Biarpun
belum terbiasa, akhirnya aku bisa tidur juga. Malahan paginya aku agak malas
bangun gara-gara kecapekan kemarin. Mau bangun jam 06.00, “Ah, sebentar lagi”.
Sebentar lagi melulu, akhirnya jam 07.30 aku baru bangun tidur. Kesiangan deh... tapi bagaimanapun aku harus lanjut perjalanan hari ini.
Setelah
mandi dan bersiap-siap, aku keluar dari hostel. Kota
Batu adalah tujuanku hari ini. Awalnya aku mau cari sarapan dulu, tapi di
kawasan pasar dan Jl. Martadinata nggak ada makanan yang memancing seleraku.
Lagipula entah kenapa dari kemarin aku nggak selera makan nasi. Akhirnya aku
naik angkot dari Jl. Kyai Tamin. Pikirku, nanti cari makan di terminal atau
sekalian aja di Batu.
Ternyata
aku masih harus ganti angkot di seberang Stasiun Malang Kotabaru. Kata pak
supirnya, dari sini aku harus naik angkot jurusan Dinoyo, turun di Terminal
Landungsari, baru disambung angkot ke Batu. Yah… biarpun agak ribet, aku nggak
usah mengeluh, hitung-hitung keliling kota.
Rasa
laparku rupanya udah nggak bisa kutahan. Untungnya kutemukan pusat kuliner
berjajar di seberang stasiun. Huh, kenapa kemarin bisa nggak terlihat sih? Di
sini banyak pilihan mau makan apa.
Pusat kuliner depan Stasiun Malang |
Langkahku
terhenti di sebuah warung. Di sini tersedia aneka makanan khas Jatim, ada tahu
campur, tahu telur, rujak cingur, dan rawon. Aku pilih tahu campur. Menurut
info yang sering kubaca, tahu campur ini mirip kupat tahu Magelang, cuma
ditambah perkedel singkong, kikil, dan petis.
Tak
lama,penjual menghidangkannya padaku. Aku langsung menikmatinya. Sesendok, dua
sendok, lama-lama… lho, rasanya beda dengan yang kubayangkan. Di piringku ada
irisan sawi, taoge, singkong rebus, cingur sapi, dan sedikit sambal, dengan
kuah berbumbu petis. Nggak ada tahu sepotong pun. Ada tempe, itu pun cuma
secuil. Apakah mbak penjualnya keliru? Atau dia belum sempat beli tahu lalu
pakai sembarang bahan yang ada? Atau mungkin dia melihatku sebagai turis, jadi
dibuatkan rujak cingur biar aku cicipi? Pertanyaan itu kupendam saja di hati.
Aku merasa nggak enak kalau protes, karena udah kumakan separuh.
Toh akhirnya makanan aneh itu kuhabiskan juga. Ditambah teh hangat dan
kerupuk, harganya jadi Rp. 15.000.
Ini tahu campur atau rujak cingur ya? |
Berhubung hari semakin siang, aku segera
mendekati angkot jurusan Dinoyo yang ngetem dekat situ.
Oh ya, soal rute atau jalur angkot. Angkot di Malang tidak pakai
nomor, tapi singkatan nama daerah yang dilalui, contohnya ADL
(Arjosari-Dinoyo-Landungsari), LDG (Landungsari-Dinoyo-Gadang) atau MKS
(Mulyorejo-Klayatan-Sukun). Pembeda lainnya adalah warna garis pada angkot,
misalnya garis abu-abu untuk ADL dan garis putih untuk LDG.
Biasanya aku paling malas kalau tunggu angkot ngetem. Tapi pagi
ini, aku enjoy dengan keadaan ini. Aku sengaja duduk dekat pak supir yang segera
mengajakku berbincang basa-basi. Keberanianku solo traveler dengan jarak hampir
350 km ini membuatnya kagum. Belum tahu dia… aku bahkan pernah ke Jakarta
sendirian, padahal masih buta arah.
Angkot berangkat meskipun penumpangnya cuma aku dan seorang lagi.
Sepanjang perjalanan, aku dimanjakan dengan pemandangan kota yang ramai berikut
suasana yang menyejukkan mata. Benar-benar kota yang indah.
Jalan menuju Dinoyo |
Perjalanan terus berlanjut, aku sempat melewati Dinoyo, daerah
yang terkenal sebagai pusat kerajaan Kanjuruhan pada abad ke 8. Selanjutnya,
angkot melaju ke pinggiran kota Malang. Tidak banyak penumpang yang naik
angkot. Sampai di Terminal Landungsari, cuma tinggal aku sendiri. Memang,
biarpun jumlahnya banyak, angkot di Malang berangsur-angsur sepi karena banyaknya
kendaraan pribadi. Beruntung dengan posisi Malang sebagai daerah wisata, mereka
bisa tetap bertahan.
Terminal Landungsari ini adalah terminal angkot di sebelah barat
kota Malang. Buat yang mau ke Batu dan sekitarnya bisa naik angkot dari sini.
Sama sekali tidak sulit menemukan angkot jurusan Batu, karena
jumlahnya cukup banyak. Cuma ya, kita musti sabar, karena kadang-kadang ngetem
cukup lama. Kecuali kalau pak sopirnya udah bosan menunggu penumpang, maka 2-3
orang saja udah cukup buat berangkat.
Benar saja, dengan berpenumpang aku dan seorang ibu, angkot
berangkat menuju Batu. Keluar dari kota Malang, jalan mulai menanjak. Suhu udara mulai turun. Jarak Malang ke Batu
adalah 17 km, bisa ditempuh kurang dari setengah jam.
Sesampai di Terminal Batu, puluhan angkot dengan berbagai jurusan
sudah menunggu. Lagi-lagi kita dimudahkan karena angkot di Batu melewati
sebagian besar objek wisata yang ada, di antaranya jurusan Selecta dan
Songgoriti. Pembedanya adalah warna mobilnya.
Aku memilih pergi ke Selecta, jadi aku naik angkot warna oranye.
Tak lama,angkot menyeberang ke pasar di seberang terminal. Dalam hitungan
menit, mobil ini penuh dengan penumpang, baik wisatawan maupun warga lokal
berbaur jadi satu.
Perjalanan mengelilingi kota Batu yang sejuk dan tidak terlalu
ramai bikin hati terasa damai. Puluhan penginapan dan beberapa taman yang indah
sempat kulewati. Sempat terlihat juga Museum Angkut dan agrowisata apel hijau.
Sejurus kemudian, angkot menanjak naik ke pegunungan. Pemandangan
kota Batu mulai menjauh di bawah. Pohon-pohon tinggi khas pegunungan menghijaukan
suasana. Kesejukan dan kedamaian menyeruak. Wah… rasanya… seperti di surga. Andai ada yang menemaniku, pasti lebih asyik lagi.
Kota kecil di kaki gunung
Di sana pertama cinta bersemi
Suasana tenang dan damai
Tiada cemburu tiada nestapa
Sungai berliku di kaki bukit’
Di sanalah kita bercumbu
Cinta pertama kita berdua
Terukir di pucuk cemara
(Cemara Cinta by Dian Piesesha)
Ternyata ada saja halangannya. Sesampai di Selecta, hujan turun
dengan derasnya. Terpaksa aku jalan sambil bawa payung.
Selecta adalah sebuah taman yang sudah terkenal sejak zaman
Belanda. Tiket masuknya Rp. 30.000. Cukup mahal memang. Tapi semua terbayar
dengan keindahan yang ditawarkan. Objek wisata ini letaknya cukup tinggi, jadi
aku harus hati-hati melewati jalan beraspal yang licin karena hujan.
Sampai juga di Selecta |
Di depan pintu masuk taman, beberapa akuarium besar dengan
ikan-ikan koi yang hilir mudik. Di atasnya patung Dewa Wisnu, yang melambangkan
bahwa kawasan ini adalah bagian dari kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Semakin ke dalam, kutemui kolam renang dan waterpark. Pengunjung
hari itu penuh, kebanyakan anak-anak dan orang tuanya yang asyik main air. Hujan
sama sekali nggak menyurutkan kegembiraan mereka. Aku heran, apa nggak
kedinginan ya. Aku suka main air, tapi kalau harus menggigil sih… sorry lah ya.
Kolam renang ini sudah terkenal sejak zaman Belanda lho! |
Asyik bermain di waterpark, apa nggak kedinginan ya? |
Tapi memang, apa yang indah tidak boleh dilewatkan. Karena nggak
ingin berenang, aku menuju ke kebun bunga. Wow…. Luar biasa. Hamparan
bunga-bunga beraneka warna menghiasi lereng bukit. Mulai dari bunga mawar
sampai edelweiss. Kita bebas naik turun bukit. Ibarat lagu “Bukit Berbunga”.
Tapi jangan coba-coba memetik bunga, karena di sini dilarang. Kalau ingin
sambil bermain, bisa coba wahana becak udara.
Wow. luar biasa indahnya |
Nggak bosan-bosan melewati rimbunnya bunga |
Aku berkeliling menikmati semua keindahan ini sambil sesekali
jeprat-jepret kamera HP. Sempat seorang ibu yang datang bersama rombongan minta
tolong buat difotokan. Tak heran, tempat ini jadi spot favorit buat foto-foto.
Mau selfie atau groupie silahkan saja yang penting jangan sampai merusak taman.
Sesudah puas melihat-lihat, aku keluar dari taman. Di dekat tempat
parkir, ada penjual bunga dan tanaman hias. Tak ketinggalan pasar kuliner.
Semua tertata rapi. Tentu saja aku nggak melewatkan kesempatan ini. Tapi mau
beli tanaman? Ah, nggak. Selain repot bawanya, aku juga nggak telaten kalau
disuruh berkebun. Aku beli makanan saja.
Monggo, dipilih tanamannya |
Pasar aneka kuliner |
Di pasar kuliner ini belasan warung berjajar menjajakan oleh-oleh
khas Malang dan Batu. Seorang ibu dengan ramah menawarkan dagangannya bikin aku
nggak bisa menolak. Yang utama sudah pasti apel. Eit… di sini apelnya nggak
cuma apel hijau. Ada juga apel yang agak kemerahan atau hijau kekuningan.
Menurut penjualnya, bedanya dari segi rasa. Apel yang kemerahan rasanya sedikit
asam, apel hijau lebih manis, sedangkan yang kekuningan tidak terlalu manis
tapi segar.
Harga apel cukup murah. Sekilo cuma Rp. 10.000. Selain apel, warung ini juga menjual keripik tempe, keripik buah, dan minuman sari buah. Siapa
yang nggak tergoda? Yup, daerah Batu dan sekitarnya memang terkenal sebagai
penghasil buah-buahan, khususnya apel. Tapi karena malas bawa barang berat
(takut sakit punggung seperti kemarin), akhirnya aku cuma beli sekilo apel
hijau, ditambah sebungkus keripik tempe seharga Rp. 3.500.
Karena belum makan siang, aku menikmati bakso Malang di sebuah
kedai, bagian depan pasar kuliner. Makanan yang juga sering disebut Bakwan
Bromo atau Bakwan Kawi ini isinya komplit. Selain mie dengan bakso ukuran besar
dan kecil, juga ada tahu bakso dan pangsit yang juga dalam ukuran besar. Semuanya tenggelam dalam kuah kaldu sapi yang gurih. Seketika aku langsung merasa kenyang. Harganya sebandinglah, Rp.13.000
Makan bakso dulu yuk |
Nah, sekarang ke mana lagi? Waktu baru jam 12.30. Terlalu cepat
kalau balik ke Malang sekarang. Aku pun pikir-pikir, mencari tempat wisata yang
terjangkau. Aku teringat waterpark tadi. Kalau berenang di tempat dan cuaca
seperti ini pasti kedinginan, tapi kalau airnya hangat? Wah, pasti enak. Ya,
Pemandian Cangar atau Songgoriti.
Sayangnya, dari Selecta ini tidak ada angkutan menuju Cangar,
apalagi jaraknya jauh dari sini. Bisa kesorean aku kalau nekat ke sana. Kalau
Songgoriti, masih memungkinkan, tapi aku harus balik ke Terminal Batu dulu.
Hujan kembali turun cukup deras. Hampir setengah jam aku menunggu
angkot di depan gerbang masuk Selecta. Sampai akhirnya sebuah angkot berwarna
oranye berhenti di depanku. Aku langsung naik setelah memastikan bahwa itu
jurusan Batu. Tak lama, angkot ini langsung berangkat menembus hujan.
Turun di Terminal Batu, aku langsung ganti angkot kuning jurusan
Songgoriti. Dan ibarat naik turun gunung, aku kembali lewat jalan menanjak di
lereng gunung Arjuna. Jalan tidak seramai tadi, hanya sesekali berpapasan
dengan mobil atau bus wisata.
Sebuah gerbang bergaya candi berdiri tepat di depan Pasar
Songgoriti. Nggak salah lagi, inilah Tirta Nirwana, tempat yang ingin kukunjungi. Turun dari angkot, aku segera masuk dan membayar tiket seharga Rp.
15.000.
Pintu masuk Tirta Nirwana, didesain ala candi |
Begitu masuk… kembali indahnya perbukitan menyapaku. Sesuai
rencana, aku ingin berendam air hangat. Ada 2 kolam di sini, kolam renang biasa dan
kolam renang air hangat.
Tapi ugh… terpaksa niatku tadi kuurungkan. Habisnya kolam air
hangat di sini sudah dipenuhi anak-anak, lagipula tempatnya didesain ala
waterpark. Malu dong, mandi bareng anak-anak.
Yang depan kolam renang biasa, di belakangnya kolam air hangat |
Di sudut lain, sebenarnya ada kamar mandi dengan air hangat. Tapi
harus bayar Rp. 7500. Yaaah… kalau gini sih, apa bedanya dengan aku mandi air hangat di
hotel. Akhirnya sambil menahan kecewa, aku tinggalkan
kawasan pemandian, melangkah ke taman di bagian belakangnya.
Aku berusaha melihat setiap sudut dengan teliti, berharap
menemukan sesuatu yang menarik. Tapi ternyata nggak ada yang pas. Cuma ada
taman bermain anak-anak dengan patung-patung hewan atau mobil mini di sekitarnya. Ada juga
danau buatan yang menyediakan wahana sepeda air. Sekilas tak jauh beda dengan Taman Kyai Langgeng di Magelang. Jelas tempat seperti ini
kurang cocok buatku, apalagi siang ini kebanyakan pengunjungnya anak-anak. Aku cuma
bisa duduk di lereng bukit, melemaskan kaki sambil melihat pemandangan
anak-anak sedang bermain.
Taman bermain dengan patung mobil mini |
Tiba-tiba hujan turun lagi. Cepat-cepat aku keluar dari kawasan
Tirta Nirwana ini. Baru sampai di depan gerbang, derasnya air hujan seakan
sudah nggak sabar. Terpaksa aku berteduh di depan Pasar Songgoriti, menunggu
angkot ke Batu. Aku putuskan pulang saja
ke Malang. Lain kali bisa kunjungi tempat lain lagi.
Lamaaaa sekali aku menunggu angkot. Hingga akhirnya angkot
berwarna kuning lewat. Biarpun harus berdesakan sama anak sekolah, lebih baik
daripada nggak bisa pulang. Ngomong-ngomong, angkot di Batu cuma beroperasi sampai sore, jadi jangan sampai kemalaman di sini.
Hujan berangsur reda saat memasuki kota Batu. Angkot melewati
pusat kota Batu. Ternyata biarpun daerah pegunungan, Batu bukanlah daerah
terpencil. Tetap seperti kota pada umumnya, ada alun-alun, supermarket dan
perkantoran. Bahkan sore ini, kota cenderung ramai. Cuma satu hal yang kusesalkan, baterai HPku habis, jadi nggak bisa ambil foto lagi.
Aku sampai di Terminal Batu, mencari angkot tujuan Landungsari.
Wah, ada angkot yang sudah mau berangkat. Cepat aku mengejar. Tak disangka,
seorang tukang ojek member isyarat ke sopir angkot untuk berhenti karena aku
mau naik. Padahal sih dia bisa aja memaksaku naik ojeknya buat ke Malang. Aku
kagum, ternyata di sini bukan cuma pemandangannya yang indah. Orang-orangnya
juga ramah dan baik hati.
Maka, ketika meninggalkan kota Batu, aku membawa kenangan indah.
Aku berharap, pertengahan tahun nanti bisa datang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar