Aku berusaha berpikir positif. Ini
kan 17 Agustus. Banyak orang yang muncak hari ini. Jadi kalaupun ada masalah,
cepat atau lambat pasti ada yang menolong. Sekali lagi aku teriak “David, kamu
dimana? Aku takut nih” “Ya, masih di bawah” terdengar jawaban dari bawah. Nggak
lama kemudian, David diikuti Sinin, dengan terengah-engah datang ke depanku.
“Bawain tasmu nih, berat” katanya.
Sebentar, aku tenangkan pikiranku.
Lalu kami naik lagi. Makin ke atas, makin curam jalannya. Tingkat kemiringannya
bikin aku mau nggak mau harus memanjat. Sampailah kami di sebuah tempat landai.
Di situ ada pendaki yang memasang tenda. Kata orang sih, puncak tinggal
beberapa menit lagi. Jadi mungkin daerah ini “Arcopodo” nya Gunung
Ungaran.
Kami lanjut terus, tapi kondisiku
tambah drop. Apalagi lihat jalan ke atas makin miring. Banyak batu yang
ukurannya belum pernah kulihat sebelumnya. Rasa lemas akibat lapar dan lelah
ditambah kondisi tebing yang gelap betul-betul bikin acrophobiaku kumat. Aku
nggak berani lihat ke bawah.
Aku terus berusaha, meski harus
merangkak. Tapi sebuah batu besar menghentikan langkahku, aku harus lompat ke
atasnya. Kalau teledor, bisa-bisa terjun bebas ke bawah. Nyaliku langsung menciut. “Aku senteri, kamu nggak usah takut” begitu
kata David. Aku coba memanjat, malah
badanku hampir merosot lagi. “Berdiri kamu” David menyuruhku. “Nggak bisa, aku
takut” sahutku terengah-engah. “Kalau nggak berdiri nggak bisa naik” serunya.
Aku mencoba lagi. Susah sekali. Fisik dan mentalku betul-betul sudah drop.
Sinin muncul dari belakang “Kalau
udah nggak sanggup, mending kita turun aja, daripada nanti kamu kenapa-kenapa.
Kapan-kapan kita bisa naik lagi” “Nggak apa-apa mas?” David keheranan. “Nggak
apa-apa, kita turun sekarang aja, nanti bikin tenda di kebun teh” jawab Sinin. “Nanti
teman lain gimana mas?” tanyaku. “Biarin aja mereka naik”.
Kami memutuskan turun. Aku merasa
nggak enak. Tapi kata Sinin “Kita turun langsung, kalau turun besok pagi nanti
kamu lebih takut lihat medan yang sebenarnya” Ya, dia bersama David rela nggak
ke puncak demi aku. Aku minta maaf pada mereka, dan mereka menjawab tidak apa-apa. Sungguh setia kawan.
Kami istirahat di tempat tenda
tadi. Sebetulnya kami mau pasang tenda di sini. Pemandangannya terlihat bagus.
Tapi di tempat itu sudah ada dua tenda. Nggak cukup lagi. Jadi, kami di situ
cuma numpang menghangatkan badan dan masak mie sebelum lanjut turun ke bawah.
Udara dingin luar biasa, padahal
aku sudah pakai jaket dobel. Pikiran dan badanku tak karuan, jadi makan pun
rasanya nggak enak. Mungkin betul kata David, kalau naik gunung kita nggak boleh
berpikir negatif. Atau bisa juga aku mulai mengalami hipotermia seperti Arial di film 5 Cm.
Sesudah makan, kami turun lagi.
Sesekali kami berpapasan sama pendaki yang naik. Mereka tanya, kenapa kami
turun. David dan Sinin menjawab bahwa aku takut ketinggian. Memalukan! Tapi ya,
mau gimana lagi? Kenyataannya pas turun. kondisiku bukannya kuat lagi malah
makin kacau. Aku susah berjalan tegak, sesekali harus main perosotan di batu.
Baju dan celanaku sampai belepotan pasir.
Kejadian selanjutnya, bisa dibilang
mengerikan. Tiba-tiba saja pikiranku terasa kosong. Aku berlari nggak tentu
arah, lalu rebah. Aku tetap sadar, tapi badanku serasa masuk ke dunia lain.
David dan Sinin panik.
“Bert, sadar Bert” teriak David
sambil menepuk wajahku. Ia bacakan doa di telingaku. “Aku nggak ingat apa-apa,
pikiranku kosong” jeritku. “Kamu jangan ngomong gitu, kamu harus sadar”. Sinin
yang panik hampir saja melemparkan ranselnya ke arahku biar aku sadar.
Pendaki lain melihat dengan
kasihan. “Mas, nyebut mas, istighfar”. Sambil menangis, David baca doa buat
menyadarkanku, aku pun berusaha tanggapi sesuai keyakinanku. “Dalam nama Yesus, Haleluya, Puji Tuhan”.
Untunglah kuasa Tuhan masih
berpihak atasku. Aku kembali ingat waktu dan tempat. “Minum dulu” kata
seseorang. Aku pun duduk sebentar, sampai kondisiku stabil. David mengajakku
mengobrol berbagai hal biar pikiranku tenang. Aku katakan “Aku nggak kuat lagi,
kita sampai Pos 3 aja, aku mau tidur”, yang langsung diiyakan oleh David dan Sinin.
Sesudah itu, kami turun lagi. Buat
mencegah pikiran kosong, aku putar lagu dari HPku sambil sesekali menyanyi.
Sampai di tempat aku jatuh tadi, aku istirahat sebentar. Tiba-tiba pikiranku
kosong lagi. David dan Sinin pun harus susah payah menyadarkanku lagi. Entah karena hipotermia atau memang ada "sesuatu" di daerah itu. Untungnya, nggak separah tadi. Aku terpikir buat lakukan jurus menyadarkan
orang pingsan secara manual, yaitu mengoleskan minyak kayu putih ke hidung dan
leherku.
Apa yang terjadi padaku betul-betul
bikin heboh. Andai di gunung ada sinyal internet, mungkin aku udah jadi
trending topic di Twitter para pendaki saat itu. Selangkah demi selangkah dan
sesekali melorot, akhirnya kami sampai di Pos 3. Tanpa pikir panjang, kami
langsung duduk menyelonjorkan kaki sambil makan bekal roti tawar. Aku lemas, perlu
berbaring. Tapi untuk mendirikan tenda di sini? David dan Sinin agak
kebingungan karena tempatnya tidak terlalu besar.
Biarpun sudah larut malam, masih
banyak pendaki yang menuju puncak. Saat itu ada 3 orang pemuda, mereka dua tiga
tahun lebih tua dari kami, beristirahat di dekat kami. Katanya sih mereka juga
mau ke puncak tapi udah kemalaman. Dari percakapan basa basi, David dan Sinin
menceritakan tentang kondisiku. Salah satu dari mereka menawarkan untuk
melakukan terapi untukku. Awalnya aku ragu, terapi apa? Ternyata pijat
refleksi. Aku pun mengiyakan.
Maka, orang yang belakangan
kuketahui bernama Adi itu mulai memijat kakiku. Ya, namanya pijat refleksi
rasanya pasti sakit. Aku berusaha tahan, karena aku tahu Adi dan kedua temannya
bermaksud baik. Tidak cuma itu, kedua teman Adi yang malu nyebutin nama itu
membantu David dan Sinin memasang tenda. Tempat yang sempit mampu disiasati. Tak berapa lama, tenda undah
terpasang, aku pun duduk di dalam tenda sementara Adi melanjutkan memijat
kakiku. Katanya sih, dia juga lulusan Teknik Informatika di Semarang (aku lupa
nama universitasnya), sekarang dia dan kedua temannya bekerja di pabrik.
Jam sudah menunjukkan pukul
setengah 1 dini hari. Sinin memilih berbaring dengan sleeping bag di samping
tenda. Sementara David masih asyik berbincang dengan kedua teman Adi. Malahan,
tanpa rasa sungkan, kedua orang itu membuatkan teh hangat untuk kami berenam.
Aku betul-betul nggak habis pikir, ternyata pendakian gunung bukan hanya mengakrabkan
kami dengan alam, tapi juga dengan orang-orang yang nggak kami kenal
sebelumnya. Betul-betul luar biasa.
Sayangnya, kebersamaan kami tidak
lama. Waktu seakan berputar cepat. Pukul setengah 3 dini hari, Adi dan kedua
temannya pamit. David pun masuk tenda untuk tidur, menyusul aku dan Sinin yang
hampir terbuai mimpi.
Bersambung ke Part 3....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar