Jumat, 12 Mei 2023

Sejumput Kisah Pecinan Magelang (Jelajah bersama Kota Toea Magelang) - Part 2

 Memasuki halaman Kelenteng Liong Hok Bio, suasana Imlek masih terasa. Lampion merah tergantung di mana-mana. Pohon  sakura yang jadi lambang musim semi menarik perhatianku buat selfie. Biarpun bunganya tiruan dari plastik tapi persis seperti aslinya. 




Seperti kuceritakan di postingan sebelumnya, kelenteng ini telah berusia 159 tahun, didirikan oleh seorang kapiten bernama Be Tjok Lok, dan difungsikan sebagai tempat ibadah 3 agama yaitu Buddha, Khonghucu dan Taoisme. Pada tahun 2014 kelenteng ini terbakar akibat sambaran api lilin. Jadi bangunan saat ini telah dipugar.  Ruangan utama dibuat lebih ke dalam dan bagian depan dibangun selasar. Di teras ruang utama terdapat meja dengan vas bunga melati, lilin-lilin merah dan dupa atau hio. Juga tempat meletakkan yong swa atau dupa sembahyang dan abu persembahan. Semua perabot itu dihiasi ukiran khas China. 







Walaupun kelenteng identik dengan budaya dan kepercayaan Tionghoa, namun keberadaan tempat ini juga menjadi salah satu cagar budaya kota Magelang.  Para pengurus kelenteng membangun relasi yang baik dengan berbagai kalangan. Dulu pernah diadakan pertemuan anak lintas iman, yakni Buddha, Kristen, dan Hindu, dimana adikku ikut menyanyikan lagu rohani Kristen. Pernah juga berlangsung pentas wayang kulit dan wayang potehi yang semua pemainnya adalah orang Jawa. Bahkan, atraksi barongsai sebagian besar pemainnya bukan orang Tionghoa! 

Kembali ke soal jelajah. Narasumber kami siang itu adalah Koh Paul dan Koh Sandi, pengurus dan aktivis kelenteng ini. Mereka menjelaskan tentang sejarah, fungsi, dan filosofi bangunan kelenteng ini. 








Kami juga diizinkan masuk. Untuk masuk tidak boleh sembarangan lho! Kami harus lewat pintu bergambar naga. Naga melambangkan sosok yang kuat, mendatangkan keberuntungan, kesehatan, dan perlindungan. Jadi singkatnya, saat kita masuk tempat ibadah menandakan kita dilindungi. Sedangkan kalau mau keluar, lewat pintu bergambar harimau sebagai lambang membuang segala gangguan . Artinya saat kita keluar diharapkan terhindar dari kesialan dan bahaya. Pintu tengah dulu diperuntukkan bagi raja-raja, tapi karena sekarang tidak ada kerajaan, maka Kim Sing atau patung dewa dianggap sebagai raja. Itulah sebabnya, pintu tengah tidak boleh dilewati sembarangan dan hanya dibuka di hari-hari tertentu seperti saat Imlek. 

Di dalam ruangan kelenteng, terdapat meja persembahan dan altar sembahyang dengan beberapa patung dewa. Persembahan kepada dewa umumnya berupa makanan dan buah-buahan. Meski tempatnya menjadi satu, namun prosesi ibadah tiga agama (Buddha, Khonghucu, dan Tao) dilakukan secara terpisah.  Adapun di kelenteng ini "tuan rumah" nya adalah Dewa Bumi. Dewa Bumi dipercaya memberikan kesuburan dan rezeki. Patung Dewa Bumi yang terdapat di sini berasal dari Kutoarjo dan sudah berusia lebih dari 2 abad, lebih tua dari kelenteng ini. Sementara beberapa patung dan arsitektur lainnya ada yang diimpor langsung dari China. 

Setiap tahun menjelang Cap Go Meh, ada tradisi Ci Suak, yaitu ritual penolak bala. Umat akan mendapat pemberkatan dari pemuka agama menurut shio masing-masing. Di Kelenteng Liong Hok Bio sendiri tahun ini pesertanya mencapai 1100 orang. Ada kalanya kelenteng mengadakan arak-arakan keliling kota Magelang dengan membawa patung dewa di atas tandu dengan tujuan ruwat bumi atau mendoakan keselamatan bagi warga kota. 

Setelah foto bersama di halaman kelenteng, kami lanjutkan perjalanan ke Kampung Juritan, salah satu pemukiman orang Tionghoa di Jl. Majapahit. Masyarakat Tionghoa di daerah sini telah berbaur dengan pribumi, jadi tak terlalu nampak bangunan khas Tionghoa di sini. Namun rumah-rumah lawas dengan pintu dan daun jendela besar masih cukup banyak. Zaman dulu daerah ini adalah basis pengusaha kayu dan mebel. Mereka berasal dari suku Kongfu di China.  Sayangnya, saat ini usaha mebel di daerah ini sudah punah. Satu-satunya yang tersisa adalah toko mebel milik Koh Djoe Kwie di Jl. Majapahit, yang kini pun hanya menjual mebel tapi sudah tidak memproduksi. 





Kami juga menemukan pabrik cigarette paper atau kertas rokok.  Seorang ibu menyambut kami dengan ramah dan memberi penjelasan. Kertas rokok cap Kucing ini telah diproduksi sejak lama (aku lupa tahunnya, kalau tidak salah 1940-an). Ia juga memberikan beberapa contoh kertas. Bergambar kucing berpakaian mayoret, kata "tjap" dan "kutjing" masih dengan ejaan lama. Soal kualitas, jangan ditanya, bahan kertasnya diimpor dari Rusia dan telah diekspor ke beberapa negara! Sayang seribu sayang, kami tidak diizinkan masuk untuk melihat proses produksi. Okelah. 

Selanjutnya kami melewati tepi Kali Manggis menuju Pasar Ngasem. Pasar tradisional ini membentang dari ujung Gang Jatayu hingga Gang Jembawan. Seketika suasana pasar yang hampir sepi kembali hiruk pikuk oleh rombongan kami. Di sini kembali pikiranku bernostalgia. Semasa kecil aku sering diajak ibu atau nenek belanja. Pasar ini tanpa bangunan permanen, hanya para pedagang yang menggelar dagangan dengan meja atau tampah, beratapkan payung atau terpal seadanya. Keberadaan pasar dimanfaatkan pula oleh beberapa warga setempat untuk membuka warung. Sekarang jumlah pedagang tidak sebanyak dulu karena banyak pedagang lama yang sudah pensiun. 







Tapi ada segelintir yang masih bertahan. Salah satunya penjual dawet yang kami sambangi siang itu. Es Dawet Bu Cowek ini konon sudah terkenal sejak 1960-an dan kini diteruskan oleh Bu Sukarti sebagai generasi kedua. Nama panggilan Bu Cowek karena dulu dawet disajikan dengan cobek tanah liat atau bahasa Jawanya cowek. Tapi sekarang penyajiannya dengan gelas atau mangkok porselen. 

Harga es dawet sangat murah, hanya 3000 per porsi. Isinya selain cendol, ada cincau, tape ketan dan roti tawar. Rasanya seger banget apalagi di siang yang panas ini. Khusus rombongan kami, Bu Sukarti telah menyiapkan puluhan gelas es dawet yang tentu saja langsung kami serbu. 

Di ujung pasar, kami juga menemui Cik Tin, penjual jenang legendaris di Pasar Ngasem ini. Asal tau aja, Cik Tin ini masih ada hubungan kerabat dengan mamaku. Dua kakak dari Cik Tin adalah suami dari dua orang tanteku (kakak mamaku). Usaha jenang ini sudah turun temurun dari Mak Bwee, neneknya Cik Tin. Aku tidak tahu kapan berdirinya, yang jelas tahun 1960-an sudah ada. Setelah Mak Bwee tiada, dilanjutkan oleh Mak Sutra, mamanya Cik Tin, sampai sekitar 1990-an. Di masa kecilku dulu, jenang ini sudah dikelola oleh Cik Ay, kakaknya Cik Tin. Dulu setiap kali beli, kesukaanku adalah jenang delima. Terakhir, kira-kira 10 tahun lalu saat Cik Ay sakit, jenang diteruskan oleh Cik Tin sampai sekarang. 




Ada beberapa macam jenang alias bubur manis di sini. Jenang delima, candil, ketela, dan sumsum. Per porsi harganya 5000. Untuk kami, jenang telah tersedia dalam kemasan gelas cup. Beberapa macam jenang disusun jadi satu. Mayoritas anggota rombongan langsung menyantapnya, malahan ada yang nambah. Tapi aku sendiri memilih bawa pulang, karena dawet tadi sudah memenuhi perutku. 

Ada beberapa tempat lagi yang kami datangi siang itu. Pertama, Gedung Bunder di Jalan Sriwijaya. Gedung ini unik karena bagian atasnya berbentuk melingkar tanpa atap. Menurut keterangan di dinding teras, bangunan ini didirikan pada tahun 1908 oleh Raden Tan Gwat Ling Secodiningrat, Pemuka Komunitas Tionghoa. Dari namanya sudah jelas bahwa beliau adalah orang berpengaruh pada masanya hingga dianugerahi gelar kebangsawanan Jawa. Kini Gedung Bunder dimiliki oleh kedua anaknya yaitu Raden Nganten Lilyanti Soewanto dan Raden Yongky Hartanto. Sayangnya keduanya saat ini berada di Jakarta sehingga kami tidak mendapat izin masuk ke dalam, hanya bisa melihat bagian depan saja. 





Awalnya gedung ini berfungsi sebagai rumah tinggal, namun pada awal kemerdekaan menjadi markas Laskar Rakyat dan markas militer Belanda. Pada tahun 1960-an  gedung ini sempat menjadi hotel, dimana band Dara Puspita pernah menginap waktu konser di Magelang. Bagian samping pernah juga digunakan oleh distributor teh cap Cangkir. Kemudian di tahun 2005, Bu Lily dan Pak Yongky merenovasi bangunan ini sebagai rumah keluarga, sekaligus mencatatkannya sebagai Bangunan Heritage Kota Magelang. 





Tempat selanjutnya yang kami lewati adalah bekas pabrik cerutu Ko Kwat Ie di Jl. Tarumanegara berikut rumah keluarganya di Jl. Sriwijaya. Kami pernah mengunjunginya beberapa tahun lalu. Tapi kali ini kami tidak diizinkan masuk. Menurut salah satu peserta yang kuajak ngobrol, setelah kunjungan kami waktu itu, cerita tentang bangunan Ko Kwat Ie viral dan pihak keluarga merasa tidak nyaman. Maklumlah, tidak semua pemilik atau penanggung jawab bangunan bersejarah bersedia ditelaah lebih lanjut oleh banyak orang. Takut mengganggu privasi. Begitupun dengan pabrik kecap Kalkun di seberangnya. Konon, Mas Bagus sudah beberapa kali mengajukan izin untuk jelajah namun tidak diperkenankan oleh pemiliknya. 




Ya, akhirnya kami harus pasrah hanya melihat-lihat. Kami kembali ke titik start melalui Jl. Pemuda tanpa mampir lagi. Maka inilah akhir jelajah kami hari ini.