Sabtu, 31 Maret 2018

My First Backpacker (Part 6) : My Last Date In Malang, Bersama Kampung Arema dan Warung Oleh-oleh

Sepanjang perjalanan Batu-Malang, aku lebih banyak merenung. Kota ini begitu indah, rasanya sayang kalau 2 hari aja di sini. Masih banyak tempat yang belum kukunjungi karena keterbatasan waktu.

Aku turun di Terminal Landungsari, disambung angkot ke Pasar Besar Malang, lalu jalan kaki ke Mador Hostel. Begitu masuk kamar, aku langsung rebah di tempat tidur. Tapi rupanya ketidakpuasan mengalahkan rasa capekku. Aku nggak mau waktu sore ini lewat seperti kemarin. Aku udah jauh-jauh sampai sini, harus dimaksimalkan dong!


Nggak perlu jauh-jauh, sekitar 500 meter dari sini ada Kampung Jodipan yang kemarin sempat kulihat dari atas kereta. Yes, inilah kenapa Mador jadi favorit para turis, karena lokasinya strategis.

Jadi sesudah istirahat dan mandi, aku keluar lagi dari Mador. Mas-mas yang sekamar denganku sampai heran, aku kuat banget, habis dari Batu langsung jalan-jalan lagi. Saking niatnya, cuaca bukan penghalang buatku. Seolah aku menantang langit mendung, mau keluarkan hujan silahkan, aku nggak takut soalnya ada payung.

Jalan ke Kampung Jodipan harus melewati kawasan pasar dan pertokoan. Lalu lintas kota yang lumayan ramai bikin aku harus ekstra hat-hati buat menyeberang. Menjelang senja, barulah aku sampai di seberang Kampung Jodipan. Ternyata di sini ada juga perkampungan unik, semua genteng sampai dinding rumah warnanya biru. Namanya Kampung Biru Arema. Warna biru diambil dari warna dasar Arema FC.  Kampung yang dulunya bernama Embong Brantas ini nantinya akan jadi salah satu ikon wisata kota Malang dengan menonjolkan simbol-simbol Arema FC sebagai klub sepakbola kebanggaan kota ini. Di sampung sebagai tempat wisata buat penggemar Arema,  apa lagi kalau bukan spot menarik buat penggemar selfie

Kampung Arema yang instagramable

Sungguh menyesal, aku tidak bisa menyeberang ke Kampung Tridi dan Kampung Warna Warni di seberangnya, aku cuma bisa lihat dari kejauhan. Penyebabnya ya itu tadi, jalan sangat ramai kendaraan biarpun medan jalan cukup lebar. Ngomong-ngomong, nggak cuma di sini, sejak kemarin aku juga kesulitan menuju ke seberang Mador. Huh, seandainya ada jembatan penyeberangan. Tapi nggak ada, yang terlihat justru jembatan kereta api yang kulewati kemarin. It's so classical in the evening. 

.
Jembatan KA menuju Malang Kota Baru


Langit semakin gelap, hari beranjak malam, tapi hujan tidak jadi turun. Acara selanjutnya apalagi kalau bukan makan malam. Aku menyusuri Jalan Kyai Tamin. Jujur aja, aku agak merinding lewat jalan ini sendirian. Biarpun sebuah pertokoan dan dekat pasar, daerah ini minim penerangan di malam hari. Untungnya banyak warung tenda di pinggir jalan, jadi nggak terkesan “horor”.

Aku berusaha mencari makanan yang memancing seleraku. Karena sejak kemarin aku kurang berselera sama makanan berat. Akhirnya kupilih Nasi Uduk BMW. Aku nggak tahu apa singkatannya, yang jelas jualannya bukan di atas mobil BMW. Aku pesan nasi uduk pakai tahu tempe. Ternyata biarpun nasi uduk, hidangan di sini konsepnya ala penyetan. Jadi selain nasi pakai tahu dan tempe goreng, ada juga sambal, nggak ketinggalan lalapan ketimun dan kemangi. Cara makannya juga pakai tangan atau orang Jawa bilang muluk. Saat kunikmati, ternyata lumayan enak, apalagi porsinya lumayan gede, jadinya aku kenyang sekenyang-kenyangnya. Satu porsi itu cukup dengan harga Rp. 9000. Mantap dah.

Inilah nasi uduk BMW

Nah, kalau sudah kenyang, sekarang saatnya cari oleh-oleh. Sejak tadi aku udah temukan di google, ada  toko oleh-oleh khas Malang di Jalan Bendungan Sutami. Kabarnya toko ini buka sampai jam 22.00. Tanpa pikir panjang aku memesan GoCar dari depan Mador. Sejurus kemudian, sebuah mobil mengantarku ke toko oleh-oleh itu.

Tadinya kukira yang kudatangi ini sebuah toko besar. Ternyata salah besar. Sebuah warung sederhana berdiri di seberang pertokoan. Biarpun begitu, aku sama sekali nggak kecewa, nyatanya warung ini cukup lengkap menyediakan aneka oleh-oleh. Mulai aneka keripik buah, keripik tempe, minuman sari buah, dodol apel, sampai aneka buah-buahan segar. Harganya pun sangat terjangkau. Sebungkus keripik apel dengan berat 50 gram cuma Rp. 3500. Dodol apel yang terbuat dari apel merah atau apel hijau masing-masing juga cuma dihargai Rp. 7000 per kotak. Bahkan keripik tempe yang isinya kurang lebih 10 keping seharga Rp. 4000. Aku langsung membeli beberapa.

Sambil bawa tas kresek besar berisi oleh-oleh, aku bersiap balik lagi ke Mador. Sempat terjadi “insiden” HPku lowbat hampir mati. Untungnya aku masih sempat memesan GoCar, kalau nggak, nggak tahu deh musti gimana.  Ya ini peringatan buat kita semua, jangan bepergian dalam keadaan HP lowbat. Kemungkinan terburuknya kita nggak bisa pulang.

Malam ini adalah malam kedua sekaligus malam terakhirku di Malang. Maka, begitu sampai di Mador, aku bersiap packing. Cukup siapkan keperluan pribadi buat besok pagi, yang lain masuk tas.

Keesokan paginya, setelah mandi dan siap-siap, jam 06.00 aku check out dari Mador. Aku pamit pada mas Rahman dan mas-mas yang sekamar denganku. Sayang, aku nggak sempat berbincang sama bule dan orang Korea yang baru check in tadi malam.

Berat hati rasanya aku meninggalkan kota ini. Melewati jalan menuju Stasiun Malang Kota Lama, terasa bahwa suasana pagi begitu hangat. Ah… kota Malang benar-benar luar biasa buatku.


Gapura Pecinan, Jl. Kyai Tamin

Jl. Martadinata di pagi hari
Karena KA Penataran masih 1 jam lagi, aku sarapan dulu di kedai bawah flyover Kota Lama. Nasi rames pakai telur ditambah teh hangat seharga Rp. 13.000 udah cukup buatku. Aku lalu menyeberang ke stasiun dan beberapa menit kemudian datanglah KA Penataran yang siap mengantarku ke Blitar. 


Depan Stasiun Malang Kota Lama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar