Teng!
Waktu menunjukkan jam 12 siang. Biarpun tubuh masih ingin tidur, tapi kantong
nggak mau kena charge biaya tambahan, jadi aku harus check out. Segera kurapikan semua barang. Lalu turun ke bawah, kembalikan kunci dan
ambil KTP. Terima kasih DS Layur Hostel!
Kembali
aku melangkah dari Jalan Layur ke Kota Lama. Ngomong-ngomong apa sih
keistimewaan daerah ini? Inilah ceritanya:
Kampung
Layur ini disebut juga Kampung Melayu. Di masa kolonial, daerah ini adalah pusat
perdagangan. Banyak pedagang dari mancanegara yang datang mengadu nasib.
Utamanya adalah pedagang dari Arab, yang sekaligus menyebarkan agama Islam.
Dalam perkembangannya, tak sedikit keturunan mereka yang menetap di Semarang.
Begitulah, saat melewati daerah ini kita serasa masuk ke perkampungan di
Malaysia atau Timur Tengah. Bangunan tua peninggalan masa lalu juga bertebaran.
Tidak
hanya keturunan Arab yang bermukim di sini. Etnis lain juga ada seperti China,
India, Banjar, dan sebagainya. Tak heran, terdapat beberapa lorong atau gang
yang bernama Kampung Banjar, Kampung Cirebonan, Kampung Peranakan dan beberapa lainnya. Meski multietnis, kita tidak perlu takut soal bahasa, karena
mayoritas warga di sini sudah fasih berbahasa Indonesia dan Jawa.
Kekurangannya?
Rob! Eh, tunggu dulu, ini bukan nama panggilanku lho. Rob adalah air laut
pasang yang menyebabkan banjir dan pengikisan tanah. Akibatnya daerah ini
terlihat kumuh, jalan rusak dan sering banjir bila hujan lebat. Kondisi ini
berpengaruh juga ke eksistensi Kampung Melayu. Banyak warga yang kemudian
pindah ke tempat lain, sehingga kini warga keturunan jumlahnya tinggal sedikit.
Rumah-rumah yang dulu ditinggali pun banyak yang tidak terawat, bahkan sebagian
sudah diuruk tanah.
Bangunan
tua yang paling terkenal adalah Masjid Layur yang dibangun pada abad ke-18 oleh
ulama dari Arab. Masjid dengan menara setinggi 10 meter ini sampai kini masih
digunakan untuk tempat ibadah. Hanya saja, tidak seperti dulu. Lagi-lagi akibat
rob, lantai satu tidak lagi difungsikan. Tinggi bangunan pun berkurang karena
amblas. Konon ada tradisi unik yang dilakukan warga di sini yaitu minum kopi
Arab sambil ngabuburit menunggu adzan Maghrib.
Selain
masjid, tak jauh dari sini kutemukan sebuah kelenteng kecil. Tempat ibadah bagi
warga Tionghoa yang beragama Konghucu. Nuansa China sangat terasa dengan beberapa
patung naga di bagian atap
Aku ingat semalam saat cari makan. Jalan yang kulewati sangat minim penerangan
hingga terkesan “horor”. Ya karena penyebab di atas, banyak bangunan tua yang
tidak terawat. Mungkin seharusnya kawasan ini dirapikan agar jadi cagar budaya seperti
halnya Kota Lama. Sayang jika peninggalan masa lalu harus hilang terkikis oleh robert…
eh salah… rob…