Sungguh
perjalanan kali ini penuh kejutan. Aku pernah kepikiran mengunjungi
Rembang dan Lasem, tapi tak pernah sekalipun terbersit untuk mengunjungi Sluke. Biarpun sering buka peta, aku sama sekali nggak ngeh dengan daerah ini.
Sluke hanyalah sebuah kecamatan di sebelah timur Rembang, beberapa kilometer
sebelum perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur.
Lalu
kenapa aku bisa ke sana? Nyasar? Gak mungkinlah! Traveler kok nyasar. Begini ceritanya
Tujuan
awalku sebenarnya adalah Tuban. Rencanaku jalan-jalan sekalian mengunjungi
seorang teman di Kerek, Kabupaten Tuban. Nah, sebagai backpacker berkantong
tipis, aku berusaha menekan biaya sekecil mungkin, baik transportasi maupun
penginapan. Kalau perlu nggak usah bayar (mimpi).
Penginapan
memang cuma buat numpang tidur, tapi jelas aku nggak mau cari yang abal-abal.
Dan seperti biasa, Traveloka siap membantu. Tapi…. oh sayang… (nggak pakai
cinta), tarif hotel di Tuban termurah adalah Rp. 150.000. Kalau 2 malam
menginap, berarti Rp. 300.000 harus kukeluarkan. Tidak!
Bukan
Robert namaku kalau menyerah begitu aja. Saat menginap di Tuban nggak bisa, coba kota
di sekitarnya, yang penting tetap bisa jalan-jalan ke Tuban. Bojonegoro,
Lamongan, Babat, Blora, coba kucari dan hasilnya… setali tiga uang alias sami
mawon. Malahan seperti kata iklan, yang lebih mahal banyak.
Harapan
terakhir sekarang adalah Rembang. Di pusat kota Rembang harganya masih sama,
begitu juga daerah Lasem. Hah… tapi aku nggak menyerah, dengan semangat masih
berkobar aku klik Kabupaten Rembang. Daaaan akhirnyaaa… ketemulah Penginapan
Kurnia di Sluke. Tarifnya cuma Rp. 95.000 per malam. Segera aku mencari tahu
dimana itu Sluke, ternyata ada di tepi jalur Pantura juga. Berarti masih
mungkinlah buat jalan ke Tuban. Oke, deal!
Sudah
pasti aku harus ke Semarang dulu, dan naik bus jurusan Surabaya. Ada beberapa
bus untuk rute itu, baik patas maupun ekonomi. Untuk berangkat ini, aku naik
bus patas Indonesia. Sebenarnya mau patas atau ekonomi sama aja sih, ada ACnya,
dan bakal berhenti di beberapa tempat. Cuma bentuk bus dan tarif aja yang beda. Yang patas nggak bakal ada yang berdiri dan so pasti lebih mahal
Pemandangan jalan raya Pantura, Sluke |
Setelah
menempuh perjalanan selama 4 jam, sampailah aku di Sluke. Tadinya aku berencana
sore ini mau lihat sunset di Pantai Sluke. Tapi… gara-gara bus sempat ngetem
lama, ditambah macet di Pati, aku baru sampai jam 17.30. Jadi harus kutunda,
ngapain ke pantai gelap-gelapan.
Penginapan
Kurnia (namanya pas dengan nama belakangku nih) ini letaknya tepat di pinggir
jalan raya Pantura. Uniknya, selain penginapan, pemiliknya juga punya
minimarket dengan nama sama di bagian depannya. Jadi kalau check in lewat kasir
minimarket.
(Sayangnya
karena HPku agak bermasalah, aku lupa memotret penginapannya, tapi anda-anda
sekalian bisa lihat di Traveloka, search aja “Budget Room Penginapan Kurnia”,
kalau nggak muncul berarti kamar lagi penuh atau ada yang salah dengan koneksi
internet anda)
Mbak-mbak
kasir membawaku ke sebuah kamar. Setelah aku ditinggal sendiri (ya iyalah,
siapa juga yang minta ditemani), aku langsung mengagumi kamar ini. Tidak
terlalu besar tapi fasilitasnya lumayan. Kamar mandi dalam, lemari pakaian,
meja, kursi, kipas angin, air mineral, handuk, semua tersedia. Sayang tempat
tidurnya cuma bantal dan kasur. (Ya maklum, harga segitu, bisa bangkrut
penginapannya kalau lu minta spring bed pakai selimut tebal).
Segera
aku menata barang-barang. Pakaian di lemari, makanan kecil dan perlengkapan
lainnya di meja, handuk di kamar mandi. Khusus handuk, aku udah bawa sendiri.
Kalau yang dipinjamkan, aku nggak mau pakai, soalnya pasti pernah dipakai orang
lain yang belum tentu kulitnya sehat. Setelah selesai, aku mandi.
Eh,
tapi kok terasa makin pengap aja ya? Bahkan setelah aku mandi pun rasanya masih
gerah. Oh, ternyata kamar ini kurang ventilasinya. Memang terdapat relung di
dinding tapi semuanya ditutup kaca. Dengan terpaksa, kubuka sedikit jendelanya.
Mendingan kena udara malam daripada sesak nafas.
Hari
sudah gelap, nggak memungkinkan bagiku jalan kemana-mana. Satu-satunya yang
bisa kulakukan adalah pergi mencari makan (kayak burung pipit aja). Karena
nggak selera makan nasi, bakso di seberang Pasar Sluke pun jadi alternatif
pengisi perut. Begitu terhidang... weladalah... diriku terbelalak dengan ukuran baksonya. Sedikit
lebih besar dari bola tenis, plus beberapa bakso ukuran sedang dan irisan
jeroan sapi. Tapi, setelah kurasakan, mmm… lumayan enak. Bakso tenisnya
ternyata berisi telur rebus dibalut daging yang nggak terlalu tebal, pas banget
dengan seleraku. Dalam hitungan menit, langsung tandas kunikmati. Cuma
jeroannya nggak kumakan, soalnya memang nggak suka. Harga Rp. 17.000 wajar lah.
Sebelum
tidur, aku sempatkan duduk di teras yang sekaligus berfungsi sebagai lobby. Cari
angin sambil main internet. Ada beberapa orang bapak di situ, mengajakku
ngobrol sedikit. Mereka berasal dari Cilacap, datang ke Rembang untuk project
perusahaan perkapalan. Memang, sebagai daerah pesisir, Rembang terkenal dengan
komoditas perikanan, kelautan, dan tambang batu kapur. Belum lagi industri lain
yang sudah berkembang di jalur pantura. Sebuah PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga
Uap) berdiri di sebelah barat Sluke, dengan sebuah semenanjung bernama Tanjung
Bendo. So, meskipun Sluke bukan daerah
wisata yang terkenal, penginapan ini selalu ramai oleh para pengusaha dan karyawan
yang sedang melakukan project khusus. Jadi merasa unik, aku satu-satunya traveler di sini.
Hampir
saja aku terlena oleh koneksi internet yang kayak kereta api. Tahu-tahu sudah
jam 22.00. Aku harus tidur sekarang, karena besok harus pergi ke Tuban.
Bersambung ke Part 2
Bersambung ke Part 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar