Sebagai
penggemar pelajaran IPS waktu sekolah dulu, sebuah komunitas pecinta sejarah
adalah tempat yang tepat buat menambah wawasanku. Dan komunitas Kota Toea
Magelang adalah pilihanku, tentu saja karena aku orang Magelang. Apalagi,
komunitas ini sering mengadakan jelajah, hal yang sangat-sangat jadi hobiku. Sudah
beberapa kali aku ikut event jelajah, termasuk hari ini: Djeladjah Sepeda di
Boroboedoer. Dengan bersepeda, kami akan melewati perkampungan di sekitar
Borobudur.
Tadinya aku
berpikir mau bawa sepeda sendiri, kan berangkatnya nggak perlu keluar uang.
Tapi pulangnya? Rute jelajah kali ini 9 km. Ditambah perjalanan pulang-pergi
Magelang-Borobudur masing-masing 15 km, total yang harus kutempuh hampir 40 km!
Wah, bisa KO duluan sebelum sampai rumah. Akhirnya kuputuskan ambil jalan
terenak saja : naik bus.
Rental sepeda Pondok Tingal |
Tepat jam 7.40
pagi, aku sampai di rental sepeda Pondok Tingal, Borobudur. Sudah banyak
peserta yang datang dan bersiap berangkat. Setelah daftar dan bayar kontribusi,
aku dipersilahkan memilih sepeda. Di sini ada beberapa jenis sepeda. Sepeda
kuno, sepeda besar, sedang dan ada juga sepeda kecil buat anak-anak. Awalnya,
aku memilih sepeda besar, kupikir ini paling pas buat cowok. Tapi saat kunaiki
joknya, alamak… tingginya minta ampun. Padahal badanku udah tinggi, tetap aja
harus lompat buat naik atau turunnya. Jelas not recommended buat pengidap acrophobia
sepertiku. Jadi, secepat kilat, aku balik lagi ke rental. Aku pilih sepeda ukuran sedang aja. Ngapain malu, toh nggak
sedikit juga peserta cowok yang pakai sepeda ini.
Meski sedikit gugup dengan sepeda rental, tapi nyatanya sepeda
ini cepat sekali akrab denganku. Nyaman sekali. Perjalanan dimulai ke arah
barat menuju Candirejo. Kami mulai memasuki perkampungan penduduk. Tapi nggak
lama, jalanan mulai berganti jalan setapak berbatu (kayak lagunya Jikustik
aja). Ya, kami harus lewat ladang jagung dan kebun bambu. Dan selanjutnya, 80
persen kondisi jalan yang kami lewati tidaklah mulus, bahkan lebih nggak mulus
dari kulitku! Diam-diam aku merasa ada untungnya juga aku nggak bawa sepeda
sendiri. Maklum, ban sepeda milikku sensitif terhadap batu dan gundukan
(belinya murah sih), makanya kalau dia harus lewat jalan beginian, dijamin
nggak tertolong lagi.
Beberapa
kali, aku dan beberapa teman lewat persimpangan. Nggak jarang pula, kami
tertinggal rombongan dan harus tanya ke warga. Untungnya, selalu ada
pertolongan. Keramahan warga sekitar dan solidaritas antar peserta, itu yang
bikin perjalanan tidak terasa berat.
Woi.... yang lain kemana? |
Tak lama, sampailah kami ke daerah
pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo. Sungai Elo adalah sungai yang berhulu di
lereng Gunung Merbabu. Sungai ini mengalir ke arah barat sampai Kecamatan
Borobudur, kemudian menyatu dengan Sungai Progo yang berasal dari utara. Kedua sungai ini sering jadi arena rafting alias arung jeram karena arusnya yang lumayan deras dan berbatu-batu.
Selfie di tepi sungai |
Hutan bambu Desa Wanurejo |
Sesudah
berfoto dan istirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan.
Sempat melewati jalan aspal, kemudian beralih lagi ke daerah ladang dan
perkebunan. Sesekali kami berpapasan dengan warga yang sedang membawa hasil
bumi, ataupun duduk-duduk di depan rumah. Kami menyapa dengan sopan dan mereka
membalasnya dengan keramahan. Di sebuah tempat, ada peserta yang iseng
mengambil rambutan dari pohon yang berbuah lebat. Tapi pemilik rumah tidak
marah, malah setelah tahu tentang acara kami, beliau memberikan rambutan satu
tas plastik besar. Wow... bagi-bagi dong...
Kami sempat
berhenti di sebuah tempat. Pemandangan di sini luar biasa. Pegunungan Menoreh
terbentang jelas dengan sawah dan ladang di sekitarnya. Di kejauhan, beberapa
petani sedang menanam padi. Nggak nyangka banget, di dekat Magelang masih ada
suasana begini. Banyak peserta, termasuk aku nggak melewatkan pemandangan ini.
Ibarat warga metropolitan yang baru turun ke desa, kami asyik berfoto, narsis
sana sini.
Sloganku: segala yang indah tidak boleh dilewatkan |
Waktu tanam padi... di tengah sawah |
Beramah tamah dengan warga |
Dusun
Nglipoh di desa Karanganyar adalah tujuan kami selanjutnya. Warga dusun ini
dikenal sebagai pengrajin gerabah. Nah, yang kami kunjungi adalah sentra
gerabah Ngudi Makmur milik Pak Lamno. Di depan rumah itu banyak benda-benda
hasil kerajinan tanah liat, baik yang masih dijemur, dihaluskan atau yang sudah
jadi. Ada kuali, pot, cobek dan panci tanah liat.
Semua
benda-benda itu dibuat secara tradisional dan butuh ketelatenan tinggi. Kuali
misalnya, pertama dibentuk bagian mulut dulu, baru kemudian badannya. Sesudah
terbentuk sempurna, dijemur sampai kering, dihaluskan permukaannya, baru
dibakar dan kemudian dibersihkan. Hasilnya, jadilah sebuah kuali yang kokoh dan
halus. Menurut Pak Lamno, dalam 5 hari, tempatnya bisa menghasilkan sekitar 50
buah kuali.
Pak Lamno dengan kuali yang sedang dijemur |
Selain Pak
Lamno, ada juga dua orang ibu yang sedang sibuk bekerja. Ada yang sedang
menghaluskan permukaan kuali. Caranya dikerok dengan sejenis pisau besar,
kemudian ditepuk-tepuk atau bahasa Jawanya dikeplaki. Agar lebih
jelas, seorang ibu memperagakan cara membentuk tanah liat menggunakan alat
putar. Pertama-tama, alat dilumuri abu agar tidak lengket. Lalu sebongkah tanah
liat diletakkan di atasnya. Diremas-remas sambil sesekali diputar, dan apa yang
terjadi saudara-saudara? Kurang dari 10 menit terbentuklah sebuah pot!
Tanah liat yang masih mentah |
Dalam hitungan menit, jadilah sebuah pot |
Pak Lamno
nggak mau kalah, menunjukkan salah satu “jurus rahasia”. Kenapa ada cobek yang
berwarna hitam, padahal barang dari tanah liat lazimnya berwarna kemerahan.
Ternyata sesudah dibakar, panas-panas cobek itu diletakkan di antara tumpukan
daun bambu kering. Dan berubahlah warna cobek itu jadi hitam. Tapi kalau
dipecahkan, terlihat dalamnya tetap warna merah.
Sekitar
setengah jam di tempat ini, kami pun berpamitan pada Pak Lamno dan dua ibu
tadi. Kami dapat pelajaran berharga dari mereka. Usia bukan halangan untuk
terus berkarya dan mengembangkan kreativitas, yang terpenting jangan lupakan
ibadah.
Sepeda terus
kami kayuh. Ternyata tak cuma Pak Lamno, warga sekitarnya juga banyak yang
berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Ada yang membuat tempat lilin, kendi atau
barang lainnya.
Di desa
Karangrejo, kami tertarik dengan sebuah hal unik. Ada beberapa lukisan pemandangan
berbahan kain batik dipajang di teras sebuah rumah. Beberapa dari kami berhenti
sebentar, melihat-lihat. Pemilik usaha itu namanya Pak Muhdi. Dengan ramah, ia menjawab
pertanyaan dari kami. Lukisan-lukisan itu terbuat dari kain perca batik yang
direkatkan dengan paku. Khusus untuk membuat batang pohon, beliau menggunakan
daun talas yang dikeringkan. Dengan harga antara 40 ribu hingga 2,5 juta
(tergantung ukuran), Pak Muhdi banyak menerima pesanan dan mengikuti pameran di
Candi Borobudur. Bahkan, beliau merencanakan menjadikan rumahnya sebagai
galeri. Sungguh kreatif.
Lukisan indah dari kain batik |
Hei.. karena
keasyikan lihat lukisan, aku sampai tertinggal rombongan. Untungnya, masih ada
2 orang bapak di depanku, aku ikuti saja mereka, sampai akhirnya ketemu sama
yang lain. Ternyata, peserta lain sedang istirahat sebentar di tepi sawah. Di
seberang sawah itu ada hutan kecil, dan di balik hutan itu nampak Candi
Borobudur! Wow!
Delman wisata di sekitar Borobudur |
Akhirnya,
setelah blusukan sana sini, kembalilah kami ke jalan raya. Sambil bersenandung, aku mengayuh sepeda melewati keramaian
sekitar Candi Borobudur. Bagaimanapun, jelajah pedesaan dengan sepeda memberi
sensasi luar biasa. Dan hari ini aku sudah buktikan, Candi Borobudur tidaklah
sendirian, tapi banyak hal lain yang mendukung pariwisata di sekitarnya.
Finish!
Akhir perjalanan kami adalah sebuah pendopo, tak jauh dari Pondok Tingal. Setelah
makan siang dengan nasi megono (sekedar info : nasi megono itu mirip nasi urap
tapi dicampur nangka muda), acara pun ditutup oleh Mas Bagus Priyana, sang
koordinator. Hal yang mengejutkan disampaikan oleh Mas Bagus, bahwa sewaktu
survey lokasi, dia salah menghitung, ternyata rute yang sudah kami tempuh
mencapai 16 km! Dan sekali lagi, aku bersyukur bahwa aku nggak bawa sepeda
sendiri dari rumah.
Inilah nasi megono |
Kami pun
siap kembali ke kehidupan masing-masing (bahasanya…). Tidak lupa kembalikan
sepeda dulu ke Pondok Tingal.
Candi Pawon
letaknya nggak jauh dari Pondok Tingal,. Aku penasaran banget sama candi ini
karena letaknya tepat di tengah-tengah antara Candi Borobudur dan Mendut. Ibarat
dapat “bonus jelajah”, aku putuskan mampir sebentar ke Candi Pawon. Aku
menyeberang jalan sendirian dan kunyalakan GPS di HPku biar nggak nyasar.
Beneran dekat, cukup jalan sekitar 300 meter.
Di tengah
pemukiman warga, aku jumpai sebuah candi menjulang dihiasi beberapa stupa kecil di atasnya. Ini dia! Aku masuk dan
membeli tiket. Siang itu, Candi Pawon betul-betul sepi, pengunjungnya hanya aku
seorang!
Candi Pawon |
Candi ini
kecil, halamannya juga tidak terlalu besar. Mungkin karena itulah, kurang
diminati oleh wisatawan. Padahal, di sekitarnya sudah banyak warung penjual
makanan dan oleh-oleh. Tak jauh dari situ, ada juga sentra pembuatan gula jawa.
Aku mencoba
naik ke pelataran, melihat ke dalam. Tercium aroma dupa, yang menandakan bahwa
candi ini masih dipakai sebagai tempat sembahyang umat Buddha. Relief candi
yang dibangun pada abad ke-8 ini menggambarkan sosok dewa atau raja. Sementara di halaman candi, ada beberapa batuan yang belum tersusun. Menurut
teks yang terdapat di depan candi, pada badan candi tersebut terdapat arca Bodhisatya
sebagai penghormatan kepada raja Indra. Ada kemungkinan, bahwa Candi Pawon
adalah bagian dari Candi Borobudur karena memiliki relief yang mirip.
Puas
melihat-lihat, aku segera pulang. Bapak penjaga loket sempat memberiku sebuah
brosur wisata Kabupaten Magelang. Ah, ternyata banyak sekali obyek wisata di
sekitar tempat tinggalku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar