Minggu pagi itu, 13 September 2015
aku pergi ke depan Alfamart di Jalan Pahlawan, Magelang. Bukan mau belanja,
tapi ikut acara bertajuk Djeladjah Djaloer Spoor atau kalau dibahasakan
sekarang Jelajah Jalur Kereta Api. Event ini diadakan oleh komunitas Kota Toea
Magelang, sebuah komunitas pemerhati sejarah dan cagar budaya di Magelang.
Tanpa sengaja, aku termasuk datang
paling awal. Baru 3 orang yang datang, termasuk aku. Lewat dari jam 06.10
barulah satu persatu peserta lain datang. Total sekitar 140 orang. Tidak hanya
dari Magelang, tapi juga dari Jogja, Purworejo, Parakan, bahkan Solo. Rupanya
banyak yang antusias ikut acara ini, bahkan Mas Bagus, sang koordinator
mengatakan ini rekor peserta jelajah terbanyak. Memang "menggali sejarah" itu menyenangkan. Selama ini aku cuma dengar cerita orang tua tentang kereta api zaman dulu, termasuk jalur kereta api di Ambarawa yang sudah dinonaktifkan sejak tahun 1976. Biarpun nggak naik keretanya, jalan-jalan di jalurnya aja udah menarik buatku.
Rencananya jelajah kali ini akan
melewati rute Bedono-Ambarawa. Start di Stasiun Bedono, trekking. jalan kaki
hingga Stasiun Ambarawa. Jaraknya sih kurang lebih 9 km. Untuk jelajah ini, aku
nggak bisa ikut sampai selesai karena sorenya ada tugas khusus di gereja. Nanti
sampai di Ambarawa aku langsung pulang.
Pukul 07.50 dengan menumpang
angkudes (aku gak sempat lihat, jurusan mana), kami berangkat ke Stasiun
Bedono. Sepanjang perjalanan, aku dan beberapa peserta asyik bercerita tentang
jalur kereta api di Magelang. Rencananya sih jalur itu bakal dihidupkan
kembali. Tapi masalahnya, sebagian besar jalur sudah berubah jadi pemukiman.
Entah apa yang harus dilakukan PJKA. Membuat jalur baru atau menggusur dengan
resiko harus kasih ganti rugi ke warga. Kalau dibuat jalur baru, mungkin lokasinya di Tegalrejo atau sekitar Sungai Elo. Daripada nantinya daerah itu dibuat jalan lingkar seperti di Salatiga, mungkin lebih baik dibuat jalur KA. Selain memajukan transportasi, juga meminimalisir kendaraan pribadi.
Kurang dari satu jam, sampailah
kami di stasiun tersebut. Stasiun yang usianya nggak muda lagi tapi masih
terawat dan biasa digunakan sebagai pemberhentian terakhir kereta wisata dari
Ambarawa. Namun, kabarnya saat ini kereta tersebut sedang "absen" karena renovasi Stasiun Ambarawa. Ada sebuah joke yang mengatakan, stasiun ini punya hubungan dengan
grup Warkop, karena mengandung nama “Dono”… hihihihi…
KTM sendiri pernah mengunjungi
stasiun ini tahun lalu waktu jelajah jalur Bedono-Candi Umbul sejauh 15 km.,
sayangnya waktu itu aku nggak ikut.
Di Stasiun Bedono, tidak banyak
yang kami lakukan. Malahan sebagian besar dari kami, termasuk aku, sibuk
mengantri di toilet. Penjelasan dari Mas Bagus pun tidak banyak yang aku
tangkap karena harus menuntaskan “masalah” yang aku tahan sejak tadi
…wkwkwkwkwk..
Kami terus berjalan. Udara panas
menyengat. Sesekali kami bertemu dengan warga sekitar yang mengangkut kayu atau
menjemur biji kopi. Ya, daerah Bedono dan sekitarnya memang daerah perkebunan
kopi. Jalan sedikit menurun dengan tebing dan jurang di sisinya. Tapi masih
cukup aman karena terdapat rel yang posisinya tepat di atas tanah. Di bawah,
terlihat jalan raya Bedono-Jambu. Setiap kali aku naik bus ke Bawen, pasti
lewat jalan itu. Jalan yang agak membosankan karena berbelok-belok dan rawan
kemacetan.
Lewat dari Bedono, masuklah kami ke area persawahan. Ada kejadian lucu saat tiba-tiba Erisa memanggilku, minta tolong difotokan “Can you help me to take a picture?”. Mbak Ayu pun menegaskan “Nyuwun tulung foto nggih mas”. Penggunaan dua bahasa ini bikin aku senyum-senyum. Mungkin kalau aku bisa bahasa Mandarin seperti papaku, aku bakal jawab “Hao ba, wo lai bang ni”...hihihi.. Dengan sedikit gugup, aku menyanggupi permintaa mereka. Begitu selesai, kembali ada dua bahasa terima kasih “Thank you” dan “Matur nuwun”. Bingung mau jawab apa, aku hanya berkata “Ya” sambil tertawa. Mau tahu kenapa aku gugup? Takut salah ngomong! Kemampuanku berbahasa kromo inggil itu sama dengan kemampuanku berbahasa Inggris, bisa tapi tidak lancar ngomongnya.
Tak jauh dari situ, ada jembatan
bernama Kethekan, entah bagaimana sejarahnya bisa dinamai begitu. Kami
istirahat sebentar di “kolong jembatan” sambil menunggu rombongan di belakang
kami. Aku pun menyempatkan diri makan roti dan gorengan yang kubawa. Peter
menawariku kue. “Thank you”, aku mengambil satu. Dan dia tertawa, mungkin
menertawakan kegugupanku.
Tak lama, kami jalan lagi. Rel
kereta mulai melintasi sungai, tapi beruntung ada jembatan batu dan bambu yang
siap mengamankan, biarpun agak deg-degan juga lewatnya. Sampai di Stasiun
Jambu, tempat kami istirahat berikutnya. Stasiun ini lebih kecil dari Stasiun
Bedono tapi kondisinya juga masih terawat. Bahkan ada teras yang cukup luas,
yang kata Mas Bagus bisa jadi tempat catwalk.. hahahaha..
Sambil menikmati semangka yang
disajikan, aku melihat-lihat sekitar. Pemandangan di sini luar biasa indahnya.
Sawah yang hijau membentang. Di kejauhan nampak Gunung Andong dan Merbabu.
Seperti moto hidupku kalau lagi wisata, “segala yang indah tidak boleh dilewatkan”,
aku pun berusaha memotret pemandangan dengan kamera HPku biarpun batere udah
low bat.
“Can you help me to take a
picture?” kembali Erisa memanggilku. “Yes”, aku mendekat. “Press this button”
dia menunjukkan tombol kameranya. Okay, one..two…three.. kali ini aku sukses
memotret mereka tanpa rasa gugup. Biar sepele, cukup jadi pelajaran biar nggak
grogi ketemu bule..
Karena sudah siang, kami nggak lama
di situ. Jalan lagi 4 km. ke Stasiun atau disebut juga Museum Kereta Api
Ambarawa. Kali ini aku berusaha jalan lebih cepat dari yang lain, tapi tentunya
nggak secepat lokomotif. Jalannya lebih datar karena dekat pemukiman. Tapi
inilah dunia, yang datar nggak selalu aman. Terhitung tiga kali kami harus
meniti rel yang posisinya tepat di atas sungai atau jalan. Minta ampun
ngerinya. Apalagi kami harus lompat-lompat karena jarak antara titian satu dan
berikutnya agak jauh. Salah langkah bisa goodbye. Dan seperti biasa,
acrophobiaku kumat. Baru dua tiga titian aku udah nggak berani. Untungnya, ada
mas-mas di belakangku yang bersedia menggandengku… ahahahaha… Tapi nggak cuma
aku yang takut, mbak-mbak di depanku juga jalannya hampir merangkak karena
takut jatuh…
Mendekati Stasiun Ambarawa, angin
sejuk bertiup di persawahan, bikin moodku yang sempat gemetar jadi segar
lagi….fiuuuuh…. jadi ingat pengalaman mendaki Gunung Ungaran beberapa waktu lalu.
The last, jam 13.00 tiba di Stasiun
Ambarawa. Lumayan ramai karena hari Minggu. Dan, seperti kukatakan di awal, aku
nggak bisa lanjut masuk ke museum. Aku hanya sempat memotret gerbong yang di
depan. Tapi nggak terlihat gerbong kayu yang dulu ada di Stasiun Kebonpolo,
mungkin ada di dalam. Memang sayang, aku nggak sempat menyaksikan “koleksi”
gerbong kereta dari zaman ortu dan kakek nenekku, mungkin lain kali aku bisa solo
travelling ke sini.
Aku pamitan pada Mas Bagus dan beberapa kawan lain, termasuk mas-mas dan mbak-mbak yang bersamaku sejak lewat titian rel tadi. Tak lupa
kuucapkan terima kasih karena telah menolongku. Sampai jumpa kawan-kawan!
NB : Terima kasih buat Pak Widoyoko atas beberapa fotonya.
NB : Terima kasih buat Pak Widoyoko atas beberapa fotonya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar