Minggu, 15 Mei 2016

Solo Travelling (8) : Ngempon vs Derekan, 2 in 1 of Bergas

Siang yang panas nggak menyurutkan niat untuk melangkah. Suasana yang ramai nggak membuat hati enggan berjalan. Begitulah, aku memulai perjalananku hari ini.
Lewat dari Polsek Karangjati ke arah timur. Sebenarnya ada tukang ojek yang menawarkan jasa, ada juga MPU (mobil penumpang umum) yang sedang ngetem. Tapi aku putuskan jalan kaki aja. Udah biasa gini, pikirku. GPS di HPku menunjukkan jarak 2 km ke tujuanku : Candi Ngempon, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.
Ternyata perkiraanku salah besar. Jalan Karangjati-Pringapus bukanlah jalan yang sepi. Banyak truk dan mobil boks lalu lalang bikin aku sesekali harus jalan melipir. Di samping daerah industri, sejak dibuka jalan tol Ungaran, daerah ini jadi lebih padat. Jalan jadi terasa makin jauh. Yah… mau gimana lagi?

Penunjuk arah ke Candi Ngempon
1 km lebih dari Karangjati, aku temukan papan penunjuk arah ke Candi Ngempon. Kuikuti petunjuk itu masih dengan GPS aktif, memasuki Desa Ngempon, sampai akhirnya kutemukan sebuah gapura. 
Aku pun memasuki gapura itu dan kelanjutannya adalah hutan bambu. Alamak, ternyata lokasi candi itu sangat pelosok. Kita harus menuruni bukit dengan hutan lebat. Nyesel banget tadi nggak naik ojek. Tapi naik ojek pun, nggak akan bisa sampai ke depan candi, soalnya masih ada turunan tangga dan jalan setapak melintasi sawah.

Lokasi yang terpencil
Seorang ibu pencari rumput lewat di depanku. “Hati hati mas, pelan pelan” katanya dalam bahasa Jawa.  Dia tanya asalku, aku jawab dari Magelang. Ibu itu agak heran, karena aku datang sendirian ke sini. “Ya, semoga pulang dari sini diberkahi, badannya lebih sehat” begitu katanya. Kubalas dengan senyum ramah. Hm, apakah dia mengira aku lagi sakit? Hahaha, maklum, cara aku turun bukit memang kayak robot sempoyongan. Pengidap acrophobia akut sih!  Tapi di balik semua itu, aku dapat pelajaran berharga dari si ibu? Apa itu? Nanti ya ceritanya!
Nah, sudah sampai. Candi Ngempon terletak di dekat sawah. Dipisahkan oleh jembatan, ada Petirtaan atau Pemandian Derekan yang letaknya di ujung pemukiman warga. Keduanya tempat itu saling berkaitan sebagai bangunan peninggalan masa lalu. Suasana damai terasa lewat bukit hijau membentang dan aliran sungai bebatu-batu. Karena capek habis jalan jauh, aku pilih ke pemandian dulu.

Jalan menuju Petirtaan Derekan
Lokasi Derekan sebetulnya nggak jauh dari Pemandian Diwak yang kukunjungi dulu, cuma karena terhalang bukit jadi kalau mau ke sana harus memutar jalan. Begitu aku masuk, ternyata pemandian ini sangat sederhana. Pengelolaan dipegang oleh warga sekitar. Di antara pemandian ada sebuah warung yang sekaligus berfungsi sebagai loket. Kalau nggak ada pengelola lain di situ, kita langsung bayar aja ke ibu warung. Cukup 3000 rupiah saja tarifnya.
Ada 3 kolam pemandian di situ. Dua kolam ukurannya tidak terlalu besar, lengkap dengan atap agar terasa teduh. Masing-masing adalah kolam untuk laki-laki dan perempuan. Satu kolam lagi adalah kolam utama di ruang terbuka.
Awalnya aku mau masuk ke kolam laki-laki, tapi kuurungkan karena tempatnya sempit dan sudah ditempati orang. Ogah deh mandi berhimpitan sama orang yang nggak kukenal. Akhirnya aku ke kolam utama. Kata seorang bapak di situ, mau di kolam utama atau kolam laki-laki sama aja. Malahan kolam utama lebih hangat karena di situlah sumber airnya.

Kolam utama Petirtaan Derekan
Benar saja, saat aku menceburkan diri, air kolam mantap banget hangatnya. Ditambah panas matahari, jadi 2 kali lipat panasnya. Aku nggak peduli jadi hitam, soalnya udah jauh-jauh, lagian pegalku langsung hilang. Lazimnya pemandian air panas, air di sini juga mengandung belerang yang bermanfaat buat kesehatan kulit.
Kolam ini kedalamannya sekitar 1,5 meter, kira-kira setinggi bahuku. Karena nggak bisa renang, aku berendam sambil jalan aja. Kalau mau berendam sambil duduk, harus cari batu besar atau cukup di tangga terbawah. Untuk kamar bilas, tersedia 2 tempat. Di bagian depan ada 4 buah tapi khusus untuk kolam yang kecil. Yang lain, di belakang warung, seperti dianjurkan ibu warung buat aku.
Aku sempat tanya ke mas-mas yang jaga kamar mandi, ternyata cuma ada 2 jalan menuju jalan raya. Pertama, ke sebelah selatan menuju Harjosari (biasa disebut juga Merakmati) sejauh 3 km. Kedua, sebelah utara ke Karangjati, seperti yang kulewati tadi. Masalahnya, nggak ada tukang ojek di sini. Oo… lemas rasanya, harus jalan kaki sejauh itu lagi. Ya, siapa suruh ke sini sendirian?
Sesudah bilas aku siap-siap ke tujuanku yang satu lagi: Candi Ngempon. Cukup dengan menyeberang jembatan dan menembus persawahan, kita bisa langsung sampai ke sekumpulan candi. Uniknya candi ini, karena letaknya di tengah sawah. Candi ini sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya oleh pemerintah dan dinas purbakala setempat.
Sayangnya, aku merasa tempat ini belum dikelola dengan baik. Sama sekali tidak ada petugas maupun orang yang kutemui. Aku pun masuk, tinggal masuk aja. Usut punya usut, ternyata memang tidak ada pungutan biaya buat pengunjung candi.

Ada 4 candi di Candi Ngempon
4 buah candi kecil berdiri tegak di tanah. Keempatnya punya bentuk dan ukuran yang hampir sama. Bagian atap tersusun bertingkat-tingkat, seperti kubah yang meruncing ke atas. Sedangkan bagian bawah adalah sebuah ruangan untuk sembahyang, terbukti dengan adanya dupa di situ. Sampai sekarang, candi ini masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu, terutama saat hari raya Galungan. Sebelum berziarah ke candi, biasanya mereka menyucikan diri terlebih dulu di Petirtaan Derekan.

Ruang tempat sesaji
Batuan yang belum disusun
Batuan candi yang belum tersusun berserakan di sekitarnya beserta lingga dan yoni yang juga ditemukan. Untuk saat ini memang batu-batu itu dibiarkan ala kadarnya, lantaran susunannya rumit sehingga belum bisa disusun sebagai candi yang utuh. Mengingat kondisi medan yang berupa bukit dan sungai, diperkirakan masih ada batuan lain yang tertimbun longsoran bukit atau tersapu aliran sungai.
Konon, candi ini adalah peninggalan Wangsa Sanjaya, salah satu dinasti dari Kerajaan Mataram Kuno. Batuan candi ditemukan pertama kali tahun 1952 oleh seorang warga bernama Kasri, ketika sedang mencangkul sawahnya.
Nah, sekarang aku mau pulang! Yah… aku harus lewat jalan yang sama, mendaki lagi! Kakiku terasa ringan karena efek air panas tadi, tapi nafas nggak bisa kompromi. Ngos ngosan berat, seolah badan mau ambruk.. tapi jangan lah…Saran aja yang buat mau berkunjung ke sini, sebaiknya bawa kendaraan sendiri atau bareng teman. Kecuali buat yang terbiasa jalan jauh atau mendaki gunung.
Singkat cerita, aku keluar dari Desa Ngempon, kulihat sebuah MPU melaju. Tanpa pikir panjang aku langsung menyetop dan naik. Ups, ternyata, ibu yang tadi duduk di depanku. Dengan ramah, dia kembali menyapa. Hal yang nggak kusangka terjadi, dia membayari ongkos angkotku. Katanya, “Saya kasihan sama masnya, jalan sendiri. Kelihatan pucat, kayak lagi sakit”. Dengan tersenyum kujelaskan “Saya udah biasa jalan sendiri begini kok bu, ke Solo, Semarang, juga pernah, memang saya suka jalan-jalan”.
Aku terharu dengan kebaikan si ibu, dia tidak kenal aku, dia hanya seorang pencari rumput, tapi dia punya kepedulian terhadap orang lain. Jarang kutemui orang seperti itu di zaman sekarang. Benar-benar pelajaran berharga buat aku yang lebih sering cuek dengan orang yang nggak kukenal.

Lega rasanya saat aku sampai di pertigaan Polsek Karangjati. Aku turun di sini. Nggak lupa, kuucapkan terima kasih banyak pada si ibu. Semoga Tuhan memberkatinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar