Minggu, 16 Oktober 2016

Solo Travelling (10) : Sekelumit Cerita dari Kotagede


Di samping Malioboro, ada satu kawasan yang nggak boleh dilewatkan kalau berkunjung ke Yogyakarta. Ya, tidak bukan dan tidak lain adalah Kotagede, yang berada di selatan kota Jogja.
Keinginan menjelajahi Kotagede muncul secara tidak sengaja. Tujuan utamaku ke Jogja hari itu sebenarnya mau cari info lowongan kerja di Kantor Pos Besar Yogyakarta. Tapi sesudah membaca sebuah artikel tentang Kotagede, aku jadi tertarik buat datang ke sana.
Nah, simak perjalananku kali ini.

Inilah jalan masuk Kotagede
Sama sekali nggak sulit buat mencapai ibukota Kerajaan Mataram ini, biarpun sedikit angkutan umum yang masuk daerah itu. Dengan bus Trans Jogja jalur 3A (dari arah Terminal Giwangan) atau 3B (dari arah Bandara Adisucipto), kita turun di Jalan Tegal Gendhu, lalu jalan kaki ke arah timur. Saat kita melihat jembatan Sungai Gajahwong, itulah pintu masuk Kotagede. Tegal Gendhu sendiri adalah "kampung terluar" dari Kotagede. 
Banyak orang sudah tahu, Kotagede dikenal sebagai sentra kerajinan perak bertaraf internasional. Tak salah lagi, belum sampai di jembatan Gajahwong, sudah banyak kutemui toko yang menjual kerajinan perak. Dan uniknya lagi, beberapa bangunan toko memiliki bentuk dan arsitektur khas Jawa tempo dulu. Bangunan tua yang telah direnovasi hingga tetap berdiri kokoh sebagai peninggalan sejarah dan budaya. Keeksotisan inilah yang jadi daya tarik buat para pelancong.

Resto Omah Dhuwur, bangunannya bergaya tempo dulu
Salah satu pusat kerajinan perak
Semakin masuk ke kawasan Kotagede, nuansa Jawa tempo dulu sangat terasa. Mulai dari rumah, tugu, lampu jalan, sampai papan nama jalan, sebagian besar bergaya etnik. Memang, sejak beberapa abad silam, Kotagede sudah dikenal sebagai pusat pertumbuhan di selatan Jogja. Sayang, daerah ini sangat ramai oleh kendaraan yang lalu lalang, sehingga agak mengurangi kenyamanan.
Sampailah aku ke Pasar Kotagede. Pusat ekonomi masyarakat ini dinamakan Pasar Legi, yang konon ramai pada hari pasaran Legi menurut penanggalan Jawa. Namun pada hari biasa pun, aktivitas jual beli tetap berjalan. Sebuah gardu listrik dari tahun 1900 menjulang di sisi barat pasar. Gardu ini dinamakan Babon Aniem, karena merupakan gardu induk yang menyalurkan listrik ke seantero Kotagede di masa itu. 

Pasar Legi Kotagede
Tugu Babon Aniem

Salah satu sudut pasar
Papan nama jalan bergaya etnik
Toko-toko yang menjual kerajinan perak pun bertebaran di mana-mana, khususnya di Jalan Kemasan (utara pasar) yang merupakan pusat pengrajin perak. Konon, harga yang ditawarkan mulai dari puluhan ribu rupiah untuk hiasan kecil seperti bros, hingga jutaan rupiah. Berhubung uang pas-pasan, aku cukup window shopping aja… hahaha…

Salah satu toko kerajinan perak di Jalan Kemasan
Setelah semangkuk bakso mengenyangkan perutku siang itu, petualanganku berlanjut ke Makam Raja-raja Mataram yang letaknya di belakang pasar. Karena hari ini bukan hari libur, aku berpikir, jangan-jangan pengunjungnya cuma aku sendiri. Tapi perkiraanku salah. Ada juga beberapa orang lalu lalang. Warung yang menjual souvenir juga tetap buka. Di tempat yang dinaungi oleh pohon beringin besar ini juga ada beberapa rumah, yang adalah tempat tinggal para abdi dalem. Abdi dalem adalah orang-orang yang bertanggung jawab menjaga masjid dan makam di sini.

Jalan masuk Makam Raja-raja Mataram

Gerbang masuk bergaya candi
Aku pun mencoba memasuki gerbang depan Masjid Agung Kotagede. Uniknya, meski sebuah masjid, tapi gerbang masuknya lebih mirip candi. Penyebabnya, karena pada waktu itu pengaruh Hindu masih kuat dalam kebudayaan Jawa. Jadi meskipun agama Islam sudah menjadi agama resmi dalam kerajaan Mataram, arsitektur bangunan tetap disesuaikan dengan budaya saat itu, agar proses akulturasi antara agama dan budaya bisa berjalan lancar. Ini jugalah yang diterapkan pada Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah.
Tak perlu terlalu jauh, begitu memasuki gerbang, langsung terlihat masjid dengan bangunan bergaya keraton. Masjid yang dibangun pada tahun 1589 ini adalah salah satu komponen utama kota kuno Kotagede yang masih bertahan. Meski pernah terbakar dan mengalami kerusakan, tapi berhasil diperbaiki tanpa mengubah bentuk aslinya.

Inilah Masjid Agung Kotagede
Total ada tiga gapura bergaya candi yang menjadi akses menuju masjid. Gapura sebelah selatan adalah gerbang menuju ke makam raja-raja Mataram. Dipicu rasa penasaran, aku nekat memasuki gapura. Ternyata kita nggak langsung masuk ke makam. Di dalam area ini masih ada area sebelum memasuki makam. .
Halaman ini adalah tempat untuk administrasi pengunjung. Beberapa buah pendopo tersedia di sini, yang fungsinya untuk kegiatan abdi dalem dan persiapan pengunjung yang mau berziarah. Makam dipisahkan oleh gapura di sebelah barat. Oh ya, demi menghormati para raja yang sekaligus leluhur keraton, ada hal-hal yang harus dipatuhi bagi peziarah saat masuk ke makam. Pertama, harus mengenakan pakaian adat Jawa. Pengunjung bisa menyewa di situ. Kedua, dilarang memakai perhiasan emas. Ketiga, dilarang memotret di area makam.

Salah satu pendopo administrasi

Art shop di dekat pendopo
Raja-raja yang dimakamkan di sini adalah Panembahan Senopati (raja Mataram Islam pertama), Ki Gede Pemanahan (ayah Panembahan Senopati, yang juga pelopor daerah ini), Panembahan Krapyak (putra Panembahan Senopati), Sri Sultan Hamengkubuwono II, Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang, dan beberapa keluarga kerajaan Mataram lainnya.
Kerajaan Mataram Islam berdiri pada abad ke-16. Dulu, sebelum abad ke-10, di daerah ini pernah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Namun, peradaban tersebut berpindah ke Jawa Timur, diduga kuat akibat letusan dahsyat Gunung Merapi tahun 1006. Baru pada abad ke-16, Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang memberikan daerah yang sudah menjadi hutan ini kepada Ki Gede Pemanahan, yang selanjutnya dikembangkan menjadi Kerajaan Mataram Islam. Kini, warisan kerajaan ini dikelola oleh Keraton Yogyakarta.
Di pendopo pertama, dua orang abdi dalem atau petugas berpakaian adat Jawa dengan ramah menyambutku. Tak ada tarif, aku cukup mengisi buku tamu (yang nantinya sebagai bahan laporan untuk keraton) lalu mengisi kotak sumbangan seikhlasnya. Dari pendopo itu terlihat gapura menuju halaman kedua. Beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang bersembahyang di depan gapura. Karena aku  nggak ingin berziarah, petugas menunjukkan tempat menarik lainnya, yaitu Sendang Selirang.
Dengan antusias, aku menuruni anak tangga ke arah Sendang Selirang, yang juga dipisahkan dengan gapura bergaya candi. Di bagian selatan adalah Sendang Putri untuk perempuan, yang airnya berasal dari pohon beringin di dekat makam. Di bagian barat Sendang Kakung untuk laki-laki yang airnya dari sumber air di bawah makam. Bentuknya hampir sama, mata air yang dikelilingi tembok dan pagar. Kedua mata air ini selain untuk membersihkan diri bagi peziarah, juga untuk kebutuhan mandi dan mencuci bagi warga sekitar. Yang tak kalah menarik, sebagian sendang digunakan untuk memelihara ikan, khususnya ikan lele. \

Tempat mandi di Sendang Kakung
Kolam ikan lele
Sumur di dekat Sendang Kakung
Setelah puas melihat-lihat, aku meninggalkan tempat itu dengan tidak lupa pamit ke petugas.
Gang sempit di luar masjid bikin aku tertarik buat menjelajahinya. Udara panas tak peduli, yang penting segala yang indah tidak boleh dilewatkan! Ternyata lorong ini menuju ke pemukiman warga. Banyak rumah warga yang mempertahankan bentuk joglo atau limas dengan dinding kayu dan pintu besar. Sampai-sampai pos ronda pun dirancang dengan pakem yang sama. Eksotis tapi menakjubkan.

Joglo, atap rumah khas Jawa

Rumah tradisional Jawa, dilengkapi dengan gerbang


Lampu kuno di balik tembok makam


Poskamling pun bergaya etnik. Wow!
Sedangkan di luar tembok makam, di antara rumah warga terdapat Sendang Kemuning, yang juga masih difungsikan untuk memenuhi kebutuhan air warga sekitar.
Hari semakin siang, tapi aku belum puas. Aku mengikuti jalan menuju selatan pasar.  Sebuah penunjuk arah bertuliskan “Watu Gilang” membuatku penasaran. Tempat apakah itu?
Belum sampai ke Watu Gilang, aku dibuat takjub sama hal lain. Terdapat sebuah gerbang menuju perkampungan kecil. Bahasa kerennya adalah “Between Two Gates”, karena terdapat dua gerbang untuk masuk ke daerah ini .  Sebuah komplek perumahan dengan arsitektur joglo yang sudah ada sejak tahun 1840. Rumah-rumah bergaya klasik ini adalah milik pribadi, namun jarang ditinggali oleh pemiliknya.  Untuk berkunjung pun, kita wajib lapor ke ketua RT.

Between Two Gates

Bagian dalam Between Two Gates

Reruntuhan benteng Cepuri
Nggak jauh dari Between Two Gates, kita juga bisa temukan reruntuhan benteng Cepuri, tepatnya di mulut sebuah gang. Unik banget, ada benteng di tengah pemukiman. Benteng ini dulunya menjadi tembok pertahanan bagi kerajaan Mataram.
Ternyata Watu Gilang adalah situs bebatuan yang diyakini adalah singgasana Panembahan Senopati. Tidak cuma itu, di sini tersimpan juga Watu Gatheng, bola batu yang merupakan mainan Raden Rangga (putra Panembahan Senopati) dan Watu Genthong yang adalah tempat air wudhu Panembahan Senopati. Sayang, kita nggak bisa lihat langsung. Benda-benda tersebut disimpan dalam sebuah bangunan tertutup, yang hanya bisa dibuka dengan izin ke petugas di makam Hastorenggo. Makam Hastorenggo terletak di dekat situ. Tempat ini adalah komplek makam dari keluarga Sultan Hamengkubuwono VIII.

Penjelasan tentang situs Watu Gilang
Makam Hastorenggo, milik keluarga Sultan Hamengkubuwono VIII
Dalam perjalanan pulang ke Halte Tegal Gendhu, aku sengaja memilih jalan berseberangan dengan waktu berangkat tadi. Tujuanku biar bisa lihat lebih dekat rumah-rumah besar di jalan masuk Kotagede tadi. Memang, seperti kuceritakan di awal, baik rumah, art shop maupun restoran di sini banyak yang bergaya tempo dulu.

Kafe dengan desain yang unik
Seharian itu kamera HPku nggak berhenti menjepret sana sini. Mengabadikan segala hal eksotis, yang belum tentu kutemui di daerah lain. Warisan sejarah dan budaya tetap terjaga di Kotagede meski arus modernisasi bermunculan. Mungkin kalau aku telusuri dari kampung ke kampung, masih banyak pemandangan menarik di sini. Sayang, waktu jugalah yang membatasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar