Suatu hari, sahabatku, David
berkata padaku, “Bert, muncak yo”. Muncak di sini maksudnya mendaki gunung. Aku
agak ragu menanggapinya, masalahnya aku belum pernah mendaki gunung selain
Bukit Tidar di Magelang. Selain itu, aku juga mengidap acrophobia alias
penyakit takut ketinggian. Jangankan berdiri di tebing yang curam, naik
eskalator di mal aja suka merinding, seolah-olah tubuhku selalu mengikuti gaya
gravitasi.
“Kemana?” aku bertanya. “Ke Gunung
Ungaran, nanti 17 Agustus. Ini aku diajak sama temanku, aku disuruh ajak kamu”
jawab dia. Aku masih bingung mau jawab ya atau tidak. “Ayolah Bert, ini
pengalaman buat kita. Belum pernah kan kita naik gunung bareng-bareng”. Karena
David terus merayu biar aku mau, aku menjawab “Ya”
Aku berusaha buang rasa takutku ke tubir laut (hahaha… lebay), tapi seolah rasa takut itu terlalu berat buat dilempar. Makanya, aku segera cari info tentang Gunung Ungaran lewat mbah google. Mulai dari blog perjalanan, grup backpacker sampai ke juru kunci… eh bukan ding... maksudnya sampai ke e-book pendakian gunung. Dari semua itu aku tahu bahwa Gunung Ungaran cocok buat pendaki pemula. Oke bos… berangkat!
David sendiri sudah memikirkan, perjalanan kami bakal seperti film 5 Cm… hahaha… ya,kalau dilihat sejarahnya, sejak awal kuliah, David itu sahabat terdekatku satu-satunya. Mulai dari awal kuliah D3 sampai kami lanjut S1 dan hampir lulus ini, kami selalu bersama-sama. Persahabatan kami dimulai ketika aku menemani dia di depan kampus, tunggu bapaknya menjemput. Ya, dia dengan manja minta aku temani, katanya biar nggak nunggu sendirian. . Selanjutnya, sudah banyak kebersamaan kami, mulai dari kerjakan tugas kuliah, main ke warnet, magang di Jogja, nonton film, pendaftaran skripsi, sampai yang terbaru dia ajak aku nge-gym. Nah, mendaki gunung ini pas buat menghayati tentang persahabatan (lebay lagi..). Ya, seperti di 5 Cm itu. Kebetulan, tepatnya, 14 Agustus, aku ujian skripsi. Jadi pas banget buat merayakan kelulusanku.
Aku berusaha buang rasa takutku ke tubir laut (hahaha… lebay), tapi seolah rasa takut itu terlalu berat buat dilempar. Makanya, aku segera cari info tentang Gunung Ungaran lewat mbah google. Mulai dari blog perjalanan, grup backpacker sampai ke juru kunci… eh bukan ding... maksudnya sampai ke e-book pendakian gunung. Dari semua itu aku tahu bahwa Gunung Ungaran cocok buat pendaki pemula. Oke bos… berangkat!
David sendiri sudah memikirkan, perjalanan kami bakal seperti film 5 Cm… hahaha… ya,kalau dilihat sejarahnya, sejak awal kuliah, David itu sahabat terdekatku satu-satunya. Mulai dari awal kuliah D3 sampai kami lanjut S1 dan hampir lulus ini, kami selalu bersama-sama. Persahabatan kami dimulai ketika aku menemani dia di depan kampus, tunggu bapaknya menjemput. Ya, dia dengan manja minta aku temani, katanya biar nggak nunggu sendirian. . Selanjutnya, sudah banyak kebersamaan kami, mulai dari kerjakan tugas kuliah, main ke warnet, magang di Jogja, nonton film, pendaftaran skripsi, sampai yang terbaru dia ajak aku nge-gym. Nah, mendaki gunung ini pas buat menghayati tentang persahabatan (lebay lagi..). Ya, seperti di 5 Cm itu. Kebetulan, tepatnya, 14 Agustus, aku ujian skripsi. Jadi pas banget buat merayakan kelulusanku.
Nah, 14 Agustus, saatnya aku ujian.
Sudah 2 hari aku menginap di rumah David, karena sejak mulai skripsi, aku tidak
lagi ngekost. Benar saja, hari itu aku lulus ujian skripsi, meskipun harus kena
revisi. Aku lega banget, separuh bebanku pergi... tapi separuh jiwaku tidak. Dan untuk merayakannya, ya tadi
itu, mendaki Gunung Ungaran.
Aku dan David mulai bersiap-siap
mempersiapkan ini itu. Bahkan ada beberapa barang yang harus kubeli karena
emang nggak punya, yaitu masker, sarung tangan, jas hujan dan senter. Tak lupa
beli bekal yang banyak. Lumayan menyedot tabunganku, tapi ya mau gimana lagi?
Masa aku naik gunung modal badan doang? David sendiri menceramahiku
macam-macam: jangan ragu melangkah,
jangan jalan sendiri, jangan melamun, jalannya begini begitu... pokoknya udah
kayak leader pendakian nih anak. Dia memang udah pernah mendaki Gunung Cikuray
di Jawa Barat.
Minggu, 16 Agustus 2015 jam 13.00
kami memulai perjalanan. Rombongan kami ada 7 orang, terdiri dari 4 cowok yaitu
aku, David, Sinin dan Irul serta 3 cewek yaitu Ima, Atun dan ceweknya Irul yang
tak kuketahui namanya. Berkumpul sebentar di rumah Atun buat mengatur
perlengkapan, lalu jam 14.00 kami berangkat. Perjalanan lewat Jimbaran dengan 4
motor. Ima dan Atun udah ngebut duluan. Sedangkan yang lain mampir dulu ke
Alfamart. Singkat cerita, jam 15.00 kami sampai di Basecamp Mawar, nggak jauh
dari Umbul Sidomukti. Sesudah registrasi, kami duduk-duduk dulu. Karena
menjelang 17 Agustus, banyak banget pendaki hari itu. Entah terinspirasi dari
5cm atau bagaimana, mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung jadi ritual
wajib setiap tahunnya. Jumlahnya ratusan pokoknya. Belum lagi mereka yang sekedar nge-camp alias berkemah di Basecamp Mawar atau Kebun Teh Promasan.
Tepat jam 16.00 atau 4 sore, kami
mulai pendakian. Dengan ransel pinjaman dari Sinin, aku mulai melangkah. Diawali
dengan sebuah turunan berbatu, jalan makin lama makin menanjak di antara hutan pinus. Terus dan terus
naik. Harus hati-hati karena banyak batu. Nafas kami mulai terengah-engah.
Keringat mulai bercucuran. Aku sendiri sempat terpeleset sekali. Untungnya,
nggak lama kemudian kami sampai di Pos 1. Istirahat sebentar buat minum. Jaket
kulepas karena gerah. Pendaki lain lalu lalang di depan kami. Satu yang bikin
aku terkesan setiap kali berpapasan di manapun, mereka selalu menyapa “Permisi
mas/mbak”. Kami pun membalasnya dengan support “Semangat mas/mbak”, lalu kami tertawa
bersama. Aura persahabatan begitu kuat di antara kami biarpun tidak saling
kenal.
10 menit kemudian jalan lagi. Jalan
menuju Pos 2 lebih banyak jalan landai. Tapi tak sedikit
juga tanjakan berbatu dan kita musti ekstra hati-hati. Di Pos 2 rombongan kami
bertambah, karena ada beberapa orang teman Irul bergabung. Begitulah, jumlah
kami jadi sekitar 11 orang. Jalan lagi! Ups, karena tersandung pasir, aku
kembali tersungkur dan… aku harus relakan jam tanganku putus dan bajuku
kotor. Huh! Bukan itu saja,
teman-temanku sudah jauh di depan. Aku ketinggalan di belakang bersama Sinin.
Untungnya Sinin baik hati, ia mau menemaniku “Pelan-pelan aja mas” begitu
katanya.
Jalan setapak berikutnya cukup
landai, diapit oleh tebing dan jurang. Di kejauhan, kota Ungaran dan Ambarawa
terlihat kecil. Beberapa puluh menit, sebuah mata air yang dilengkapi toilet
umum menyambut kami. Banyak pendaki yang istirahat di sini, terutama buat ke toilet atau cuci tangan.
Lanjut tak lama kemudian, kami
disuguhi sebuah pemandangan alam yang luar biasa. Kebun teh Promasan nan hijau terhampar
luas. Sementara itu matahari meredupkan sinarnya. Kami nggak tahan untuk tidak
mengabadikan momen ini. Apalagi aku, si cowok narsis yang punya moto "Segala yang indah tidak boleh dilewatkan"
Kami hanya tinggal bertiga : aku,
Sinin dan David. Setelah istirahat sekitar 10 menit, kami jalan lagi dan
sampailah kami ke Pos 3. Hari betul-betul sudah gelap dan nggak ada lampu
listrik satupun. Andai lampu senter dimatikan, kami nggak bakal bisa lihat
apa-apa. Lewat dari Pos 3. jalan makin lama makin menantang. Batu-batu besar
mulai terlihat, akar-akar dan dahan pohon yang tumbang juga banyak. Tanah pun
berpasir. Tak jarang kami harus kepayahan memanjat batu sambil melompati dahan
pohon.
Dengan berat beban di punggung dan
bahuku aku pun berusaha menuju puncak. Eiiiiiit….. tiba-tiba aku terpeleset saat
menaiki batu. Dan bisa ditebak, badanku hampir meluncur ke bawah! Aku menjerit
minta tolong. “Berdiri mas” kata Sinin
yang berjalan di belakangku. Aku berusaha berdiri. Tapi badanku malah
meluncur sejengkal lagi. “Naik sedikit Bert, lalu berdiri, nggak apa-apa” seru
David. Aku berusaha memanjat tebing berbatu itu sambil tak hentinya berdoa dan
menjerit. Susah sekali. Pasir yang bertebaran berusaha menjatuhkanku. Beberapa
pendaki yang lewat melihatku, tapi kebingungan apa yang harus dilakukan?
Untunglah, seorang bapak
mengulurkan tangannya. Perlahan dia menarikku ke atas dahan. Fuuuuh leganya.
Kakiku terasa sakit, jadi aku harus duduk lagi. “Minum dulu pak” kata seorang
cewek berjilbab. Aku pun mengambil air minum dari ransel. Bapak yang menolongku
tadi memang memimpin grup yang terdiri dari lima cewek berjilbab itu. “Ya,
soalnya saya masih pemula” ujarku. “Memang begini pak, saya juga baru pertama
kali” sahut cewek itu. Melihat keadaanku yang melemah, Sinin dengan sukarela
membawakan ranselku. Padahal dia sendiri juga bawa ransel segede gambreng! Aku
agak tak enak hati, tapi kurelakan aja biar langkahku lebih enak.
Tak lama, kami kembali jalan, David
dan Sinin berjalan di belakangku, tanpa sadar aku mengikuti rombongan
cewek-cewek itu…hihihi.. “Semangat pak” seru mereka. Dipanggil “bapak”, satu
hal yang sebetulnya tak kusukai. Tapi biar deh. Dengan nada bercanda, aku
bilang “Jangan panggil pak, saya belum nikah”
Keadaan tidak lebih baik. Batu-batu
sebesar meja bikin perjalanan terasa makin jauh aja. Nafasku makin kacau.
Apalagi jatuh tadi betul-betul bikin aku shock. Acrophobiaku kumat.
“Istirahat dulu pak, kalau capek”..
hmmm.. cewek-cewek itu perhatian banget ya… hihihi. Aku duduk di sebuah batu.
Rombongan cewek itu nggak lama berhentinya. “Ayo pak, lanjut” “Nanti aja, aku
tunggu temanku” jawabku. Aku pun ditinggal sendirian di situ.
Aku menunggu David dan Sinin.
Sendirian di tengah gunung malam-malam begini. Lama amat. “David, kamu
dimana?” teriakku. Nggak ada jawaban. Apa jangan-jangan mereka sudah di atasku?
Di kejauhan aku lihat tebing gunung yang gelap dan sepi. Di bawahku, batu-batu
besar dan berpasir. Di sekitarku hutan dengan suara gemerisik angin malam. Betul-betul
mencekam. Aku nggak terlalu takut gelap. Tapi bermalam di tengah hutan sendirian
tetap saja bukan hal yang menyenangkan.
Bersambung ke Part 2....
Bersambung ke Part 2....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar