Jakarta punya kota tua, tapi buat orang Jawa Tengah nggak perlu
jauh-jauh ke sana. Karena Semarang juga punya. Komplek bangunan tua dengan
arsitektur kolonial di utara Semarang akan membawa kita seolah berada di
pemukiman abad ke 19.
Jembatan Kota Tua |
Sebuah jembatan, tak jauh dari Stasiun Tawang, adalah “gerbang” dari
kota tua Semarang. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut sebuah gedung
besar mirip istana. Pilar-pilarnya masih kokoh,dengan terali yang sekaligus
berfungsi sebagai jendela. Itulah gedung yang sekarang dipakai sebagai Bank
Mandiri. Ya, sebagian bangunan di kota tua memang sudah beralih fungsi, tanpa
mengubah bentuk aslinya.
Bawah jembatan adalah sebuah sungai, yang mengingatkanku pada Sungai
Thames di depan Istana Buckingham. Sayang banget, sungainya sangat-sangat kotor
akibat sampah dan limbah. Airnya kehitaman. Baunya jauh dari harum (ya
iyalah..). Selain itu di daerah ini juga sering terjadi rob. Rob di sini bukan
nama panggilanku lho, tapi air pasang dari laut. Kalau hujan deras, daerah
Semarang Utara udah kayak laut, saking dahsyatnya genangan air. Untunglah, siang itu cuaca cerah.
Bank Mandiri |
PT Djakarta Lloyd |
Di sebelah gedung Bank Mandiri, ada gedung PT Djakarta Lloyd,
perusahaan maskapai pelayaran. Salah satu adegan film “Soekarno” syutingnya di
sini lho! Sebelah kirinya, gedung PT
Pelni, yang masih dipakai, terbukti masih ada jadwal lengkap kapal penumpang ke
luar pulau Jawa.
Kurang puas kalau di sini aja, aku pun menjelajahi lorong kota tua.
Beberapa orang muda mudi asyik selfie di depan pintu besar yang jadi ciri khas
bangunan kolonial. Bagus banget deh kalau nanti diedit pakai efek jadul, serasa
bangsawan abad 19… hihihi…
Seperti yang udah sering kubaca di berbagai blog dan artikel, beberapa bangunan tua di sini kurang terawat. Seolah-olah mereka tinggal menunggu waktu saja. Banyak yang catnya sudah mengelupas, atap yang keropos, tembok yang menghitam karena air hujan. Dan lebih ngenes lagi…. vandalisme di sana-sini.. Malah kabarnya, ada bangunan yang mulai roboh. Menyedihkan sekali….
Bangunan tua yang merana |
Vandalisme, bukti tidak menghargai warisan sejarah |
Beberapa gedung di sini yang lebih terawat, dijadikan gudang oleh
perusahaan. Ada sebuah gedung, yang namanya nggak terlalu jelas, karena
beberapa hurufnya udah hilang. Searching di google, nama lengkapnya Roode
Driehoek, nggak tahu gedung apa, mungkin sebuah pabrik atau perusahaan zaman
dulu.
Aku terus menjeprat jepretkan kameraku. Sesuai sloganku “segala yang
indah tidak boleh dilewatkan”, aku berusaha memotret bangunan tua, apapun
keadaannya. Bolak balik cari spot yang pas, biarpun kadang harus melompati got
yang airnya… ya seperti itulah….
Roode Driehoek |
Gudang perusahaan |
Dinding yang lapuk dimakan usia |
Nggak jarang juga, aku dibikin kesal kalau pas memotret ada motor atau
mobil lewat….bangunannya jadi ketutupan…. huh…. Mungkin karena hari Minggu,
daerah ini ramai banget. Tapi aku nggak bisa nyalahin mereka juga sih, namanya
orang lewat. Sempat juga terjadi tabrakan dua motor, untung pengendaranya cuma
luka ringan. Banyak orang berkerumun. Aku paling malas lihat orang bertengkar
karena tabrakan (bikin ikutan emosi), so, aku buru-buru menjauh.
Tiang lampu tua |
PT Telkom |
Resto Ikan Bakar Cianjur |
Berbelok ke Jalan Letjen Suprapto, sebagian bangunan tua di sini jauh lebih
terawat. Ada gedung PT Telkom, Bank NISP, PT Jiwasraya dan Restoran Ikan Bakar
Cianjur. Tiang lampu kuno juga masih berdiri tegak, entah lampunya masih bisa
nyala atau nggak. Mengagumkan sekali, sampai-sampai aku nggak peduli dengan
udara panas yang menyengat. Sampai akhirnya kutemukan sebuah bangunan berkubah
besar, mirip kubah masjid dengan beberapa menara. Bagian pintu masuk punya
beberapa pilar, mirip Museum Nasional di Jakarta. Yup, inilah Gereja Blenduk. Disebut
“blenduk”, karena kubahnya lumayan besar.
Gereja Blenduk nan eksotis |
Wah, rugi besar kalau dilewatkan! Di antara kendaraan yang lalu
lalang, aku berusaha memotret “gereja tua” ini. Gereja ini sekarang bernama
GPIB Imanuel. Karena hari Minggu, sedang ada kebaktian, jadi aku nggak bisa
masuk sembarangan.
Sayup-sayup terdengar lantunan lagu rohani. Gedung gereja ini punya
peredam suara yang kuat, jadi keramaian kota Semarang nggak mengganggu
khusuknya kebaktian. Aku bayangin, kalau aku datang lebih pagi, lalu ikut kebaktian
di sini pasti asyik banget.
Gedung Marba, berasa di Eropa |
Gedung Marba yang legendaris terletak di seberang gereja. Marba adalah
singkatan dari Marta Badjunet, nama sang pendiri. Masih cukup bagus, biarpun
dindingnya agak kusam. Gedung ini dulunya kantor pelayaran dan supermarket
zaman Belanda. Sekarang dipakai sebagai gudang, sedangkan bagian samping disewa oleh warung makan. Dilihat dari kejauhan, nuansa Eropanya terasa banget.
Spiegel, cagar budaya yang kini jadi kafe |
Sedangkan di seberangnya, gedung Spiegel, bekas toko mebel yang
sekarang disulap jadi kafe semacam Starbucks. Konon, gedung ini juga mangkrak, tapi ada investor yang mau merenovasinya.. Kini jauh lebih terawat, malahan
sudah ditetapkan jadi bangunan cagar budaya oleh Pemkot Semarang. Aku heran,
kalau Spiegel dirawat sedemikian rupa, kenapa bangunan-bangunan yang lapuk
tadi tidak menjadi cagar budaya juga ya? Nilai sejarahnya pasti ada juga kan?
Atau ada sebab tertentu? Entahlah…
Karena lapar, sekaligus karena ingin tahu rasanya sensasi makan di
gedung tua, aku mampir di warung makan samping gedung Marba. Siang itu
pengunjungnya cuma aku sendiri. Nasi goreng telur dan es teh pun segera bikin
perutku kenyang, siap jalan-jalan lagi.
Aku putuskan mengitari bagian belakang gereja Blenduk. Lewat pastori
belakang gereja, sedang ada kebaktian sekolah minggu. Meskipun bangunannya
sederhana, tapi semua anak sangat menikmati ibadah. Bahkan taman di depan
gereja ibarat alun-alun kota, orang-orang dari kalangan mana pun bebas
duduk-duduk, sekedar cari angin atau menikmati kuliner. Belum lagi, pasar kriya
Padang Rani, yang menjajakan aneka barang seperti hiasan dinding, patung dan
kerajinan keramik. Betul-betul bangunan cagar budaya ini tidak sekedar bernilai
sejarah, tapi juga menjadi sarana berkat buat banyak orang.
Pasar kriya Padang Rani |
Sambil jalan pulang, aku belok ke Jalan Garuda. Banyak juga bangunan
tua di sini, kebanyakan jadi gudang perusahaan, salah satunya milik Dinas
Pendidikan Provinsi Jateng.
Hei… apa itu? Ada beberapa orang berdiri di depan sebuah gedung. Dua
orang kameramen dengan peralatan shootingnya, seorang ibu yang berperan sebagai
“sutradara” dan sepasang muda mudi yang berpose bergandengan tangan di depan
pintu besar, lengkap dengan vespa di depannya. Nggak salah lagi, keeksotisan
kota tua memang pas banget buat foto pre wedding. Duh… jadi pengin…. hehehehe… Oh
ya, film “Gie” dan “Ayat Ayat Cinta” juga syuting di kota tua ini lho!
Spot yang bagus buat pre wedding |
Aku jalan terus sampai sebelah kanan gedung Bank Mandiri. Tanpa sadar,
aku masuk ke Pasar Johar bagian tenggara. Nggak jauh dari situ, ada juga
beberapa bangunan tua, tapi karena hari makin panas, aku stop perjalananku
sampai sini. Segera aku balik lagi ke jembatan tadi buat naik angkot ke
Terboyo.
Kota tua… benar-benar sebuah memorial…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar