Dalam hati aku agak menyesalkan, kota tempat tinggalku, Magelang tidak ada kereta api. Mau naik kereta api harus ke Jogja atau Semarang dulu. Andai saja ada… waw… enak banget….Apalagi kereta api itu berangkatnya nggak selalu pagi, kadang malam juga ada. Jadi kalau malam-malam aku lagi bête atau bosan di rumah, langsung ngacir aja ke stasiun, beli tiket seharga berapa puluh ribu… dan jugijaggijug….kereta berangkat.. dan tahu-tahu sampailah aku ke Solo atau Surabaya.
Pemerintah kabarnya ingin
menghidupkan lagi jalur kereta di Magelang.. tapi ya, masih sebatas janji.
Mungkin bingung, mau ditaruh di mana jalur itu, soalnya jalur lama udah banyak
yang alih fungsi jadi pemukiman. Bisa heboh kalau terjadi penggusuran
besar-besaran.
Ah udahlah, yang jelas hari ini aku
mau mengitari daerah lain dulu. Tepatnya jalur kereta api Semarang-Solo. Cuma
ada satu kereta jurusan Solo dari Semarang, yaitu KA Kalijaga. Sebuah trayek kereta yang menggunakan nama salah satu dari Walisongo. Udah lama banget
aku ingin naik, karena kereta ini lewat Kabupaten Grobogan yang belum
pernah kulihat sebelumnya. Lagipula, tarifnya murah banget, Rp. 10.000 per
orang.
KA Kalijaga cuma beroperasi untuk
rute Solo-Semarang dan Semarang-Solo masing-masing 1 kali dalam sehari. Untuk
rute Solo-Semarang berangkat pukul 05.20. Jelas sama sekali nggak terjangkau
kalau berangkat dari Magelang, kecuali menginap di Solo. Akhirnya aku pilih
rute kedua, Semarang-Solo, yang berangkat jam 08.45. Itu artinya, berangkat
dari Magelang harus pagi-pagi.
Setelah sport jantung karena
masalah perjalanan : jalanan macet, bus Magelang-Semarang ngetem lama dan
sulitnya mendapat bus Trans Semarang, akhirnya dengan diantar GoJek dari Sukun
Banyumanik, aku sampai di Stasiun Poncol.
Nggak pakai lama, aku langsung berlari ke loket penjualan tiket. Waktunya tinggal 20 menit lagi, jadi
cepatlah!
Stasiun Semarang Poncol |
Ngomong-ngomong, selain KA
Kalijaga, loket ini juga menjual tiket KA Kedungsepur dengan rute
Semarang-Ngrombo. Buat yang belum tahu, Ngrombo itu sebuah kecamatan di dekat
Purwodadi. Aku pengin juga sih, naik KA itu. Harganya sama, Rp. 10.000 per
orang. Sayang beribu sayang, jam keberangkatannya dari Semarang adalah jam
06.00 dan 15.45. So, kapan-kapan aja ya!
Segera aku check in, masuk ke
stasiun. Ternyata KA yang ingin kunaiki sudah datang. Aku langsung bertanya
lokasi gerbong ke petugas, dan naik.
Asyik, aku dapat tempat duduk dekat
jendela! Jadi nanti, aku bisa lihat pemandangan dengan jelas. Ya, biarpun
dudukku menghadap ke belakang, posisi yang nggak terlalu kusukai karena bikin
pusing kalau kelamaan. Terdengar pengumuman dari speaker kereta berupa ucapan
selamat datang dan daftar stasiun yang
akan disinggahi, yaitu Stasiun Semarang Tawang, Brumbung, Kedungjati, Telawa,
Gundih, Salem, dan berakhir di Stasiun Solo Balapan.
Inilah kereta api Kalijaga |
Bagian dalam KA Kalijaga |
Saat kereta berangkat, gerbong yang kunaiki masih lengang, baru terisi beberapa orang. Begitu juga ketika berhenti di Stasiun Tawang, jumlah penumpang tidak sampai 50%. Mungkin karena bukan hari libur, mungkin juga karena sebagian orang lebih suka naik bus ke Solo.
Kereta mulai meninggalkan kota
Semarang. Aku berusaha menikmati perjalanan dengan lihat pemandangan sambil
sesekali jeprat jepret kamera HP. Penumpang di sekitarku sibuk dengan aktivitas
masing-masing, sementara beberapa kru kereta menjajakan minuman dan snack. Hingga
tanpa disadari, kereta sudah berhenti. Sebuah stasiun yang bentuknya seperti
gudang penyimpanan dengan kereta barang di depannya. Stasiun Semarang Gudang? Ternyata bukan. Ini adalah Stasiun
Brumbung, satu-satunya stasiun kereta yang masih aktif di Kabupaten Demak. Dan
ternyata bangunan utama stasiun itu sendiri nampak di jendela seberangku
(sebelah kanan), bangunan gudang itu adalah bagian belakangnya. Belakangan aku ketahui, gudang ini adalah milik perusahaan semen Holcim. Semen diangkut dengan kereta barang dari pabriknya di Cilacap, untuk selanjutnya didistribusikan ke Semarang dan sekitarnya. Ooooh...
Berangkat lagi! Kali ini kereta menyusuri ruas jalur Semarang-Tanggungharjo. Ngomong-ngomong, jalur ini adalah jalur kereta tertua di Jawa yang dibangun pada tahun 1867. Stasiun Tanggung sendiri sudah tidak lagi melayani penumpang, hanya untuk persilangan kereta api. Sayangnya, karena terlalu fokus dengan jendela di sampingku, aku tidak sempat melihat stasiun yang letaknya di sebelah kanan.
Gudang semen Holcim dan kereta barang di Stasiun Brumbung |
Berangkat lagi! Kali ini kereta menyusuri ruas jalur Semarang-Tanggungharjo. Ngomong-ngomong, jalur ini adalah jalur kereta tertua di Jawa yang dibangun pada tahun 1867. Stasiun Tanggung sendiri sudah tidak lagi melayani penumpang, hanya untuk persilangan kereta api. Sayangnya, karena terlalu fokus dengan jendela di sampingku, aku tidak sempat melihat stasiun yang letaknya di sebelah kanan.
Memasuki Kabupaten Grobogan, suasana
yang ada nyaris membuatku tak percaya bahwa ini di Jawa Tengah. Terbentang tanah
kapur yang berbukit-bukit. Sebagian besar digunakan sebagai ladang tanaman jagung, pisang, dan ketela. Tak ketinggalan
juga hutan jati yang menambah semarak.
Tanaman pisang di tengah perbukitan |
Ladang jagung |
Stasiun Kedungjati dibangun pada
tahun 1873, sezaman dengan Stasiun Ambarawa. Tak heran kalau bangunannya pun menggunakan arsitektur zaman
kolonial, dengan jendela berukuran besar dan pilar-pilar bergaya puri. Dulu,
stasiun ini adalah penghubung utama jalur Semarang-Solo. Namun sekarang tidak
banyak kereta api yang lewat di sini. Semoga saja reaktivasi jalur kereta
Ambarawa-Kedungjati segera diselesaikan, agar stasiun ini ramai lagi.
Lepas dari Kedungjati, hari semakin
siang, untungnya kereta ini memiliki AC sehingga penumpang tidak kepanasan.
Pandanganku masih tidak lepas dari pemandangan di luar, biarpun yang terlihat
sama dengan tadi : hutan jati, ladang jagung dan kebun pisang, kadang diselingi
dengan pemukiman penduduk. Sempat melewati Stasiun Padas, stasiun kecil yang
hanya berfungsi sebagai lokasi persilangan kereta api.
Tak lama, kereta berhenti lagi di Stasiun Telawa, Kecamatan Juwangi. Uniknya, meski “terkurung” oleh Kabupaten Grobogan, Juwangi termasuk dalam Kabupaten Boyolali. Dan Telawa adalah satu-satunya stasiun aktif di kabupaten ini. Entah kenapa dinamakan Telawa, aku nggak tahu, mungkin nama desa di sini. Stasiun kecil ini sempat dinonaktifkan oleh PT KAI, tapi karena banyaknya permintaan dari masyarakat, akhirnya dibuka kembali pada tahun 2015. Kenyataannya hari ini, tak sedikit juga penumpang yang naik atau turun di sini.
Tak lama, kereta berhenti lagi di Stasiun Telawa, Kecamatan Juwangi. Uniknya, meski “terkurung” oleh Kabupaten Grobogan, Juwangi termasuk dalam Kabupaten Boyolali. Dan Telawa adalah satu-satunya stasiun aktif di kabupaten ini. Entah kenapa dinamakan Telawa, aku nggak tahu, mungkin nama desa di sini. Stasiun kecil ini sempat dinonaktifkan oleh PT KAI, tapi karena banyaknya permintaan dari masyarakat, akhirnya dibuka kembali pada tahun 2015. Kenyataannya hari ini, tak sedikit juga penumpang yang naik atau turun di sini.
Perjalanan selanjutnya, lagi-lagi pemandangan tanaman jagung, pohon jati, dan pohon pisang yang diterpa sinar matahari. Aku coba alihkan pandangan ke jendela seberang. Ternyata sedikit berbeda. Suasana pemukiman pedesaan lebih mendominasi. Yang menarik, sebagian rumah di sini menggunakan atap tradisional, yaitu joglo.
Pemandangan sebuah rumah di Geyer, Grobogan |
Waktu terus berjalan seiring dengan
kereta yang terus melaju. Stasiun Gundih adalah perhentian berikutnya. Nama
kecamatan di sini sebenarnya adalah Geyer, tapi lebih dikenal dengan nama
Gundih.
Stasiun Gundih juga merupakan
stasiun tua, seperti halnya Stasiun Kedungjati. Sayangnya, aku nggak bisa
melihat jelas bangunannya karena terletak di sebelah kanan. Aku cuma bisa
menyaksikan beberapa gerbong kereta dan lokomotif yang sedang parkir. Tapi sekilas bisa
terlihat bahwa bangunan stasiun ini juga bergaya kolonial yang masih asli. Di
dekat stasiun juga masih berdiri bangunan tua, yang mungkin adalah rumah dinas
kepala stasiun.
Oh ya, di sebelah utara stasiun ini ada persimpangan jalur kereta menuju Gambringan, yang saat ini cuma digunakan sebagai jalur cadangan. Ingin rasanya aku turun buat lihat-lihat daerah ini, syukur-syukur nemuin penjual pecel Gambringan. Eh, tapi gimana kalau ketinggalan kereta? Repot pulangnya
Lokomotif yang sedang parkir di Stasiun Gundih |
Oh ya, di sebelah utara stasiun ini ada persimpangan jalur kereta menuju Gambringan, yang saat ini cuma digunakan sebagai jalur cadangan. Ingin rasanya aku turun buat lihat-lihat daerah ini, syukur-syukur nemuin penjual pecel Gambringan. Eh, tapi gimana kalau ketinggalan kereta? Repot pulangnya
Perjalanan di Kabupaten Grobogan
diakhiri dengan melewati Stasiun Goprak, stasiun yang hanya digunakan untuk
persilangan. Nah, sekarang saatnya memasuki Kabupaten Sragen. Pemandangan
ladang masih terlihat, tapi karena datarannya lebih tinggi, di sini dibangun
terasering untuk mencegah longsor.
Sampai di Sumberlawang, suasana perkotaan mulai terasa, karena rel kereta berada tak jauh dari jalan raya. Begitu juga ketika mendekati Stasiun Salem, Gemolong, mulai terdapat beberapa perlintasan karena lokasi rel dekat dengan pemukiman warga. Stasiun Salem adalah stasiun terakhir bagi KA Kalijaga untuk menaikturunkan penumpang sebelum menuju perhentian terakhir di Stasiun Solo Balapan.
Terasering untuk mencegah longsor |
Jalan raya di Sumberlawang, Kabupaten Sragen |
Sampai di Sumberlawang, suasana perkotaan mulai terasa, karena rel kereta berada tak jauh dari jalan raya. Begitu juga ketika mendekati Stasiun Salem, Gemolong, mulai terdapat beberapa perlintasan karena lokasi rel dekat dengan pemukiman warga. Stasiun Salem adalah stasiun terakhir bagi KA Kalijaga untuk menaikturunkan penumpang sebelum menuju perhentian terakhir di Stasiun Solo Balapan.
Sebuah rumah dekat Stasiiun Salem |
Semakin mendekat ke perhentian
terakhir, mulai terdengar alunan lagu. Tadinya aku pikir, awak kereta bakal
memutar lagunya Didi Kempot. Eh, tak kusangka, yang diputar adalah lagu religi
dari Gigi. Hmmm… mungkin pikir mereka daripada lagu campursari lebih baik
dikasih lagu yang lebih punya makna.
Oh Tuhan... mohon ampun
Atas dosa dan dosa
S'lama ini aku tak menjalankan perintahMu
Tak pedulikan namaMu
Tenggelam... melupakan diriMu.
...............
Daaan… tepat jam 11.45 KA Kalijaga
sampai di Stasiun Solo Balapan. Total waktu perjalanan adalah 2 jam 45 menit. Aku
langsung turun. Ya, untuk kesekian kalinya aku kembali menjejakkan kaki di kota
Solo.
Sampai jumpa KA Kalijaga! |
Stasiun Solo Balapan |
Agar tidak kesorean pulangnya, aku sengaja nggak jauh-jauh dari stasiun. Menurut perhitunganku, sebaiknya aku segera naik KA Prameks ke Jogja jam 13.00. Seperti halnya di Stasiun Poncol tadi, di sini juga ada loket khusus untuk KA lokal. Saat aku menuju ke loket, weladalah antrinya… panjang bener. Ternyata antrian beli tiket ini untuk KA Prameks yang jam 12.15. Setelah kloter ini berangkat, barulah tiket yang untuk jam 13.00 dijual. Minat masyarakat untuk naik KA Prameks memang tinggi, karena kereta ini adalah penghubung utama Jogja-Solo. Di samping itu, tarifnya juga terjangkau, lebih murah dari naik bus.
Karena masih setengah jam, aku
jalan-jalan dulu keluar stasiun. Di dekat stasiun ada Pasar Ayu Balapan, yang
menjual aneka kuliner, batik, hingga barang-barang kerajinan berukuran kecil
yang kalau di sini disebut klithikan. Seporsi soto yang menyegarkan langsung
mengenyangkan perutku siang ini.
Pasar Ayu Balapan |
Nah, saatnya pulang. Aku balik ke
stasiun dan langsung beli tiket. Untungnya, baru jam 12.20 sehingga loket masih
sepi. Langsung aku dapat tiket seharga
Rp. 8000. Oh ya, sekedar tips buat kalian yang mau naik KA Prameks, sebaiknya
kalau beli tiket waktunya jangan terlalu mepet. Jadi, setelah KA Prameks yang
kloter sebelumnya diberangkatkan, segeralah beli tiketnya agar tidak terjebak
antrian panjang seperti tadi. Satu lagi yang perlu diingat, tempat duduk tidak
ditentukan. Kalau kalian nggak ingin kehabisan tempat duduk yang nyaman,
sebaiknya naik dari Stasiun Balapan. Dan begitu kereta datang, segeralah naik.
Beruntung, aku dapat tempat duduk
yang cukup nyaman di dekat pintu. Maka, biarpun nantinya kereta penuh, aku
nggak terlalu sulit buat turun.
Setiba di Jogja, kira-kira 1 jam
kemudian, aku putuskan turun di Stasiun Maguwo, yang letaknya satu komplek
dengan Bandara Adisucipto. Bukannya mau sok masuk airport, tapi karena akses
bus Trans Jogja untuk menuju terminal lebih mudah dari sini. Kalau dari Stasiun
Tugu atau Lempuyangan, harus jalan kaki lumayan jauh buat menuju halte Trans
Jogja. Ya, dari halte di depan bandara, aku tinggal naik bus ke Terminal
Condongcatur, disambung ke Terminal Jombor, hingga akhirnya bus ke Magelang.
Tanpa terasa, hari ini aku sudah
mengitari Joglosemar (lebih tepatnya sih Semarlojog, karena aku mulai dari
Semarang). Keinginan naik KA Kalijaga yang selama ini aku dambakan terbayar
sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar