Semalaman
aku susah tidur. Entah ada apa denganku. Hanya terlelap sekitar 3 jam lalu
bolak balik kanan kiri. Eh, tahu-tahu sudah jam 6 pagi! Waduh, aku harus
segera berangkat ke Tuban.
Tidak
ada lagi waktu untuk ini dan itu, aku langsung mandi dan bersiap-siap. Oh ya, pesan dari kondektur bus yang
kutumpangi kemarin, kalau mau naik bus jurusan Surabaya sebaiknya aku
mencegatnya setelah jembatan Nyamplung, kira-kira 700 meter dari penginapan,
karena kontur tanah di Sluke ini agak menurun, jadi bus susah mengerem.
Maka,
setelah sarapan nasi rames di warung makan dekat jembatan Nyamplung, aku
berjalan ke timur sampai Polsek Sluke. Tak lama, kucegat bus jurusan Surabaya.
Bus
pun berangkat. Dari jendela tampak pemandangan pantai, bahkan sempat melewati
langsung tepi pantai! Yes, antara jalan
raya dan pantai hanya dipisahkan tebing yang tidak terlalu tinggi. Benar-benar menyejukkan mata! Seketika rencana
tersusun di benakku, besok aku mau lari pagi ke pantai ah…
Semakin
ke timur, pemukiman tepi pantai semakin banyak. Aku heran, apa mereka nggak
takut ya, punya rumah di tepi laut? Kalau ada badai besar gimana? Tapi saat
kualihkan pandangan ke sebelah selatan, aku langsung merasa Tuhan sungguh adil.
Biarpun di utara adalah laut, di selatan adalah Pegunungan Kapur Utara, yang
salah satu puncaknya adalah Gunung Lasem. Jadi, jika terjadi apa-apa di laut,
pegunungan itu siap menjadi tempat perlindungan.
Gunung Lasem di pagi hari |
(untuk perjalanan ke Tuban hingga
pulang ke Sluke aku SKIP aja ya, karena nggak ada yang bisa kuceritakan)
Sore
itu, sesudah beristirahat sebentar di penginapan, aku mulai menjalankan rencana
yang kemarin tertunda : lihat sunset di pantai. Kuikatkan tas pinggang di tubuh
dan kuatur lokasi Google Maps di HPku. Waktu sudah menunjukkan jam 17.00, jadi
nggak ada waktu lagi buat berleha-leha.
Jalan ke Pantai Sluke |
Dengan
penuh semangat, aku melangkah ke pantai. Pengin rasanya lompat-lompat, bergaya
ala bintang video klip yang sedang menikmati alam. Nampak beberapa orang sedang menggarap tanah
untuk ditanami, ada pula yang mencari rumput buat pakan ternak. Malahan ada
yang sedang menggembala kambing di tengah padang rumput. Sungguh pemandangan
yang sulit kutemui di pantai manapun.
Tepi Pantai Sluke |
Antara
tepi pantai dengan lahan luas itu hanya dipisahkan serangkaian pohon cemara
pantai. Jadi sesampai di ujung jalan setapak, aku tinggal turun sedikit,
sampailah di tanah berpasir.
Dari
referensi yang kudapat, Pantai Sluke ini tidak seterkenal “saudaranya”, Pantai
Jatisari (ada ceritanya nanti di postingan berikutnya). Malahan orang sering
salah mengartikan Pantai Jatisari sebagai Pantai Sluke, atau sebaliknya.
Faktanya memang, pengunjung pantai sore ini cuma beberapa orang. Selain aku,
ada beberapa cewek yang asyik berfoto di tepi pantai. Beberapa kapal nelayan tertambat di bawah pohon.
Mana
mau aku kalah sama mereka. Aku langsung jeprat jepret sana sini. Sesekali ombak
menerpa kakiku. Sebenarnya sih pantai di sini ombaknya tenang. Tapi tetap aja
keinginan main air harus kuurungkan. Pertama, aku udah mandi, jadi nggak ingin basah kuyup lagi. Kedua, bisa
nangis darah aku kalau HPku ikut “berenang”.
Beberapa
menit berlalu… dan inilah yang kami tunggu-tunggu. Matahari mulai turun ke
peraduan, sedikit demi sedikit. Luar biasa! Ah… andai ada yang menemaniku saat
ini, berdua memandang sunset sambil bersenandung lagu Kemesraan…. Aku tunggu
cewek-cewek itu apakah ada yang minta tolong difotokan lalu ngajak kenalan,
tapi belum selesai aku memandangi sunset, mereka malah beranjak pergi
(nasib seorang jomblo).
Sang surya mulai kembali ke peraduannya |
Indah sekali bukan? |
Maaf ya mbak, nggak sengaja terfoto |
Debur ombak di kala senja |
Duduk termenung di tepi pantai |
Santai dulu ah |
Tak menyangka bisa ke sini |
Ini pemandangan sebelah timur |
Biarpun
indah, pastinya ogah kalau bermalam di sini. Aku menoleh ke belakang, ternyata
tinggal aku sendiri dan seorang nelayan yang sedang memeriksa kapalnya. Wah,
dengan cepat aku beranjak pergi. Di sini minim penerangan jadi aku harus balik
ke penginapan sebelum gelap.
Deg-degan
aku lewat kebun dan kandang ternak tadi. Segera kupercepat langkahku karena
langit makin gelap. Bukan mbak kunti atau om druwo yang kutakutkan tapi
kalau-kalau ada ular nongol dari balik pohon. Dari dulu aku memang takut banget
sama hewan melata itu. Bayangin bentuknya aja udah hiiiii…
Untunglah
jalan di kebun itu tidak terlalu panjang. Aku segera tiba di perkampungan tadi
dan berjalan pulang ke penginapan. Begitu sampai aku langsung mencuci kaki dan
tangan yang belepotan pasir.
Nah,
sekarang saatnya makan malam. Mau makan apa? Aku lihat di dekat penginapan ada
warung yang menjual lontong tahu dan gado-gado. Tentu saja yang paling bikin
penasaran adalah lontong tahu. Ibu penjualnya sangat ramah dan cekatan. Dalam
hitungan menit, sepiring lontong tahu dan segelas teh manis hangat terhidang di
depanku. Harganya cuma Rp. 7.000
Lontong
tahu adalah makanan khas Pati. Bentuknya mirip dengan kupat tahu di Magelang. Berupa
tahu goreng dan taoge yang disiram kuah berbumbu kacang. Bedanya, di sini
dihidangkan dengan lontong bukan ketupat. Kuahnya pun bukan kuah gula merah
plus kacang, tapi sambal kecap plus kacang. Taburan bawang goreng dalam jumlah
banyak ikut memancing selera.
Begitu
kurasakan…woooowwww… rasa pedas membakar mulut. Makin disendok makin hot.
Sialnya, aku justru memesan teh hangat, bukan es teh. Satu-satunya penawar cuma
bakwan jagung yang tersedia di meja. Akhirnya karena nggak mau rugi, tetap
kuhabiskan makananku sambil meringis sesekali.
Tak
heran, sesampai di penginapan, aku banyak minum air putih. Aku sadar, perutku
sensitif dengan makanan pedas, jangan sampai deh aku sakit di sini.
Malam
itu aku sengaja tidur lebih cepat, karena besok pagi mau lari pagi sekalian
lihat sunrise. Tak lupa, kupasang alarm HPku dua-duanya jam 04.00.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar