Setelah
keluar dari stasiun, aku sedikit bingung mau ngapain. Kalau dipikir-pikir, aku
salah strategi. Masalahnya aku baru bisa check in hotel pukul 13.00, sedangkan
waktu itu baru pukul 08.00. Itu artinya selama 5 jam ke depan aku harus
luntang-lantung keliling kota! Padahal aku menggendong tas ransel yang lumayan
berat. Huh…. Inilah tandanya backpacker
amatiran.
Nggak
ada cara lain selain jalan-jalan dulu. Aku melangkah ke Taman Trunojoyo di
seberang stasiun. Sebuah taman kecil dengan mainan anak sederhana, yang
mengingatkanku pada Taman Badakan di Magelang.
Pagi itu, taman sedang ramai oleh anak-anak TK yang sedang bermain
sambil belajar. Sedangkan di depannya ada beberapa penjual makanan seperti
bubur ayam, bakso, dan soto.
Karena
belum sarapan, aku pun beli Soto Madura. Begitu semangkuk soto sampai di
tanganku, weladalah, porsinya gede banget. Sayangnya lagi, isi dagingnya adalah
jeroan yang sama sekali nggak kusukai. Berhubung lapar, tetap kumakan sampai
habis, cuma jeroannya terpaksa kusisihkan.
Dengan
sedikit tertatih karena tas yang kubawa berat, aku menuju ke arah barat.
Seketika aku dibuat terpesona dengan taman di tengah jalan. Aneka bunga dan
tanaman hias lainnya jadi saksi bisu kendaraan yang lalu lalang. Ya, di Malang
ini cukup banyak taman kota. Bahkan di pinggir Jalan Kertanegara yang kulewati disediakan
bangku agar pengguna jalan bisa beristirahat sambil menikmati keindahan taman.
Ternyata
di ujung taman adalah Alun Alun Tugu, letaknya tepat di depan Balai Kota
Malang. Dinamakan Alun Alun Tugu karena di tengahnya terdapat sebuah tugu besar. Alun-alun ini ditata dengan sangat luar biasa. Di tengahnya terdapat air
mancur, dikelilingi aneka bunga. Suasana terasa sejuk dan damai biarpun jalan
cukup ramai. Aku jadi teringat slogan kotaku , Magelang Kota Sejuta Bunga. Tapi
faktanya Malang punya lebih dari itu! By the way, Malang punya 2 alun-alun, yakni Alun-alun Tugu ini dan Alun-alun Merdeka.
Alun-alun Tugu |
Nah,
sekarang mau ke mana lagi? Pilihanku jatuh ke Museum Brawijaya. Letaknya 2 km
dari Alun Alun Tugu. Sebenarnya aku sudah print daftar rute angkot di Malang,
cuma berhubung malas buka tas, aku putuskan pesan GoJek.
Singkat
cerita, aku diantar ke Museum Brawijaya, sebuah museum perjuangan yang dikelola
oleh TNI AD setempat. Tapi sebelum ke museum,aku lebih dulu tertarik dengan
pemandangan di seberangnya : Ijen
Boulevard.
Bayangkan,
di tengah-tengah jalan 2 arah terbentang sebuah jalur hijau. Puluhan pohon palem
menghiasi sepanjang tepi jalan. Sedangkan untuk pengunjung disediakan bangku
taman dan beberapa gazebo beratap dedaunan. Benar-benar mirip jalur hijau di
Eropa. Lebih-lebih semua bisa dinikmati secara gratis. Dijamin betah deh berlama-lama di sini.
Ijen Boulevard yang bikin betah |
Seperti biasa selfie dulu |
Aku
lebih dulu merebahkan diri di bangku taman. Menikmati semua keindahan yang ada
sambil beristirahat. Bahuku mulai pegal gara-gara menggendong tas ransel. Siang
itu Ijen Boulevard cukup sepi. Cuma ada dua muda mudi yang sedang jalan-jalan,
serta beberapa petugas yang sedang memperbaiki jaringan listrik.
20 menit berlalu dengan cepat. Biarpun nyaman banget duduk di sini, aku tetap harus lanjut perjalanan. Langsung saja
aku menyeberang ke Museum Brawijaya.
Masuk
ke halaman, tiba-tiba tentara yang bertugas jaga di depan menegurku :
Tentara
: Mas, dari mana?
Aku
: Dari Magelang pak
Tentara
: Itu tasnya isinya apa?
Aku
: Baju
Tentara
: Mau berkunjung?
Aku
: Iya pak
Tentara
: Ya, silahkan
Duh,
gregetan rasanya. Bukan berarti pak tentara itu nggak welcome sama wisatawan
lho. Mungkin penampilanku agak “mencurigakan”. Maklum deh, datang sendiri, bawa
tas gede banget.
Museum Brawijaya, dengan patung Jendral Sudirman di depannya |
Setelah mengisi buku tamu dan membayar Rp. 3000, aku langsung masuk ke ruangan di samping kanan. Saat itu pengunjung museum cuma aku sendiri serta sepasang orang tua dengan anaknya.
Di ruangan yang cukup besar itu banyak benda-benda peninggalan zaman kemerdekaan, khususnya yang berasal dari Jawa Timur. Begitu masuk, terlihat beberapa meriam kecil. Lantas sebuah mobil kuno bernama De Soto yang dulu pernah digunakan oleh Kolonel Sungkono, mantan Panglima Divisi Brawijaya tahun 1948-1950
Senjata hasil rampasan |
Mobil De Soto |
Semakin ke dalam, terpajang papan seperti majalah dinding berisi kliping berita perjuangan di Jawa Timur. Salah satunya peristiwa PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar, awal tahun 1945. PETA sebenarnya adalah organisasi pemuda bentukan Jepang yang tujuannya militerisasi pemuda Indonesia demi kekuatan melawan Sekutu. Namun, muncul kesadaran dari para pemuda tersebut untuk melawan penjajah Jepang hingga terjadilah pemberontakan besar
Ada juga peninggalan dari pertempuran melawan Belanda di Mojokerto tahun 1946. Di antaranya alat-alat kedokteran milik Mayor dr.Hadiyono, dokter KODAM yang ikut gugur dalam peristiwa itu. Ada jarum suntik, gunting, pinset, tempat obat, dan beberapa lagi.
Kliping berita perjuangan dari media zaman dulu |
Alat kedokteran Mayor dr Hadiyono |
Meja kursi ini pernah dipakai Proklamator kita lho! |
Lukisan terbunuhnya Mallaby dalam Pertempuran 10 November |
Di museum ini kita juga bisa temukan koleksi uang kuno dari zaman perjuangan. Ada juga pesawat radio peninggalan Denhub Brawijaya yang masih menggunakan baterai aki, hingga panji-panji milik Kodam VII/Brawijaya. Tak ketinggalan beberapa senjata api hasil rampasan dari tangan penjajah.
Uang kuno dari zaman kemerdekaan |
Radio dengan baterai aki |
Panji-panj KODAM Brawijaya dari masa ke masa |
Peta
gerilya (taktik perang secara sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah) menjadi
bukti betapa hebatnya pejuang di masa lalu. Jendral Sudirman misalnya, biarpun
dalam keadaan sakit, beliau tetap memimpin pasukan gerilya dari Yogyakarta
hingga Kediri tahun 1948-1949.
Masih
banyak lagi koleksi museum ini, di antaranya gerbong tua . Sayangnya karena
tubuh sudah lelah, aku nggak bisa berlama-lama di sini. Dalam hati aku
menyindir diriku sendiri, aku baru begini saja udah capek, gimana dengan
pahlawan zaman dulu yang berjuang tanpa kenal lelah? Berarti aku nggak pantas
jadi pahlawan? Itu sih no comment, capek ya capek aja… hehehe.
Koleksi
museum ini ternyata tidak hanya di dalam ruangan saja. Di depan gedung, kita
juga bisa lihat beberapa senjata ukuran besar, yaitu tank yang digunakan dalam
Pertempuran 10 November, tank amfibi dari pertempuran pasukan TRIP melawan Belanda,
alat penangkis serangan udara, serta meriam besar yang disebut Si Buang. Yang
menarik, taman di sekitarnya ditata dengan rapi sehingga tidak terasa
membosankan.
Tank amfibi, saksi bisu pertempuran TRIP melawan Sekutu |
Meriam Si Buang, hasil rampasan darI Belanda |
Belakangan,
aku baru tahu, ternyata yang kumasuki tadi baru sebagian dari ruangan museum.
Masih ada satu ruangan lain yang belum kumasuki. Ya, mau gimana lagi, udah
terlanjur. Lain kali aku akan datang lagi ke sini.
Museum
Brawijaya menunjukkan padaku betapa hebatnya perjuangan para pendahulu kita.
Semua tertulis menjadi sejarah yang semestinya dikenang. Sayang, tak banyak
masyarakat yang berminat mempelajarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar