Biarpun cuma 2 jam, aku tetap bisa
tidur. Sesekali terbangun oleh suara pendaki yang istirahat di pos ini. Sampai
akhirnya, aku lihat jam tanganku sudah menunjukkan jam setengah 6 pagi. Aku pun
keluar dari tenda. Udara dingin tapi sejuk. Kulihat alam yang semalam tampak mengerikan, kini bagai tersenyum ramah di depanku. Pepohonan terlihat hijau berselimut embun pagi. Dan di ufuk timur, matahari terbit kemerahan. Andai saja aku bisa mencapai puncak pasti jauh lebih indah. Ya, cuma andai saja... sekarang nasi udah jadi tiwul... eh salah... jadi bubur.... haha..
David ikut terbangun. Ia berkata
padaku “Semalam kejadian tak terlupakan. Tapi udahlah, nggak usah dibahas lagi.
Ini ujian buat kita. Kita harus rela, sebagai teman kita harus saling menolong.
“ Betul-betul ucapan yang menguatkanku. “Ya, yang sudah terjadi, biarin aja.
Maafin aku” sahutku. “Kalau kita masih sama teman-teman yang lain, belum tentu
mereka kuat lihat kondisi kamu tadi malam” David melanjutkan.
David membangunkan Sinin. Lalu dia
merebus air buat menyeduh kopi. Sambil menunggu, kami asyik kriuk kriuk dengan cemilan yang
kami bawa, sampai-sampai nggak tertarik buat bikin mie lagi.
Lewat dari jam setengah 7, beberapa
pendaki lain mulai turun gunung. Kami pun membereskan tenda lalu ikut turun.
Aku disuruh berjalan di depan. Ternyata nggak seperti tadi malam, aku bisa
berjalan tegak. Kalaupun lewat batu nggak sampai ngesot… hehehe.. Mungkin
karena sudah lebih kuat, aku jauh lebih semangat.
Apalagi lewat dari hutan lebat,
terpampang pemandangan yang luar biasa indahnya. Hamparan kebun teh di antara
perbukitan yang hijau bikin sejuk mata kami yang merah akibat kurang tidur. Di antara pendaki yang sedang
turun gunung atau nge-camp, kami bertiga duduk sebentar. Rugi kalau jalan terus, soalnya kesempatan belum tentu datang dua kali. Aku
sendiri beberapa kali mengabadikan dengan kamera HPku. Sungguh luar biasa
ciptaan Tuhan… kegagalan kami mencapai puncak tergantikan oleh keindahan yang
lain.
Matahari mulai naik, kami pun
beranjak dari tempat ini, menuju kolam mata air. Di sini jauh lebih ramai,
karena banyak pendaki yang istirahat. Sekedar istirahat, karena kolam renang di
situ nggak bisa buat berenang. Dan… kami ketemu lagi dengan Adi dan kedua
temannya. Dengan cepat kami akrab dalam pembicaraan. Mungkin karena jumlah kami tiga sama tiga. Cukup lama, sampai
akhirnya mereka berpamitan untuk turun. Sampai jumpa lagi mas!
Sementara aku, David dan Sinin
masih menunggu teman-teman kami. Karena lama banget, akhirnya kami memutuskan
turun sampai ke basecamp. David dan Sinin berjalan lebih cepat dariku sampai
aku tertinggal jauh. Mungkin mereka sengaja menguji keberanianku… ya,
untunglah medan jalan lebih baik daripada di atas tadi. Dengan berjalan
hati-hati, aku sampai juga di basecamp dan bertemu lagi dengan David dan Sinin.
Puji Tuhan!
Kami bertiga menunggu di tempat teduh.
Hari semakin siang. Sebagian besar pendaki yang kami temui di atas sudah pada
turun. Bahkan, protokol dan pengibar bendera upacara di puncak sudah sampai di
basecamp. Tapi mana teman-teman kami? Nggak boleh dong ninggalin mereka. Kan kami udah belajar setia kawan?
Kami sempat bertemu dengan
rombongan cewek yang kutemui tadi malam. “Eh, ketemu bapaknya lagi”. Bapak
lagi, kapan gue kawin sama emak lo. Ingin rasanya aku berkata demikian, tapi
aku tahan karena nggak mau merusak kebaikan mereka. Aku balas dengan senyuman
aja.”Tapi nggak apa-apa pak, pendaki pemula sampai ke Pos 3 juga sudah hebat
kok” kata mereka serius.
Panas matahari makin menyengat. 3
jam lebih kami menunggu. Kali ini David dan Sinin yang terlihat loyo karena
kurang tidur. Sementara aku, mulai diserang rasa lapar. Karena bekalku habis,
aku berniat ke warung makan beli sesuatu sambil melihat kalau-kalau Atun dan
lainnya ada di warung makan.
Tapi belum sampai ke warung makan,
terdengar suara Atun “Om.. sini.. om… mana yang lain?” Weladalah, rupanya dari
tadi mereka nongkrong beberapa meter di belakang kami. Segera, aku panggil
David dan Sinin. Kini kami bersatu kembali (sok puitis..wkwkwk)
Kami saling ceritakan pengalaman kami. Termasuk apa yang kualami semalam. Ternyata mereka pun nggak mempermasalahkan. Malah dengan jenaka, Atun bercerita bahwa semalam dia kelaparan gara-gara bekalnya katut (terbawa) di ranselnya Sinin. Sampai-sampai dia cuma makan Mie Gelas. Nah lo, makanya bawa bekal sendiri dong…
Kami saling ceritakan pengalaman kami. Termasuk apa yang kualami semalam. Ternyata mereka pun nggak mempermasalahkan. Malah dengan jenaka, Atun bercerita bahwa semalam dia kelaparan gara-gara bekalnya katut (terbawa) di ranselnya Sinin. Sampai-sampai dia cuma makan Mie Gelas. Nah lo, makanya bawa bekal sendiri dong…
Dengan riang gembira, kami pulang.
Tak lupa mampir ke “basecamp” kelompok kami, yaitu rumah Atun. Dan berakhirlah
perjalanan penuh tantangan ini. Semoga kelak aku bisa menjejakkan kaki di puncak Ungaran. Amin...
Ima sempat tanya padaku “Mas, kapok
nggak naik gunung?”. Aku jawab “Ya, mungkin aku pikir-pikir dulu”. Jujur,
pengalaman ini bikin aku ketagihan. Tapi aku sadar, mendaki gunung itu nggak
mudah. Makanya, aku harus pertimbangkan baik-baik. Sebaiknya aku pilih gunung
yang medannya nggak terlalu sulit. Dan satu lagi, aku nggak mau lagi mendaki
gunung di malam hari!
TAMAT
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar