Senin, 24 April 2017

Ingin Jadi Yang Terbaik, Malah Hampir Tertipu


Tidak bisa kupungkiri, aku selalu ingin terlihat menonjol di antara teman-temanku. Maklum, sebagai seorang introvert aku kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Daripada membalas, kupikir lebih baik aku tunjukkan aja siapa diriku sebenarnya. Aku cari kemampuanku yang sebenarnya.
Itulah yang jadi pemikiranku 10 tahun yang lalu. Tapi dari hal itu, ada satu pengalaman tak terlupakan. Inilah ceritanya.

Pertengahan April 2007. Saat itu tepat 2 bulan menjelang kelulusan SMA. Sepulang sekolah aku melihat sebuah brosur di papan pengumuman sekolah. Akan diadakan audisi bertajuk “Idolaku – Bintang Pelajar Indonesia” untuk pelajar SD, SMP, dan SMA di Magelang. Audisi dibagi dalam 3 kategori : vokal, akting, dan model. Wah, ini dia! Muncul keinginanku mengikuti kategori akting. Ya, soalnya dulu itu aku pernah bermimpi jadi bintang film. Kalau vokal, suaraku belum terlalu bagus. Model, aku nggak tertarik.
Aku tertarik banget buat mendaftar. Soal ujian akhir, bisa dipikirkan nanti. Tapi, gimana kalau teman-temanku tahu aku ikut acara kayak begini? Pasti aku bakal diejek sana sini. Itulah sebabnya, biarpun bisa mendaftar di sekolah, aku cari alternatif lain buat pendaftaran. Untungnya, supermarket langgananku, Trio Plaza, juga membuka pendaftaran acara ini. Maka, nggak pakai lama, aku langsung mendaftar ke sana. Biaya pendaftaran cukup Rp. 20 ribu.
Sayangnya, di formulir tertulis bahwa peserta harus didampingi guru pendamping. Aku jadi bingung, guru pendampingku siapa? Dengan agak sungkan, aku curhat ke Bu Nia, guru BP di sekolahku. Beliau menganjurkan aku menemui Pak Slamet, guru kesenian. Singkat cerita, aku berhasil mendaftar.

11 Mei 2007, diadakan technical meeting. Seperti perintah dari Pak Slamet, aku datang ke sekolah sore itu untuk berangkat sama-sama. Ternyata ada beberapa adik kelasku yang juga ikut. Didampingi Pak Slamet, Bu Nia dan Bu Niken, kami berangkat ke Taman Kyai Langgeng, tempat acara itu.
Begitu sampai di sana…weladalah… antrinya luar biasa. Dari loket sampai depan pintu gerbang. Ada kalau 50 meter. “Ini belum apa-apa, Indonesian Idol bisa 4 shaft lho,” kata Louis, salah satu adik kelasku. Wuih.. ngeri juga membayangkan antri di Indonesian Idol (biarpun toh nantinya aku mengalami seperti itu juga…wkwkwk…). Agak lama, beberapa anak perempuan mulai mengeluh, “Aduh Bu, dehidrasi nih”. Untungnya Bu Nia segera membelikan Aqua.
Hampir satu jam antri, tiba giliranku di depan meja panitia. Aku hanya disuruh tanda tangan dan diberi nomor peserta beserta selembar kertas berisi penjelasan acara. Acara audisi akan diadakan pada 19 Mei 2007 di Taman Kyai Langgeng juga.
Detail acaranya seperti ini : aku diminta menampilkan suatu akting, tema bebas. Duh, aku bingung. Harus buat seperti apa. Pikir-pikir, akhirnya kuputuskan pura-pura jadi cowok yang marah sama pacarnya. Pada dasarnya aku emang gampang marah sih…

19 Mei 2007, tibalah waktu audisi. Hari itu, tepatnya hari Minggu pagi, audisi dimulai di Rumah Baca Taman Kyai Langgeng.  Kembali aku datang bareng dengan guru pendamping dan peserta dari sekolahku. Banyak banget pesertanya, sekitar 500 orang, tapi agak cepat karena dibagi kelompok dalam masing-masing kategori: vokal, akting dan model, beserta tingkatan sekolah : SD, SMP, SMA.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya tiba giliranku. Aku pun masuk ke sebuah ruangan. Ada 3 orang juri, bapak-bapak. Setelah memperkenalkan diri dan dipersilahkan, aku siap beraksi.
Kira-kira beginilah akting yang kutampilkan:
“Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Kamu lupa, aku ini sudah banyak berkorban buat kamu. Kerjakan tugas, aku bantu, mau SMS aku pinjami, butuh uang aku pinjami. Kurang apa aku ini? Kamu malah jalan sama orang lain”
“Tingkatkan intonasi anda!” tiba-tiba seorang juri berteriak.
Dibentak seperti itu, aku jadi ingin marah beneran.
“Pokoknya sekarang, jauhi dia atau kita putus!” teriakku.
Hmm…udah deh, gitu aja. Aku pun diam.
“Sudah?” tanya juri yang membentakku tadi. “Coba anda akting yang lain, misalnya sakit”
Aku mencobanya
“Aduuh… gigiku sakit… aduuuuh…. Mana nggak ada obat lagi”
Dengan gaya yang sok hebat, juri tadi langsung berkomentar, “Terus terang, anda menampilkan sesuatu yang datar dan tidak menarik sama sekali.”  Tapi dia melanjutkan “Tapi saya rasa anda punya potensi, saya kasih anda lolos”
Juri yang lain ikut bicara “Baru pertama kali ikut seperti ini?”
Aku mengangguk.
“Pantas, jelek banget”,  dia tertawa.
Huh, sombong amat sih dia. Kayak dia jago akting aja.
“Tapi untuk kali ini nggak apa-apa, anda lolos, silahkan ke meja sebelah sana”
Karena dua juri sudah mengatakan lolos, juri yang ketiga nggak perlu berkomentar. Aku pun langsung diarahkan ke meja lain, di situ aku disuruh tanda tangan dan diberi selembar kertas berisi penjelasan tentang audisi tahap berikutnya. Setelah selesai aku keluar. Perasaanku antara senang dan tidak. Senang karena lolos, tidak senang karena jurinya sombong banget.
Dari sekolahku ada sekitar 10 peserta, 6 di antaranya lolos termasuk aku. Sebelum pulang, kami istirahat sebentar sambil cerita pengalaman mereka tadi. Adik kelasku sempat mengeluh , “Uh jurinya nyengit (angkuh) ya”. Hehehe, ternyata bukan cuma aku yang berpikir begitu. Emang sih, jurinya kayaknya kurang professional. Ah, masa bodo ah.
Sambil istirahat, aku membaca persyaratan audisi tahap berikutnya. Minggu depan, kita harus unjuk bakat langsung di panggung, tentunya dengan supporter dan kostum khusus. Sebelumnya, kita harus ikut sesi latihan pada 24 Mei 2007, dengan mendaftar ulang lewat kantor Taman Kyai Langgeng dan membayar Rp. 10.000 . Sekali lagi, materi penampilan harus kita persiapkan sendiri.
Aku jadi bingung, kan aku nggak ada supporter. Teman-teman sekelasku mana mau? Apalagi aku sudah berusaha merahasiakan ini dari mereka.  Dan lagi, materinya? Apa lagi yang harus kutampilkan? Tentunya aku nggak ingin penampilanku memalukan. Kalau harus mengarang, gimana dengan belajarku? Ujian akhir tinggal dalam hitungan hari.

21 Mei 2007. Karena galau, aku curhat ke Bu Nia. Anehnya, nggak seperti kemarin dimana beliau mendukung banget, sekarang beliau malah bilang “Kalau kamu memang nggak sanggup, lebih baik mundur aja. Apalagi acara ini kok sepertinya nggak bagus, nggak jelas mereka dari event organizer atau stasiun TV mana, lalu nanti pemenangnya dikirim ke Jakarta diikutkan dalam acara apa juga nggak jelas. Sudahlah, kamu fokus belajar aja,  masih banyak acara seperti ini nanti.”
Akhirnya, aku menyetujui nasehat Bu Nia. Aku coba SMS ke panitia, mengundurkan diri. Awalnya kau beralasan nggak punya supporter. Mereka berusaha meyakinkanku, “Masih ada juri kok, nggak punya supporter nggak apa-apa”. Aku jawab lagi, aku juga sebentar lagi mau ujian jadi aku nggak ingin belajarku terganggu.
Sejak itu, aku benar-benar putus hubungan dengan acara itu. Tapi aku nggak menyesal, malah merasa lega banget. Aku pun belajar lebih giat. Hingga sebulan kemudian aku berhasil lulus dari SMA dengan nilai memuaskan. Kini aku bersiap “go international”, kuliah di luar kota.

4 Juli 2007, tanpa sengaja aku membaca sebuah berita di koran. “Ratusan Pelajar Terkecoh Lomba Pemilihan Model”. Hmmm… apa ini? Aku kaget, di situ tertulis lomba bertajuk “Idolaku”. Audisi yang kuikuti dulu! Ternyata itu penipuan! Final seharusnya digelar 3 Juli 2007, tapi batal karena pihak panitia menghilang. Faktanya, Taman Kyai Langgeng bukanlah penyelenggara acara itu, melainkan sebuah event organizer yang tidak jelas asal usulnya!  Wah, puji Tuhan! Untung aku mundur!
Di koran hari berikutnya, beritanya muncul lagi. Polisi telah memeriksa 28 orang saksi. Namun, penanggung jawab acara tersebut masih buron. Total 580 orang siswa yang jadi korban. Kabarnya audisi ini pernah digelar di Kabupaten Kulonprogo dan sedang dipersiapkan di Gunungkidul. Tidak diketahui apakah para siswa di Kulonprogo juga mengalami penipuan seperti ini atau sedang menunggu “dikirim ke Jakarta”.
Yang bikin aku makin lega, ada pengakuan salah satu orang tua peserta yang anaknya masuk 3 besar kategori model. Di tengah-tengah acara, peserta diharuskan membayar untuk biaya polling. Maksudnya untuk membeli kertas dukungan yang akan dibagikan ke teman-teman peserta. Tidak tanggung-tanggung, panitia meminta antara Rp. 300 ribu sampai Rp. 500 ribu. Tapi karena merasa keberatan, akhirnya para peserta hanya membayar Rp. 100 ribu. Pokoknya, tiap tahap audisi pasti ada uang yang diminta. Panitia memang merencanakan segala sesuatunya dengan rapi. Bahkan, sebelum acara diadakan, mereka sudah minta rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kota Magelang.
Untunglah, beberapa waktu kemudian, aku dengar “dalang” utamanya sudah tertangkap dan divonis 18 bulan penjara. Aku nggak habis pikir, begitu pintarnya dia mengatur penipuan ini sampai nggak seorangpun curiga. Tapi ya sudahlah, biarpun rugi Rp. 20 ribu ini jadi pengalaman buatku untuk lebih hati-hati.

Kesimpulannya, sebelum ikut lomba atau audisi, perhatikan hal-hal berikut:
1. Siapa yang mengadakannya (perusahaan, stasiun TV), lebih baik kalau kita tahu orang yang jadi penanggung jawabnya.
2. Kemana arah acaranya. Seperti di atas, pemenangnya akan dikirim ke Jakarta, ketahui dengan jelas, kita akan diikutkan dalam acara seperti apa.
3. Berapa besar hadiah yang dijanjikan. Kita berhak protes bila akhirnya hadiah yang diberikan tidak sesuai dengan janji di awal.
4. Jangan mau bila diminta membayar sejumlah uang, kecuali biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran pun cuma 1 kali di awal acara.
5. Berteman dengan peserta lain, sehingga kita bisa saling berdiskusi dan bila terjadi penipuan seperti di atas, bisa sama-sama melapor ke pihak berwajib.
6. Jangan takut untuk bertanya bila ada hal-hal yang belum kita pahami.

So, pandai-pandailah memilih lomba yang terbaik, jangan biarkan mimpimu hancur oleh penipuan! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar