Minggu, 07 Juli 2019

My Third Backpacker (Part 2) : Makan Lontong Tahu Tak Jauh Dari Pantai Sluke

Semalaman aku susah tidur. Entah ada apa denganku. Hanya terlelap sekitar 3 jam lalu bolak balik kanan kiri. Eh, tahu-tahu sudah jam 6 pagi! Waduh, aku harus segera  berangkat ke Tuban.
 
Tidak ada lagi waktu untuk ini dan itu, aku langsung mandi dan bersiap-siap.  Oh ya, pesan dari kondektur bus yang kutumpangi kemarin, kalau mau naik bus jurusan Surabaya sebaiknya aku mencegatnya setelah jembatan Nyamplung, kira-kira 700 meter dari penginapan, karena kontur tanah di Sluke ini agak menurun, jadi bus susah mengerem.
 
Maka, setelah sarapan nasi rames di warung makan dekat jembatan Nyamplung, aku berjalan ke timur sampai Polsek Sluke. Tak lama, kucegat bus jurusan Surabaya.


Bus pun berangkat. Dari jendela tampak pemandangan pantai, bahkan sempat melewati langsung tepi pantai! Yes,  antara jalan raya dan pantai hanya dipisahkan tebing yang tidak terlalu tinggi.  Benar-benar menyejukkan mata! Seketika rencana tersusun di benakku, besok aku mau lari pagi ke pantai ah…

Semakin ke timur, pemukiman tepi pantai semakin banyak. Aku heran, apa mereka nggak takut ya, punya rumah di tepi laut? Kalau ada badai besar gimana? Tapi saat kualihkan pandangan ke sebelah selatan, aku langsung merasa Tuhan sungguh adil. Biarpun di utara adalah laut, di selatan adalah Pegunungan Kapur Utara, yang salah satu puncaknya adalah Gunung Lasem. Jadi, jika terjadi apa-apa di laut, pegunungan itu siap menjadi tempat perlindungan.

Gunung Lasem di pagi hari


(untuk perjalanan ke Tuban hingga pulang ke Sluke aku SKIP aja ya, karena nggak ada yang bisa kuceritakan)

Sore itu, sesudah beristirahat sebentar di penginapan, aku mulai menjalankan rencana yang kemarin tertunda : lihat sunset di pantai. Kuikatkan tas pinggang di tubuh dan kuatur lokasi Google Maps di HPku. Waktu sudah menunjukkan jam 17.00, jadi nggak ada waktu lagi buat berleha-leha.

Jalan ke Pantai Sluke


Dengan penuh semangat, aku melangkah ke pantai. Pengin rasanya lompat-lompat, bergaya ala bintang video klip yang sedang menikmati alam.  Nampak beberapa orang sedang menggarap tanah untuk ditanami, ada pula yang mencari rumput buat pakan ternak. Malahan ada yang sedang menggembala kambing di tengah padang rumput. Sungguh pemandangan yang sulit kutemui di pantai manapun.

Tepi Pantai Sluke


Antara tepi pantai dengan lahan luas itu hanya dipisahkan serangkaian pohon cemara pantai. Jadi sesampai di ujung jalan setapak, aku tinggal turun sedikit, sampailah di tanah berpasir.

Dari referensi yang kudapat, Pantai Sluke ini tidak seterkenal “saudaranya”, Pantai Jatisari (ada ceritanya nanti di postingan berikutnya). Malahan orang sering salah mengartikan Pantai Jatisari sebagai Pantai Sluke, atau sebaliknya. Faktanya memang, pengunjung pantai sore ini cuma beberapa orang. Selain aku, ada beberapa cewek yang asyik berfoto di tepi pantai. Beberapa kapal nelayan tertambat di bawah pohon. 

Mana mau aku kalah sama mereka. Aku langsung jeprat jepret sana sini. Sesekali ombak menerpa kakiku. Sebenarnya sih pantai di sini ombaknya tenang. Tapi tetap aja keinginan main air harus kuurungkan. Pertama, aku udah mandi, jadi  nggak ingin basah kuyup lagi. Kedua, bisa nangis darah aku kalau HPku ikut “berenang”.

Beberapa menit berlalu… dan inilah yang kami tunggu-tunggu. Matahari mulai turun ke peraduan, sedikit demi sedikit. Luar biasa! Ah… andai ada yang menemaniku saat ini, berdua memandang sunset sambil bersenandung lagu Kemesraan…. Aku tunggu cewek-cewek itu apakah ada yang minta tolong difotokan lalu ngajak kenalan, tapi belum selesai aku memandangi sunset, mereka malah beranjak pergi (nasib  seorang jomblo).

Sang surya mulai kembali ke peraduannya

Indah sekali bukan?


Maaf ya mbak, nggak sengaja terfoto


Debur ombak di kala senja


Ah udahlah, bukan saatnya ngomongin itu. Yang jelas, aku belum mau beranjak dari pantai ini. Aku duduk di tepi sambil memandang lautan luas dipayungi horizon senja. Satu ide pun tercetus. Aku bisa letakkan HPku bersandar di sebuah ban bekas atau batu yang ada di situ. Aku setel timer kamera dan jepret… bisa berfoto selfie tanpa repot pegang HP. Tapi pastinya harus jauh dari air dan harus sigap kalau ombak mendekat. Kalau tidak… wah…Sungguh beruntung rasanya bisa ke sini.  Aku bayangkan teman-temanku di Jawa Tengah bagian selatan, pasti banyak yang tidak tahu tempat bagus seperti ini.
Duduk termenung di tepi pantai

Santai dulu ah


Tak menyangka bisa ke sini

Ini pemandangan sebelah timur


Biarpun indah, pastinya ogah kalau bermalam di sini. Aku menoleh ke belakang, ternyata tinggal aku sendiri dan seorang nelayan yang sedang memeriksa kapalnya. Wah, dengan cepat aku beranjak pergi. Di sini minim penerangan jadi aku harus balik ke penginapan sebelum gelap.

Deg-degan aku lewat kebun dan kandang ternak tadi. Segera kupercepat langkahku karena langit makin gelap. Bukan mbak kunti atau om druwo yang kutakutkan tapi kalau-kalau ada ular nongol dari balik pohon. Dari dulu aku memang takut banget sama hewan melata itu. Bayangin bentuknya aja udah hiiiii…

Untunglah jalan di kebun itu tidak terlalu panjang. Aku segera tiba di perkampungan tadi dan berjalan pulang ke penginapan. Begitu sampai aku langsung mencuci kaki dan tangan yang belepotan pasir.

Nah, sekarang saatnya makan malam. Mau makan apa? Aku lihat di dekat penginapan ada warung yang menjual lontong tahu dan gado-gado. Tentu saja yang paling bikin penasaran adalah lontong tahu. Ibu penjualnya sangat ramah dan cekatan. Dalam hitungan menit, sepiring lontong tahu dan segelas teh manis hangat terhidang di depanku. Harganya cuma Rp. 7.000

Lontong tahu adalah makanan khas Pati. Bentuknya mirip dengan kupat tahu di Magelang. Berupa tahu goreng dan taoge yang disiram kuah berbumbu kacang. Bedanya, di sini dihidangkan dengan lontong bukan ketupat. Kuahnya pun bukan kuah gula merah plus kacang, tapi sambal kecap plus kacang. Taburan bawang goreng dalam jumlah banyak ikut memancing selera.

Begitu kurasakan…woooowwww… rasa pedas membakar mulut. Makin disendok makin hot. Sialnya, aku justru memesan teh hangat, bukan es teh. Satu-satunya penawar cuma bakwan jagung yang tersedia di meja. Akhirnya karena nggak mau rugi, tetap kuhabiskan makananku sambil meringis sesekali.

Tak heran, sesampai di penginapan, aku banyak minum air putih. Aku sadar, perutku sensitif dengan makanan pedas, jangan sampai deh aku sakit di sini.

Malam itu aku sengaja tidur lebih cepat, karena besok pagi mau lari pagi sekalian lihat sunrise. Tak lupa, kupasang alarm HPku dua-duanya jam 04.00.


 Bersambung ke Part 3




Tidak ada komentar:

Posting Komentar