Jumat, 21 April 2023

Sejumput Kisah Pecinan Magelang (Jelajah bersama Kota Toea Magelang) - Part 1

Pecinan, berarti Kampung Cina. Nama sebuah kawasan yang menunjukkan kentalnya identitas Tionghoa di pusat kota Magelang. Teringat masa kecilku dulu, karena aku suka baca buku, ortu sering mengajakku ke toko buku di Pecinan. Begitupun kalau aku perlu sepatu baru, toko sepatu pun berada di sana. Kalau ingin cemilan, toko roti juga ada. Pokoknya apa pun.  Koko, cici, om, tante, emak, engkong, beserta para karyawannya siap membantu menyediakan  kebutuhan kita. 

Meski banyak orang mengidentikkan Pecinan dengan pemukiman dan pertokoan di Jalan Pemuda, kenyataannya kawasan Pecinan lebih luas. Keturunan Tionghoa di Magelang juga mendiami Jl. Majapahit, Jl. Medang, Jl. Sriwijaya, hingga Jl. Daha dan Jl. Jenggala. (wah nama jalannya kerajaan semua ya). Hj

Sayangnya, gemerlap Pecinan sekarang mulai pudar. Hanya beberapa sudut yang masih ramai. Sebagian toko-toko sudah tutup, sebagian lagi bertahan alakadarnya, istilahnya hidup segan mati tak mau. Maklum, perkembangan zaman menggerus semuanya. Orang lebih dimudahkan dengan belanja online yang banyak pilihan daripada datang ke toko yang pilihannya terbatas. Penyebab lainnya, generasi tua kebanyakan sudah tidak ada, sementara generasi muda lebih memilih buka usaha sendiri  daripada meneruskan usaha orang tua mereka. 

Untuk lebih mengenal lebih jauh tentang Pecinan, hampir setiap tahun komunitas Kota Toea Magelang mengadakan jelajah Pecinan. Bukan cuma di Magelang, mereka pernah menjelajah Pecinan di Muntilan, Temanggung, Parakan, hingga Ambarawa. Tapi untuk tahun ini kegiatan difokuskan di Magelang saja, karena situasi yang masih recovery setelah pandemi.

Sayangnya, jelajah kali ini terasa kurang greget bagi sebagian orang. Menurut Mas Bagus, sang koordinator, kendala utama adalah perizinan. Tidak semua pemilik bangunan tua bersedia rumah atau tempat usahanya dimasuki sembarang orang, sehingga kita hanya bisa melihat dari luar saja. 

4 Februari 2023, pagi itu sekitar 50 orang peserta dengan dresscode warna merah siap menjelajah. Kami berkumpul di Gedung Lokabudaya Sukimin Adiwiratmoko di selatan alun-alun.  Fakta menarik, meskipun judulnya jelajah Pecinan, tapi 90 persen peserta bukan keturunan Tionghoa, dan aku yang termasuk 10 persen sisanya. Biarpun sebenarnya aku kurang paham soal budaya Tionghoa, tahunya cuma kiong hie lalu dapat angpao... hehehe... 






Setelah briefing sejenak, acara dimulai dengan masuk ke dalam gedung. Lho? Ya, karena bertepatan dengan masa Imlek, di gedung ini KTM mengadakan Pameran Sejarah Pecinan selama beberapa hari . Di situ dipajang foto-foto dan benda bersejarah dari etnis Tionghoa di Magelang. 








Ruang pertama, terutama mengulas sejarah Kelenteng Liong Hok Bio, kelenteng  berusia 159 tahun di alun-alun Magelang. Pendirinya adalah Be Tjok Lok, Kapiten Kedu (setingkat Camat) pada zaman kolonial. Setelah pensiun, pada tahun 1864 beliau menyumbangkan tanah bekas kantornya untuk warga peranakan China, yang kemudian dibangun kelenteng tersebut.  Konon sebelum kelenteng berdiri, warga Tionghoa abad 19 telah melakukan ritual mereka dengan patung-patung Dewa Bumi yang berada di Jl. Daha.





Balik ke ruang pameran, terpajang juga beberapa kemasan kecap cap Kidang Jantra.  Bukan mau promosi atau sponsor lho, tapi tahu nggak sih, ternyata kecap yang biasa kita pakai sehari-hari  bukan hasil budaya asli Indonesia lho! Kecap diperkenalkan oleh perantau dari China. Saat menempuh perjalanan jauh mereka membawa bahan-bahan makanan yang awet, salah satunya kecap. Kecap Kidang Jantra sendiri diproduksi di Magelang sejak 1932. 

Lanjut, masuk ke ruang tengah. Kami  melihat foto-foto anak muda Tionghoa masa lalu, jadi aku bisa bayangkan engkong-emak kita itu waktu muda kayak gimana.  Ternyata style mereka rapi dan  modis juga, apalagi yang dari kalangan atas berpakaian necis alias parlente. Nggak kalah deh sama bintang film Mandarin! Biarpun model pakaiannya sederhana. Laki-laki mengenakan jas atau kemeja panjang, perempuan memakai gaun, sementara ibu-ibu berpakaian kebaya peranakan yang disebut kebaya encim.  












Ada juga foto pernikahan tahun 1970 di Gereja Katolik Santo Ignatius, dimana pakaian jas dan gaun pengantinnya tak jauh beda dengan zaman sekarang. Pernikahan dengan pakaian tradisional China sangat jarang karena warga keturunan Tionghoa sudah terpengaruh budaya barat dan setelah kemerdekaan banyak dari mereka berpindah agama ke Kristen dan Katolik. 







Kehidupan pemuda Tionghoa zaman dulu sama dengan masyarakat pada umumnya. Berolahraga seperti renang dan basket bukan sekedar hobi, tapi juga sarana keakraban mereka dengan lingkungan sekitar. Bukan cuma etnis Tionghoa saja, etnis lain juga boleh bergabung dengan mereka. Aku jadi ingat papaku waktu muda dulu bergabung dengan kelompok lari pagi, biarpun diprakarsai orang Tionghoa tapi pesertanya ada juga orang Jawa, bahkan orang India. 





Dalam hal tradisi pun orang Tionghoa telah mendapat tempat sejak dulu. Perayaan Imlek hingga Cap Go Meh berlangsung lancar seperti sekarang. Kirab barongsai ternyata sudah ada di tahun 1930-an! 



Soal sekolah, orang Tionghoa totok (keturunan langsung) lebih kolot dibanding Tionghoa peranakan. Maka mereka punya 2 sekolah khusus di Magelang.  Ada Hollands-Chinese School (HCS), sekolah Tionghoa di Jl. Tidar, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Setelah kemerdekaan, sekolah ini tutup dan beralih fungsi menjadi SPWK (Sekolah Pekerja Wanita Kristen) dan kini menjadi SMK Wiyasa. Sekolah lainnya adalah Tiong Hoa Hwee Kwan atau CHH di Jl. Medang, yang berbahasa Mandarin. Itu sekolah papaku dulu. Sayangnya akibat peristiwa G30S/PKI 1965 sekolah ini tutup dan sebagai akibatnya banyak murid yang putus sekolah, termasuk papaku yang cuma sampai kelas 4 SD. Kini lokasi sekolah itu menjadi SMAN 3 Magelang. 


Ruang belakang pameran memajang dokumen dan peralatan yang berkaitan dengan masyarakat Tionghoa. Ada pamflet iklan, rekening air, undangan pernikahan, dan buku-buku tentang komunitas Tionghoa, mulai yang berbahasa Mandarin, Belanda, dan Indonesia.  KTP pun konon ada kartu identitas khusus orang Tionghoa. 















Untuk peralatannya, ada mangkuk berbahan logam, rantang, termos es, penakar minyak, mesin stensil, dan stempel. Semua alat ini dipinjam dari sebuah keluarga di Muntilan. 















Seperti kubilang di awal tadi, mayoritas orang Tionghoa bekerja sebagai pengusaha atau pedagang. Bahkan saat masa-masa sulit, mereka tetap mendapat hak dari kelurahan setempat untuk berdagang buah dan gula. 









Salah satu foto yang menarik adalah foto Ko Kwat Ie, pendiri pabrik cerutu zaman dulu. Salah satu produknya adalah cerutu Armada. Nama inilah yang menginspirasi pendirian perusahaan karoseri New Armada. 


Last but not least, ruang terakhir, yang dipajang di sini lebih berfokus pada acara kedukaan. Iklan dukacita dan foto-foto pemakaman zaman dulu terpajang di sini. Jangan bayangkan acara pelayatan dengan arak-arakan mobil seperti sekarang. Pelayatan dulu dilakukan dengan jalan kaki sementara jenazah diangkut dengan kereta kuda. Bahkan di tahun 1960-an meski sudah ada mobil jenazah pun masih ada pelayat yang berjalan kaki. Keluarga yang berduka mengenakan pakaian dan ikat kepala putih sebagai tanda berkabung. 









Kebanyakan warga Tionghoa saat itu dimakamkan di Kerkhof, bawah Bukit Tidar. Meski sebenarnya kuburan Belanda, mereka memilih lokasi ini karena paling dekat dengan pusat kota.  Bahkan sebelum era kemerdekaan, kawasan Bukit Tidar juga digunakan sebagai area pemakaman. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya prosesi pemakaman zaman dulu. Kalau sekarang, di Magelang sudah ada Yayasan Dharma yang siap membantu. 

Makam Kerkhof dibongkar pada awal 1990-an dan direlokasi ke berbagai tempat seperti Giriloyo, Soropadan, dan Gremeng. Ada juga yang kemudian dikremasi. Hanya beberapa makam yang dipertahankan hingga kini di antaranya makam Ko Kwat Ie dan makam Van der Steur. 

Dan... mari kita jelajah. Kami berjalan ke luar gedung. Tempat pertama yang dikunjungi adalah Kelenteng Liong Hok Bio.