Kalau
bicara tentang Kalasan, orang bakal ingat akan 2 hal : ayam goreng dan candi.
Yes, siapa nggak kenal ayam goreng Kalasan yang gurih dengan bumbu khas Jawa
itu? Tapi bukan itu yang mau aku bahas kali ini, lagian aku nggak suka ayam
goreng. Aku mau share kunjunganku ke dua tempat bersejarah di Kalasan awal Mei
lalu.
Kalasan,
yang dalam bahasa Jawa berarti “kehutanan”. Bisa dibilang, daerah ini adalah
“gerbang” dari Prambanan, karena selepas dari kota Yogyakarta, kita akan lewat
Kalasan dulu baru sampai di Prambanan, kalo jalan terus sampai Klaten.
Sebagai eks wilayah Kerajaan Mataram Kuno, Kalasan penuh dengan
peninggalan sejarah, terutama candi. Sezaman dengan Borobudur dan Prambanan,
berdiri pula belasan candi-candi lainnya. Di Kalasan sendiri yang terkenal,
yaitu Candi Sambisari, Candi Sari, dan Candi Kalasan. Satu lagi, Candi Kedulan,
yang masih belum selesai dipugar. Karena Candi Sambisari dan Candi Sari sudah
pernah kukunjungi dulu, sekarang aku mau ke Candi Kalasan. Candi ini memang
dinamai sesuai nama kecamatan di timur Yogyakarta ini.
Biarpun
lokasinya tepat di jalan raya Jogja-Solo, pengguna bus Trans Jogja tetap harus
jalan kaki kurang lebih 1 km ke timur. Dan itulah yang terjadi pada diriku. Di
tengah ramainya jalan raya, aku harus berjalan melipir karena trotoar di sini
kurang luas.
Di
sebuah gang, Candi Kalasan tegak menjulang. Dengan mudah aku mengenalinya, dan
langsung membeli tiket masuk seharga Rp. 5000. Agak mengherankan juga, meski
hari libur candi ini benar-benar sepi. Pengunjungnya hanya aku sendirian. Hmm….
Mungkinkah karena hari ini pas Hari Buruh jadi pada sibuk demo? Malas ah
ngomongin hal begituan…
Candi
ini berupa sebuah bangunan batu berukuran besar dengan teras yang cukup tinggi.
Bagian atas dikelilingi oleh stupa kecil. Sementara di tiap sisinya terdapat
pintu dengan tangga, menuju bagian dalam yang tidak boleh dimasuki oleh
pengunjung. Uniknya, di setiap tangga menuju teras diapit oleh arca, yang
menunjukkan bahwa ini adalah tempat yang sakral.
Konon
candi bercorak Budha ini adalah sebuah kuil yang diperuntukkan untuk pemujaan
pada Dewi Tara. Dibangun sekitar tahun 778 oleh Rakai Panangkaran, penguasa
Kerajaan Mataram Kuno saat itu. Saat itu selain kuil, dibangun juga asrama
untuk para pemuka agama, yang adalah Candi Sari.
Berlanjut
ke halaman, terdapat batu-batuan lain, seperti candi perwara (candi kecil),
arca, dan batuan candi yang tidak dapat disusun. Semua tertata rapi sehingga
indah dilihat.
Setelah
puas, aku keluar dari area candi. Mau kemana sekarang? Aku teringat Stasiun
Kalasan. Salah besar kalau berpikir aku mau naik kereta, mau nunggu sampai
tepar juga nggak akan bisa karena stasiun itu sudah tidak beroperasi. Justru
karena tidak aktif itulah, aku ingin lihat kondisinya sekarang.
Huahhh…
untuk kedua kalinya aku harus melipir di jalan raya Jogja-Solo. Beneran kayak
orang hilang, karena nyaris tak ada pejalan kaki lain. Agak malas juga
sebenarnya. Panas!
Di
tepi jalan sempat kulihat pintu air yang adalah pertemuan antara Sungai Opak
dengan Selokan Mataram, saluran air legendaris
di Yogyakarta.
Berbelok
ke sebuah gang, sebuah palang perlintasan kereta api sedang beroperasi. Tapi tunggu dulu, mana
stasiunnya? GPSku nggak mungkin salah lokasi Ternyata stasiun itu ada di
sebelah timur. Halaman stasiun tidak terlalu terlihat karena tertutup rumput
liar.
Aku
berusaha lompat di antara rerumputan dan gundukan tanah, mendekati bangunan stasiun.
Harus ekstra hati-hati karena berbatu dan dekat dengan rel kereta aktif. Kalau
terpeleset pas ada kereta lewat nggak tahu deh gimana nasibku…
Akhirnya!
Aku berhasil mencapai bangunan stasiun. Segera kamera HPku menjepret sana sini. Tapi melihat gedung ini rasanya miris….
Coretan vandalisme di mana-mana, lantainya ada yang berlubang. Sebagian pintu
dan jendela hilang tinggal kerangka.
Di
sini ada beberapa ruangan. Ruangan di depan kemungkinan adalah kantor dan ruang
operasional, sementara bagian dalam yang tertutup rapat adalah ruang kepala
stasiun dan loket penjualan tiket. Di sebelah timur ada bangunan
lain, yaitu gudang stasiun. Kondisinya pun nyaris tak terawat. Bahkan tiang
persinyalan pun sudah tidak ada. Satu-satunya yang masih aktif hanyalah palang
perlintasan di tepi jalan kampung. Hampir tiap jam palang pintu dibuka tutup
untuk memberi kesempatan kereta api lewat. Dan mereka semua melewatkan begitu saja Stasiun Kalasan. Sayang sekali memang…
Aku
keluar lewat pintu depan dan… ternyata ada akses jalan yang lebih baik. Yah,
kenapa nggak dari tadi? Rupanya karena jalan di sini penuh batu bikin aku nggak
ngeh…
Berjalan perlahan, aku meninggalkan tempat itu. Dan stasiun tua itu kembali tenggelam dalam kesunyian, entah sampai kapan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar