Welcome to Ambarawa! |
Masih ingat
pengalamanku menjelajahi jalur kereta api Bedono-Ambarawa tahun lalu? Ya, acara
yang diadakan oleh komunitas Kota Toea Magelang itu memang berkesan banget (yang belum tahu, silahkan baca: Djeladjah Djaloer Spoor Bedono-Ambarawa).
Cuma sayangnya, waktu itu aku nggak ikut masuk ke Museum Kereta Api Ambarawa
karena ada acara lain. Sekarang, aku akan menebus kegagalan itu. Sekaligus
berkeliling tempat bersejarah lainnya.
Suatu pagi
aku berangkat naik bus ke Ambarawa. Tidak perlu susah-susah buka Google Maps,
karena kota ini sudah akrab denganku. Semasa kuliah, hampir tiap minggu aku
lewat Ambarawa saat menuju Salatiga.
Apalagi, tujuan wistaku kali ini sangat mudah dijangkau.
Kalau kita
naik bus jurusan Yogya-Semarang lewat Ambarawa, biasanya kita akan dengar
kernet teriak “Palagan! Palagan!” Nah, itulah saat kita sampai lokasi Monumen
Palagan Ambarawa. Tapi teriakan ini nggak berlaku kalau bus yang kita tumpangi
belok ke jalan baru alias jalan tembus Ngampin-Bawen, yang letaknya tepat
sesudah pom bensin Ngampin. Untuk kasus ini , kita harus rela turun di pom
bensin dan naik angkot warna kuning ke Palagan.
Begitu turun
di Palagan, kita akan “disambut” dengan monument tank yang berada di sebuah
bundaran, tepat di seberang Monumen Palagan Ambarawa. Kalau kita belok ke kanan
setelah bundaran, di situlah jalan menuju Museum Kereta Api.
Aku putuskan
mengunjungi Museum Kereta Api dulu. Setelah jalan sekitar 500 meter dari tank
tadi, sampailah aku ke museum itu. Ups, pintu masuknya sebelah mana? Sempat
bingung, akhirnya aku nekat masuk lewat jalan masuk mobil. Aku tanya ke petugas
parkir di situ, ternyata, loketnya masih jauh di dalam! Huh, betul-betul nggak
kalah dengan stasiun pada umumnya. Dengan tiket seharga Rp. 10 ribu, aku pun
masuk ke museum yang juga stasiun ini.
Stasiun Ambarawa |
Pertama-tama,
aku fokuskan diri pada lokomotif. Lokomotif di sini ternyata berasal dari
mana-mana, seperti Jawa Barat, Sumatra bahkan ada yang “diimpor” dari Timur
Tengah. Kebanyakan buatan luar negeri seperti Swiss, Jerman dan Italia.
Semuanya sudah cukup tua, karena dibuat antara tahun 1891 hingga 1928. Kondisi
yang masih utuh menunjukkan bahwa museum ini tak sekedar menyimpan, tapi juga
merawat semua benda ini.
Semua gerbong dan lokomotif di sini diletakkan pada rel agar terlihat lebih “hidup”. Suasana stasiun begitu terasa karena peralatan seperti pompa air dan wesel masih tersedia. Wesel di sini bukan alat pengiriman uang lho, tapi alat buat persilangan kereta api.
Semua gerbong dan lokomotif di sini diletakkan pada rel agar terlihat lebih “hidup”. Suasana stasiun begitu terasa karena peralatan seperti pompa air dan wesel masih tersedia. Wesel di sini bukan alat pengiriman uang lho, tapi alat buat persilangan kereta api.
Untuk gerbong kereta, ada gerbong penumpang maupun gerbong barang. Karena nggak
ada tulisan “dilarang naik”, aku mencoba naik ke sebuah gerbong. Ruang
penumpang cukup terawat. Zaman dulu, tempat duduknya adalah bangku kayu panjang
dengan penerangan secukupnya berupa lampu gantung dan yang jelas tanpa AC. Bisa
dibayangkan kalau kereta ini jalan malam hari, mungkin kita bakalan susah
tidur… hehehe…
Gerbong yang dulu di Stasiun Kebonpolo |
Nah, ini
dia! Aku temukan gerbong tua yang dulu ada di Stasiun Kebonpolo, Magelang. Gerbong
berwarna hijau putih itu sudah direnovasi sedemikian rupa hingga tampak seperti
baru. Dinding gerbong sudah dicat ulang, pintunya juga sudah diganti. Aku pun
melongok ke dalamnya, bagian dalamnya kosong tidak seperti gerbong yang
kumasuki tadi. Arsitekturnya masih mempertahankan yang lama, dinding dan
eternitnya terlihat baik, tapi sudah tidak ada kursi di situ. Pikiranku pun
melayang ke masa silam, sewaktu ibu dan tanteku masih kecil, mereka suka naik
gerbong ini dari Magelang ke Jogja seharga Rp. 65. Biarpun sesampai di Jogja
mereka balik ke Magelang lagi, tetap senang. Ah, seandainya di Magelang ada
kereta api, kalau malam-malam aku bosan di rumah, nggak usah repot. Tinggal
ngacir ke stasiun dan jes…jes..jes… sampailah ke Jogja atau Solo.
Bangunan stasiun bergaya kolonial |
Memasuki bangunan
stasiun yang masih tegak berdiri, aura masa lalu benar-benar terasa. Aku
temukan loket kayu pindahan dari Stasiun Demak. Ada juga mesin cetak dan mesin
press tiket di mana sebelum ada printer, tiket dicetak secara manual. Berputar
ke belakang, terpampang genta atau lonceng yang biasa dibunyikan kalau kereta
lewat, loket besar, wesel, roda kereta dan timbangan peninggalan masa lalu.
Belum cukup, di ruangan dalam stasiun ada ruang pamer dengan arsitektur
kolonial yang kental. Lemari, meja dan kursi zaman dulu tertata rapi seperti
halnya ruang makan zaman Belanda. Semuanya nyaris tanpa cacat, karena
pemeliharaan yang intensif.
Halte Kronelan |
Aku yang
berniat keluar dari stasiun itu tiba-tiba melihat sebuah papan penunjuk arah
dengan keterangan di antaranya “Stasiun Cicayur” dan “Stasiun Cikoya”. Hm…
apakah ada stasiun lain di belakang Stasiun Ambarawa? Tapi kok, namanya berbau
Jawa Barat?
Jelas hal
ini nggak boleh dilewatkan! Aku langsung ikuti penunjuk arah di mana kedua
stasiun itu berada. Dan benar saja, di belakang Stasiun Ambarawa berdiri
beberapa gubuk kayu, yang kalau dilihat lebih dekat, mirip halte kereta api.
Bukan cuma Cicayur dan Cikoya, ada juga Tekaran dan Kronelan. Wow, apakah Stasiun
Ambarawa punya banyak halte?
Demi
menjawab rasa penasaran, aku balik lagi ke peron dan bertanya ke bapak petugas
stasiun. Ternyata, halte-halte itu sebenarnya bukan merupakan bagian dari
Stasiun Ambarawa! Lho? Lalu? Halte Cicayur dan Cikoya adalah halte dari Jawa
Barat, sedangkan Tekaran dan Kronelan dari Wonogiri. Konon, bangunan halte yang
sudah tidak terpakai itu diangkut dengan truk dan dimuseumkan di Ambarawa ini.
Wow, rasanya
sulit dibayangkan, mengangkut bangunan kayu dari Jawa Barat ke Ambarawa. Tapi
ini sungguh menarik, daripada halte-halte itu merana di tempat aslinya, lebih
baik dilestarikan bersama yang lain.
Salah satu lokomotif |
Aku beranjak
keluar, melewati dinding memorial berisi sejarah kereta api di Indonesia, mulai
dari ide pembangunan kereta api di Indonesia tahun 1840 hingga revitalisasi
Museum Kereta Api Ambarawa di tahun 2015. Sejumlah dinding yang masih kosong
telah disiapkan untuk sejarah selanjutnya. Betapa kereta api telah jadi bagian
dari sejarah Indonesia. Sejak dulu, kereta api telah menyimpan banyak cerita.
Selepas
Museum Kereta, kini saatnya Monumen Palagan! Di seberang monumen tank tadi,
berdirilah sebuah monumen perjuangan yang dibangun untuk memperingati peristiwa
Palagan Ambarawa pada tanggal 15
Desember 1945 dimana TKR (Tentara Keamanan Rakyat) melawan pasukan Sekutu.
Setelah
membeli tiket seharga Rp. 4000, aku masuk. Pertama-tama, ke Museum Isdiman di
sebelah kiri monumen . Begitu masuk, aku langsung “disambut” oleh patung Letkol
Isdiman, pejuang yang gugur dalam Palagan Ambarawa. Di dinding, ada foto-foto
pejuang yang ikut dalam petempuran Palagan Ambarawa, salah satunya Letkol Sarwo
Edhie Wibowo.
Museum Isdiman |
Beberapa lemari
kaca menyimpan benda-benda militer dalam pertempuran itu, yang sebagian besar
milik Letkol Isdiman. Ada helm, pakaian, sepatu, senapan dan peluru. Beberapa
meriam kecil juga terpajang, menunjukkan heroiknya pertempuran waktu itu.
Museum ini
tidak terlalu besar, hanya terdiri dari satu ruangan saja. Yang aku sayangkan,
siang itu ruangan dalam keadaan gelap karena lampu tidak dinyalakan. Sendirian
di ruang seperti ini sambil membayangkan perang yang terjadi, betul-betul bikin
merinding. Nggak tahu deh, gimana perasaanku kalau malam-malam di sini
sendirian. Apalagi seandainya ada diaroma pertempurannya kayak di Museum Lubang
Buaya….wah…
Monumen Palagan Ambarawa |
Keluar dari
museum, sebuah monumen terlihat menjulang. Itulah Monumen Palagan Ambarawa
dengan patung tiga orang pejuang yang siap menyerang musuh, diapit dua orang
sebagai komando. Sulit dilukiskan, betapa gagah berani pahlawan kita untuk
mempertahankan kemerdekaan. Di sekitar monumen, terpajang dua buah meriam
buatan Inggris dan Swedia. Di bagian belakang ada truk dan tank yang juga
dipakai dalam pertempuran. Sejarah juga terlukis lewat replika pesawat Mustang
P 51 buatan Amerika Serikat. Menurut cerita, TKR berhasil menembak pesawat Sekutu
tersebut dalam pertempuran Palagan Ambarawa. Pesawat aslinya tenggelam dan terkubur
di Rawa Pening. Sungguh mengagumkan, mengingat pesawat jenis tersebut paling
ditakuti pada zamannya.
Gerbong tua yang sering buat selfie |
Rasa
merinding semakin menjadi ketika aku lihat sebuah gerbong tua. Di dinding
gerbong yang sering digunakan pengunjung buat selfie ini tertulis kata-kata
heroik seperti “Merdeka Ataoe Mati”, “Hantjoerkan Moesoeh Kita”, “Sekali
Merdeka Tetap Merdeka”. Kata
temanku, tempat ini mengandung mistis. Aku nggak percaya, tapi sekarang aku rasakan
sendiri. Merinding bukan karena hantu, tapi karena membayangkan semangat juang
para pahlawan.
Suasana
dalam gerbong benar-benar terasa “jadul”. Kalau gerbong di Museum Kereta tadi
direnovasi ulang, gerbong ini masih menyimpan bentuk aslinya. Tak ada perabot
kecuali beberapa bangku kayu yang sebagian tak utuh lagi. Sayang seribu sayang,
di situ banyak sampah berserakan! Oh, inilah hal yang nggak kusukai. Kenapa ya,
manusia itu tidak suka kotor tapi suka mengotori?
Aku
lanjutkan berjalan ke arah Pasar Ambarawa. Sempat melewati Toko Roti Pauline,
bakery yang melegenda di Ambarawa. Aku nggak tahu, kapan toko roti ini berdiri.
Yang jelas, menurut sumber yang kubaca, toko ini sudah diwariskan turun
temurun. Semua orang sudah tahu tentang Pauline, apalagi letaknya strategis, di
seberang pertigaan ke arah Bandungan. Kabarnya di sini ada roti kelapa yang
enak. Tapi karena bukan penggemar roti, aku nggak mampir.
Semakin dekat ke Pasar Projo, Ambarawa, jalan semakin ramai. Dulunya,
jalan ini langganan macet. Jelas aja, jalannya sempit, dua arah, buat lewat
truk dan bus, dekat pasar lagi! Untungnya, sekarang udah ada jalan baru dari
Ngampin ke Bawen. Cuma resikonya ya itu, penumpang bus kadang harus oper angkot
buat ke pasar ini.
Di depan Pasar Projo, aku naik bus jurusan Salatiga buat mengunjungi teman di sana. Dengan ini, berakhirlah kunjunganku kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar