Jumat, 12 Juli 2019

My Third Backpacker (Part 4 - Habis) : Eksplorasi Jiwa Muda di Pantai Jatisari

 

Sekali lagi aku harus lewat pinggiran jalan raya yang berbatu-batu di antara truk yang lalu lalang. Beneran uji nyali banget. Kali ini aku coba lebih teliti memandang ke sebelah kanan, kalau-kalau aku menemukan plang bertuliskan “Pantai Jatisari”.


Seperti yang kulihat tadi, di seberang SPBU Sluke adalah hutan laut yang juga berfungsi sebagai rest area. Sayangnya pagar tempat itu masih dikunci. Aku memelototi setiap bagiannya, kalau-kalau ada celah untuk masuk. Tapi nihil.


Hampir putus asa rasanya. Tiba-tiba kulihat jalan setapak menuju ke arah pantai. Aku coba saja masuki, beberapa puluh meter. Yes! Kali ini tujuanku tidak salah, sebuah pantai yang landai!


Inilah Pantai Jatisari itu. Huh, kenapa nggak terlihat dari tadi sih? Mau gimana lagi, tadi langit masih gelap lagian nggak ada papan petunjuknya. Ah, udahlah, yang penting udah sampai ke sini.


Seperti kusebutkan tadi, pantai ini landai dan ombaknya tidak terlalu besar. Puluhan batu besar berjajar di tepinya sebagai pemecah ombak.  Tak ketinggalan batu karang yang turut menghiasi. Jauh di sebelah barat, terlihat dermaga dengan perahu nelayan yang berjajar. Memang, mayoritas warga pesisir utara ini berprofesi nelayan.



Dermaga sebelah barat


Pantai Jatisari yang landai


Cahaya matahari belum terlalu terang. Aku masih bisa lihat sisa-sisa sunrise tadi mwmbentuk siluet yang indah. Di saat seperti ini, aku sendirian di pantai. Kubuka jaketku dan kulepas sepatu. Seketika udara pagi yang sejuk menyentuh tubuhku. Ah, enaknya…


Beruntung sekali di tepi pantai banyak batu besar, jadi aku nggak usah tunggu orang datang buat bantuin memotret. Beberapa batu yang permukaannya agak tinggi bisa membantuku buat berfoto. Hah, serius? Ngapain bohong! Caranya tinggal aku setel timer kamera, sandarkan HPnya ke batu, bergaya, lalu beberapa saat otomatis “cekrek”. Inilah teknologi zaman now.


Aku beranikan diri mendekati laut. Ombak tidak terlalu besar, tapi tetap harus hati-hati, apalagi buat aku  yang nggak bisa berenang…. salah-salah terseret sampai Kalimantan (mana bisa?). Baru kali ini aku ke pantai sendirian saat sunrise, jadi nggak boleh dilewatkan dong. Sementara kamera HP menjepret berulang kali, aku ekspresikan diri. Kuangkat tangan tinggi-tinggi… Hiyaaaaaa….



Santailah dulu sejenak kawanku

Tinggalkanlah semua masalahmu

Bisik pasir deburan ombak

Temani semesta membiru

Dengarlah

Pantai memanggilmu


Apa yang kau cari ada di luar sana

Ke pantai berlari bersama sama

Ayo ikut denganku

Menari di bawah langit biru

Kau dan aku

Kita bercanda ria


(Ku Lari Ke Pantai by RAN)





Narsis di depan siluet langit pagi

Berlindung di balik batu karang

Ekspresikan dirimu!  Selamat pagi dunia!




Ups, di sebelah sana beberapa orang mulai berdatangan. Ada dua orang nelayan yang sedang memantau kondisi. Ada juga beberapa anak kecil yang bersepeda dekat hutan laut. Aku bisa merasakan mereka memandangiku dengan heran.

Tapi aku nggak peduli, malah makin “kesetanan”. Seketika kulepas kaosku dan dengan bertelanjang dada ala Baywatch nekat kuhampiri ombak yang berdebur itu. Sesekali aku tetap tunjukkan jiwa mudaku dengan narsis depan kamera.

Air laut datanglah kemari



Aku duduk sambil kubiarkan air laut menerjang tubuhku. Tak jarang ombak membuatku berguling-guling ke tepi. Orang yang melihat mungkin berpikir “Nih orang stress kali ya”. Biarin! Hidup hidup gue, badan badan gue, kenapa lu yang repot. Selagi masih muda, ekspresikan dirimu, kalau udah tua kan nggak cocok main-main begini.

Mari kita berenang


Semakin siang, ombak makin beranjak ke darat, mendekati batu. Alamak… nyaris saja HPku kena air kalau saja aku nggak segera merangkak ke tepi. HP itu langsung mati. Sempat shock rasanya. Untungnya, saat kulepas baterainya dan kuhidupkan ulang, dia bisa hidup lagi, kalau nggak, aku bakal menyesal selama seminggu.

Takut terjadi insiden lebih berat, aku stop main air. Aku cuma bisa duduk di batu memandangi suasana pagi sambil membiarkan badanku agak kering karena nggak bawa handuk. Tak cuma itu, HPku pun terpaksa kuistirahatkan biar nggak rusak. Untuk foto berikutya, terpaksa kupakai HP satunya yang kameranya kualitas rendah. 

Eh, saya bukan putra duyung ya. 


Seperempat jam berlalu, kupakai lagi kaos, jaket, dan sepatuku. Kukibaskan pasir yang melekat. Celanaku terlanjur basah dan belepotan pasir. Untung saja saat main air tadi kulepas kaos dan jaketku, kalau nggak pasti aku sudah kayak gembel sekarang. Mana harus jalan 2 km lagi.

Baru beberapa ratus meter berjalan, kutemukan lagi jalan setapak. Ini pasti ke dermaga tadi. Tentu saja aku nggak ingin melewatkan ini.

Beberapa orang nelayan sedang beraktivitas. Ada yang menambatkan kapal, ada yang memeriksa jala. Di sini pantainya lebih landai dari yang tadi. Tapi penuh perahu nelayan sehingga kurang leluasa buat main air. So, tidak salah jika tadi aku memilih ke pantai Jatisari sebelah timur.



Perahu nelayan Kabupaten Rembang


Karena matahari semakin panas, aku nggak bisa lama-lama di sini. Segera kutempuh lagi jalur pantura tadi. Di perjalanan, beberapa kali kulihat penunjuk arah bertuliskan makam seorang kyai atau nyai (aku lupa namanya). Ternyata di daerah Kabupaten Rembang ini ada beberapa makam tokoh yang dikeramatkan, khususnya mereka yang memiliki relasi dengan Walisongo, pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

Aku sempat lewat juga Pasar Sluke. Jangan bayangkan bangunan pasar yang megah, karena pasar di sini sangat sederhana. Beberapa warung dan lapak berjajar di seberang jalan. Selebihnya adalah pedagang yang menggelar dagangan di emperan toko. Karena nggak ingin beli apa-apa, aku terus berjalan.

Sesampai di penginapan, aku segera mandi dan merapikan barang-barangku. Setelah makan pagi, aku langsung check out.

Oh ya, salah satu oleh-oleh khas Rembang adalah sirup kawis atau kadang disbut kawista. Kawis itu sejenis jeruk tapi punya rasa seperti Coca Cola. Di minimarket Kurnia juga ada, tapi berhubung harga sebotolnya Rp. 34.000, aku harus menunda keinginanku (maklum kantong cekak).

Last finished! Aku harus menyeberang dari depan Puskesmas Sluke untuk naik bus ke Semarang. Untuk kesekian kalinya aku dibuat kagum. Di sini masih terdapat lapangan rumput yang luas dengan latar belakang Gunung Lasem. Wah, pasti asyik main bola di sini. Aku sama sekali tidak menyangka, di jalur pantura yang selalu macet tiap Lebaran masih ada tempat seindah ini.

Lapangan dengan latar belakang Gunung Lasem


Begitulah, Sluke telah membawa kejutan manis buatku. Aku semakin yakin bahwa seperti apa pun kondisi suatu daerah, di baliknya pasti tersimpan objek yang menarik. Next, Jepara atau Lasem!


 TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar