Kamis, 31 Oktober 2024

My Fourth Backpacker (Part 6) : Pulang "Ditemani" Iwan Fals dan Trinity

Naik kapal kali ini cukup menguntungkan bagiku. Selain menemukan colokan listrik untuk ngecas HP, economy room di sini memutar lagu-lagu Iwan Fals yang sebagian sudah akrab di telingaku. Mulai dari Wakil Rakyat sampai Bento. Tapi yang paling kena di hati jelas lagu Kemesraan. Bikin aku berandai-andai, kalau ada yang menemaniku saat ini pasti feelnya makin meleleh. 

Selang satu jam, kapal mulai mendekati pulau Jawa lagi. Aku melihat ke geladak depan. Pemandangan sunset yang keren menyambutku, karena arah pandang ke sebelah barat. 


Kali ini aku lebih mudah turun dari kapal karena sudah paham situasi. Saat kembali menginjak tanah Jawa, hatiku sungguh puas dan bersyukur. Pengalaman baru nih, perjalanan melintas pulau sendirian dan berhasil. 

Sebelum kembali ke Rumah Singgah, aku berencana beli oleh-oleh dulu. Aku menyeberang ke Indomaret di seberang pelabuhan biar bisa pesan Gojek. Tujuanku adalah Toko Oleh-oleh Ardial di Jl. Basuki Rahmat, Banyuwangi. 

Dengan diantar Gojek, aku menuju ke sana, melewati jalan di Banyuwangi yang mulai beranjak malam. Sepertinya ini daerah pinggiran kota, karena terlihat sepi. 




Sampailah aku ke sebuah toko yang tidak terlalu besar tapi terlihat lengkap.  Mataku langsung berkeliling memelototi satu-satu produk yang dijual.  Nah,  ini...  Bagiak!  Kue kering khas Banyuwangi terbuat dari tepung sagu, bentuk dan teksturnya mirip kapur tulis.  Rasanya beragam,  ada susu,  jahe,  nangka,  durian,  wijen,  mocca,  dan keningar (kayu manis).  Harganya Rp.  11.000 untuk kotak besar dan Rp.  20.000 untuk kotak kecil. Sesudah pikir-pikir, aku akhirnya pilih 1 kotak kecil rasa jahe,  1 kotak kecil rasa mocca dan 1 kotak besar rasa nangka.  

Lalu aku berkeliling toko, cari penganan khas lainnya.  Bingung juga,  karena sebagian besar banyak dijual di toko lain.  Pie susu dan kacang Bali juga banyak.  Akhirnya aku tertarik pada sale pisang khas Banyuwangi, yang dicetak panjang-panjang sebesar jari. Harganya Rp.  13.500. Oke juga!  

Sekeluarnya dari toko oleh-oleh, sebenarnya aku terpikir buat beli nasi tempong di Alun-alun Banyuwangi. Berhubung HPku lowbat, takut nggak bisa pulang,  terpaksa kuurungkan.  Nanti aku cari dekat Rumah Singgah atau order GoFood aja

Aku kembali order Gojek buat pulang.  Kali ini drivernya perempuan.  Mbak gojeknya santai aja,  malahan aku yang agak gugup.  Jangan mikir aneh-aneh ya,  ini soal gender dalam berkendara aja,  biasanya cowok yang boncengin cewek, ini malah sebaliknya. 

Sempat lewat alun-alun Sritanjung. Kota Banyuwangi ini ternyata tidak terlalu besar, malah menurutku lebih sepi dari kotaku Magelang.  Di beberapa titik,  penerangan kurang.  Tapi si mbak sepertinya  sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Bahkan sesampai di jalan menuju Rumah Singgah yang sepi bin gelap,  nggak ada ketakutan sedikit pun. Dia sempat bertanya dari mana asalku.  Wah jadi ngobrol panjang lebar deh.  

Kembali ke Rumah Singgah,  aku segera mandi lalu mencari makan malam.  Tak tahu kenapa aku kurang berselera dengan menu warung makan sekitar stasiun, jadi aku putuskan order GoFood.  




Rugi lah kalau datang jauh-jauh tanpa mencicipi makanan khas.  Nasi tempong khas Banyuwangi adalah pilihanku. Menurutku menu ini perpaduan antara nasi pecel dengan penyetan.  Isinya sayuran seperti timun,  taoge, kubis,  dan bayam. Ditambah lauk bakwan,  tempe dan tahu goreng.  Hmmm..  nikmat.  Sambalnya sendiri adalah sambal tomat terasi.  Tapi sesudah kucicipi sedikit..   oh hahhhh racun banget pedesnya..  entah pakai cabai berapa puluh, buru-buru kusisihkan dan nggak berani kulanjutkan. 

Malam itu pula Aldi pulang dari perjalanannya ke Alas Purwo.  Karena sama-sama lelah,  tidak banyak yang kami ceritakan selanjutnya.  Kami segera terlelap di kasur masing-masing.  

Saat pagi menjelang, tak ada yang bisa kulakukan selain packing.  KA Sritanjung akan berangkat jam 08.00 jadi nggak ada waktu buat santai. Tanpa kusadari,  isi tasku beranak juga biarpun sebagian besar bekal sudah kuhabiskan. 

Setelah mandi,  terpikir untuk membeli sarapan.  Malas jalan keluar,  aku pesan GoFood aja, nasi goreng telur sosis.  Dan karena perutku masih kenyang dengan nasi tempong semalam,  makannya nanti aja di kereta.  

Tiba saatnya untuk berpamitan.  Aku kirim WA ke Mas Rahmat,  ucapkan terima kasih.  Tak lupa,  aku pamit ke Aldi.  Ia juga akan pulang ke Jogja nanti sore dengan naik bus.  Dengan agak sungkan aku minta akun medsosnya.  Tapi ia memberiku nomor WA nya.  Lumayanlah nambah kenalan. 

Di tengah cahaya matahari pagi,  kupandangi sekali lagi Rumah Singgah.  Rumah-rumah kecil itu begitu damai di antara pepohonan hijau dan kicau burung yang merdu.  Rasanya malas untuk beranjak. Tapi apa mau dikata. Waktuku tinggal 15 menit lagi. 

Segera aku berjalan ke stasiun,  mencetak tiket. KA Sritanjung sudah datang,  jadi aku langsung naik.  Beberapa menit kemudian kereta berangkat dan...  see you again Banyuwangi!  

Perjalanan panjang kembali kutempuh.  Aku perhatikan dengan seksama pemandangan di luar jendela, daerah Kabupaten Banyuwangi yang berupa desa dan hutan.  Inilah kenapa aku suka naik kereta pagi.  Suasananya bikin hati tentram.

Memasuki Jember,  aku membuka kotak nasi goreng yang kubeli tadi. Ternyata lezat banget! Nyesel juga nggak beli 2, padahal kan bisa kusimpan buat makan siang. 



Selesai sarapan,  aku kembali tenggelam dalam laju kereta.  Sejenak kubuka aplikasi Alkitab di HPku dan membaca satu dua pasal. Ya,  biarpun sedang dalam perjalanan jangan lupakan firman Tuhan.  Apalagi aku gabung komunitas Baca Alkitab Harian di gerejaku dan kemarin belum sempat baca.

Lalu apa lagi yang bisa kulakukan buat menikmati perjalanan?  Ini dia..  aku keluarkan buku lain yang kupinjam dari perpustakaan.  Judulnya : The Naked Traveler - 1 Year Round World Trip. Nama penulisnya Trinity.  Awalnya kukira dia orang asing,  tapi ternyata orang Indonesia yang punya hobi travelling ke berbagai negara.  Nama aslinya adalah Ade Perucha Hutagaol. 



Membaca bab awal saja aku langsung suka dengan ceritanya.  Sungguh luar biasa,  Trinity bisa mengunjungi berbagai negara Amerika Latin seperti Kolombia, Peru, Kuba,  Jamaika, hingga Guatemala.  Perlu perjuangan bagi orang Indonesia biasa untuk masuk ke negara-negara itu.  Malah tidak sekedar berwisata,  dia juga berusaha membaur dengan warga setempat.  Padahal situasi Amerika Latin beda jauh dengan di sini, mereka masih percaya hal-hal mistis dan angka kriminalitasnya cukup tinggi. Belum lagi soal sulitnya cari penginapan,  sampai terpaksa menginap di gedung tua.  Hebatnya,  Trinity  dengan senang hati menjalani semua itu. Meski ditemani kawannya,  Yasmin, terlalu ekstrim bagi  perempuan pergi sendiri  ke berbagai negara. Aku sendiri yang cowok pun pikir-pikir (terutama soal biaya). Dari hasil searchingku ternyata buku Trinity ini ada sekitar 8 seri.  Kalau nanti ke perpustakaan lagi aku cari deh. 

Membaca serunya cerita Trinity,  muncul inspirasi baru di pikiranku.  Selagi masih muda,  kenapa aku tidak coba travelling lebih jauh? Toh dari aplikasi Ferizy, kita bisa pesan tiket kapal ke Kalimantan dan lainnya. Ke luar negeri, why not? Dengan menabung dari sekarang aku bisa menjelajah dunia. Cuma untuk awalnya,  yang dekat-dekat aja dulu.  Singapore dan Timor Leste adalah wishlist paling masuk akal bagiku. Kalau sudah terwujud,  baru rencanakan ke negara lainnya.  

Jam demi jam berlalu,  KA Sritanjung sampailah di Stasiun Surabaya Kota. Seperti biasa di sini lokomotif berbalik arah, gerbong depan jadi yang terbelakang dan sebaliknya.  Kereta berhenti lamaaa sekali.  Sementara kondisiku mulai teler karena kecapekan. Aku sudah lelah baca buku dan main HP.  Makan bekal roti yang tersisa pun sudah tidak selera.  Yang kuinginkan sekarang cuma bantal dan kasur.... 

Kereta berangkat  lagi.  Waktu sudah  jam 14.00. Aku berusaha memejamkan mata.