Minggu, 29 Oktober 2023

Petualangan Sherina 2 - Membuka Memori Masa Kecil

Nggak biasanya aku tertarik banget nonton film di bioskop. Karena bukan hobiku. Buatku film-film zaman sekarang nggak menarik. Film Indonesia isinya horor dan  cinta-cintaan mulu, film luar bikin pusing karena harus lihat translate. Seumur-umur baru 4 kali aku nonton di bioskop, itu pun 2 di antaranya terpaksa karena diajak teman. 

Tapi kali ini beda. Karena film yang satu ini beneran memicu rasa penasaranku. Film Petualangan Sherina 2 ! Yup, setelah 23 tahun berlalu, film anak-anak legend ini dibuat sekuel berikutnya. Tokoh utamanya masih sama, Sherina (diperankan Sherina Munaf) dan Sadam (Derby Romero). Cuma bedanya, saat ini mereka sudah dewasa. 

Sedikit banyak, film ini membuka memoriku saat kelas 6 SD. Dulu aku nonton sekuel pertamanya saat tayang di TV.  Dan saat itu filmnya booming banget. Di sekolah aku pernah disindir teman pakai lagunya "dia pikiiir... dia yang paling hebat..." . wkwkwk.

Makanya saat film sekuel kedua ini muncul, aku agak penasaran kayak apa filmnya. Godaan untuk nonton pun muncul saat salah satu teman di Facebook bikin status tentang Petualangan Sherina 2. 


Searching sana sini, akhirnya kuputuskan buat nonton langsung di bioskop biarpun sendiri. Tepatnya di Platinum Cineplex Artos Magelang. Dan karena takut kehabisan tiket, aku pesan dulu lewat GoTix di aplikasi Gojek. 

Jadilah aku ke bioskop siang itu. Aku sengaja pilih tempat di baris keempat dari depan. Oh lala, tak kusangka ternyata barisan depan kosong sampai baris keenam. Semua penonton lain kompak pilih tempat duduk belakang. Ya sudahlah, hitung-hitung aku bisa nonton dengan tenang, terhindar dari kerewelan anak-anak dan kebawelan emak-emak. 





Aku berusaha mengikuti jalan cerita dengan seksama. Sesekali aku dibuat tersenyum, sesekali serius. 

Jadi ini ceritanya menurut pengamatan dan bahasaku : 


Sherina sekarang udah dewasa dan berprofesi jurnalis. Nama perusahaannya Nex TV.  Nah suatu hari, Sherina semangat banget karena mau ditugaskan ke Swiss. Nggak taunya menjelang hari H... eng ing eng... project tugas itu dialihkan ke ke temannya dan sebagai gantinya Sherina disuruh meliput soal orangutan di Kalimantan. Jelas aja Sherina bete banget, merasa diPHP. Tapi yah.. karena udah resiko pekerjaan, mau nggak mau tetap berangkat. 

Tak disangka, di sana Sherina malah bertemu teman masa kecilnya, Sadam, yang kini bekerja di yayasan animal rescue. Setelah kangen-kangenan, mereka mulai menjalankan tugas, dimana saat itu dilakukan pelepasliaran orangutan. Jadi begini guys, orangutan yang kehilangan  habitatnya, entah itu karena ulah manusia, kebakaran hutan, atau terpisah dari induknya, akan dibawa ke penangkaran yang disebut sekolah alam. Di sini mereka akan belajar cara beradaptasi sebelum dikembalikan ke hutan. Diharapkan setelah "lulus", mereka bisa survive di hutan dan terhindar dari kepunahan. 

Kembali ke Sherina. Setelah pelepasliaran itu, tiba-tiba ada kawanan penjahat yang menculik anak orangutan bernama Sayu. Di sinilah inti masalahnya. Ternyata orangutan itu pesanan konglomerat di Jakarta bernama Ferdy Syailendra, untuk istrinya, Ratih. Ratih ini seorang nyonya besar yang suka koleksi hewan liar, mulai dari kucing liar, harimau, rusa, pokoknya ada kebun binatang mini di rumahnya. Dan semua itu  cuma untuk pamer ke sesama sosialita . Ngerinya lagi, setelah hewan-hewan itu mati, mayatnya diawetkan buat pajangan! 

Sherina tidak tinggal diam. Ia langsung menarik Sadam untuk mengejar penculik Sayu. Tapi penjahatnya terlalu kuat, lagipula kondisi pedalaman Kalimantan yang serba sulit, nggak ada angkutan umum. Malah keduanya hampir dibunuh. Akhirnya mereka harus melepaskan Sayu. Tapi Sherina masih penasaran dengan kasus ini. Dan di Jakarta lah kasus ini akhirnya terungkap berkat kecerdikan Sherina dan Sadam. Ferdy dan Ratih bersama komplotannya ditangkap polisi. 


Karena pemeran dan tokoh utamanya masih sama, chemistry di antara Sherina dan Sadam tetap terjalin baik. Bedanya, Sadam bukan lagi "anak mami" seperti dulu. Biarpun oleh mamanya masih suka dipanggil Yayang, tapi sekarang dia sudah jadi pria dewasa yang tegas berwibawa. Itu karena sejak kuliah dia sudah tinggal terpisah dari ortunya. Bisa disimpulkan kalau dari awal sebenarnya bukan Sadam yang manja, tapi ortunya yang overprotektif. 

Kalau Sherina, menurutku tidak banyak berubah. Lincah, pemberani, pintar ngomong. Hanya di sini sifat egois dan keras kepalanya lebih nampak. Terbukti saat Sayu diculik, Sherina ngotot untuk mengejar para penjahat, padahal Sadam inginnya  berkoordinasi dengan tim rescue-nya. Sampai saat Sayu berhasil dibawa kabur pun, Sherina masih  mau kejar terus. Akhirnya Sadam marah dan menyuruh Sherina balik ke Jakarta. Buatku ini tipe orang yang suka main hakim sendiri dan tidak mudah percaya dengan hukum.  Mungkin kalau aku jadi Sadam, bakal teriak "Lu kejar sendiri aja sono!" 

Baik Sadam maupun Sherina, jago banget saat berantem melawan penjahat. Seolah Sherina nggak ingin terlihat sebagai perempuan lemah. 

Adegan kocak di film ini dimainkan oleh Aryo (Ardit Erwanda) dan Ratih (Isyana Saraswati). Aryo adalah kameramen yang pergi bersama Sherina ke Kalimantan. Biarpun Aryo nggak tampil di konflik utama, tapi lumayan buat penyegaran. Terutama pas dia keceplosan panggil "Yayang" ke Sadam, bikin seisi bioskop ketawa. 

Sedangkan Ratih,  sangat genit selangit. Kalau ngobrol sama kucing peliharaannya, kayak ibu sama anaknya, pakai panggilan "mama". Ratih juga suka bermanja-manja sama suaminya, Ferdy di rumahnya yang kayak istana. Di film ini Isyana berhasil banget aktingnya. Beneran bikin gemes. 

Ada lagi yang menggelitik. Nama suami Ratih, adalah Ferdy Syailendra. Seketika mengingatkanku pada nama Ferdy Sambo. Mungkin kemiripan nama ini disengaja, biar terlihat "antagonis". Sayangnya akting Chandra Satria masih agak kaku. Karakter jahatnya kurang dapat.  Biarpun harus diakui nyanyi sambil dansanya jago.  

Yang menurutku paling dapat antagonisnya  adalah Pingkan (Kelly Tandiono), yang jadi orang kepercayaan Ferdy dan Ratih. Tatapan tajam, jago berantem, dan nggak kenal ampun. Pingkan juga yang mengatur strategi penculikan orangutan. Ia hampir membunuh Sherina! 

Tokoh lain yang patut dicatat adalah Sindai (Quinn Salman), seorang anak hutan yang mengikuti ayahnya di tim animal rescue Sadam. Biarpun nggak banyak dialog dan lebih seperti sosok misterius, Sindai bisa dibilang saksi utama dari penculikan Sayu, karena dia yang pertama kali melihat para penjahat. Sindai ini mirip banget sama Sherina kecil, cuma kulitnya lebih gelap. 

Tapi manusia memang tak ada yang sempurna.  Di balik adegan berkesan,  tentu saja ada adegan yang kurang pas.  Paling utama adalah menjelang akhir,  saat Sherina sebagai jurnalis  diundang ke pestanya Ferdy Syailendra.  Saat Sherina bingung karena Aryo yang diajaknya nggak datang,  eh tiba-tiba aja Sadam nongol  udah pakai jas rapi. Sama sekali nggak dijelaskan kenapa Sadam datang ke situ, apakah dia juga diundang ke pesta itu atau dia sengaja mengikuti Sherina.  Tapi setahuku,  pesta tempat orang kaya nggak sembarang orang bisa datang. Inilah yang bagiku agak klise. Sepertinya penulis skenario ingin bahwa harus ada Sadam di situ.  Nggak salah sih,  cuma penempatannya agak maksa.  

Lalu bagian klimaksnya juga agak terburu-buru.  Sherina dan Sadam nekat menyelinap ke gudang rumah Ferdy seolah mereka sudah tahu bahwa Sayu diumpetin di situ.  Hellooo...  nggak takut disangka maling pak buk?  Ya kalau bener,  kalau nggak?  

Jangan heran juga kalau di film ini banyak nyanyi.  Karena emang film musikal.  Di antara semua soundtrack,  Mengenang Bintang adalah yang paling so sweet.  

Overall,  film ini cukup seru buat ditonton. Hubungan Sherina dan Sadam beneran udah kayak sepasang kekasih.  Pasti penonton juga berharap mereka jadian.  Tapi mungkin karena segmennya untuk  semua usia, termasuk anak-anak, jadi adegan cinta-cintaan nggak ditampilkan secara eksplisit.  Aku berharap,  semoga ada sekuel berikutnya.  Entah Sherina dan Sadam menikah atau akhirnya punya pasangan  masing-masing,  kisah petualangan mereka selalu jadi memori yang indah. 




Selasa, 10 Oktober 2023

Lagu Masa Lalu (27): New York Mining Disaster 1941


In the event of something happening to me
There is something I would like you all to see
It's just a photograph of someone that I knew
Have you seen my wife, Mr. Jones?
Do you know what it's like on the outside?
Don't go talking too loud, you'll cause a landslide,
Mr. Jones.

I keep straining my ears to hear a sound
Maybe someone is digging underground
Or have they given up and all gone home to bed?
Thinking those who once existed must be dead?
Have you seen my wife, Mr. Jones?
Do you know what it's like on the outside?
Don't go talking too loud, you'll cause a landslide,
Mr. Jones

In the event of something happening to me
There is something I would like you all to see
It's just a photograph of someone that I knew
Have you seen my wife, Mr. Jones?
Do you know what it's like on the outside?
Don't go talking too loud, you'll cause a landslide,
Mr. Jo - o - o - o - ones!



The Bee Gees ( https://www.discogs.com)




Lagu-lagu The Bee Gees banyak mengandung filosofi khusus. Mereka mahir  meramu lirik yang nampak dramatis, sehingga kadang kita susah menebak apa makna sebenarnya.

Termasuk lagu berjudul New York Mining Disaster 1941 ini. Secara harafiah artinya bencana di pertambangan New York pada 1941. Banyak yang mengira, hal itu adalah kisah nyata. Padahal faktanya, tahun 1941  tidak ada bencana tambang di New York. Lho? 

Rupanya Barry dan Robin Gibb (kakak beradik personil  The Bee Gees) , menciptakan lagu ini dengan inspirasi tragedi di Aberfan, Wales pada 1966. Dikisahkan saat itu terjadi longsor pada timbunan limbah galian batu bara hingga menerjang desa di bawahnya. Beberapa rumah dan sebuah sekolah hancur dan menewaskan sekitar 144 orang. Peristiwa ini menarik perhatian dunia internasional pada masanya. 


Aberfan Disaster 1966 (https://www.nuff.ox.ac.uk)





Jadi, lagu ini bercerita tentang seorang pria yang terjebak di tambang bersama seorang temannya, yang disebutnya sebagai Mr. Jones. Dalam keadaan antara hidup dan mati, dia teringat wajah istrinya tercinta, sambil terus berharap ada keajaiban dari atas permukaan tanah yang bisa menyelamatkan mereka. Sebenarnya tema lagu ini menyedihkan.

Pada judulnya, Barry dan Robin Gibb  menyamarkan waktu dan lokasi kejadian, mungkin untuk menghargai para korban bencana Aberfan. Kata New York 1941 sengaja dipilih agar terdengar lebih glamour. Selain itu, Robin Gibb mengklaim bahwa bencana tambang memang pernah terjadi di New York pada 1939. Entah benar atau tidak, karena di tidak ada catatan pasti tentang bencana tambang di New York 






Rabu, 21 Juni 2023

Pantai Indah Kapuk, Singapore van Jakarta

Setelah tidur siang selama beberapa jam, David kembali mengajakku keluar.  Sebenarnya kami masih agak lelah selepas perjalanan Anyer-Jakarta. Tapi karena aku sudah jauh-jauh datang ke Jakarta, petualanganku harus dimaksimalkan.  

Sore yang cerah itu,  kami mulai menyusuri jalan di Cengkareng.  Jalanan cukup ramai.  Penjual kuliner berjajar menanti pembeli.  Tak ketinggalan odong-odong dan komidi putar sebagai hiburan anak mengalunkan lagu-lagu menggemaskan.  

David membelokkan motornya ke arah utara.  Kami menuju kawasan Pantai Indah Kapuk yang merupakan kawasan elit di Jakarta Utara.  Sebenarnya aku pernah melewatinya dua tahun lalu,  tapi karena saat itu masih pandemi jadi tidak banyak yang bisa dinikmati. 

Aku kagum melihat suasana kota  yang futuristik dan dinamis.  Bangunan ruko  tempat hiburan dan bisnis beratsitektur modern, perumahan mewah yang baru dibangun,  tak ketinggalan pula gedung bertingkat yang lazim ditemui di Jakarta. Mengingatkanku pada kota abad 22 di anime Doraemon. 

Toh semua kemewahan itu tidak murah. Harganya membuat kita tahan nafas.  Sungguh,  hanya "keluarga sultan" sekelas Atta Halilintar atau Hary Tanoe yang bisa membelinya.  Satu bangunan harganya memiliki 9 hingga 10 digit nol.   Mulai sebuah ruko berharga 1-2 miliar hingga rumah gedung berharga puluhan miliar.  Memang ada yang bisa dicicil sampai 60 kali.  Tapi siapa bisa menyediakan 50-100 juta dalam sebulan? Ngeri membayangkannya. 

Pemandangan tak kalah menarik saat kami memasuki pulau reklamasi.  Daerah ini dulunya adalah laut dangkal yang dikeringkan sebagai perluasan daratan. Antara pulau reklamasi  dengan daratan pulau Jawa dipisahkan dengan sebuah jembatan.  

Kami merapat ke pantai.  Jangan bayangkan pantai seperti di Anyer kemarin.  Di pantai sini kita hanya bisa melihat-lihat  karena lahannya diperuntukkan untuk konservasi mangrove.  Tapi tak perlu kuatir.  Di sini tersedia selasar berlantai beton yang cukup panjang, yang bisa digunakan untuk jogging track. 

Ambil foto itu wajib


Begitulah,  tempat ini menjadi favorit bagi warga PIK untuk lari pagi dan jalan sore. Kami sempat berpapasan dengan beberapa orang yang berbincang dalam bahasa Mandarin yang tidak kami mengerti.  Memang,  karena harga properti yang bukan kaleng-kaleng, di sini banyak pengusaha dan investor asing. Mayoritas dari mereka adalah orang Tionghoa dan beragama Buddha.  Hal itu nampak dari keberadaan pagoda dan yayasan Buddhist, tak jauh dari jembatan pulau yang kami lewati tadi.  Juga Rumah Sakit Tzu Chi yang adalah tempat kerja Ana,  istri David.  

Kami duduk di tembok pembatas sambil menikmati cemilan yang kami bawa.  Menantikan sunset melingkupi perairan Teluk Jakarta. Beberapa gedung bertingkat menjulang di kejauhan dengan lampu-lampunya yang mulai dinyalakan.  Sungguh mengagumkan.  Aku sedang menginjak tanah Jakarta tapi pemandangan serasa di Singapore atau Hongkong. 


Serasa di Singapore 


Setelah langit menjadi gelap,  kami beranjak untuk pulang.  Tapi aku masih penasaran dengan pagoda tadi. Alhasil kami mampir sebentar.  Ternyata di depannya ada area Pantjoran Chinatown. Tak jauh dari situ berdirilah monumen Golf Island dengan lampu menyala putih dan ungu, mengingatkanku pada Garden Bay.  Luar biasa, benar-benar serasa di Singapore.  


Monumen Golf Island


Karena sulit mencari tempat parkir, aku sendirian masuk ke Chinatown.  Sementara David menunggu di luar.  Aku memasuki gapura bergaya China,  menuju area pasar malam.  Bangunan berjajar berarsitektur oriental,  tak ketinggalan lampion-lampion yang menambah semarak.  Lagu Mandarin mengalun di sepanjang jalan.  

Gerbang Pantjoran Chinatown 


Sebagian besar bangunan di sini berupa restoran,  cafe,  atau kedai.  Tentu saja yang dijual kebanyakan Chinese food, mulai dari siomay dan bakpao, hingga makanan berat seperti kwetiau goreng, nasi hainan dan babi panggang.  Tak lupa aneka minuman.  Bagi yang muslim,  tak perlu kuatir,  karena para penjual sudah mencantumkan keterangan halal atau non halal.  Harga per porsi mulai dari Rp. 20.000 hingga ratusan ribu.  


Suasana Chinatown 

Foodcourt


Meski tak tertarik membeli makanan,  tapi aku tetap senang hati menyusuri keramaian itu.  Sampailah aku ke pagoda, tepat di ujung food court tadi.  Di bagian depan ada patung Dewi Kwan Im atau Dewi Cinta Kasih  menurut agama Buddha.  Bagi para pengunjung,  latar pagoda di malam hari adalah pemandangan yang instagramable. Tak heran, banyak yang berebut untuk foto. 

Depan pagoda dengan patung Dewi Kwan Im

Pagoda Chinatown PIK


David meneleponku untuk  segera keluar. Maka dengan penuh rasa puas, aku meninggalkan tempat ini.  

Jembatan Pulau D ( pulau reklamasi)


Perjalanan pulang kami  masih melewati ruko-ruko dan rukan elit.  Mataku terarah pada sebuah cafe kelas atas,  dimana mereka akan menampilkan Lyodra akhir pekan nanti.  Kupikir betapa senang seandainya aku bisa masuk ke cafe itu lalu ikut jamming...  yah...  tapi budget yang harus dikeluarkan pasti bakal menguras isi dompetku.  

David mengajakku mampir sebentar ke Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi, dimana Ana bekerja di bagian administrasi. Aku sekedar berfoto di depan gedung utama yang bergaya China dengan dominasi warna abu-abu dan putih.  Konon ini adalah satu-satunya rumah sakit Buddha di Indonesia,  meski begitu pelayanan rumah sakit ini terbuka untuk semua kalangan.  

Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi


Begitulah, terlepas dari kepadatannya,    Jakarta selalu membawa sukacita bagi diriku.  



Selasa, 13 Juni 2023

Antara Anyer dan Jakarta - Camping Pantai Cibeureum

Tidak biasanya pagi itu aku terbangun oleh suara debur ombak. Meskipun rasa kantuk masih menyergap, aku malas untuk melanjutkan  tidur lagi. Punggungku terasa sakit akibat tidur di tanah beralaskan terpal. Aku meraih HPku,  tak peduli baterainya di bawah 20 persen.  Sambil kupandangi remang fajar di pantai,  aku mainkan game Shopee Pay.  Sementara temanku, David,  masih tertidur di sebelahku. 

Perjalanan kali ini sangat istimewa bagiku. Tidak pernah kupikirkan sebelumnya bisa travelling ke pesisir paling barat di Jawa, meskipun aku pernah lewat Pelabuhan Merak saat perjalanan ke Palembang dan ada wacana suatu saat naik KRL Jakarta-Rangkasbitung dilanjut KA lokal ke Merak.  

Rencana awalku hanya main ke rumah David di Jakarta. Bagaimanapun ibukota selalu membuatku rindu. Tapi seminggu sebelum aku berangkat,  David meneleponku,  mengatakan nanti akan mengajakku camping ke Anyer. Wah,  kupikir, kenapa tidak?  Biarpun dalam bayanganku menegangkan karena kita bakal tidur dalam tenda di tepi laut. 

Bukan hanya soal kesiapan mental dan perbekalan,  aku juga harus menguatkan fisikku.  Betapa tidak,  aku baru sampai di rumah David  jam 03.00 sedangkan kami berangkat jam 08.00. Padahal selama perjalanan naik bus dari Magelang,  aku sulit tidur. Dikurangi waktu untuk mandi dan sarapan, jadi aku cuma punya waktu sekitar 4 jam untuk tidur!  

Tepat pukul 8 pagi, tanggal 21 Mei 2023, mulailah perjalanan kedua anak manusia ini. Berangkat dengan motor dari bilangan Cengkareng dengan seabrek peralatan camping dan tas berisi makanan serta pakaian, kami menempuh jarak 128 km menuju pesisir paling barat pulau Jawa. Tapi aku tak perlu kuatir.   David sudah beberapa kali bertualang sejauh itu bersama Ana,  istrinya.  

Matahari mendekat ke puncaknya ketika motor kami keluar dari Jakarta. Welcome to provinsi Banten!  Sebenarnya bukan pertama kali aku melewati Banten, aku pernah melakukan perjalanan ke Palembang. Bedanya dulu lewat jalan tol,  sekarang lewat jalur pantura.  

Batuceper, Tangerang Kota,  hingga Sepatan, kami lewati dengan lancar.  Tapi makin lama,  atmosfer perkotaan mulai berganti ke pedesaan.  Sempat berhenti sejenak di sebuah Alfamart untuk mengambil uang di ATM dan meregangkan tubuh. Tapi kami harus segera jalan lagi karena jaraknya masih jauh. 

Jalan raya Sepatan-Mauk





Rute berikutnya adalah Mauk, kemudian Kronjo, barulah memasuki perbatasan Kabupaten Serang. Nah di sini kami sempat dihadang kemacetan sejenak.  Serombongan orang lalu lalang.  Tak heran karena daerah Banten dikenal sebagai basis Islam yang kuat.  Di sini banyak petilasan para ulama dan tokoh-tokoh dari Kesultanan Banten,  termasuk makam pahlawan nasional Sultan Ageng Tirtayasa.  Pada hari libur,  banyak yang datang berziarah ke tempat-tempat tersebut.  

Pemandangan miris kami temukan di kecamatan Tirtayasa. Ada sebuah sungai kecil berwarna hijau kecoklatan dengan sampah di mana-mana. Lebih kotor dari Kali Manggis di Magelang.  Yang menyedihkan,  nampak warga yang sedang beraktivitas mencuci, mandi, bahkan buang air di sungai itu! Bahkan konon keperluan minum dan memasak mereka juga dari air itu! Kami mual membayangkannya. Padahal rumah mereka bagus-bagus.  Tapi itulah faktanya. Daerah ini  sering dilanda kekeringan dan air PDAM yang tersedia tidak mencukupi biarpun warga setempat sudah berulang kali mengajukan bantuan ke pemerintah.  

Sungai kecil di Tirtayasa


Sebuah pemandangan persawahan



Pemandangan yang dilalui selanjutnya cukup beragam, mulai dari pedesaan hingga sawah dan hutan.  Tak lama,  kawasan Banten Lama nampak di depan mata.  Sebenarnya David berencana istirahat sekaligus mengisi bensin di Cilegon nanti, tapi berhubung rasa sakit di pinggang hingga kakiku sudah tak tertahankan, terpaksa dia menghentikan motornya.  Dengan sempoyongan aku turun dan melihat sekeliling.  Bangunan di seberangku adalah Keraton dan Benteng Surosowan. Menurut hasil googlingku, bangunan ini adalah tempat tinggal keluarga Kesultanan Banten yang dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin pada tahun 1526. Namun sayangnya keraton dan benteng ini tinggal reruntuhannya  karena telah dihancurkan oleh Belanda pada tahun  1808 lantaran pihak kesultanan menentang pemerintah kolonial.  

Welcome to Banten

Benteng Surosowan



Tak lama,  kami melanjutkan perjalanan.  Semakin dekat ke Cilegon, kota paling barat di pulau Jawa,  aroma industri mulai terasa.  Ya,  kota Cilegon memang memiliki banyak pabrik atau perusahaan, termasuk pabrik baja Krakatau Steel yang terkenal itu.  Pelabuhan Merak sebagai jalur penyeberangan Jawa-Sumatra juga terletak di kota ini.  

Sebuah pabrik di Cilegon



Setiba di kecamatan Anyer,  suasana pantai yang indah menyambut kami.  Sebuah mercusuar peninggalan Belanda bernama Mercusuar Cikoneng berdiri di pesisir pantai.  Tak lupa,  Hotel Marbella yang legendaris dan sering dianggap angker. 

Mercusuar Cikoneng (foto dari arah sebaliknya)



Di Anyer,  ada banyak pantai,  tapi paling terkenal tentu saja Pantai Anyer.  Kalau kita pernah lihat video klip Caffeine Band yang judulnya Hidupku Kan Damaikan Hatimu,  di pantai inilah syutingnya. 

Beberapa pantai di sini dikelola oleh swasta bekerja sama dengan warga sekitar.  Ada yang satu komplek dengan resto atau resort, ada pula yang dilengkapi camping ground sederhana seperti Pantai Cibeureum yang jadi tujuan kami.  

4 jam lebih kami di perjalanan sebelum akhirnya memasuki gerbang Pantai Cibeureum.  Lokasinya sangat strategis di tepi jalan raya Anyer-Pandeglang.  Pantai ini terbagi menjadi 2 sisi : Pantai Cibeureum 1 dan 2, dan pemandangannya hampir sama. Karena kami menginginkan suasana tenang,  kami pilih Pantai Cibeureum 1 yang tidak terlalu ramai siang itu.  Dua orang penjaga yang ramah menyambut kami.  

Tarif untuk camping cukup terjangkau,  Rp.  50 ribu per malam.  Belum termasuk biaya penggunaan kamar mandi dan toilet. Kita juga bisa menyewa listrik dengan menambah biaya Rp.  50 ribu.  Berhubung David sudah membawa lampu baterai,  aku mengurungkan niat untuk sewa listrik.  Satu hal lagi yang patut dicatat,  di sini tidak ada penyewaan alat camping,  jadi kita wajib bawa perlengkapan sendiri.  

Setelah pos jaga,  terdapat halaman luas yang ditumbuhi puluhan pohon kelapa.  Semakin ke dalam, kami menemukan area pesisir yang memanjang, yang biasa dipakai untuk camping.  Pantainya sendiri terletak agak di bawah, dibatasi batuan karang yang cukup terjal. Beberapa saung atau gazebo pun tersedia untuk berteduh jika tiba-tiba hujan. Tak ada tempat parkir khusus.  Motor bisa dibawa hingga area  camping,  sementara yang membawa mobil bisa memarkirnya di kebun kelapa tadi.  

Pantai Cibeureum 1

Menurut penjaga,  hari itu hanya kami yang camping.  Karena pada umumnya pengunjung camping di hari Sabtu-Minggu, jarang ada yang Minggu-Senin apalagi hari biasa.  Benar saja,  saat kami masuk ke area pantai, hanya ada 2 orang pemuda yang sedang mengemasi tenda mereka, selain beberapa pengunjung yang sekedar bermain.  

Kami langsung memasang tenda.  Begitu selesai,  David langsung menyiapkan HP dan  tripod, lalu mulailah ia merekam sekeliling untuk bahan konten.  Aku sendiri merasa begitu lelah,  inginnya tidur. Tapi begitu memasuki tenda,  rasanya gerah  luar biasa.  Akhirnya kuputuskan duduk-duduk saja di depan tenda sambil main HP dan makan cemilan.  Setelah udara tidak terlalu panas, barulah aku bisa tidur di tenda. 

Pertama kali ke sini

Santai di tepi pantai 

David di depan tenda 


Santai di dalam tenda


Sore menjelang.  Sinar matahari mulai meredup.  Aku turun ke pantai, melalui karang yang cukup tajam.  Sialnya aku lupa membawa sandal, jadi aku harus menahan perih di kakiku.  Tapi itu tak mengurangi kesenanganku. Naluri "manusia air" ku muncul saat melihat sejumlah pengunjung menikmati air laut.  Dalam hitungan menit,  aku menceburkan diri, mencoba berenang meski sebenarnya tidak mahir.  Beruntung,  ombak tidak terlalu besar.  Aku sangat menikmatinya. Apalagi pemandangan sunset di sini nampak dramatis seperti yang sering kulihat di gambar kalender. Matahari terlihat jelas karena pantai ini menghadap ke barat.  Gunung Anak Krakatau nampak samar-samar di kejauhan.  Aku memberanikan diri melangkah ke sebuah karang besar yang menjorok ke laut,  menikmati indahnya langit senja.  Sementara David masih saja sibuk membuat konten.
Di antara karang yang tajam






Menikmati segarnya air laut



Ketika matahari benar-benar terbenam, para pengunjung mulai beranjak dari air, tinggal aku sendiri.   Belum pernah aku berenang saat sunset begini.  Sejuknya air laut yang menyentuh tubuh membuatku betah. Sampai-sampai David harus  memperingatkanku bahwa air mulai pasang. Barulah aku tersadar, karang besar tadi perlahan tertutup air laut.  

Aku segera naik, kembali ke tenda,  dan bersiap mandi.  Kamar mandi terletak di sisi selatan kebun kelapa tadi.  Apa mau dikata,  kami harus jalan ke sana.  Melewati tanah berumput di sela pepohonan kelapa. Selain kamar mandi dan mushola juga terdapat rumah kecil untuk penjaga. Bangunannya sederhana, mirip bangunan tua.  Tapi jangan takut,  tidak ada yang angker di sini.  

Setelah mandi,  aku dan David duduk di tenda.  Aku menyelempangkan sarung di tubuhku,  yang sekaligus akan jadi selimutku.  Hari benar-benar sudah gelap.  Angin laut bertiup sepoi-sepoi. Kata David,  dalam suasana begini biasanya kita akan susah tidur.  Entah apa maksudnya. Yang jelas,  dalam hatiku ada kekuatiran tersendiri.  Bagaimana jika tengah malam ombak pasang sampai tepi dan menerjang tenda kami? Kalau sekedar hujan,  kami bisa berlindung ke saung, tapi siapa bisa menahan air laut?  Tragedi tsunami Selat Sunda tahun 2018 pun kembali teringat olehku.  

Seorang bapak, yang bertugas menjaga pantai, menemani kami ngobrol petang itu.  Ternyata Pantai Cibeureum ini sebenarnya bukan terletak di kecamatan Anyer,  tapi kecamatan Kamasan.  Pengelolaan pantai ini dipegang oleh warga setempat secara swadaya dan penjagaan dilakukan secara bergiliran.  Ada yang bertugas sebagai petugas keamanan,  kebersihan, maupun penjaga yang stand by. 

Aku memberanikan diri bertanya tentang apa yang kukhawatirkan.  Menurut si bapak,  selama dia di sini,  air laut tak pernah sampai ke area camping karena di bawah ada batu  karang sebagai pemecah ombak.  Mendengar penjelasannya,  aku sedikit lebih tenang.

Kemudian kami menyiapkan makan malam. Seperti biasa,  bekal wajib camping adalah mie dan bubur  instan.  Kebetulan aku juga membawa telur asin dan ikan teri goreng.  Malam itu,  kami memilih mie instan dulu, dengan ikan teri.  Yang lain buat besok pagi.  Maka mulailah David memasaknya dengan sebuah kompor gas kecil.  

Makan malam hanya diterangi lampu baterai sambil memandang lautan yang gelap menjadi sensasi tersendiri.  Perahu nelayan yang berangkat melaut nampak di kejauhan. Lampu Mercusuar Cikoneng telah dinyalakan sebagai penanda pantai. 

Makan malam kami : mie instan



Kami kembali ke kamar mandi tadi untuk gosok gigi dan mencuci peralatan makan. Di sisi lain,  HPku mulai lowbat, sementara powerbank yang kubawa kapasitasnya rendah.  Untunglah,  penjaga mengizinkan kami untuk charge HP di pos jaga.  

Hari sudah menjelang tengah malam. Sambil menunggu,  selama 1 jam kami mengobrol dengan penjaga. Meski sudah malam,   lalu lintas jalan raya Anyer-Pandeglang masih cukup ramai.  Sebagai kawasan wisata, Anyer adalah salah satu jantung utama Kabupaten Serang.  Bahkan zaman dulu ada jalur kereta apinya juga, sebelum dinonaktifkan tahun 1981 karena kalah bersaing dengan kendaraan umum lainnya.  

Beberapa saat kemudian,  si bapak penjaga pamit pulang.  Memang,  ia menjaga pos sampai jam 22.00 . Maka,  aku dan David "menggantikan" sejenak sampai baterai HPku agak penuh.  Setelah kira-kira 30 persen,  cukuplah menurutku, kami kembali ke tenda sambil membawa senter. 

Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi,  aku langsung merebahkan diri, berusaha tidur.  Kenyataannya aku bisa terlelap,  biarpun berbaring di tanah yang keras. Begitupun David,  yang baru bisa tidur sekitar jam 02.30. 

Begitulah seperti kuceritakan di awal,  saat pagi tiba.  Setelah rasa kantuk kami hilang, kami keluar dari tenda.  Matahari terbit tidak terlihat karena pantai berada di sisi barat.  Tapi horizon langit pagi  yang kemerahan cukup menarik juga,  disertai debur ombak yang lebih tenang dibanding semalam. 



Langit fajar nan cerah

Kebun kelapa



Ingin rasanya aku turun dan bermain air lagi. Tapi karena David harus mengantar Ana masuk kerja siang nanti,  mau tak mau kami harus bersiap pulang. Maka kami segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.  

Saung di tepi pantai



Sarapan bubur instan dengan telur asin pun kami siapkan. Aku  makan sambil duduk di sebuah batu yang menghadap ke laut.  Betapa nikmatnya.  Sungguh ini liburan terbaik dalam hidupku,  selain perjalananku ke Rembang dan Malang beberapa tahun lalu.  

Setelah sarapan,  saatnya kami berkemas. Kami mulai membongkar tenda dan merapikan barang bawaan.  Tak lupa,  sebelum pulang,  David menyelesaikan video kontennya dan akupun asyik berfoto.  Entah kapan kami bisa ke sini lagi.  

Aku dan David

Sampai jumpa lagi! 



Perjalanan pulang kami melewati jalan yang sama dengan kemarin.  Aku merekam dengan HPku beberapa spot menarik di perjalanan. Sempat kami berpapasan dengan kereta api  Lokal Merak di sebuah perlintasan. 

Kereta Api Lokal Merak



Sesampai di Mauk, kami mulai kecapekan.  Selain rasa sakit luar biasa di pinggang dan pantat, kepala juga agak pusing. Terpikir untuk jajan mie ayam,  tapi sayangnya penjual mie yang dikenal David sedang tutup. Apa mau dikata,  terpaksa kami istirahat di Taman Sepatan tanpa sempat jajan. 

Taman Sepatan,  Kabupaten Tangerang

Pasar di Mekar Baru,  Tangerang


Jalan raya Tangerang-Jakarta



Untunglah perjalanan kami selanjutnya lancar,  walaupun sempat terjebak macet di jalan masuk Jakarta.  Begitu sampai di Cengkareng,  kami membeli es susu kedelai untuk pelepas dahaga kami.  Dan betapa leganya saat kami tiba kembali di rumah David.  Perjalanan panjang berakhir sudah. 

2 hari selanjutnya di Jakarta, aku isi dengan jalan-jalan di Pantai Indah Kapuk,  Kota Tua,  dan Monas.  Di postingan selanjutnya akan kuceritakan tentang Pantai Indah Kapuk.  Kalau Kota Tua dan Monas,  kurasa sudah banyak blog lain yang mengulasnya.  Lagipula aku hanya bisa memandangi karena museumnya sedang tutup.   

Oh ya,  untuk konten yang dibuat David,  bisa dilihat di channel YouTube : davinadarmawan . Jangan lupa subscribe,  karena David dan Ana hobi camping, jadi banyak cerita-cerita seru dari tempat lainnya.  Buat yang ingin kenalan atau camping bareng silahkan hubungi mereka langsung.  

Link YouTube : 
















Jumat, 12 Mei 2023

Sejumput Kisah Pecinan Magelang (Jelajah bersama Kota Toea Magelang) - Part 2

 Memasuki halaman Kelenteng Liong Hok Bio, suasana Imlek masih terasa. Lampion merah tergantung di mana-mana. Pohon  sakura yang jadi lambang musim semi menarik perhatianku buat selfie. Biarpun bunganya tiruan dari plastik tapi persis seperti aslinya. 




Seperti kuceritakan di postingan sebelumnya, kelenteng ini telah berusia 159 tahun, didirikan oleh seorang kapiten bernama Be Tjok Lok, dan difungsikan sebagai tempat ibadah 3 agama yaitu Buddha, Khonghucu dan Taoisme. Pada tahun 2014 kelenteng ini terbakar akibat sambaran api lilin. Jadi bangunan saat ini telah dipugar.  Ruangan utama dibuat lebih ke dalam dan bagian depan dibangun selasar. Di teras ruang utama terdapat meja dengan vas bunga melati, lilin-lilin merah dan dupa atau hio. Juga tempat meletakkan yong swa atau dupa sembahyang dan abu persembahan. Semua perabot itu dihiasi ukiran khas China. 







Walaupun kelenteng identik dengan budaya dan kepercayaan Tionghoa, namun keberadaan tempat ini juga menjadi salah satu cagar budaya kota Magelang.  Para pengurus kelenteng membangun relasi yang baik dengan berbagai kalangan. Dulu pernah diadakan pertemuan anak lintas iman, yakni Buddha, Kristen, dan Hindu, dimana adikku ikut menyanyikan lagu rohani Kristen. Pernah juga berlangsung pentas wayang kulit dan wayang potehi yang semua pemainnya adalah orang Jawa. Bahkan, atraksi barongsai sebagian besar pemainnya bukan orang Tionghoa! 

Kembali ke soal jelajah. Narasumber kami siang itu adalah Koh Paul dan Koh Sandi, pengurus dan aktivis kelenteng ini. Mereka menjelaskan tentang sejarah, fungsi, dan filosofi bangunan kelenteng ini. 








Kami juga diizinkan masuk. Untuk masuk tidak boleh sembarangan lho! Kami harus lewat pintu bergambar naga. Naga melambangkan sosok yang kuat, mendatangkan keberuntungan, kesehatan, dan perlindungan. Jadi singkatnya, saat kita masuk tempat ibadah menandakan kita dilindungi. Sedangkan kalau mau keluar, lewat pintu bergambar harimau sebagai lambang membuang segala gangguan . Artinya saat kita keluar diharapkan terhindar dari kesialan dan bahaya. Pintu tengah dulu diperuntukkan bagi raja-raja, tapi karena sekarang tidak ada kerajaan, maka Kim Sing atau patung dewa dianggap sebagai raja. Itulah sebabnya, pintu tengah tidak boleh dilewati sembarangan dan hanya dibuka di hari-hari tertentu seperti saat Imlek. 

Di dalam ruangan kelenteng, terdapat meja persembahan dan altar sembahyang dengan beberapa patung dewa. Persembahan kepada dewa umumnya berupa makanan dan buah-buahan. Meski tempatnya menjadi satu, namun prosesi ibadah tiga agama (Buddha, Khonghucu, dan Tao) dilakukan secara terpisah.  Adapun di kelenteng ini "tuan rumah" nya adalah Dewa Bumi. Dewa Bumi dipercaya memberikan kesuburan dan rezeki. Patung Dewa Bumi yang terdapat di sini berasal dari Kutoarjo dan sudah berusia lebih dari 2 abad, lebih tua dari kelenteng ini. Sementara beberapa patung dan arsitektur lainnya ada yang diimpor langsung dari China. 

Setiap tahun menjelang Cap Go Meh, ada tradisi Ci Suak, yaitu ritual penolak bala. Umat akan mendapat pemberkatan dari pemuka agama menurut shio masing-masing. Di Kelenteng Liong Hok Bio sendiri tahun ini pesertanya mencapai 1100 orang. Ada kalanya kelenteng mengadakan arak-arakan keliling kota Magelang dengan membawa patung dewa di atas tandu dengan tujuan ruwat bumi atau mendoakan keselamatan bagi warga kota. 

Setelah foto bersama di halaman kelenteng, kami lanjutkan perjalanan ke Kampung Juritan, salah satu pemukiman orang Tionghoa di Jl. Majapahit. Masyarakat Tionghoa di daerah sini telah berbaur dengan pribumi, jadi tak terlalu nampak bangunan khas Tionghoa di sini. Namun rumah-rumah lawas dengan pintu dan daun jendela besar masih cukup banyak. Zaman dulu daerah ini adalah basis pengusaha kayu dan mebel. Mereka berasal dari suku Kongfu di China.  Sayangnya, saat ini usaha mebel di daerah ini sudah punah. Satu-satunya yang tersisa adalah toko mebel milik Koh Djoe Kwie di Jl. Majapahit, yang kini pun hanya menjual mebel tapi sudah tidak memproduksi. 





Kami juga menemukan pabrik cigarette paper atau kertas rokok.  Seorang ibu menyambut kami dengan ramah dan memberi penjelasan. Kertas rokok cap Kucing ini telah diproduksi sejak lama (aku lupa tahunnya, kalau tidak salah 1940-an). Ia juga memberikan beberapa contoh kertas. Bergambar kucing berpakaian mayoret, kata "tjap" dan "kutjing" masih dengan ejaan lama. Soal kualitas, jangan ditanya, bahan kertasnya diimpor dari Rusia dan telah diekspor ke beberapa negara! Sayang seribu sayang, kami tidak diizinkan masuk untuk melihat proses produksi. Okelah. 

Selanjutnya kami melewati tepi Kali Manggis menuju Pasar Ngasem. Pasar tradisional ini membentang dari ujung Gang Jatayu hingga Gang Jembawan. Seketika suasana pasar yang hampir sepi kembali hiruk pikuk oleh rombongan kami. Di sini kembali pikiranku bernostalgia. Semasa kecil aku sering diajak ibu atau nenek belanja. Pasar ini tanpa bangunan permanen, hanya para pedagang yang menggelar dagangan dengan meja atau tampah, beratapkan payung atau terpal seadanya. Keberadaan pasar dimanfaatkan pula oleh beberapa warga setempat untuk membuka warung. Sekarang jumlah pedagang tidak sebanyak dulu karena banyak pedagang lama yang sudah pensiun. 







Tapi ada segelintir yang masih bertahan. Salah satunya penjual dawet yang kami sambangi siang itu. Es Dawet Bu Cowek ini konon sudah terkenal sejak 1960-an dan kini diteruskan oleh Bu Sukarti sebagai generasi kedua. Nama panggilan Bu Cowek karena dulu dawet disajikan dengan cobek tanah liat atau bahasa Jawanya cowek. Tapi sekarang penyajiannya dengan gelas atau mangkok porselen. 

Harga es dawet sangat murah, hanya 3000 per porsi. Isinya selain cendol, ada cincau, tape ketan dan roti tawar. Rasanya seger banget apalagi di siang yang panas ini. Khusus rombongan kami, Bu Sukarti telah menyiapkan puluhan gelas es dawet yang tentu saja langsung kami serbu. 

Di ujung pasar, kami juga menemui Cik Tin, penjual jenang legendaris di Pasar Ngasem ini. Asal tau aja, Cik Tin ini masih ada hubungan kerabat dengan mamaku. Dua kakak dari Cik Tin adalah suami dari dua orang tanteku (kakak mamaku). Usaha jenang ini sudah turun temurun dari Mak Bwee, neneknya Cik Tin. Aku tidak tahu kapan berdirinya, yang jelas tahun 1960-an sudah ada. Setelah Mak Bwee tiada, dilanjutkan oleh Mak Sutra, mamanya Cik Tin, sampai sekitar 1990-an. Di masa kecilku dulu, jenang ini sudah dikelola oleh Cik Ay, kakaknya Cik Tin. Dulu setiap kali beli, kesukaanku adalah jenang delima. Terakhir, kira-kira 10 tahun lalu saat Cik Ay sakit, jenang diteruskan oleh Cik Tin sampai sekarang. 




Ada beberapa macam jenang alias bubur manis di sini. Jenang delima, candil, ketela, dan sumsum. Per porsi harganya 5000. Untuk kami, jenang telah tersedia dalam kemasan gelas cup. Beberapa macam jenang disusun jadi satu. Mayoritas anggota rombongan langsung menyantapnya, malahan ada yang nambah. Tapi aku sendiri memilih bawa pulang, karena dawet tadi sudah memenuhi perutku. 

Ada beberapa tempat lagi yang kami datangi siang itu. Pertama, Gedung Bunder di Jalan Sriwijaya. Gedung ini unik karena bagian atasnya berbentuk melingkar tanpa atap. Menurut keterangan di dinding teras, bangunan ini didirikan pada tahun 1908 oleh Raden Tan Gwat Ling Secodiningrat, Pemuka Komunitas Tionghoa. Dari namanya sudah jelas bahwa beliau adalah orang berpengaruh pada masanya hingga dianugerahi gelar kebangsawanan Jawa. Kini Gedung Bunder dimiliki oleh kedua anaknya yaitu Raden Nganten Lilyanti Soewanto dan Raden Yongky Hartanto. Sayangnya keduanya saat ini berada di Jakarta sehingga kami tidak mendapat izin masuk ke dalam, hanya bisa melihat bagian depan saja. 





Awalnya gedung ini berfungsi sebagai rumah tinggal, namun pada awal kemerdekaan menjadi markas Laskar Rakyat dan markas militer Belanda. Pada tahun 1960-an  gedung ini sempat menjadi hotel, dimana band Dara Puspita pernah menginap waktu konser di Magelang. Bagian samping pernah juga digunakan oleh distributor teh cap Cangkir. Kemudian di tahun 2005, Bu Lily dan Pak Yongky merenovasi bangunan ini sebagai rumah keluarga, sekaligus mencatatkannya sebagai Bangunan Heritage Kota Magelang. 





Tempat selanjutnya yang kami lewati adalah bekas pabrik cerutu Ko Kwat Ie di Jl. Tarumanegara berikut rumah keluarganya di Jl. Sriwijaya. Kami pernah mengunjunginya beberapa tahun lalu. Tapi kali ini kami tidak diizinkan masuk. Menurut salah satu peserta yang kuajak ngobrol, setelah kunjungan kami waktu itu, cerita tentang bangunan Ko Kwat Ie viral dan pihak keluarga merasa tidak nyaman. Maklumlah, tidak semua pemilik atau penanggung jawab bangunan bersejarah bersedia ditelaah lebih lanjut oleh banyak orang. Takut mengganggu privasi. Begitupun dengan pabrik kecap Kalkun di seberangnya. Konon, Mas Bagus sudah beberapa kali mengajukan izin untuk jelajah namun tidak diperkenankan oleh pemiliknya. 




Ya, akhirnya kami harus pasrah hanya melihat-lihat. Kami kembali ke titik start melalui Jl. Pemuda tanpa mampir lagi. Maka inilah akhir jelajah kami hari ini.