apalagi kalau
bukan pecel Gambringan. Syukurlah, aku nggak perlu jalan jauh. Tepat di
seberang pintu masuk stasiun ada seorang ibu yang menjual nasi pecel. Bukan
sebuah warung, hanya menggunakan meja dan kursi yang ditata di pinggir jalan.
Tapi soal kelarisan, jangan ditanya. Banyak pembelinya.
Aku
duduk dan memesan nasi pecel. Tak perlu waktu lama, si ibu menghidangkan nasi
pecel di atas pincuk daun pisang. Sayuran yang disiram sambal kacang itu
langsung memancing seleraku. Untuk pelengkapnya, ada gorengan. Aku memilih
bakwan ketela, atau biasa disebut lentho. Benar-benar enak! Saking nikmatnya,
rasa pedas tidak terlalu kurasakan. Harganya sangat murah, nasi pecel dengan 2 potong gorengan cuma Rp. 4000.
Kenapa
dinamakan pecel Gambringan? Dahulu kala (nyata lho, bukan dongeng), pecel ini
amat terkenal di Stasiun Gambringan, beberapa kilometer sebelah timur Stasiun
Ngrombo. Penjual yang menggunakan tampah atau bakul banyak menjajakan pecel ini
di dalam stasiun hingga ke atas gerbong. Sayangnya, seiring larangan dari PT
KAI untuk berjualan di atas kereta, ditambah Stasiun Gambringan tidak lagi melayani naik turun penumpang, terpaksa para penjual pecel ini pindah ke tempat
lain. Adapun perbedaan pecel Gambringan dengan pecel lainnya terletak pada bumbu kacangnya yang ditumbuk tidak terlalu halus. Jadi serpihan kacangnya masih terasa.
Sehabis
makan, aku bertanya ke ibu penjual pecel ini, apakah ada bus ke Semarang dari
depan stasiun ini. Ternyata memang tidak ada. Aku harus ke Terminal Purwodadi
dulu. Caranya dengan naik bus yang dari arah Solo.
Aku
mengucapkan terima kasih, lalu menyeberang jalan. Tak lama, bus jurusan Solo-Purwodadi
lewat. Aku pun naik. Baru dalam hitungan menit, sudah sampai di Terminal
Purwodadi. Barulah aku tahu, jarak dari Ngrombo ke Purwodadi ternyata cuma sekitar
7 km. Dekat banget kalau naik bus, tapi kalau jalan kaki… hmmm….nggak banget ah
Tidak
sulit bagiku menemukan bus jurusan Semarang. Tak perlu menunggu lama, bus
segera berangkat. Dalam perjalanan aku sibuk memelototi pemandangan Kabupaten
Grobogan bagian utara yang baru pertama kali kulihat. Tidak ada yang istimewa
memang. Di sebelah kanan adalah daerah perbukitan kapur yang gersang , sebelah
kiri ladang dan pepohonan jati, sementara di depan sana aliran Sungai Serang
dengan area persawahan.
Bus
sempat berhenti lama di Pasar Godong. Di sini kesabaranku benar-benar diuji.
Udara panasnya bukan main padahal bus tidak ada ACnya. Benar-benar serasa
direbus. Aku melihat keluar jendela, berharap ada tukang es lewat, ternyata satu pun tidak ada....
Untunglah
bus segera berangkat. Lewat Gubug, Tegowanu, Mranggen... semakin lama semakin
mendekati kota Semarang hingga akhirnya berhenti di Terminal Penggaron.
Perjalanan makan waktu 2 jam.
Bus
dari Purwodadi memang hanya sampai Terminal Penggaron ini. Jadi aku harus naik
angkot jurusan Pasar Johar untuk balik ke hotel. Itupun tidak sampai ke Jalan
Layur. Terpaksalah aku jalan kaki dari jembatan Kota Lama. Ah, padahal aku
sudah tidak tahan kepanasan.
Maka,
sesampai di kamar hotel aku langsung menyalakan AC, dan rebah di
kasur. Lelah dan gerah banget rasanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar