Minggu, 16 Desember 2018

Solo Travelling (13) : Berjalan di Kalasan


Kalau bicara tentang Kalasan, orang bakal ingat akan 2 hal : ayam goreng dan candi. Yes, siapa nggak kenal ayam goreng Kalasan yang gurih dengan bumbu khas Jawa itu? Tapi bukan itu yang mau aku bahas kali ini, lagian aku nggak suka ayam goreng. Aku mau share kunjunganku ke dua tempat bersejarah di Kalasan awal Mei lalu.

Kalasan, yang dalam bahasa Jawa berarti “kehutanan”. Bisa dibilang, daerah ini adalah “gerbang” dari Prambanan, karena selepas dari kota Yogyakarta, kita akan lewat Kalasan dulu baru sampai di Prambanan, kalo jalan terus sampai Klaten.

Sebagai eks wilayah Kerajaan Mataram Kuno, Kalasan penuh dengan peninggalan sejarah, terutama candi. Sezaman dengan Borobudur dan Prambanan, berdiri pula belasan candi-candi lainnya. Di Kalasan sendiri yang terkenal, yaitu Candi Sambisari, Candi Sari, dan Candi Kalasan. Satu lagi, Candi Kedulan, yang masih belum selesai dipugar. Karena Candi Sambisari dan Candi Sari sudah pernah kukunjungi dulu, sekarang aku mau ke Candi Kalasan. Candi ini memang dinamai sesuai nama kecamatan di timur Yogyakarta ini.

Biarpun lokasinya tepat di jalan raya Jogja-Solo, pengguna bus Trans Jogja tetap harus jalan kaki kurang lebih 1 km ke timur. Dan itulah yang terjadi pada diriku. Di tengah ramainya jalan raya, aku harus berjalan melipir karena trotoar di sini kurang luas.

Di sebuah gang, Candi Kalasan tegak menjulang. Dengan mudah aku mengenalinya, dan langsung membeli tiket masuk seharga Rp. 5000. Agak mengherankan juga, meski hari libur candi ini benar-benar sepi. Pengunjungnya hanya aku sendirian. Hmm…. Mungkinkah karena hari ini pas Hari Buruh jadi pada sibuk demo? Malas ah ngomongin hal begituan…



Candi ini berupa sebuah bangunan batu berukuran besar dengan teras yang cukup tinggi. Bagian atas dikelilingi oleh stupa kecil. Sementara di tiap sisinya terdapat pintu dengan tangga, menuju bagian dalam yang tidak boleh dimasuki oleh pengunjung. Uniknya, di setiap tangga menuju teras diapit oleh arca, yang menunjukkan bahwa ini adalah tempat yang sakral.




Konon candi bercorak Budha ini adalah sebuah kuil yang diperuntukkan untuk pemujaan pada Dewi Tara. Dibangun sekitar tahun 778 oleh Rakai Panangkaran, penguasa Kerajaan Mataram Kuno saat itu. Saat itu selain kuil, dibangun juga asrama untuk para pemuka agama, yang adalah Candi Sari.



Berlanjut ke halaman, terdapat batu-batuan lain, seperti candi perwara (candi kecil), arca, dan batuan candi yang tidak dapat disusun. Semua tertata rapi sehingga indah dilihat.



Setelah puas, aku keluar dari area candi. Mau kemana sekarang? Aku teringat Stasiun Kalasan. Salah besar kalau berpikir aku mau naik kereta, mau nunggu sampai tepar juga nggak akan bisa karena stasiun itu sudah tidak beroperasi. Justru karena tidak aktif itulah, aku ingin lihat kondisinya sekarang.


Huahhh… untuk kedua kalinya aku harus melipir di jalan raya Jogja-Solo. Beneran kayak orang hilang, karena nyaris tak ada pejalan kaki lain. Agak malas juga sebenarnya. Panas!
Di tepi jalan sempat kulihat pintu air yang adalah pertemuan antara Sungai Opak dengan Selokan Mataram,  saluran air legendaris di Yogyakarta.


Berbelok ke sebuah gang, sebuah palang perlintasan kereta api sedang beroperasi. Tapi tunggu dulu, mana stasiunnya? GPSku nggak mungkin salah lokasi Ternyata stasiun itu ada di sebelah timur. Halaman stasiun tidak terlalu terlihat karena tertutup rumput liar.

Aku berusaha lompat di antara rerumputan dan gundukan tanah, mendekati bangunan stasiun. Harus ekstra hati-hati karena berbatu dan dekat dengan rel kereta aktif. Kalau terpeleset pas ada kereta lewat nggak tahu deh gimana nasibku…




Akhirnya! Aku berhasil mencapai bangunan stasiun. Segera kamera HPku menjepret sana sini.  Tapi melihat gedung ini rasanya miris…. Coretan vandalisme di mana-mana, lantainya ada yang berlubang. Sebagian pintu dan jendela hilang tinggal kerangka. 




Di sini ada beberapa ruangan. Ruangan di depan kemungkinan adalah kantor dan ruang operasional, sementara bagian dalam yang tertutup rapat adalah ruang kepala stasiun dan loket penjualan tiket. Di sebelah timur ada bangunan lain, yaitu gudang stasiun. Kondisinya pun nyaris tak terawat. Bahkan tiang persinyalan pun sudah tidak ada. Satu-satunya yang masih aktif hanyalah palang perlintasan di tepi jalan kampung. Hampir tiap jam palang pintu dibuka tutup untuk memberi kesempatan kereta api lewat. Dan mereka semua melewatkan begitu saja Stasiun Kalasan. Sayang sekali memang…








Konon Stasiun Kalasan ini dinonaktifkan pada tahun 2007. Alasannya karena pembangunan jalur ganda Kutoarjo-Solo yang menyebabkan stasiun ini tidak lagi melayani persilangan. Untuk naik turun penumpang pun kurang efektif karena letaknya yang dekat dengan Stasiun Maguwo dan Stasiun Prambanan. Kini tempat ini hanya sesekali dikunjungi warga sekitar untuk menonton kereta api lewat. 

Aku keluar lewat pintu depan dan… ternyata ada akses jalan yang lebih baik. Yah, kenapa nggak dari tadi? Rupanya karena jalan di sini penuh batu bikin aku nggak ngeh…




Berjalan perlahan, aku meninggalkan tempat itu. Dan stasiun tua itu kembali tenggelam dalam kesunyian,  entah sampai kapan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar