Berwisata
itu nggak harus ke gunung, pantai atau museum. Jalan-jalan keliling kota juga
wisata, lihat bangunan bersejarah juga wisata, cari kue di pasar juga wisata.
Itulah yang
jadi pemikiranku. Negeri ini luas, jadi nikmati apa yang ada. Begitulah, untuk
mengisi waktu luang, di tengah perjuanganku mencari kerja yang nggak
dapet-dapet, jalan-jalan adalah hobiku. Aku nekat jalan-jalan ke kota
Temanggung, biarpun aku tahu, sulit menemukan “something special” di sana,
kecuali aku melangkah lebih jauh ke Kledung atau Pikatan. Tapi ya, berhubung
waktu dan budget terbatas, aku ambil apa yang ada aja.
Temanggung,
yang punya slogan Bersenyum (Bersih, Sehat dan Nyaman untuk Umum) ini adalah
kota kecil, biarpun begitu keramaian pusat kota tetap ada. Maklum saja, dengan
kendaraan yang makin hari makin padat, bukan cuma di sini, di kota mana pun
musti hati-hati buat melangkah. Salah satu yang perlu diwaspadai penyeberang
jalan adalah lampu merah yang bertuliskan “ke kiri jalan terus”.
Aku turun
dari bus di Jalan Diponegoro, tepatnya depan kantor Kodim. Kunyalakan GPS untuk
menuju ke alun-alun Temanggung. Sekitar 400 meter, setelah menyeberang sana
menyeberang sini, sampailah aku di sana.
Gerbang Alun-alun Temanggung |
Alun-alun
ini berupa lapangan yang tidak terlalu besar, mungkin hanya dua pertiga dari
alun-alun kota Magelang. Seperti lazimnya alun-alun, di sini juga dikelilingi
pohon besar, terutama beringin. Di seberangnya ada Masjid Agung Darussalam. Menurut
tradisi kuno, memang pohon beringin adalah simbol “keteduhan jasmani”, dan
masjid berkaitan dengan religi atau “keteduhan rohani”. Mungkin inilah yang
disebut “local wisdom”, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, alam dan sesama
yang berjalan searah.
Banyak masyarakat
yang sedang jalan-jalan, baik pelajar yang nongkrong sepulang sekolah, pegawai
kantoran yang sedang makan siang atau ibu-ibu yang mengajak anaknya bermain.
Aku sendiri iseng menjepretkan kamera ke beberapa sudut. Nggak peduli deh,
biarpun ada yang menatap heran. Mungkin pikir mereka, ini anak nggak pernah
lihat alun-alun kali ya?
Kedai kuliner
pun membentang di sepanjang alun-alun. Kebanyakan menunya seragam, seperti
batagor, es buah dan bakso. Wah, kalo yang begini sih, di Magelang juga ada
bro! Aku jadi nggak tertarik. Ngapain juga jauh-jauh ke sini kalau semua itu
juga ada di kotaku?
Nah, habis
ini kemana? Aku teringat beberapa hari lalu komunitasku, Kota Toea Magelang,
ada acara Djeladjah Petjinan di Temanggung. Yang aku ingat, salah satunya rumah
tua di dekat Kodim. Jadi aku putuskan, balik lagi ke “titik nol” alias tempatku
turun tadi.
Memang
betul, di Jalan Diponegoro ada beberapa rumah peninggalan masa lalu. Aku lihat…
wow.. arsitekturnya masih asli. Pintu dan tiangnya pun terlihat sangat bersih,
pertanda kalau rumah-rumah ini masih ditinggali. Karena masih ditinggali dan
ada orangnya, aku nggak berani ah masuk sembarangan…
Karena
kesulitan menyeberang, aku maju sedikit ke Jalan Tentara Pelajar. Di sini
kutemukan sebuah bangunan tua lain, yang adalah gedung Bioskop City. Di
depannya ada plang bekas poster yang sudah lapuk. Aku nggak bisa masuk karena
ditutupi pagar seng. Hm… memang, bioskop daerah sudah tergerus zaman gara-gara
munculnya DVD di awal 2000-an. Menurut info di Google, gedung ini pernah
digunakan oleh Kodam, yang setahun lalu dikembalikan ke pemiliknya, seorang
pengusaha keturunan Tionghoa. Namun sejak Juli 2015 lalu dibiarkan mangkrak.
Gedung Bioskop City |
Sekarang aku
jalan ke Pasar Temanggung. Pasar di sini lumayan besar karena terdiri dari
beberapa komplek. Salah satu yang menarik perhatianku adalah Pasar Temanggung
Permai, yang berupa beberapa blok kios yang tertata rapi. Ya, pasar yang diresmikan oleh Kementerian Perdagangan RI ini memang dicanangkan sebagai pasar percontohan. Ada pedagang pakaian,
alat tulis, elektronik dan warung makan. Sayangnya, ternyata nggak seindah
namanya, pasar ini sangat sepi, banyak kios yang tutup. Terbukti, cuma
segelintir orang yang masuk untuk belanja. Mungkin karena Pasar Kliwon di
seberang lebih besar dan lengkap jadi orang lebih banyak berbelanja di sana(ini
dugaanku lho).
Pasar Temanggung Permai |
Pasar Kliwon bagian barat |
Sebelum
pulang, aku berpikir untuk beli kue. Salah satu jajanan khas Temanggung adalah
ndas borok, artinya kepala yang borokan. Biarpun namanya serem, kue dari ketan
berisi gula merah ini sungguh menggugah selera. Sayang sekali, aku nggak bisa
temukan, habisnya kata orang makanan ini memang langka…..yaaaah…terpaksa, aku
cari yang lain.
Selagi aku
berkeliling komplek pasar utara, aku temukan penjual kue tradisional yang biasa
disebut “tenongan”. Nah, di sini ada kue yang juga kesukaanku : kelepon. Satu
takir kecil cukup Rp. 600, aku beli tiga! Tiba-tiba aku lihat kue yang lumayan
asing. Mirip wajik tapi tidak terlalu basah, warnanya pink berlapis putih, dengan takir dari
kertas roti. Kata ibu penjualnya, namanya sengkulun. Dijualnya bukan eceran,
tapi Rp. 5000 dapat satu plastik isi 10. Ya, mumpung ada aku beli deh, nanti bisa
berbagi sama ortu.
Sengkulun |
Saatnya
pulang! Untuk pulang, aku harus menyeberang ke pasar sebelah selatan lalu naik
angkot jurusan Kranggan yang warnanya hijau tua, soalnya bus yang dari arah
Wonosobo nggak lewat kota. Nanti kita bisa turun di terminal Temanggung atau
jembatan Sungai Progo. Harap maklum, angkot baru akan jalan kalau penumpangnya
sudah cukup penuh. Dan saat naik angkot ini aku temui hal tak biasa lainnya.
Ada seorang perempuan yang jadi calo penumpang. Nggak masalah, yang penting dia
kerja halal demi mencukupi kebutuhannya. Kenyataannya, toh dia terlihat enjoy. Begitulah,
hidup memang tak selalu sesuai harapan, tapi semua akan bermakna asal kita
menikmati. Ya, seperti perjalananku hari ini….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar