Senin, 26 Februari 2018

My First Backpacker (Part 5) : Naik Turun Gunung dari Selecta ke Songgoriti


Biarpun belum terbiasa, akhirnya aku bisa tidur juga. Malahan paginya aku agak malas bangun gara-gara kecapekan kemarin. Mau bangun jam 06.00, “Ah, sebentar lagi”. Sebentar lagi melulu, akhirnya jam 07.30 aku baru bangun tidur. Kesiangan deh... tapi bagaimanapun aku harus lanjut perjalanan hari ini.
Setelah mandi dan bersiap-siap, aku keluar dari hostel. Kota Batu adalah tujuanku hari ini. Awalnya aku mau cari sarapan dulu, tapi di kawasan pasar dan Jl. Martadinata nggak ada makanan yang memancing seleraku. Lagipula entah kenapa dari kemarin aku nggak selera makan nasi. Akhirnya aku naik angkot dari Jl. Kyai Tamin. Pikirku, nanti cari makan di terminal atau sekalian aja di Batu.
Ternyata aku masih harus ganti angkot di seberang Stasiun Malang Kotabaru. Kata pak supirnya, dari sini aku harus naik angkot jurusan Dinoyo, turun di Terminal Landungsari, baru disambung angkot ke Batu. Yah… biarpun agak ribet, aku nggak usah mengeluh, hitung-hitung keliling kota.
Rasa laparku rupanya udah nggak bisa kutahan. Untungnya kutemukan pusat kuliner berjajar di seberang stasiun. Huh, kenapa kemarin bisa nggak terlihat sih? Di sini banyak pilihan mau makan apa.


Pusat kuliner depan Stasiun Malang

Langkahku terhenti di sebuah warung. Di sini tersedia aneka makanan khas Jatim, ada tahu campur, tahu telur, rujak cingur, dan rawon. Aku pilih tahu campur. Menurut info yang sering kubaca, tahu campur ini mirip kupat tahu Magelang, cuma ditambah perkedel singkong, kikil, dan petis.
Tak lama,penjual menghidangkannya padaku. Aku langsung menikmatinya. Sesendok, dua sendok, lama-lama… lho, rasanya beda dengan yang kubayangkan. Di piringku ada irisan sawi, taoge, singkong rebus, cingur sapi, dan sedikit sambal, dengan kuah berbumbu petis. Nggak ada tahu sepotong pun. Ada tempe, itu pun cuma secuil. Apakah mbak penjualnya keliru? Atau dia belum sempat beli tahu lalu pakai sembarang bahan yang ada? Atau mungkin dia melihatku sebagai turis, jadi dibuatkan rujak cingur biar aku cicipi? Pertanyaan itu kupendam saja di hati. Aku merasa nggak enak kalau protes, karena udah kumakan separuh.
Toh akhirnya makanan aneh itu kuhabiskan juga. Ditambah teh hangat dan kerupuk, harganya jadi Rp. 15.000. 


Ini tahu campur atau rujak cingur ya?


Berhubung hari semakin siang, aku segera mendekati angkot jurusan Dinoyo yang ngetem dekat situ.
Oh ya, soal rute atau jalur angkot. Angkot di Malang tidak pakai nomor, tapi singkatan nama daerah yang dilalui, contohnya ADL (Arjosari-Dinoyo-Landungsari), LDG (Landungsari-Dinoyo-Gadang) atau MKS (Mulyorejo-Klayatan-Sukun). Pembeda lainnya adalah warna garis pada angkot, misalnya garis abu-abu untuk ADL dan garis putih untuk LDG.
Biasanya aku paling malas kalau tunggu angkot ngetem. Tapi pagi ini, aku enjoy dengan keadaan ini. Aku sengaja duduk dekat pak supir yang segera mengajakku berbincang basa-basi. Keberanianku solo traveler dengan jarak hampir 350 km ini membuatnya kagum. Belum tahu dia… aku bahkan pernah ke Jakarta sendirian, padahal masih buta arah.
Angkot berangkat meskipun penumpangnya cuma aku dan seorang lagi. Sepanjang perjalanan, aku dimanjakan dengan pemandangan kota yang ramai berikut suasana yang menyejukkan mata. Benar-benar kota yang indah.

Jalan menuju Dinoyo

Perjalanan terus berlanjut, aku sempat melewati Dinoyo, daerah yang terkenal sebagai pusat kerajaan Kanjuruhan pada abad ke 8. Selanjutnya, angkot melaju ke pinggiran kota Malang. Tidak banyak penumpang yang naik angkot. Sampai di Terminal Landungsari, cuma tinggal aku sendiri. Memang, biarpun jumlahnya banyak, angkot di Malang berangsur-angsur sepi karena banyaknya kendaraan pribadi. Beruntung dengan posisi Malang sebagai daerah wisata, mereka bisa tetap bertahan.
Terminal Landungsari ini adalah terminal angkot di sebelah barat kota Malang. Buat yang mau ke Batu dan sekitarnya bisa naik angkot dari sini.
Sama sekali tidak sulit menemukan angkot jurusan Batu, karena jumlahnya cukup banyak. Cuma ya, kita musti sabar, karena kadang-kadang ngetem cukup lama. Kecuali kalau pak sopirnya udah bosan menunggu penumpang, maka 2-3 orang saja udah cukup buat berangkat.
Benar saja, dengan berpenumpang aku dan seorang ibu, angkot berangkat menuju Batu. Keluar dari kota Malang, jalan mulai menanjak. Suhu udara mulai turun. Jarak Malang ke Batu adalah 17 km, bisa ditempuh kurang dari setengah jam.
Sesampai di Terminal Batu, puluhan angkot dengan berbagai jurusan sudah menunggu. Lagi-lagi kita dimudahkan karena angkot di Batu melewati sebagian besar objek wisata yang ada, di antaranya jurusan Selecta dan Songgoriti. Pembedanya adalah warna mobilnya.
Aku memilih pergi ke Selecta, jadi aku naik angkot warna oranye. Tak lama,angkot menyeberang ke pasar di seberang terminal. Dalam hitungan menit, mobil ini penuh dengan penumpang, baik wisatawan maupun warga lokal berbaur jadi satu.
Perjalanan mengelilingi kota Batu yang sejuk dan tidak terlalu ramai bikin hati terasa damai. Puluhan penginapan dan beberapa taman yang indah sempat kulewati. Sempat terlihat juga Museum Angkut dan agrowisata apel hijau.
Sejurus kemudian, angkot menanjak naik ke pegunungan. Pemandangan kota Batu mulai menjauh di bawah. Pohon-pohon tinggi khas pegunungan menghijaukan suasana. Kesejukan dan kedamaian menyeruak. Wah… rasanya… seperti di surga. Andai ada yang menemaniku, pasti lebih asyik lagi. 

Kota kecil di kaki gunung
Di sana pertama cinta bersemi
Suasana tenang dan damai
Tiada cemburu tiada nestapa
Sungai berliku di kaki bukit’
Di sanalah kita bercumbu
Cinta pertama kita berdua
Terukir di pucuk cemara


(Cemara Cinta by Dian Piesesha)

Ternyata ada saja halangannya. Sesampai di Selecta, hujan turun dengan derasnya. Terpaksa aku jalan sambil bawa payung.
Selecta adalah sebuah taman yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Tiket masuknya Rp. 30.000. Cukup mahal memang. Tapi semua terbayar dengan keindahan yang ditawarkan. Objek wisata ini letaknya cukup tinggi, jadi aku harus hati-hati melewati jalan beraspal yang licin karena hujan.

Sampai juga di Selecta

Di depan pintu masuk taman, beberapa akuarium besar dengan ikan-ikan koi yang hilir mudik. Di atasnya patung Dewa Wisnu, yang melambangkan bahwa kawasan ini adalah bagian dari kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Semakin ke dalam, kutemui kolam renang dan waterpark. Pengunjung hari itu penuh, kebanyakan anak-anak dan orang tuanya yang asyik main air. Hujan sama sekali nggak menyurutkan kegembiraan mereka. Aku heran, apa nggak kedinginan ya. Aku suka main air, tapi kalau harus menggigil sih… sorry lah ya.

Kolam renang ini sudah terkenal sejak zaman Belanda lho!

Asyik bermain di waterpark, apa nggak kedinginan ya? 

Tapi memang, apa yang indah tidak boleh dilewatkan. Karena nggak ingin berenang, aku menuju ke kebun bunga. Wow…. Luar biasa. Hamparan bunga-bunga beraneka warna menghiasi lereng bukit. Mulai dari bunga mawar sampai edelweiss. Kita bebas naik turun bukit. Ibarat lagu “Bukit Berbunga”. Tapi jangan coba-coba memetik bunga, karena di sini dilarang. Kalau ingin sambil bermain, bisa coba wahana becak udara.

Wow. luar biasa indahnya


Nggak bosan-bosan melewati rimbunnya bunga

Aku berkeliling menikmati semua keindahan ini sambil sesekali jeprat-jepret kamera HP. Sempat seorang ibu yang datang bersama rombongan minta tolong buat difotokan. Tak heran, tempat ini jadi spot favorit buat foto-foto. Mau selfie atau groupie silahkan saja yang penting jangan sampai merusak taman.
Sesudah puas melihat-lihat, aku keluar dari taman. Di dekat tempat parkir, ada penjual bunga dan tanaman hias. Tak ketinggalan pasar kuliner. Semua tertata rapi. Tentu saja aku nggak melewatkan kesempatan ini. Tapi mau beli tanaman? Ah, nggak. Selain repot bawanya, aku juga nggak telaten kalau disuruh berkebun. Aku beli makanan saja.

Monggo, dipilih tanamannya

Pasar aneka kuliner

Di pasar kuliner ini belasan warung berjajar menjajakan oleh-oleh khas Malang dan Batu. Seorang ibu dengan ramah menawarkan dagangannya bikin aku nggak bisa menolak. Yang utama sudah pasti apel. Eit… di sini apelnya nggak cuma apel hijau. Ada juga apel yang agak kemerahan atau hijau kekuningan. Menurut penjualnya, bedanya dari segi rasa. Apel yang kemerahan rasanya sedikit asam, apel hijau lebih manis, sedangkan yang kekuningan tidak terlalu manis tapi segar.
Harga apel cukup murah. Sekilo cuma Rp. 10.000. Selain apel, warung ini juga menjual keripik tempe, keripik buah, dan minuman sari buah. Siapa yang nggak tergoda? Yup, daerah Batu dan sekitarnya memang terkenal sebagai penghasil buah-buahan, khususnya apel. Tapi karena malas bawa barang berat (takut sakit punggung seperti kemarin), akhirnya aku cuma beli sekilo apel hijau, ditambah sebungkus keripik tempe seharga Rp. 3.500.
Karena belum makan siang, aku menikmati bakso Malang di sebuah kedai, bagian depan pasar kuliner. Makanan yang juga sering disebut Bakwan Bromo atau Bakwan Kawi ini isinya komplit. Selain mie dengan bakso ukuran besar dan kecil, juga ada tahu bakso dan pangsit yang juga dalam ukuran besar. Semuanya tenggelam dalam kuah kaldu sapi yang gurih. Seketika aku langsung merasa kenyang. Harganya sebandinglah, Rp.13.000


Makan bakso dulu yuk

Nah, sekarang ke mana lagi? Waktu baru jam 12.30. Terlalu cepat kalau balik ke Malang sekarang. Aku pun pikir-pikir, mencari tempat wisata yang terjangkau. Aku teringat waterpark tadi. Kalau berenang di tempat dan cuaca seperti ini pasti kedinginan, tapi kalau airnya hangat? Wah, pasti enak. Ya, Pemandian Cangar atau Songgoriti.
Sayangnya, dari Selecta ini tidak ada angkutan menuju Cangar, apalagi jaraknya jauh dari sini. Bisa kesorean aku kalau nekat ke sana. Kalau Songgoriti, masih memungkinkan, tapi aku harus balik ke Terminal Batu dulu.
Hujan kembali turun cukup deras. Hampir setengah jam aku menunggu angkot di depan gerbang masuk Selecta. Sampai akhirnya sebuah angkot berwarna oranye berhenti di depanku. Aku langsung naik setelah memastikan bahwa itu jurusan Batu. Tak lama, angkot ini langsung berangkat menembus hujan.
Turun di Terminal Batu, aku langsung ganti angkot kuning jurusan Songgoriti. Dan ibarat naik turun gunung, aku kembali lewat jalan menanjak di lereng gunung Arjuna. Jalan tidak seramai tadi, hanya sesekali berpapasan dengan mobil atau bus wisata.
Sebuah gerbang bergaya candi berdiri tepat di depan Pasar Songgoriti.  Nggak salah lagi, inilah Tirta Nirwana, tempat yang ingin kukunjungi. Turun dari angkot, aku segera masuk dan membayar tiket seharga Rp. 15.000.

Pintu masuk Tirta Nirwana, didesain ala candi

Begitu masuk… kembali indahnya perbukitan menyapaku. Sesuai rencana, aku ingin berendam air hangat.  Ada 2 kolam di sini, kolam renang biasa dan kolam renang air hangat.
Tapi ugh… terpaksa niatku tadi kuurungkan. Habisnya kolam air hangat di sini sudah dipenuhi anak-anak, lagipula tempatnya didesain ala waterpark. Malu dong, mandi bareng anak-anak.

Yang depan kolam renang biasa, di belakangnya kolam air hangat

Di sudut lain, sebenarnya ada kamar mandi dengan air hangat. Tapi harus bayar Rp. 7500. Yaaah… kalau gini sih, apa bedanya dengan aku mandi air hangat di hotel.  Akhirnya sambil menahan kecewa, aku tinggalkan kawasan pemandian, melangkah ke taman di bagian belakangnya.
Aku berusaha melihat setiap sudut dengan teliti, berharap menemukan sesuatu yang menarik. Tapi ternyata nggak ada yang pas. Cuma ada taman bermain anak-anak dengan patung-patung hewan atau mobil mini di sekitarnya. Ada juga danau buatan yang menyediakan wahana sepeda air. Sekilas tak jauh beda dengan Taman Kyai Langgeng di Magelang. Jelas tempat seperti ini kurang cocok buatku, apalagi siang ini kebanyakan pengunjungnya anak-anak. Aku cuma bisa duduk di lereng bukit, melemaskan kaki sambil melihat pemandangan anak-anak sedang bermain.

Taman bermain dengan patung mobil mini

Tiba-tiba hujan turun lagi. Cepat-cepat aku keluar dari kawasan Tirta Nirwana ini. Baru sampai di depan gerbang, derasnya air hujan seakan sudah nggak sabar. Terpaksa aku berteduh di depan Pasar Songgoriti, menunggu angkot ke Batu.  Aku putuskan pulang saja ke Malang. Lain kali bisa kunjungi tempat lain lagi. 
Lamaaaa sekali aku menunggu angkot. Hingga akhirnya angkot berwarna kuning lewat. Biarpun harus berdesakan sama anak sekolah, lebih baik daripada nggak bisa pulang. Ngomong-ngomong, angkot di Batu cuma beroperasi sampai sore, jadi jangan sampai kemalaman di sini. 
Hujan berangsur reda saat memasuki kota Batu. Angkot melewati pusat kota Batu. Ternyata biarpun daerah pegunungan, Batu bukanlah daerah terpencil. Tetap seperti kota pada umumnya, ada alun-alun, supermarket dan perkantoran. Bahkan sore ini, kota cenderung ramai.  Cuma satu hal yang kusesalkan, baterai HPku habis, jadi nggak bisa ambil foto lagi. 
Aku sampai di Terminal Batu, mencari angkot tujuan Landungsari. Wah, ada angkot yang sudah mau berangkat. Cepat aku mengejar. Tak disangka, seorang tukang ojek member isyarat ke sopir angkot untuk berhenti karena aku mau naik. Padahal sih dia bisa aja memaksaku naik ojeknya buat ke Malang. Aku kagum, ternyata di sini bukan cuma pemandangannya yang indah. Orang-orangnya juga ramah dan baik hati.
Maka, ketika meninggalkan kota Batu, aku membawa kenangan indah. Aku berharap, pertengahan tahun nanti bisa datang lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar