Keluar
dari Museum Bentoel, ternyata waktu baru jam 11.30 . Itu artinya masih satu
setengah jam lagi aku baru bisa check in hotel. Yaaah… padahal aku sudah sakit
punggung dan bahu. Karena malas cari tukang pijat (lagipula nggak penting amat), aku putuskan pergi ke Stasiun Malang Kota Lama, pesan tiket
KA Penataran buat pulang lusa. Sambil menahan sakit, aku menyusuri jalan di
sekitar Pasar Besar Malang. Jalannya ramai banget, jadi harus ekstra hati-hati
kalau menyeberang.
Hei…
jalan kok terasa makin jauh aja? Ini di mana? Usut punya usut, ternyata GPSku agak kacau.
Salah arah bro! Duh… harus balik lagi. Aku coba tanya ke tukang parkir di situ,
ternyata arahnya makin jauh dari stasiun yang kutuju! Untunglah, seorang tukang
becak menawatiku naik. Aku terima daripada jalan kaki sambil menahan pegal.
Dengan naik becak, aku diantar ke stasiun yang jaraknya 1 km dari situ.
Ternyata
orang-orang di sini sangat ramah. Biarpun beberapa daerah di Jawa Timur
menggunakan bahasa Jawa kasar, tapi di Malang ini bahasa Jawa “kromo inggil”
tetap berlaku. Jadi agak menyesal, tadi aku tanya ke tukang parkir pakai bahasa Jawa kasar.
Tepat
di samping sebuah flyover, berdirilah Stasiun Malang Kota Lama. Biarpun tidak
terlalu besar, di sampingnya telah berdiri foodcourt yang bisa jadi pilihan
saat kelaparan. Aku masuk ke stasiun untuk pesan tiket KA Penataran tujuan
Blitar yang akan kutumpangi lusa.
Stasiun Malang Kota Lama |
Mungkin
ada yang bertanya-tanya, kenapa saat pulang nanti aku ke Blitar dulu?
Aku
jelaskan nih. Bukan mau lanjut travelling tapi karena tiket KA ekonomi dari
Malang yang ke Jogja atau Semarang udah pada habis. Daripada keluar uang lebih
buat bayar KA eksekutif (padahal pengin juga sih), akhirnya aku putuskan
pulangnya naik KA dari Blitar.
KA
Penataran yang ke Blitar sendiri tiketnya sudah bisa dipesan H-7 lewat loket
stasiun. Jadi kalau belinya terlalu mepet, bisa nggak kebagian. Maka itulah
alasannya aku pesan dulu.
Setelah
tanya ke petugas, aku mengisi formulir pemesanan, lalu antri di loket. Keputusanku
pesan tiket sekarang sungguh tepat, siang itu antrian pemesan tiket lumayan
panjang, nggak kalah sama antri beras. Sudah nggak terbayangkan rasa pegal di punggungku. Bukan cuma butuh koyo tapi butuh tukang pijat (kok bahas itu lagi sih...). Mungkin orang di
sekitarku heran, nih orang bawa ransel isinya gendut banget ya.
Untunglah,
15 menit mengantri, giliranku sampai. Selembar tiket berhasil kudapatkan dengan
harga Rp. 12.000
Aku
keluar dari stasiun. Tapi aku nggak langsung jalan ke hotel. Lebih dulu aku
duduk di dekat pintu masuk stasiun, melemaskan otot sambil meneguk air mineral
yang kubawa. Karena lapar, aku cari tempat untuk makan siang. Daripada bingung memilih, aku beli aja mie pangsit di bawah flyover. Harganya cukup Rp. 5.000, tapi lumayan kenyang
kok.
Sekarang
saatnya ke hotel! Hotel atau lebih tepatnya hostel pilihanku adalah Mador
(Malang Dorm Hostel) di Jl. Martadinata. Lokasi penginapan ini sangat
strategis, di tepi jalan utama, dekat Pasar Besar Malang, di tengah Pecinan,
dan di jalur antara 2 stasiun di Malang. Udah gitu, tarifnya murah, Rp. 100
ribu per malam untuk kamar jenis dormitory.
Inilah Mador Hostel, tempatku menginap |
Uniknya
pintu masuk hostel ini mirip garasi samping rumah. Ya, lokasinya memang agak
nyempil, tapi jangan kuatir, di depan jalan raya terpampang jelas nama
hotelnya jadi asal kita jeli nggak mungkin nyasar.
Aku
segera check in dengan menunjukkan identitas dan bukti pemesanan dari
Traveloka. Dengan ramah, resepsionis bernama mas Rahman mengantarku ke sebuah kamar.
Meja resepsionis Mador Hostel |
Bagian dalam Mador Hostel |
Kamar
yang akan kutempati berupa dormitory, artinya kita berbagi ruangan dengan tamu
lain. Tapi tenang aja, di sini kamar cowok dan cewek dipisah. Tempat
tidurnya berupa ranjang susun ukuran besar yang diberi sekat jadi beberapa
ruangan. Satu ranjang raksasa itu bisa diisi 6 orang.
Biarpun
Mador tidak secara langsung menyediakan makan 3 kali sehari, tapi kalau kita
butuh air panas buat minum atau bikin Pop Mie bisa ambil di dapur. Setiap pagi,
di meja dapur tersedia roti dan selai untuk sarapan. Ngomong-ngomong, selain
wisatawan lokal, hostel ini juga sering menerima tamu turis asing. Jadi nggak
heran kalau sarapan yang tersedia juga “ala bule”.
Istirahat dulu yuk! Sesudah ganti pakaian, aku langsung masuk ke ruang tidur dan
membaringkan diri. Di sini cuma tersedia kasur dan bantal aja. Wajar lah harga
segitu. Kalau sekedar buat tidur sih nggak masalah. Ruangan ini juga sudah
cukup hangat.
Mungkin
karena belum terbiasa atau karena punggungku terasa sakit, aku agak susah
tidur. Balik sana balik sini, mata ini susah buat terpejam lama.
Eh,
tahu-tahu sudah jam 16.30. Aku siap-siap mandi, untuk kemudian jalan-jalan.
Biarpun
penginapan murah, tapi kamar mandinya sudah cukup bagus. Ada shower, airnya pun
bisa diatur, mau hangat atau dingin. Berhubung udara Malang agak dingin, aku
pilih mandi air hangat aja. Begitu air mengguyur tubuhku… ah, enaknya… seketika
fresh, rasa capekku hilang.
Selesai
mandi dan berpakaian, aku bersiap keluar hostel. Rencananya sih mau ke
Alun-alun Merdeka.
Oh…
sungguh sial. Ternyata di luar hujan deras. Nggak bangetlah kalau habis mandi
langsung kehujanan. Dengan agak bête, aku duduk di teras sambil main internet.
Aku mencoba beberapa aplikasi dan sosmed, berharap menemukan teman baru di kota
ini. Tapi hasilnya nihil.
Ada
dua orang pria duduk di dekatku. Awalnya mereka asyik berbincang di dekatku,
tapi lama-lama akhirnya aku terlibat juga. Ternyata salah satu dari mereka
adalah orang Jakarta yang sedang berlibur ke Malang, dan dia sekamar denganku.
Seharian tadi bersama temannya yang asli Malang, dia habis jalan-jalan ke Batu dan
rencananya nanti malam mau ke Penanjakan alias Gunung Bromo. Cerita dia bikin
aku berpikir, alangkah enaknya kalau rame-rame bareng beberapa teman ke
Penanjakan lihat matahari terbit. Sayangnya, aku nggak punya teman di sini,
lagipula duitku juga terbatas.
Teras Mador Hostel |
Sampai menjelang malam, hujan belum reda juga, terpaksa jalan-jalan
sore kali ini harus di-cancel. Mau gimana lagi, daripada basah kuyup.
Tapi
biarpun begitu, aku tetap harus cari makan malam. Lewat aplikasi GoFood, aku mencari
tempat makan terdekat dari Mador. Bukan pesan GoFood, tapi datang langsung.
Akhirnya kutemukan Warung Tahu Lontong “Lonceng”, nggak jauh dari sini.
Dengan
menembus gerimis yang masih rintik-rintik, aku pergi ke warung itu. Jaraknya
cuma beberapa ratus meter dari Mador.
Warung
makan ini sederhana. Menu yang tersedia
cuma tahu lontong dan tahu telur. Tapi jangan salah, tempat ini termasuk
legendaris di kota Malang. Ya, kenikmatan tahu lontong di sini sudah ada sejak tahun
1935. Konon warung ini disebut juga Tahu Lontong Panca Budhi, karena letaknya
dekat dengan gedung yayasan kematian Panca Budhi.
Aku
memesan tahu telur. Oh ya, kalau kita nggak suka lontong, bisa diganti dengan
nasi. Seporsi tahu lontong dan tahu telur harganya Rp. 9000, karena aku tambah
teh hangat jadi Rp. 11000.
Nikmatnya tahu telur lontong (Sumber : tripadvisor,com) |
Tahu
telur itu berupa telur dadar berisi tahu, dihidangkan dengan irisan lontong, ketimun, taoge dan kerupuk, dipadu dengan sambal kacang yang rasanya unik karena dikasih bumbu
petis. Memang, di Jawa Timur, petis populer digunakan untuk campuran saus atau sambal. Setelah kurasakan…. hmmm… enak juga. Tak sampai 10 menit, langsung tandas.
Inilah
kenapa aku suka dengan hal-hal yang melegenda. Di tengah persaingan zaman
modern, mereka tetap bertahan dengan apa yang sudah dirintis, dan justru
kesederhanaan itu menjadi nilai tambah.
Puas
dengan tahu telur lontong, aku balik ke hostel dengan perut kenyang. Hari
betul-betul sudah malam, jadi keinginanku untuk jalan-jalan sudah hilang.
Mendingan sekarang aku gosok gigi lalu merebahkan diri di tempat tidur biar
lebih kuat buat perjalanan besok pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar