Selasa, 18 Agustus 2015

Gunung Ungaran : Kesetiakawanan di tengah Kengerian (Part 1)

Suatu hari, sahabatku, David berkata padaku, “Bert, muncak yo”. Muncak di sini maksudnya mendaki gunung. Aku agak ragu menanggapinya, masalahnya aku belum pernah mendaki gunung selain Bukit Tidar di Magelang. Selain itu, aku juga mengidap acrophobia alias penyakit takut ketinggian. Jangankan berdiri di tebing yang curam, naik eskalator di mal aja suka merinding, seolah-olah tubuhku selalu mengikuti gaya gravitasi.
“Kemana?” aku bertanya. “Ke Gunung Ungaran, nanti 17 Agustus. Ini aku diajak sama temanku, aku disuruh ajak kamu” jawab dia. Aku masih bingung mau jawab ya atau tidak. “Ayolah Bert, ini pengalaman buat kita. Belum pernah kan kita naik gunung bareng-bareng”. Karena David terus merayu biar aku mau, aku menjawab “Ya”
Aku berusaha buang rasa takutku ke tubir laut (hahaha… lebay), tapi seolah rasa takut itu terlalu berat buat dilempar. Makanya, aku segera cari info tentang Gunung Ungaran lewat mbah google. Mulai dari blog perjalanan, grup backpacker sampai ke juru kunci… eh bukan ding... maksudnya sampai ke e-book pendakian gunung. Dari semua itu aku tahu bahwa Gunung Ungaran cocok buat pendaki pemula. Oke bos… berangkat!
David sendiri sudah memikirkan, perjalanan kami bakal seperti film 5 Cm… hahaha… ya,kalau dilihat sejarahnya, sejak awal kuliah, David itu sahabat terdekatku satu-satunya. Mulai dari awal kuliah D3 sampai kami lanjut S1 dan hampir lulus ini, kami selalu bersama-sama. Persahabatan kami dimulai ketika aku menemani dia di depan kampus, tunggu bapaknya menjemput. Ya, dia dengan manja minta aku temani, katanya biar nggak nunggu sendirian. . Selanjutnya, sudah banyak kebersamaan kami, mulai dari kerjakan tugas kuliah, main ke warnet, magang di Jogja, nonton film, pendaftaran skripsi, sampai yang terbaru dia ajak aku nge-gym. Nah, mendaki gunung ini pas buat menghayati tentang persahabatan (lebay lagi..). Ya, seperti di 5 Cm itu. Kebetulan, tepatnya, 14 Agustus, aku ujian skripsi. Jadi pas banget buat merayakan kelulusanku.
Nah, 14 Agustus, saatnya aku ujian. Sudah 2 hari aku menginap di rumah David, karena sejak mulai skripsi, aku tidak lagi ngekost. Benar saja, hari itu aku lulus ujian skripsi, meskipun harus kena revisi. Aku lega banget, separuh bebanku pergi... tapi separuh jiwaku tidak. Dan untuk merayakannya, ya tadi itu, mendaki Gunung Ungaran.

Aku dan David mulai bersiap-siap mempersiapkan ini itu. Bahkan ada beberapa barang yang harus kubeli karena emang nggak punya, yaitu masker, sarung tangan, jas hujan dan senter. Tak lupa beli bekal yang banyak. Lumayan menyedot tabunganku, tapi ya mau gimana lagi? Masa aku naik gunung modal badan doang? David sendiri menceramahiku macam-macam:  jangan ragu melangkah, jangan jalan sendiri, jangan melamun, jalannya begini begitu... pokoknya udah kayak leader pendakian nih anak. Dia memang udah pernah mendaki Gunung Cikuray di Jawa Barat.
Minggu, 16 Agustus 2015 jam 13.00 kami memulai perjalanan. Rombongan kami ada 7 orang, terdiri dari 4 cowok yaitu aku, David, Sinin dan Irul serta 3 cewek yaitu Ima, Atun dan ceweknya Irul yang tak kuketahui namanya. Berkumpul sebentar di rumah Atun buat mengatur perlengkapan, lalu jam 14.00 kami berangkat. Perjalanan lewat Jimbaran dengan 4 motor. Ima dan Atun udah ngebut duluan. Sedangkan yang lain mampir dulu ke Alfamart. Singkat cerita, jam 15.00 kami sampai di Basecamp Mawar, nggak jauh dari Umbul Sidomukti. Sesudah registrasi, kami duduk-duduk dulu. Karena menjelang 17 Agustus, banyak banget pendaki hari itu. Entah terinspirasi dari 5cm atau bagaimana, mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung jadi ritual wajib setiap tahunnya. Jumlahnya ratusan pokoknya. Belum lagi mereka yang sekedar nge-camp alias berkemah di Basecamp Mawar atau Kebun Teh Promasan.


Tepat jam 16.00 atau 4 sore, kami mulai pendakian. Dengan ransel pinjaman dari Sinin, aku mulai melangkah. Diawali dengan sebuah turunan berbatu, jalan makin lama makin menanjak di antara hutan pinus. Terus dan terus naik. Harus hati-hati karena banyak batu. Nafas kami mulai terengah-engah. Keringat mulai bercucuran. Aku sendiri sempat terpeleset sekali. Untungnya, nggak lama kemudian kami sampai di Pos 1. Istirahat sebentar buat minum. Jaket kulepas karena gerah. Pendaki lain lalu lalang di depan kami. Satu yang bikin aku terkesan setiap kali berpapasan di manapun, mereka selalu menyapa “Permisi mas/mbak”. Kami pun membalasnya dengan support “Semangat mas/mbak”, lalu kami tertawa bersama. Aura persahabatan begitu kuat di antara kami biarpun tidak saling kenal.
10 menit kemudian jalan lagi. Jalan menuju Pos 2 lebih banyak jalan landai. Tapi tak sedikit juga tanjakan berbatu dan kita musti ekstra hati-hati. Di Pos 2 rombongan kami bertambah, karena ada beberapa orang teman Irul bergabung. Begitulah, jumlah kami jadi sekitar 11 orang. Jalan lagi! Ups, karena tersandung pasir, aku kembali tersungkur dan… aku harus relakan jam tanganku putus dan bajuku kotor.  Huh! Bukan itu saja, teman-temanku sudah jauh di depan. Aku ketinggalan di belakang bersama Sinin. Untungnya Sinin baik hati, ia mau menemaniku “Pelan-pelan aja mas” begitu katanya.
Jalan setapak berikutnya cukup landai, diapit oleh tebing dan jurang. Di kejauhan, kota Ungaran dan Ambarawa terlihat kecil. Beberapa puluh menit, sebuah mata air yang dilengkapi toilet umum menyambut kami. Banyak pendaki yang istirahat di sini, terutama buat ke toilet atau cuci tangan.
Lanjut tak lama kemudian, kami disuguhi sebuah pemandangan alam yang luar biasa. Kebun teh Promasan nan hijau terhampar luas. Sementara itu matahari meredupkan sinarnya. Kami nggak tahan untuk tidak mengabadikan momen ini. Apalagi aku, si cowok narsis yang punya moto "Segala yang indah tidak boleh dilewatkan"

Langit makin gelap. Kami mulai nyalakan senter masing-masing lalu menanjak naik meninggalkan semua keindahan itu. Dan… mulailah masuk ke hutan rimba. Suasana betul-betul gelap lap, langit nyaris tak tampak karena tertutup pepohonan, jadi serasa masuk ke gua. Di sini, aku mulai rasakan dingin. “Berhenti sebentar, aku mau pakai jaket” teriakku pada teman-teman. David, Sinin dan Irul pun menungguku. “Istirahat aja sebentar mas” kata Sinin. Aku pun minum sambil meluruskan kakiku. Atun dan teman-teman lainnya sudah jalan lebih jauh. Betul-betul Wonder Woman cewek-cewek itu. Tapi tak lama “Sebentar, aku nyusul yang lain, kasihan nggak bawa tenda” Irul pun meninggalkan kami.
Kami hanya tinggal bertiga : aku, Sinin dan David. Setelah istirahat sekitar 10 menit, kami jalan lagi dan sampailah kami ke Pos 3. Hari betul-betul sudah gelap dan nggak ada lampu listrik satupun. Andai lampu senter dimatikan, kami nggak bakal bisa lihat apa-apa. Lewat dari Pos 3. jalan makin lama makin menantang. Batu-batu besar mulai terlihat, akar-akar dan dahan pohon yang tumbang juga banyak. Tanah pun berpasir. Tak jarang kami harus kepayahan memanjat batu sambil melompati dahan pohon.
Dengan berat beban di punggung dan bahuku aku pun berusaha menuju puncak. Eiiiiiit….. tiba-tiba aku terpeleset saat menaiki batu. Dan bisa ditebak, badanku hampir meluncur ke bawah! Aku menjerit minta tolong. “Berdiri mas” kata Sinin  yang berjalan di belakangku. Aku berusaha berdiri. Tapi badanku malah meluncur sejengkal lagi. “Naik sedikit Bert, lalu berdiri, nggak apa-apa” seru David. Aku berusaha memanjat tebing berbatu itu sambil tak hentinya berdoa dan menjerit. Susah sekali. Pasir yang bertebaran berusaha menjatuhkanku. Beberapa pendaki yang lewat melihatku, tapi kebingungan apa yang harus dilakukan?
Untunglah, seorang bapak mengulurkan tangannya. Perlahan dia menarikku ke atas dahan. Fuuuuh leganya. Kakiku terasa sakit, jadi aku harus duduk lagi. “Minum dulu pak” kata seorang cewek berjilbab. Aku pun mengambil air minum dari ransel. Bapak yang menolongku tadi memang memimpin grup yang terdiri dari lima cewek berjilbab itu. “Ya, soalnya saya masih pemula” ujarku. “Memang begini pak, saya juga baru pertama kali” sahut cewek itu. Melihat keadaanku yang melemah, Sinin dengan sukarela membawakan ranselku. Padahal dia sendiri juga bawa ransel segede gambreng! Aku agak tak enak hati, tapi kurelakan aja biar langkahku lebih enak.
Tak lama, kami kembali jalan, David dan Sinin berjalan di belakangku, tanpa sadar aku mengikuti rombongan cewek-cewek itu…hihihi.. “Semangat pak” seru mereka. Dipanggil “bapak”, satu hal yang sebetulnya tak kusukai. Tapi biar deh. Dengan nada bercanda, aku bilang “Jangan panggil pak, saya belum nikah”
Keadaan tidak lebih baik. Batu-batu sebesar meja bikin perjalanan terasa makin jauh aja. Nafasku makin kacau. Apalagi jatuh tadi betul-betul bikin aku shock. Acrophobiaku kumat.
“Istirahat dulu pak, kalau capek”.. hmmm.. cewek-cewek itu perhatian banget ya… hihihi. Aku duduk di sebuah batu. Rombongan cewek itu nggak lama berhentinya. “Ayo pak, lanjut” “Nanti aja, aku tunggu temanku” jawabku. Aku pun ditinggal sendirian di situ.

Aku menunggu David dan Sinin. Sendirian di tengah gunung malam-malam begini. Lama amat. “David, kamu dimana?” teriakku. Nggak ada jawaban. Apa jangan-jangan mereka sudah di atasku? Di kejauhan aku lihat tebing gunung yang gelap dan sepi. Di bawahku, batu-batu besar dan berpasir. Di sekitarku hutan dengan suara gemerisik angin malam. Betul-betul mencekam. Aku nggak terlalu takut gelap. Tapi bermalam di tengah hutan sendirian tetap saja bukan hal yang menyenangkan.

Bersambung ke Part 2.... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar