Rabu, 21 Juni 2023

Pantai Indah Kapuk, Singapore van Jakarta

Setelah tidur siang selama beberapa jam, David kembali mengajakku keluar.  Sebenarnya kami masih agak lelah selepas perjalanan Anyer-Jakarta. Tapi karena aku sudah jauh-jauh datang ke Jakarta, petualanganku harus dimaksimalkan.  

Sore yang cerah itu,  kami mulai menyusuri jalan di Cengkareng.  Jalanan cukup ramai.  Penjual kuliner berjajar menanti pembeli.  Tak ketinggalan odong-odong dan komidi putar sebagai hiburan anak mengalunkan lagu-lagu menggemaskan.  

David membelokkan motornya ke arah utara.  Kami menuju kawasan Pantai Indah Kapuk yang merupakan kawasan elit di Jakarta Utara.  Sebenarnya aku pernah melewatinya dua tahun lalu,  tapi karena saat itu masih pandemi jadi tidak banyak yang bisa dinikmati. 

Aku kagum melihat suasana kota  yang futuristik dan dinamis.  Bangunan ruko  tempat hiburan dan bisnis beratsitektur modern, perumahan mewah yang baru dibangun,  tak ketinggalan pula gedung bertingkat yang lazim ditemui di Jakarta. Mengingatkanku pada kota abad 22 di anime Doraemon. 

Toh semua kemewahan itu tidak murah. Harganya membuat kita tahan nafas.  Sungguh,  hanya "keluarga sultan" sekelas Atta Halilintar atau Hary Tanoe yang bisa membelinya.  Satu bangunan harganya memiliki 9 hingga 10 digit nol.   Mulai sebuah ruko berharga 1-2 miliar hingga rumah gedung berharga puluhan miliar.  Memang ada yang bisa dicicil sampai 60 kali.  Tapi siapa bisa menyediakan 50-100 juta dalam sebulan? Ngeri membayangkannya. 

Pemandangan tak kalah menarik saat kami memasuki pulau reklamasi.  Daerah ini dulunya adalah laut dangkal yang dikeringkan sebagai perluasan daratan. Antara pulau reklamasi  dengan daratan pulau Jawa dipisahkan dengan sebuah jembatan.  

Kami merapat ke pantai.  Jangan bayangkan pantai seperti di Anyer kemarin.  Di pantai sini kita hanya bisa melihat-lihat  karena lahannya diperuntukkan untuk konservasi mangrove.  Tapi tak perlu kuatir.  Di sini tersedia selasar berlantai beton yang cukup panjang, yang bisa digunakan untuk jogging track. 

Ambil foto itu wajib


Begitulah,  tempat ini menjadi favorit bagi warga PIK untuk lari pagi dan jalan sore. Kami sempat berpapasan dengan beberapa orang yang berbincang dalam bahasa Mandarin yang tidak kami mengerti.  Memang,  karena harga properti yang bukan kaleng-kaleng, di sini banyak pengusaha dan investor asing. Mayoritas dari mereka adalah orang Tionghoa dan beragama Buddha.  Hal itu nampak dari keberadaan pagoda dan yayasan Buddhist, tak jauh dari jembatan pulau yang kami lewati tadi.  Juga Rumah Sakit Tzu Chi yang adalah tempat kerja Ana,  istri David.  

Kami duduk di tembok pembatas sambil menikmati cemilan yang kami bawa.  Menantikan sunset melingkupi perairan Teluk Jakarta. Beberapa gedung bertingkat menjulang di kejauhan dengan lampu-lampunya yang mulai dinyalakan.  Sungguh mengagumkan.  Aku sedang menginjak tanah Jakarta tapi pemandangan serasa di Singapore atau Hongkong. 


Serasa di Singapore 


Setelah langit menjadi gelap,  kami beranjak untuk pulang.  Tapi aku masih penasaran dengan pagoda tadi. Alhasil kami mampir sebentar.  Ternyata di depannya ada area Pantjoran Chinatown. Tak jauh dari situ berdirilah monumen Golf Island dengan lampu menyala putih dan ungu, mengingatkanku pada Garden Bay.  Luar biasa, benar-benar serasa di Singapore.  


Monumen Golf Island


Karena sulit mencari tempat parkir, aku sendirian masuk ke Chinatown.  Sementara David menunggu di luar.  Aku memasuki gapura bergaya China,  menuju area pasar malam.  Bangunan berjajar berarsitektur oriental,  tak ketinggalan lampion-lampion yang menambah semarak.  Lagu Mandarin mengalun di sepanjang jalan.  

Gerbang Pantjoran Chinatown 


Sebagian besar bangunan di sini berupa restoran,  cafe,  atau kedai.  Tentu saja yang dijual kebanyakan Chinese food, mulai dari siomay dan bakpao, hingga makanan berat seperti kwetiau goreng, nasi hainan dan babi panggang.  Tak lupa aneka minuman.  Bagi yang muslim,  tak perlu kuatir,  karena para penjual sudah mencantumkan keterangan halal atau non halal.  Harga per porsi mulai dari Rp. 20.000 hingga ratusan ribu.  


Suasana Chinatown 

Foodcourt


Meski tak tertarik membeli makanan,  tapi aku tetap senang hati menyusuri keramaian itu.  Sampailah aku ke pagoda, tepat di ujung food court tadi.  Di bagian depan ada patung Dewi Kwan Im atau Dewi Cinta Kasih  menurut agama Buddha.  Bagi para pengunjung,  latar pagoda di malam hari adalah pemandangan yang instagramable. Tak heran, banyak yang berebut untuk foto. 

Depan pagoda dengan patung Dewi Kwan Im

Pagoda Chinatown PIK


David meneleponku untuk  segera keluar. Maka dengan penuh rasa puas, aku meninggalkan tempat ini.  

Jembatan Pulau D ( pulau reklamasi)


Perjalanan pulang kami  masih melewati ruko-ruko dan rukan elit.  Mataku terarah pada sebuah cafe kelas atas,  dimana mereka akan menampilkan Lyodra akhir pekan nanti.  Kupikir betapa senang seandainya aku bisa masuk ke cafe itu lalu ikut jamming...  yah...  tapi budget yang harus dikeluarkan pasti bakal menguras isi dompetku.  

David mengajakku mampir sebentar ke Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi, dimana Ana bekerja di bagian administrasi. Aku sekedar berfoto di depan gedung utama yang bergaya China dengan dominasi warna abu-abu dan putih.  Konon ini adalah satu-satunya rumah sakit Buddha di Indonesia,  meski begitu pelayanan rumah sakit ini terbuka untuk semua kalangan.  

Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi


Begitulah, terlepas dari kepadatannya,    Jakarta selalu membawa sukacita bagi diriku.  



Selasa, 13 Juni 2023

Antara Anyer dan Jakarta - Camping Pantai Cibeureum

Tidak biasanya pagi itu aku terbangun oleh suara debur ombak. Meskipun rasa kantuk masih menyergap, aku malas untuk melanjutkan  tidur lagi. Punggungku terasa sakit akibat tidur di tanah beralaskan terpal. Aku meraih HPku,  tak peduli baterainya di bawah 20 persen.  Sambil kupandangi remang fajar di pantai,  aku mainkan game Shopee Pay.  Sementara temanku, David,  masih tertidur di sebelahku. 

Perjalanan kali ini sangat istimewa bagiku. Tidak pernah kupikirkan sebelumnya bisa travelling ke pesisir paling barat di Jawa, meskipun aku pernah lewat Pelabuhan Merak saat perjalanan ke Palembang dan ada wacana suatu saat naik KRL Jakarta-Rangkasbitung dilanjut KA lokal ke Merak.  

Rencana awalku hanya main ke rumah David di Jakarta. Bagaimanapun ibukota selalu membuatku rindu. Tapi seminggu sebelum aku berangkat,  David meneleponku,  mengatakan nanti akan mengajakku camping ke Anyer. Wah,  kupikir, kenapa tidak?  Biarpun dalam bayanganku menegangkan karena kita bakal tidur dalam tenda di tepi laut. 

Bukan hanya soal kesiapan mental dan perbekalan,  aku juga harus menguatkan fisikku.  Betapa tidak,  aku baru sampai di rumah David  jam 03.00 sedangkan kami berangkat jam 08.00. Padahal selama perjalanan naik bus dari Magelang,  aku sulit tidur. Dikurangi waktu untuk mandi dan sarapan, jadi aku cuma punya waktu sekitar 4 jam untuk tidur!  

Tepat pukul 8 pagi, tanggal 21 Mei 2023, mulailah perjalanan kedua anak manusia ini. Berangkat dengan motor dari bilangan Cengkareng dengan seabrek peralatan camping dan tas berisi makanan serta pakaian, kami menempuh jarak 128 km menuju pesisir paling barat pulau Jawa. Tapi aku tak perlu kuatir.   David sudah beberapa kali bertualang sejauh itu bersama Ana,  istrinya.  

Matahari mendekat ke puncaknya ketika motor kami keluar dari Jakarta. Welcome to provinsi Banten!  Sebenarnya bukan pertama kali aku melewati Banten, aku pernah melakukan perjalanan ke Palembang. Bedanya dulu lewat jalan tol,  sekarang lewat jalur pantura.  

Batuceper, Tangerang Kota,  hingga Sepatan, kami lewati dengan lancar.  Tapi makin lama,  atmosfer perkotaan mulai berganti ke pedesaan.  Sempat berhenti sejenak di sebuah Alfamart untuk mengambil uang di ATM dan meregangkan tubuh. Tapi kami harus segera jalan lagi karena jaraknya masih jauh. 

Jalan raya Sepatan-Mauk





Rute berikutnya adalah Mauk, kemudian Kronjo, barulah memasuki perbatasan Kabupaten Serang. Nah di sini kami sempat dihadang kemacetan sejenak.  Serombongan orang lalu lalang.  Tak heran karena daerah Banten dikenal sebagai basis Islam yang kuat.  Di sini banyak petilasan para ulama dan tokoh-tokoh dari Kesultanan Banten,  termasuk makam pahlawan nasional Sultan Ageng Tirtayasa.  Pada hari libur,  banyak yang datang berziarah ke tempat-tempat tersebut.  

Pemandangan miris kami temukan di kecamatan Tirtayasa. Ada sebuah sungai kecil berwarna hijau kecoklatan dengan sampah di mana-mana. Lebih kotor dari Kali Manggis di Magelang.  Yang menyedihkan,  nampak warga yang sedang beraktivitas mencuci, mandi, bahkan buang air di sungai itu! Bahkan konon keperluan minum dan memasak mereka juga dari air itu! Kami mual membayangkannya. Padahal rumah mereka bagus-bagus.  Tapi itulah faktanya. Daerah ini  sering dilanda kekeringan dan air PDAM yang tersedia tidak mencukupi biarpun warga setempat sudah berulang kali mengajukan bantuan ke pemerintah.  

Sungai kecil di Tirtayasa


Sebuah pemandangan persawahan



Pemandangan yang dilalui selanjutnya cukup beragam, mulai dari pedesaan hingga sawah dan hutan.  Tak lama,  kawasan Banten Lama nampak di depan mata.  Sebenarnya David berencana istirahat sekaligus mengisi bensin di Cilegon nanti, tapi berhubung rasa sakit di pinggang hingga kakiku sudah tak tertahankan, terpaksa dia menghentikan motornya.  Dengan sempoyongan aku turun dan melihat sekeliling.  Bangunan di seberangku adalah Keraton dan Benteng Surosowan. Menurut hasil googlingku, bangunan ini adalah tempat tinggal keluarga Kesultanan Banten yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1526. Namun sayangnya keraton dan benteng ini tinggal reruntuhannya  karena telah dihancurkan oleh Belanda pada tahun  1808 lantaran pihak kesultanan menentang pemerintah kolonial.  

Welcome to Banten

Benteng Surosowan



Tak lama,  kami melanjutkan perjalanan.  Semakin dekat ke Cilegon, kota paling barat di pulau Jawa,  aroma industri mulai terasa.  Ya,  kota Cilegon memang memiliki banyak pabrik atau perusahaan, termasuk pabrik baja Krakatau Steel yang terkenal itu.  Pelabuhan Merak sebagai jalur penyeberangan Jawa-Sumatra juga terletak di kota ini.  

Sebuah pabrik di Cilegon



Setiba di kecamatan Anyer,  suasana pantai yang indah menyambut kami.  Sebuah mercusuar peninggalan Belanda bernama Mercusuar Cikoneng berdiri di pesisir pantai.  Tak lupa,  Hotel Marbella yang legendaris dan sering dianggap angker. 

Mercusuar Cikoneng (foto dari arah sebaliknya)



Di Anyer,  ada banyak pantai,  tapi paling terkenal tentu saja Pantai Anyer.  Kalau kita pernah lihat video klip Caffeine Band yang judulnya Hidupku Kan Damaikan Hatimu,  di pantai inilah syutingnya. 

Beberapa pantai di sini dikelola oleh swasta bekerja sama dengan warga sekitar.  Ada yang satu komplek dengan resto atau resort, ada pula yang dilengkapi camping ground sederhana seperti Pantai Cibeureum yang jadi tujuan kami.  

4 jam lebih kami di perjalanan sebelum akhirnya memasuki gerbang Pantai Cibeureum.  Lokasinya sangat strategis di tepi jalan raya Anyer-Pandeglang.  Pantai ini terbagi menjadi 2 sisi : Pantai Cibeureum 1 dan 2, dan pemandangannya hampir sama. Karena kami menginginkan suasana tenang,  kami pilih Pantai Cibeureum 1 yang tidak terlalu ramai siang itu.  Dua orang penjaga yang ramah menyambut kami.  

Tarif untuk camping cukup terjangkau,  Rp.  50 ribu per malam.  Belum termasuk biaya penggunaan kamar mandi dan toilet. Kita juga bisa menyewa listrik dengan menambah biaya Rp.  50 ribu.  Berhubung David sudah membawa lampu baterai,  aku mengurungkan niat untuk sewa listrik.  Satu hal lagi yang patut dicatat,  di sini tidak ada penyewaan alat camping,  jadi kita wajib bawa perlengkapan sendiri.  

Setelah pos jaga,  terdapat halaman luas yang ditumbuhi puluhan pohon kelapa.  Semakin ke dalam, kami menemukan area pesisir yang memanjang, yang biasa dipakai untuk camping.  Pantainya sendiri terletak agak di bawah, dibatasi batuan karang yang cukup terjal. Beberapa saung atau gazebo pun tersedia untuk berteduh jika tiba-tiba hujan. Tak ada tempat parkir khusus.  Motor bisa dibawa hingga area  camping,  sementara yang membawa mobil bisa memarkirnya di kebun kelapa tadi.  

Pantai Cibeureum 1

Menurut penjaga,  hari itu hanya kami yang camping.  Karena pada umumnya pengunjung camping di hari Sabtu-Minggu, jarang ada yang Minggu-Senin apalagi hari biasa.  Benar saja,  saat kami masuk ke area pantai, hanya ada 2 orang pemuda yang sedang mengemasi tenda mereka, selain beberapa pengunjung yang sekedar bermain.  

Kami langsung memasang tenda.  Begitu selesai,  David langsung menyiapkan HP dan  tripod, lalu mulailah ia merekam sekeliling untuk bahan konten.  Aku sendiri merasa begitu lelah,  inginnya tidur. Tapi begitu memasuki tenda,  rasanya gerah  luar biasa.  Akhirnya kuputuskan duduk-duduk saja di depan tenda sambil main HP dan makan cemilan.  Setelah udara tidak terlalu panas, barulah aku bisa tidur di tenda. 

Pertama kali ke sini

Santai di tepi pantai 

David di depan tenda 


Santai di dalam tenda


Sore menjelang.  Sinar matahari mulai meredup.  Aku turun ke pantai, melalui karang yang cukup tajam.  Sialnya aku lupa membawa sandal, jadi aku harus menahan perih di kakiku.  Tapi itu tak mengurangi kesenanganku. Naluri "manusia air" ku muncul saat melihat sejumlah pengunjung menikmati air laut.  Dalam hitungan menit,  aku menceburkan diri, mencoba berenang meski sebenarnya tidak mahir.  Beruntung,  ombak tidak terlalu besar.  Aku sangat menikmatinya. Apalagi pemandangan sunset di sini nampak dramatis seperti yang sering kulihat di gambar kalender. Matahari terlihat jelas karena pantai ini menghadap ke barat.  Gunung Anak Krakatau nampak samar-samar di kejauhan.  Aku memberanikan diri melangkah ke sebuah karang besar yang menjorok ke laut,  menikmati indahnya langit senja.  Sementara David masih saja sibuk membuat konten.
Di antara karang yang tajam






Menikmati segarnya air laut



Ketika matahari benar-benar terbenam, para pengunjung mulai beranjak dari air, tinggal aku sendiri.   Belum pernah aku berenang saat sunset begini.  Sejuknya air laut yang menyentuh tubuh membuatku betah. Sampai-sampai David harus  memperingatkanku bahwa air mulai pasang. Barulah aku tersadar, karang besar tadi perlahan tertutup air laut.  

Aku segera naik, kembali ke tenda,  dan bersiap mandi.  Kamar mandi terletak di sisi selatan kebun kelapa tadi.  Apa mau dikata,  kami harus jalan ke sana.  Melewati tanah berumput di sela pepohonan kelapa. Selain kamar mandi dan mushola juga terdapat rumah kecil untuk penjaga. Bangunannya sederhana, mirip bangunan tua.  Tapi jangan takut,  tidak ada yang angker di sini.  

Setelah mandi,  aku dan David duduk di tenda.  Aku menyelempangkan sarung di tubuhku,  yang sekaligus akan jadi selimutku.  Hari benar-benar sudah gelap.  Angin laut bertiup sepoi-sepoi. Kata David,  dalam suasana begini biasanya kita akan susah tidur.  Entah apa maksudnya. Yang jelas,  dalam hatiku ada kekuatiran tersendiri.  Bagaimana jika tengah malam ombak pasang sampai tepi dan menerjang tenda kami? Kalau sekedar hujan,  kami bisa berlindung ke saung, tapi siapa bisa menahan air laut?  Tragedi tsunami Selat Sunda tahun 2018 pun kembali teringat olehku.  

Seorang bapak, yang bertugas menjaga pantai, menemani kami ngobrol petang itu.  Ternyata Pantai Cibeureum ini sebenarnya bukan terletak di kecamatan Anyer,  tapi kecamatan Kamasan.  Pengelolaan pantai ini dipegang oleh warga setempat secara swadaya dan penjagaan dilakukan secara bergiliran.  Ada yang bertugas sebagai petugas keamanan,  kebersihan, maupun penjaga yang stand by. 

Aku memberanikan diri bertanya tentang apa yang kukhawatirkan.  Menurut si bapak,  selama dia di sini,  air laut tak pernah sampai ke area camping karena di bawah ada batu  karang sebagai pemecah ombak.  Mendengar penjelasannya,  aku sedikit lebih tenang.

Kemudian kami menyiapkan makan malam. Seperti biasa,  bekal wajib camping adalah mie dan bubur  instan.  Kebetulan aku juga membawa telur asin dan ikan teri goreng.  Malam itu,  kami memilih mie instan dulu, dengan ikan teri.  Yang lain buat besok pagi.  Maka mulailah David memasaknya dengan sebuah kompor gas kecil.  

Makan malam hanya diterangi lampu baterai sambil memandang lautan yang gelap menjadi sensasi tersendiri.  Perahu nelayan yang berangkat melaut nampak di kejauhan. Lampu Mercusuar Cikoneng telah dinyalakan sebagai penanda pantai. 

Makan malam kami : mie instan



Kami kembali ke kamar mandi tadi untuk gosok gigi dan mencuci peralatan makan. Di sisi lain,  HPku mulai lowbat, sementara powerbank yang kubawa kapasitasnya rendah.  Untunglah,  penjaga mengizinkan kami untuk charge HP di pos jaga.  

Hari sudah menjelang tengah malam. Sambil menunggu,  selama 1 jam kami mengobrol dengan penjaga. Meski sudah malam,   lalu lintas jalan raya Anyer-Pandeglang masih cukup ramai.  Sebagai kawasan wisata, Anyer adalah salah satu jantung utama Kabupaten Serang.  Bahkan zaman dulu ada jalur kereta apinya juga, sebelum dinonaktifkan tahun 1981 karena kalah bersaing dengan kendaraan umum lainnya.  

Beberapa saat kemudian,  si bapak penjaga pamit pulang.  Memang,  ia menjaga pos sampai jam 22.00 . Maka,  aku dan David "menggantikan" sejenak sampai baterai HPku agak penuh.  Setelah kira-kira 30 persen,  cukuplah menurutku, kami kembali ke tenda sambil membawa senter. 

Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi,  aku langsung merebahkan diri, berusaha tidur.  Kenyataannya aku bisa terlelap,  biarpun berbaring di tanah yang keras. Begitupun David,  yang baru bisa tidur sekitar jam 02.30. 

Begitulah seperti kuceritakan di awal,  saat pagi tiba.  Setelah rasa kantuk kami hilang, kami keluar dari tenda.  Matahari terbit tidak terlihat karena pantai berada di sisi barat.  Tapi horizon langit pagi  yang kemerahan cukup menarik juga,  disertai debur ombak yang lebih tenang dibanding semalam. 



Langit fajar nan cerah

Kebun kelapa



Ingin rasanya aku turun dan bermain air lagi. Tapi karena David harus mengantar Ana masuk kerja siang nanti,  mau tak mau kami harus bersiap pulang. Maka kami segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.  

Saung di tepi pantai



Sarapan bubur instan dengan telur asin pun kami siapkan. Aku  makan sambil duduk di sebuah batu yang menghadap ke laut.  Betapa nikmatnya.  Sungguh ini liburan terbaik dalam hidupku,  selain perjalananku ke Rembang dan Malang beberapa tahun lalu.  

Setelah sarapan,  saatnya kami berkemas. Kami mulai membongkar tenda dan merapikan barang bawaan.  Tak lupa,  sebelum pulang,  David menyelesaikan video kontennya dan akupun asyik berfoto.  Entah kapan kami bisa ke sini lagi.  

Aku dan David

Sampai jumpa lagi! 



Perjalanan pulang kami melewati jalan yang sama dengan kemarin.  Aku merekam dengan HPku beberapa spot menarik di perjalanan. Sempat kami berpapasan dengan kereta api  Lokal Merak di sebuah perlintasan. 

Kereta Api Lokal Merak



Sesampai di Mauk, kami mulai kecapekan.  Selain rasa sakit luar biasa di pinggang dan pantat, kepala juga agak pusing. Terpikir untuk jajan mie ayam,  tapi sayangnya penjual mie yang dikenal David sedang tutup. Apa mau dikata,  terpaksa kami istirahat di Taman Sepatan tanpa sempat jajan. 

Taman Sepatan,  Kabupaten Tangerang

Pasar di Mekar Baru,  Tangerang


Jalan raya Tangerang-Jakarta



Untunglah perjalanan kami selanjutnya lancar,  walaupun sempat terjebak macet di jalan masuk Jakarta.  Begitu sampai di Cengkareng,  kami membeli es susu kedelai untuk pelepas dahaga kami.  Dan betapa leganya saat kami tiba kembali di rumah David.  Perjalanan panjang berakhir sudah. 

2 hari selanjutnya di Jakarta, aku isi dengan jalan-jalan di Pantai Indah Kapuk,  Kota Tua,  dan Monas.  Di postingan selanjutnya akan kuceritakan tentang Pantai Indah Kapuk.  Kalau Kota Tua dan Monas,  kurasa sudah banyak blog lain yang mengulasnya.  Lagipula aku hanya bisa memandangi karena museumnya sedang tutup.   

Oh ya,  untuk konten yang dibuat David,  bisa dilihat di channel YouTube : davinadarmawan . Jangan lupa subscribe,  karena David dan Ana hobi camping, jadi banyak cerita-cerita seru dari tempat lainnya.  Buat yang ingin kenalan atau camping bareng silahkan hubungi mereka langsung.  

Link YouTube :